Berbeda beda tetapi satu tidak ada dharma yang kedua merupakan arti dari sloka

Jakarta -

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Istilah tersebut diadaptasi dari sebuah kakawin peninggalan Kerajaan Majapahit. Seperti apa sejarahnya?

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam kitabnya, kakawin Sutasoma. Dalam bahasa Jawa Kuno kakawin artinya syair. Kakawin Sutasoma ditulis pada tahun 1851 dengan menggunakan aksara Bali, namun berbahasa Jawa Kuno.

Bahan naskah yang digunakan untuk menulis kakawin Sutasoma terbuat dari daun lontar. Kitab tersebut berukuran 40,5 x 3,5 cm. Sutasoma menjadi sebuah karya sastra peninggalan Kerajaan Majapahit.

Dilansir laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kakawin Sutasoma merupakan kitab yang dikutip oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan semboyan NKRI.

Kutipan frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' terdapat pada pupuh 139 bait 5. Berikut bunyi petikan pupuh tersebut:

"Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa".

Kalimat di atas artinya "Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Mpu Tantular mengajarkan makna toleransi antar umat beragama dan dianut oleh pemeluk agama Hindu dan Buddha. Semboyan "Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa" sendiri digunakan untuk menciptakan kerukunan di antara rakyat Majapahit dalam kehidupan beragama.

Dikutip dari situs resmi Portal Informasi Indonesia, frasa Jawa Kuno tersebut secara harfiah mengandung arti berbeda-beda namun tetap satu jua. Bhinneka artinya beragam, tunggal artinya satu, ika artinya itu, yakni beragam satu itu.

Konon, pendiri bangsa yang pertama kali menyebut frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah Moh Yamin. Dia mengucapkannya di sela-sela sidang BPUPKI. Sontak, I Gusti Bagus Sugriwa, tokoh yang berasal dari Bali, menyahut dengan ucapan "tan hana dharma mangrwa".

Dalam pendapat lain, Bung Hatta mengatakan bahwa frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah usulan Bung Karno. Gagasan tersebut secara historis diusulkan setelah Indonesia merdeka, saat momen munculnya kebutuhan untuk merancang lambang negara dalam bentuk Garuda Pancasila.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara, Bhinneka Tunggal Ika ditulis dengan huruf latin dalam bahasa Jawa Kuno tepat di bawah lambang negara. Sebagaimana bunyi Pasal 5 sebagai berikut:

"Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi: BHINNEKA TUNGGAL IKA."

Jadi, semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam sebuah buku berjudul kakawin Sutasoma.

Simak Video "Kekuasaan Kerajaan Majapahit, Kejayaan Nusantara"



(kri/pay)

Salah satu kitab dari zaman Majapahit adalah Sutasoma karangan Mpu Tantular yang di dalamnya terdapat kata "Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa". Arti kalimat ini adalah berbeda-beda tetapi satu, tidak ada kebenaran yang bermuka dua. Semboyan ini menggambarkan kehidupan beragama umat Hindu dan Buddha yang hidup berdampingan dengan damai.

Dengan demikian, maka jawaban yang tepat adalah C.

Empu Tantular dalam salah satu sloka dari kitab Kakawin Sutasoma berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang esensi “Dharma.” Pada bagian dari teks sloka tersebut berbunyi demikian: “Bhinneka Tunggal Ika tan hana Dharma mangrwa”(berbeda-beda tetapi tetap satu tiada Dharma yang mendua). Itulah sebabnya sebenarnya “Dharma” memang satu, tunggal, tak mendua, dan tak berubah. Dengan demikian, esensi dari “Dharma” sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab suci itu juga bersifat kekal abadi dan inklusif.

Berbeda beda tetapi satu tidak ada dharma yang kedua merupakan arti dari sloka

Diduga inilah Traktat/Perjanjian/MOU antar umat beragama pasca penaklukan Konstantinopel, Turki, ada di kab Kampar, dikoleksi oleh Drs Abdul latif Hasyim, namun belum ada ahli arkeolog/sejarawan yg meneliti makna tulisan  yg ada dalam piringan pinggang tembaga Tersebut, mungkin tulisan aramaic/ibrani/arab kuno.

