Bagaimana potret penegakan hukum di Indonesia

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

36 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

Jakarta - Rekaman upaya kriminalisasi terhadap KPK yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK) makin menunjukkan potret penegakan hukum di Indonesia masih buram. Penegakan hukum di negeri yang berlandaskan hukum ini pun terancam. "Ini menggambarkan potret buram hukum kita. Bukan tidak mungkin kasus-kasus lain pun juga banyak yang seperti itu. Kebetulan kasus ini saja yang baru terungkap," kata ahli hukum pidana UGM, Eddy OS Hiariej kepada detikcom, Rabu (4/11/2009). Mafia-mafia peradilan yang selama ini didengungkan oleh para pegiat antikorupsi ini ternyata bukan isapan jempol belaka. Eddy menjelaskan, terungkapnya isi rekaman di MK kemarin semakin meneguhkan, bahwa mafia peradilan masih menjadi ancaman penegakan hukum. "Bahwa yang kita dengungkan apa yang disebut mafia peradilan terbukuti," imbuhnya. Bagaimana menumpas mafia peradilan agar tidak terus membayang-bayangi dunia hukum kita? Eddy meminta agar setiap penyelesaian kasus haruslah dilakukan dengan transparan. Ini penting untuk kembali dilakukan oleh para penegak hukum agar kemungkinan-kemungkinan kecil untuk terjadinya penyelewengan hukum bisa dihindari. "Pengungkapan kasus harus transparan. Bayangkan, seorang buronan dan DPO saja bisa melakukan pertemuan dengan Kabareskrim. Ini bisa terjadi karena pengungkapan kasus tidak transparan," kata pria yang mengajar hukum pidana di FH UGM ini. Apakah para petinggi Polri dan Kejaksaan harus diganti sebagai bentuk tanggung jawab atas kasus ini? "Tidak serta merta kita harus menjustifikasi seperti itu. Kecuali kalau hasil rekaman tersebut telah diselidiki dan memang terbukti," pungkas Eddy.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

(anw/iy)



Hukum merupakan sebuah produk budaya. Bahkan hukum dianggap sebagai benda mati, yang tiada artinya jika tak dibuat dengan kesadaran akan urgensi dan ketulusan untuk melaksanakannya. Hukum hanya akan jadi lelucon dan lawakan apabila yang membuatnya menjadi pelanggar hukum nomor satu, dan yang melaksanakannya adalah bangsa tak berbudaya hukum. Suatu aturan hukum tidak dapat dilepas dari aspek manusia. Bahkan ia sesungguhnya berpusat pada manusia, karena esensi dan eksistensinya berpusat pada manusia.

Namun apabila kita melihat kenyataan yang terjadi di masyarakat budaya hukum yang diidamkan ternyata masih jauh dari apa yang diharapkan melihat kurangnya kesadaran masyarakat terkait dengan hukum itu sendiri, ini bisa kita lihat dimana masyarakat masih cenderung untuk melakukan pelanggaran hukum dengan sengaja, selain itu masyarakat masih tidak suka menyelesaikan perkara atau membawa kasus yang dihadapinya ke pengadilan karena hal itu hanya akan menamba kerugian melalui pungutan-pungutan yang tidak jelas, bahkan pemerasan-pemerasan.

Masyarakat tidak suka berperkara di pengadilan bukan karena adanya kesadaran budaya bahwa diselesaikan secara kekeluargaan diluar pengadilan jauh lebih baik, melainkan karena mereka tak percaya pada proses penegakan hukum dan para penegak hukumnya. Bahkan masyarakat juga menjadi alergi dan takut untuk berhubungan dengan penegak hukum seperti: polisi, jaksa, pengacara dan hakim meskipun mengahadapi kasus yang seharusnya dapat diselesaikan secara hukum.

Menyelesaikan secara damai diluar pengadilan memang sangat dianjurkan karena lebih baik daripada berperkara di pengadilan. Tetapi hal itu akan menjadi betul-betul baik jika dilakukan karena kesadaran. Dalam hal penghindaran untuk berperkara di pengadilan itu, yang terjadi di dalam masyarakat bukan karena budaya hukum yang berkembang baik, tetapi karena tidak ada kepercayaan msyarakat kepada lembaga peradilan yang sering diidentikkan dengan "ternpat jual-beli keadilan”


Kondisi Hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik daripada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang berkaitan dengan penegakkan hukum , kesadaran hukum, kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungnya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan.

Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil.

Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan . Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat hukum yang morat-marit. Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini.

#TugasISBD13

etua Ombudsman RI, Mokhammad Najih menyampaikan paparan terkait Potret Penegakan Hukum bagi Penegak Hukum di Indonesia.


SHARE

JAKARTA - Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih menyampaikan paparan terkait Potret Penegakan Hukum bagi Penegak Hukum di Indonesia. Hal ini disampaikan Najih saat menjadi narasumber dalam kegiatan Seminar Nasional "Penegak Hukum: Bagi Penegak Hukum" yang dilakukan secara daring pada Jumat (30/7/2021).

Najih menyampaikan setidaknya ada tiga problematika penegakan hukum di Indonesia. Diantaranya latar belakang historis, yakni warisan sistem hukum barat yang diadopsi menjadi sistem hukum nasional dan seringkali menggerus nilai otentik hukum bangsa. Selain itu dominasi paradigma positivisme hukum terutama pada penegakan hukum dan patologi penegakan hukum atau hukum yang ditegakkan secara tekstual, mekanistik, serta bebas nilai menjadi problem dalam penegakan hukum.

Berdasarkan data jumlah laporan di Ombudsman RI diketahui bahwa pada tahun 2016-2020, Kepolisian, Peradilan, Komisi/Lembaga Negara, Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarakatan menjadi urutan subtansi terkait penegakan hukum tertinggi yang dilaporkan.

Sedangkan di tahun 2020, dari total 1.120 laporan yang masuk ke Ombudsman RI, Kepolisian menempati peringkat Terlapor Lembaga Penegak Hukum tertinggi (699) disusul Peradilan (284) dan Kejaksaan (82).

"Pada substansi Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, masyarakat paling banyak melaporkan tentang dugaan penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, dan tidak memberikan pelayanan," jelas Najih.

"Untuk Kepolisian, pokok permasalahan yang mendominasi yaitu pada proses penyelidikan, penyidikan seperti penetapan tersangka, DPO, visum, serta labkrim," lanjutnya.

Najih juga menyampaikan bahwa pada Kejaksaan, laporan yang banyak dilaporkan adalah terkait kesewenangan dalam proses penyidikan/penuntutan, pelanggaran kode etik dan penundaan berlarut dalam proses eksekusi. Sedangkan di Pengadilan terkait salinan putusan, administrasi upaya hukum dan eksekusi putusan.

Kegiatan ini diisi oleh Fachrizal Afandi, Dosen Hukum Pidana FK Hukum Universitas Brawijaya dan Ahmad Riyadh, Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo sebagai narasumber dan diikuti oleh 215 peserta. (mim)


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA