TUGAS PKN BAB 6“MEMPERKUKUH PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA”NAMA: NUR ANISA MAULIDAKELAS: XI MIPA 3NO ABSEN: 26SMA NEGERI 1 BULULAWANG2019/2020
Nolarania @Nolarania Show
February 2019 1 1K Report Coba kalian uraikan kronologi terjadi persengketaan baik yang bersangkutan dengan pulau sipadan dan ligitan maupun di blok ambalat DenmazEvan Kategori soal: PKn - Wawasan NusantaraKelas: XIPembahasan:Penyebab sengketa Indonesia-Malaysia yaitu sengketa pulau Sipadan-Ligitan karena sistem administrasi kedua pulau tersebut selama ini tidak jelas. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, kedua pulau tersebut tidak tercantum sebagai wilayah kedaulatan NKRI. Padahal dalam hukum internasional, apabila suatu negara mengklaim suatu wilayah harus terdapat bukti yang menunjukkan hal tersebut.Bukti bahwa Sipadan Ligitan masuk wilayah Indonesia yaitu berdasarkan peta kerajaan nasional majapahit sedangkan Malaysia mengklaim kedua pulau tersebut berdasarkan faktor kedekatan geografis.Namun, ternyata kehidupan di pulau Sipadan dan Ligitan lebih cenderung ke Malaysia yang diitunjukkan oleh:- Bahasa melayu banyak digunakan oleh penduduk SIpadan dan Ligitan, bahkan ada yg sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia- Pembangunan di kedua pulau tersebut lebih banyak dilakukan oleh Malaysia- Adanya patok-patok wilayah perbatasan oleh Malaysia- Transaksi dalam sehari-hari menggunakan mata uang ringgit yang merupakan mata uang Malaysia - Ternyata penduduk Sipadan Ligitan tidak memiliki kartu tanda penduduk Indonesia 21 votes Thanks 38More Questions From This User See All Nolarania February 2019 | 0 Replies Bagaimana perasaan kamu ketika tahu bahwa pada akhirnya pulau sipadan dan ligitan lepas ketangan malaysia AnswerNolarania February 2019 | 0 Replies Bagaimana perasaan mu ketika tahu bahwa pada akhirnya pulau sipadan dan ligitan lepas ke tangan malaysia AnswerRecommend Questionselaaa04 May 2021 | 0 Replies apa makna sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta [sishankamrata]?wiwindevibrata May 2021 | 0 Replies landasan konstitusional politik luar negri indputripriskila89 May 2021 | 0 Replies PutriKusumawardhani May 2021 | 0 Replies Cara mengelola sumber kekayaan alam Indonesia agar dapat memperkuat Wawasan NusantaraPaturachman May 2021 | 0 Replies jelaskan pengertian MOSIBrenk11 May 2021 | 0 Replies Bagaimanakah peran negara dalam pandangan fasismefitri7693 May 2021 | 0 Replies Samakan sistem pembagian kekuasaan yg diterapkan oleh negara indonesia dengan amerika serikatfawaz07 May 2021 | 0 Replies kapan dan oleh siapakah undang undang dasar 1945 ditetapkanharyashadiqin May 2021 | 0 Replies Kapan hari Sumpah Pemuda dilaksanakan?dedi21172 May 2021 | 0 Replies gambar warna coklat pada peta menunjukan daerahPraktik Belajar Kewarganegaraan Mari Menganalisis Kasus Indonesia pernah mengalami persengketaan dengan Malayasia yang berkaita dengan hak penguasaan atau kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Ligitan, serta perselisihan di Blok Ambalat. Berkaitan dengan hal tesebut:
Klik Untuk Melihat Jawaban #Jawaban di bawah ini, bisa saja salah karena si penjawab bisa saja bukan ahli dalam pertanyaan tersebut. Pastikan mencari jawaban dari berbagai sumber terpercaya, sebelum mengklaim jawaban tersebut adalah benar. Selamat Belajar..# Answered by DenmazEvan on Mon, 30 May 2022 18:07:51 +0700 with category PPKn and was viewed by 345 other usersKategori soal: PKn - Wawasan NusantaraKelas: XIPembahasan: Penyebab sengketa Indonesia-Malaysia yaitu sengketa pulau Sipadan-Ligitan karena sistem administrasi kedua pulau tersebut selama ini tidak jelas. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, kedua pulau tersebut tidak tercantum sebagai wilayah kedaulatan NKRI. Padahal dalam hukum internasional, apabila suatu negara mengklaim suatu wilayah harus terdapat bukti yang menunjukkan hal tersebut.Bukti bahwa Sipadan Ligitan masuk wilayah Indonesia yaitu berdasarkan peta kerajaan nasional majapahit sedangkan Malaysia mengklaim kedua pulau tersebut berdasarkan faktor kedekatan geografis.Namun, ternyata kehidupan di pulau Sipadan dan Ligitan lebih cenderung ke Malaysia yang diitunjukkan oleh:- Bahasa melayu banyak digunakan oleh penduduk SIpadan dan Ligitan, bahkan ada yg sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia- Pembangunan di kedua pulau tersebut lebih banyak dilakukan oleh Malaysia- Adanya patok-patok wilayah perbatasan oleh Malaysia- Transaksi dalam sehari-hari menggunakan mata uang ringgit yang merupakan mata uang Malaysia- Ternyata penduduk Sipadan Ligitan tidak memiliki kartu tanda penduduk IndonesiaBaca Juga: Coba Buat gambar ilustrasi berdasarkan cerita yang anda buat! Apa itu en.dhafi.link?en.dhafi.link Merupakan Website Kesimpulan dari forum tanya jawab online dengan pembahasan seputar pendidikan di indonesia secara umum. website ini gratis 100% tidak dipungut biaya sepeserpun untuk para pelajar di seluruh indonesia. saya harap pembelajaran ini dapat bermanfaat bagi para pelajar yang sedang mencari jawaban dari segala soal di sekolah. Terima Kasih Telah Berkunjung, Semoga sehat selalu.
Klik Untuk Melihat Jawaban #Jawaban di bawah ini, bisa saja salah karena si penjawab bisa saja bukan ahli dalam pertanyaan tersebut. Pastikan mencari jawaban dari berbagai sumber terpercaya, sebelum mengklaim jawaban tersebut adalah benar. Selamat Belajar..# Answered by DenmazEvan on Fri, 03 Jun 2022 07:31:27 +0700 with category PPKn and was viewed by 345 other usersKategori soal: PKn - Wawasan NusantaraKelas: XIPembahasan: Penyebab sengketa Indonesia-Malaysia yaitu sengketa pulau Sipadan-Ligitan karena sistem administrasi kedua pulau tersebut selama ini tidak jelas. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, kedua pulau tersebut tidak tercantum sebagai wilayah kedaulatan NKRI. Padahal dalam hukum internasional, apabila suatu negara mengklaim suatu wilayah harus terdapat bukti yang menunjukkan hal tersebut.Bukti bahwa Sipadan Ligitan masuk wilayah Indonesia yaitu berdasarkan peta kerajaan nasional majapahit sedangkan Malaysia mengklaim kedua pulau tersebut berdasarkan faktor kedekatan geografis.Namun, ternyata kehidupan di pulau Sipadan dan Ligitan lebih cenderung ke Malaysia yang diitunjukkan oleh:- Bahasa melayu banyak digunakan oleh penduduk SIpadan dan Ligitan, bahkan ada yg sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia- Pembangunan di kedua pulau tersebut lebih banyak dilakukan oleh Malaysia- Adanya patok-patok wilayah perbatasan oleh Malaysia- Transaksi dalam sehari-hari menggunakan mata uang ringgit yang merupakan mata uang Malaysia- Ternyata penduduk Sipadan Ligitan tidak memiliki kartu tanda penduduk IndonesiaBaca Juga: Coba Buat gambar ilustrasi berdasarkan cerita yang anda buat! Apa itu en.dhafi.link?en.dhafi.link Merupakan Website Kesimpulan dari forum tanya jawab online dengan pembahasan seputar pendidikan di indonesia secara umum. website ini gratis 100% tidak dipungut biaya sepeserpun untuk para pelajar di seluruh indonesia. saya harap pembelajaran ini dapat bermanfaat bagi para pelajar yang sedang mencari jawaban dari segala soal di sekolah. Terima Kasih Telah Berkunjung, Semoga sehat selalu. Sengketa Sipadan dan Ligitan yaitu persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang mempunyai di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT / 4,1°LU 118,61667°BT / 4.10000; 118.61667 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT / 4,15°LU 118,883°BT / 4.150; 118.883. Sikap Indonesia semula berhasrat membawa persoalan ini menempuh Dewan Tinggi ASEAN namun belakang suatu peristiwanya sepakat kepada menyelesaikan sengketa ini menempuh jalur hukum Mahkamah Internasional Kronologi sengketaPersengketaan selang Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut selang kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat supaya Sipadan dan Ligitan diterangkan dalam situasi status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia mendirikan resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap mempunyai di bawah Malaysia sampai persengketaan beres, sedangkan pihak Indonesia merumuskan bahwa dalam status ini berfaedah status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini beres. Sedangkan Malaysia malah mendirikan resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang lebarnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah banyak penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari banyaknya, fasilitas pariwisata itu memang belum mampu dikata memadai. Tetapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa mempunyai pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta supaya pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini selang lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN kepada menyelesaikan perselisihan yang terjadi di selang sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura kepada klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menaruh sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua berwarga-negara Indonesia serta mempersilakan pihak Indonesia kepada mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak Indonesia yang berhasrat membawa persoalan ini menempuh Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa persoalan ini ke ICJ selanjutnya melunak. Dalam lawatannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto belakang suatu peristiwanya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. Keputusan Mahkamah InternasionalPada tahun 1998 persoalan sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] selanjutnya pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan selang Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan gerakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, keaktifan pariwisata yang dilaksanakan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batasan di perbatasan laut selang Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3] Lihat pulaReferensiPranala luar
edunitas.com Page 2Sengketa Sipadan dan Ligitan yaitu persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang mempunyai di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT / 4,1°LU 118,61667°BT / 4.10000; 118.61667 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT / 4,15°LU 118,883°BT / 4.150; 118.883. Sikap Indonesia semula berhasrat membawa persoalan ini menempuh Dewan Tinggi ASEAN namun yang belakang sekalinya sepakat kepada menyelesaikan sengketa ini menempuh jalur hukum Mahkamah Internasional Kronologi sengketaPersengketaan selang Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut selang kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat supaya Sipadan dan Ligitan diterangkan dalam situasi status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap mempunyai di bawah Malaysia sampai persengketaan beres, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berfaedah status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini beres. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang lebarnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah banyak penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari banyaknya, fasilitas pariwisata itu memang belum mampu dikata memadai. Tetapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta supaya pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini selang lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN kepada menyelesaikan perselisihan yang terjadi di selang sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura kepada klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menaruh sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua berwarga-negara Indonesia serta mempersilakan pihak Indonesia kepada mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak Indonesia yang berhasrat membawa persoalan ini menempuh Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa persoalan ini ke ICJ kesudahan melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto yang belakang sekalinya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. Keputusan Mahkamah InternasionalPada tahun 1998 persoalan sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] kesudahan pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan selang Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan gerakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, keaktifan pariwisata yang dilaksanakan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batasan di perbatasan laut selang Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3] Lihat pulaReferensiPranala luar
edunitas.com Page 3Sengketa Sipadan dan Ligitan yaitu persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang mempunyai di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT / 4,1°LU 118,61667°BT / 4.10000; 118.61667 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT / 4,15°LU 118,883°BT / 4.150; 118.883. Sikap Indonesia semula berhasrat membawa persoalan ini menempuh Dewan Tinggi ASEAN namun yang belakang sekalinya sepakat kepada menyelesaikan sengketa ini menempuh jalur hukum Mahkamah Internasional Kronologi sengketaPersengketaan selang Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 saat dalam pertemuan teknis hukum laut selang kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat supaya Sipadan dan Ligitan diterangkan dalam situasi status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sbg tetap mempunyai di bawah Malaysia mencapai persengketaan beres, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berfaedah status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki mencapai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini beres. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, permulaan bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang lebarnya hanya 4 km2 itu, sekarang, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah banyak penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari banyaknya, fasilitas pariwisata itu memang belum dapat dikata memadai. Tetapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa mempunyai pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta supaya pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tsb ke dalam peta nasionalnya Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini diantaranya menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN kepada menyelesaikan perselisihan yang terjadi di selang sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura kepada klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menaruh sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melaksanakan pengusiran semua berwarga-negara Indonesia serta mempersilakan pihak Indonesia kepada mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak Indonesia yang berhasrat membawa persoalan ini menempuh Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa persoalan ini ke ICJ selanjutnya melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto yang belakang sekalinya menyetujui usulan PM Mahathir tsb yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tsb. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. Keputusan Mahkamah InternasionalPada tahun 1998 persoalan sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] selanjutnya pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan mengenai kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan selang Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 adalah hakim tetap dari MI, sementara satu hakim adalah pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melaksanakan gerakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu semenjak tahun 1930, dan operasi mercu suar semenjak 1960-an. Sementara itu, keaktifan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batasan di perbatasan laut selang Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3] Lihat jugaReferensiPranala luar