Kitab suci semua agama bukanlah sebuah teks sakral yang berdiri sendiri. Namun, kitab suci semua agama menegaskan semacam mata rantai yang menyadarkan kita tentang adanya konsep “One Word Many Versions” atau “Satu Pewahyuan dalam Kebhinekaan.” Begitu juga Quran sebagai kitab suci umat Islam ternyata memiliki mata rantai dengan kitab-kitab suci berbagai agama, khususnya berkaitan dengan persoalan Dharma. Dalam kitab suci Quran, khususnya ayat yang berbunyi:

اذا جاء نصر الله والفتح. ورايت الناس يدخلون في دين الله افواجا. فسبح بحمد ربك واستغفره انه كان توابا. سورة النصر 110: 1-3

“Apabila telah datang pertolongan ALLAH dan kemenangan, dan kamu lihat seluruh manusia masuk ke dalam Din ALLAH dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat (al-Nashr 110:1-3).

Berbeda beda tetapi satu tidak ada dharma yang kedua merupakan arti dari sloka

Dalam bahasa Italia (Modern Latin), istilah دين (Din) diterjemahkan “religione” sebagaimana teks yang termaktub dalam Quran (An-Nashr 110:1-2); istilah tersebut sejajar dengan istilah “Religion” dalam bahasa Inggris. Dalam kitab suci Quran terjemahan bhs Italia, teks Quran (An-Nashr 110:1-2) tertulis demikian:

“Quando verra l’ausilio di ALLAH e la vittoria, e vedrai le genti entrare in massa nella religione di ALLAH.”

Sementara itu, dalam bahasa Indonesia, istilah دين (Din) sering diterjemahkan “agama”, Istilah دين (Din) dalam bahasa Arab sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Quran, ternyata ada kesejajaran dengan istilah דינה (Dina) dalam bahasa Aram, sebagaimana yang termaktub dalam kitab agama Yahudi yakni kitab תלמוד בבלי (Talmud Bavli) yang teksnya berbunyi: דינה דמלכותא דינה (Dina de-malkhuta Dina, yakni “Hukum Langit yang mencerminkan Kebenaran”), see Talmud Bavli, masekhet Nedarim 28a, Baba Kama 113a-b. Dengan demikian, makna دين (Din) ataupun דינה (Dina) sejatinya menegaskan adanya “Hukum kekal sorgawi”, yang disebut “Agama” yang meniscayakan nilai “Kebenaran.”

Itulah sebabnya, ayat yang berbunyi ورايت الناس يدخلون في دين الله افواجا (wa ra’aitan nasa yadkhuluna fi Dinillahi afwaja), ternyata dalam Quran versi terjemahan bahasa Hindi, terbitan Dar As-Salam, Saudi Arabia (2005) justru istilah دين (Din) maknanya disejajarkan dengan Dharma, yang dalam Quran terjemahan versi bahasa Hindi tertulis demikian: aur tu logon ko ALLAH ke Dharma ki taraf jhudha ke jhudha ata dekha le.

Secara lengkap, teks Qs. Al-Nashr 110:1-3 terjemahan versi bahasa Hindi berbunyi demikian:

1. Jab ALLAH ki madad aur vijay hasil ho jaye. 
2. Aur tu logon ko ALLAH ke Dharma ki taraf jhudha ke jhudha ata dhekha le.
3. To tu apne Rab ko mahima (tasbih) aur tarif karne men lag, aur us se mafi ki dua kar, besak waha maf karne wala hai.

Lihat karya Maulana Mochammad Junandhi. Mukhtashar Tafsir Ahsan Al-Bayan bi al-Lughah al-Hindiyyah (Medinah, Saudi Arabia: Dar as-Salam, 2005), p. 1148

Sementara itu, Sri Krishna bersabda kepada Arjuna dalam kitab suci Bhagavad-gita, canto 4.7-8 disebutkan demikian:

“Yadā yadā hi dharmasya
glānir bhavati bhārata
abhyutthānam adharmasya 
tadātmanam srjāmy aham

paritrānāya sādhūnām 
vināśāya ca duskrtām 
dharma samsthāpanarthāya 
sambavāmi yuge yuge”
(Bhagavad Gītā, 4.7-8).

(“Kapanpun dan dimanapun pelaksanaan Dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan dengan Dharma merajalela – pada waktu itulah Aku sendiri turun menjelma, wahai putera keluarga Bharata (Arjuna). Untuk menyelamatkan orang-orang saleh, membinasakan orang jahat dan untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip Dharma, Aku sendiri muncul pada setiap zaman”, see AC. Bhaktivedanda Swami Prabhupada. Bhagavad-gita Menurut Aslinya (Jakarta: The Bhaktivedanta Book Trust, 1973), pp. 222-224

Dalam teks asli berbahasa Sanskrit, kitab suci Bhagavad-gita menegaskan adanya keberpihakan dan pembelaan Sri Krishna terhadap prinsip Dharma, yang tidak bisa dikompromikan dengan tindakan adharma, demi melindungi para Sadhu (orang Saleh), sebagaimana yang termaktub dalam teks Bahagavad-gita versi bahasa Indonesia. Menariknya, teks Bhagavad-gita versi bahasa Arab, ternyata istilah Dharma dalam bahasa Vedic Sanskrit disepadankan dengan istilah الدين (ad-Din) dalam bahasa Arab, dan istilah adharma dalam bahasa Vedic Sanskrit disejajarkan dengan istilah الكفر (al-Kufr) dalam bahasa Arab, yang artinya “kafir” dalam terjemahan Indonesia. Dalam teks Bhagavad-gita 4.7 versi bahasa Arab disebutkan demikian:

كلما وحيثما هناك انخفاض ممارسة الشعاءر الدينية يا سليل بهرت ويسود الكفر في ذلك الوقت انزل بذاتي.

Lihat karya AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Al-Bhagavad-gita Kama Hiya. Ni’matul Ilahiyyah. (Tel-Aviv, Israel: The Bhaktivedanta Book Trust, 2018), p. 218

In his writings, Srila Prabupada often translates “dharma” simply as “religion” (dalam tulisan-tulisannya, Srila Prabhupada sering menerjemahkan istilah “dharma” secara sederhana sebagai “agama”, lihat AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada dkk. Veda: Secrets from the East. An Anthology (Watford UK: ISKCON Reader Services, 2011), hlm. 358

Begitu juga dalam kitab suci Dhammapada, bab Pandhita Vagga IV. 78-79 Sang Budha juga bersabda mengenai tegaknya prinsip Dhamma, dan bergaul dengan purisuttame (orang baik, orang saleh), dan bukan bergaul dengan purisadhame (orang jahat). Dalam teks Dhammapada bahasa Pali, Sang Budha bersabda demikian:

Na bhaje papake mitte
Na bhaje purisadhame
Bhajetha mitte kalyane 
Bhajetha purisuttame.

Dhammapiti sukham seti
Vippasannena cetasa
Ariyappavedite dhamme
Sada ramati pandhito.

Janganlah berteman dengan teman-teman yang jahat, janganlah bergaul dengan orang-orang jahat; bertemanlah dengan teman-teman yang baik, bergaullah dengan orang-orang baik. Ia yang mengerti Dhamma hidup berbahagia dengan pikiran yang jernih dan tenang. Orang bijaksana selalu berbahagia dalam Dhamma yang telah dibabarkan oleh para Ariya, see R. Surya Widya. Dhammapada. Kitab Suci Agama Buddha. Khudakka Nikaya (Jakarta: Yayasan Abdi Dhamma Indonesia, 2002), pp. 30-31

Dalam kitab suci Dhammapada, Pandhita Vagga IV. 78-79 versi bahasa Jawa dan bahasa Mandarin disebutkan demikian:

Aja kekancan karo wong candhala, , aja kekancan karo wong nistha; ananging srawunga karo wong kang becik bebudine, srawunga karo wong kang luhur bebudene. 
Dheweke kang wawuh Dhamma bakal begja uripe sarta tentrem pikire. Manungsa kang wicaksana tansah suka gembira sajroning ajaran kang kababarake dening Para Minulya.

Mo I ok yu ciau, mo yu pei bii ce, Ing I san yu siau, ing yu kau sa ng sek.
Teh yin fa (swui) che, hsin chin er an lok.