edunitas.com Page 4Sengketa Sipadan dan Ligitan yaitu persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang mempunyai di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT / 4,1°LU 118,61667°BT / 4.10000; 118.61667 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT / 4,15°LU 118,883°BT / 4.150; 118.883. Sikap Indonesia semula berhasrat membawa persoalan ini menempuh Dewan Tinggi ASEAN namun yang belakang sekalinya sepakat kepada menyelesaikan sengketa ini menempuh jalur hukum Mahkamah Internasional Kronologi sengketaPersengketaan selang Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 saat dalam pertemuan teknis hukum laut selang kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat supaya Sipadan dan Ligitan diterangkan dalam situasi status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sbg tetap mempunyai di bawah Malaysia mencapai persengketaan beres, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berfaedah status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki mencapai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini beres. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, permulaan bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang lebarnya hanya 4 km2 itu, sekarang, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah banyak penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari banyaknya, fasilitas pariwisata itu memang belum dapat dikata memadai. Tetapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa mempunyai pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta supaya pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tsb ke dalam peta nasionalnya Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini diantaranya menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN kepada menyelesaikan perselisihan yang terjadi di selang sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura kepada klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menaruh sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melaksanakan pengusiran semua berwarga-negara Indonesia serta mempersilakan pihak Indonesia kepada mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak Indonesia yang berhasrat membawa persoalan ini menempuh Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa persoalan ini ke ICJ selanjutnya melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto yang belakang sekalinya menyetujui usulan PM Mahathir tsb yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tsb. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. Keputusan Mahkamah InternasionalPada tahun 1998 persoalan sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] selanjutnya pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan mengenai kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan selang Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 adalah hakim tetap dari MI, sementara satu hakim adalah pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melaksanakan gerakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu semenjak tahun 1930, dan operasi mercu suar semenjak 1960-an. Sementara itu, keaktifan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batasan di perbatasan laut selang Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3] Lihat jugaReferensiPranala luar
edunitas.com Page 5Sengketa Sipadan dan Ligitan yaitu persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang mempunyai di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT / 4,1°LU 118,61667°BT / 4.10000; 118.61667 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT / 4,15°LU 118,883°BT / 4.150; 118.883. Sikap Indonesia semula berhasrat membawa persoalan ini menempuh Dewan Tinggi ASEAN namun yang belakang sekalinya sepakat kepada menyelesaikan sengketa ini menempuh jalur hukum Mahkamah Internasional Kronologi sengketaPersengketaan selang Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut selang kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat supaya Sipadan dan Ligitan diterangkan dalam situasi status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap mempunyai di bawah Malaysia sampai persengketaan beres, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berfaedah status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini beres. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang lebarnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah banyak penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari banyaknya, fasilitas pariwisata itu memang belum mampu dikata memadai. Tetapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta supaya pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini selang lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN kepada menyelesaikan perselisihan yang terjadi di selang sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura kepada klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menaruh sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua berwarga-negara Indonesia serta mempersilakan pihak Indonesia kepada mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak Indonesia yang berhasrat membawa persoalan ini menempuh Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa persoalan ini ke ICJ kesudahan melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto yang belakang sekalinya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. Keputusan Mahkamah InternasionalPada tahun 1998 persoalan sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] kesudahan pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan selang Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan gerakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, keaktifan pariwisata yang dilaksanakan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batasan di perbatasan laut selang Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3] Lihat pulaReferensiPranala luar
edunitas.com |