(Lihat Willy S. Kitab Suci Dhammapada (Mojokerto: Maha Wihara Mojopahit, 1989), pp. 78-79

Term “Dharma” dalam bahasa Sanskrit, memang secara filologis sejajar dengan istilah “Religione” dalam bahasa Italia, dan sejajar pula dengan kata “Religion” dalam bahasa Inggris. Itulah sebabnya AC. Bhaktivedanta Srila Prabupada menyatakan: “Dharma translated as “Religion” is intended to mean truly spiritual religion, which is eternal, changeless“, see Veda: Secrets from the East, p.358

Berbeda beda tetapi satu tidak ada dharma yang kedua merupakan arti dari sloka

Dengan demikian, semua kitab suci ada semacam common heritage (warisan bersama) yang kekal abadi, terutama berkaitan dengan prinsip Kebenaran, yakni Dharma dalam bahasa Sanskrit/ Hindi, atau pun Dhamma dalam bahasa Pali, yang sejajar dengan الدين (ad-Din) dalam bahasa Arab, atau pun דינה (Dina) dalam bahasa Aram. Tentu saja tegaknya prinsip Dharma tersebut terkait pula dengan keniscayaaan hadirnya keberadaan orang-orang benar, atau orang-orang saleh, yang disebut dalam berbagai kitab suci dengan sebutan Sadhunam, Purisuttame, As-Shalihun (الصلحون), atau pun Ztadiqim (צדיקים), yang semua istilah yang termaktub dalam kitab-kitab suci tersebut faktanya merujuk kepada “orang-orang benar” yang hidup dalam Kebenaran (Dharma). Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam kitab Mazmur 37:29, see Harav Yosef Yitzhaq. Sefer Tehilim: Ohel Yosef Yitzhaq (Brooklyn: Kehot Publication Society, 1992), p. 46

צדיקים יירשו ארץ וישכנו לעד עליה. תהלים 37:29

“Orang-orang benar mewarisi bumi dan mereka akan tinggal selama-lamanya di bumi” (Tehilim 37:29).

Kitab suci Quran juga menyebutkan ayat yang sejajar, yang meneguhkan pernyataan kitab Mazmur dan sekaligus mengkonfirmasinya, yakni berkaitan dengan keberadaan orang-orang benar, atau pun orang-orang saleh. Qs. Al-Anbiya 21:105 menyebutkan demikian:

ولقد كتبنا في الزبور من بعد الذكر ان الارض يرثها عبادى الصلحون

Ayat ini sekaligus menegaskan bahwa hanya orang-orang saleh saja yang disebut “as-Shalikhun” (الصلحون) yang memiliki karakter kenabian. Itulah sebabnya ayat yang berkaitan dengan “orang-orang saleh” ternyata terletak pada surat Al-Anbiya’ (lit. “Nabi-nabi”). Menariknya, dalam “Serat Wedhatama“, KGPAA Mangkunegara IV juga menyebutkan keberadaan orang-orang benar atau orang-orang saleh tsb. Beliau menulis dalam bentuk tembang, genre Pangkur, larik ke-3 dinyatakan:

Nggugu karsane priyangga,
nora nganggo peparah lamun angling,
lumuh ingaran balilu,
uger guru aleman,
nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun ing samudana, sasadhon ingadu manis

(hanya menuruti kehendak pribadi, tidak memakai aturan jikalau berucap, tidak mau dikatakan tidak cerdas, sukanya selalu disanjung-sanjung, adapun manusia yg sudah memahami pasemon, sesuatu yg disamarkan, maka segala perkataannya akan disamarkan dalam bentuk ungkapan yg utama, yang indah).

Lihat karya Yusro Edy Nugroho. Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respons Pembaca (Semarang: Mimbar – The Ford Foundation, 2001), p. 125.

Istilah “Sasadhon” dalam bahasa Jawa memang berasal dari istilah Sadhu, dari bahasa Kawi (Jawa Kuno), yang ternyata juga diadopsi dari bahasa Sanskrit. Istilah Sadhu dalam bahasa Sanskrit memang bermakna sama dengan istilah Sadhu dalam bahasa Kawi yang berarti “utama”, “mulia”, “berbudi”, atau “baik hati”, see Prof. Dr. S. Wojowarsito. Kamus Kawi – Indonesia (Bandung: CV Pengarang, 1977), p. 229. Dengan demikian, Serat Wedhatama menyuarakan hal yang sama tentang karakter kesalehan seseorang dalam hal mengedepankan keutamaan/ kesucian perkataan dan tindakan, sebagimana karakter seorang Sadhu. Itulah hakekat kemanusiaan kita.

Manu Smrti-Veda dan Hukum Nuh.

Kita semua dari berbagai latar agama yang bermacam-macam, dan kita sebenarnya berasal dari keturunan orang yang saleh, yang naik ke bahtera Nuh. Itulah sebabnya kita dapat berkata: אנחנו בני אב אחד – Anahnu b’nei Av echad (Kita berasal dari Bapa yang satu), yakni Nuh atau Manu, dan dialah sebenarnya nenek moyang kita semua, yang saat itu selamat dari peristiwa banjir besar yang melanda seluruh permukaan bumi, dan semua yang tidak beriman dan melakukan tindakan yang tidak saleh, tak seorang pun diselamatkan, semuanya tenggelam.

Dalam kitab agama Hindu, yakni kitab Manu Smriti-veda yang populer disebut kitab Manawa Dharmasastra, Pratamodyayah. 65 tertulis ayat demikian “Ratrih svapnaya bhutanam cestayai karma yanamahah” (malam untuk beristirahat dan siang untuk bekerja bagi makhluk hidup). Ayat suci Hindu ini ternyata ada kesejajaran dengan Qs. Al-Rum 30:23. Ini adalah kesejajaran antara ayat suci kedua agama besar, yakni Hindu dan Islam.

“Manu Smriti-veda, name of the most important text on the social and religious obligations (dharma) of Hindus. The work was composed in Sanskrit, probably about the first century B.C.E. or first century C.E. and has some 2,685 verses… Almost half the verses of this text attributed to the sage Manu are found also in the Mahabharata’s twelfth and thirteenth books, though it is unclear which text has borrowed from the other”, see Bruce M. Sullivan. The A to Z of Hinduism (New Delhi: Vision Books Pvt. Ltd., 2003), p. 128

Berdasarkan penjelasan Bruce M. Sullivan tersebut di atas, maka kitab Manu Smriti-veda merupakan kitab suci Hindu yang berkaitan dengan kitab hukum yang mengatur persoalan sosial dan kewajiban keagamaan. Menariknya, kitab Manu Smriti-veda ini ternyata ada relasi teks dengan kitab suci Mahabharata. Padahal berdasarkan latar sejarah, peristiwa dan penulisan kitab Mahabharata ternyata jauh lebih tua dibanding latar sejarah kelahiran ketokohan Abraham. Dan ini berarti agama-agama Abrahamik yang merujuk pada 3 agama besar, yakni Yahudi, Kristen dan Islam faktanya memang belum lahir dalam pentas sejarah. Fakta ini akan lebih menarik lagi bila dikaji berdasarkan pembuktian studi manuskrip tertua antara manuskrip berbahasa Ibrani yang secara filologis dapat dibandingkan dengan manuskrip berbahasa Sanskrit. Salah satu fakta tekstual terkait dengan kisah mengenai Abraham dan kisah Nuh yang berkaitan dengan peristiwa banjir besar, ternyata justru termaktub dalam Sefer Bereshit, kitab ini ditemukan di gua Qumran yang disebut sebagai bagian dari the Dead Sea Scrolls. Usia manuskrip Sefer Bereshit atau pun Genesis Apocryphon berdasar calibrated age range melalui uji Carbon-14 sekitar 209 – 117 BCE atau 73 B.C.E – 14 C.E. dan ini ternyata tidak lebih dari the first century BCE. or the first century C.E., see Philip R. Davies. The Complete World of the Dead Sea Scrolls (London: Thames & Hudson Ltd., 2011), p. 74

Kitab Manu Smriti-veda sebagai kitab hukum memang diwahyukan TUHAN dan diterima oleh Manu pasca peristiwa banjir besar yang menenggelamkan seluruh bumi. Manu saat itu mempunyai 3 orang putra; dalam teks Vedic Sanskrit namanya disebut Charma, Sharma, dan Yapeti; dan dalam teks Latin Vulgata – nama mereka disebut dengan nama Cham, Sem, Iapheth. Sementara itu, dalam kitab تنوير المقباس من تفسير ابن عباس (Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni ‘Abbas) nama-nama bertradisi Arya tersebut juga ada kesejajarannya dalam versi tradisi Arab-Islam, yakni حام (Cham), سام (Sam) dan يافث (Yafats). Tatkala membahas teks Quran khususnya ayat dari QS. Hud 11:48 maka Ibnu ‘Abbas berkata:

وكان معه ثلاتة بنين سام وحام ويافث

“Wa kana ma’ahu tsalastah banin Sam, wa Cham wa Yafats” (dan Nuh disertai 3 putranya yakni Sam, Cham dan Yafats), see al-Fayruzabadi (ed.), Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas (Lubnan: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), hlm. 237

Manu diperintahkan TUHAN untuk menaiki bahtera besar sehingga hanya Manu dan orang-orang suci saja yang selamat dari banjir besar tersebut. Peristiwa banjir besar ini merupakan “pralaya” atau “total destruction.” Catatan mengenai peristiwa banjir besar yang melanda seluruh permukaan bumi tersebut diabadikan dalam teks suci Hindu. Hal ini sebagaimana yang tercatat dalam kitab suci Srimad Bhagavatam Purana. I.3.15.

rupam sa jagrhe matsyam
caksusodadhi-samplave
navy aropya mahi-mayyam
apad vaivastavam manum.

“When there was a complete inundation after the period of the Caksusa Manu and the whole world was deep within water, THE LORD accepted the form of a fish and protected Vaivasvata Manu – the father of man, keeping him up on an Ark”, see AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam of Krishna Dvaipayana Vyasa. First Canto. (Mumbai, India: the Bhaktivedanta Book Trust, 1995), pp. 146-147

“Ketika terjadi banjir bandang pasca periode Caksusa Manu dan seluruh dunia tenggelam. Tuhan berinkarnasi sebagai ikan dan melindungi Vaivasvata Manu, dengan menempatkan beliau ke atas kapal.” Lihat AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana). Skanda Satu – Jilid 1 “Ciptaan” (Jakarta: Hanuman Sakti, 2015), hlm. 205-206

Dalam kitab Srimad Bhagavatam Purana VIII.24.41 tertulis demikian:

tata samudra udvelah
sarvatah plavayan mahim
vardhamano maha-meghair
varsadbhih samadrsyata

“Thereafter, gigantic clouds pouring incessant water swelled the ocean more and more. Thus the ocean began to overflow onto the land and inundate the entire world.” see AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam. Eighth Canto-Part Three (New York: the Bhaktivedanta Book Trust, 1976), pp. 253-254.

“Kemudian, awan-awan mahabesar mencurahkan hujan mahadahsyat yang membuat permukaan lautan terus semakin meninggi. Demikianlah kemudian lautan mulai meluap membanjiri daratan di seluruh dunia.” Lihat AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) Skanda VIII Jilid 3 “Peleburan Ciptaan Alam Semesta” (Jakarta: Hanuman Sakti, 2015), hlm. 288.

Itulah sebabnya, kitab hukum yang diterima Manu ini disebut juga kitab Manu Smriti-veda atau disebut kitab Manawa Dharmasastra. Menariknya, nama Manu seakar dengan penyebutan “Man” atau “human” dalam bahasa English, yang satu rumpun dengan bahasa Sanskrit, dan dari istilah Manu inilah kita semua disebut “Manusia”, sebab kita semua adalah keturunan Manu yang selamat dari perisitwa banjir besar tersebut. Menariknya, istilah Manu dalam bahasa Sanskrit bermakna “berpikir” atau “kecerdasan”, dan itulah sebabnya “manusia” dalam dunia filsafat disebut “animale rationale.” Sementara itu, dalam tradisi agama-agama Abrahamic bertradisi Semitik, tokoh Manu ini ternyata sejajar dan identik dengan figur Nuh (نوح) ataupun Noach (נוח), yang juga diperintahkan oleh TUHAN untuk membuat bahtera besar. Pasca peristiwa banjir besar itulah maka akhirnya TUHAN memberikan hukum Nuh (Noach) yang kemudian disebut Noachic Laws, sebagaimana yang tercatat dalam kitab Mishnah, sebagai Torah she be’al phe bagi penganut agama Yahudi.