Bagaimana PERUBAHAN SOSIAL dapat Mempengaruhi makanan dan kesehatan seseorang

Mengapa kebiasaan makan kita bisa dipengaruhi media sosial?

Bagaimana PERUBAHAN SOSIAL dapat Mempengaruhi makanan dan kesehatan seseorang

Sumber gambar, Westend61/Getty

Seiring menyongsong tahun yang baru, Anda mungkin membuat resolusi untuk diet. Karena itu penting untuk mengetahui bagaimana gambar-gambar makanan di media sosial memengaruhi pilihan makanan Anda.

Banyak dari kita cukup beruntung bisa memilih, sampai tingkat tertentu, apa yang kita makan.

Ketika kita membuka lemari es atau menelusuri rak-rak di supermarket, ada banyak pilihan yang tersedia bagi kita.

Tetapi apakah keputusan yang kita buat tentang makanan kita benar-benar berasal dari diri kita sendiri - rasa lapar kita dan pilihan yang kebetulan ada di depan mata?

Bagaimana bila ada hal lain yang memengaruhi apa yang kita makan?

Coba buka situs media sosial seperti Instagram, Twitter atau Facebook, dan Anda akan menemukan gambar demi gambar makanan yang disajikan dengan sempurna dan kelihatan sangat lezat.

Apakah gambar-gambar itu memberi dampak lebih dari sekadar pemuas mata?

Sudah jelas bahwa kita sangat dipengaruhi oleh orang lain - terutama orang-orang terdekat - dalam memilih apa yang kita makan.

Penelitian telah menemukan bahwa semakin dekat dan kuat hubungan antara dua orang, semakin besar pengaruh mereka atas pilihan makanan masing-masing.

Baca juga:

  • Apa yang membuat sebuah resep makanan menjadi viral?
  • Bagaimana tagar 'foodporn' berpengaruh pada bisnis kuliner
  • Bagaimana media sosial membentuk bias dan membuat kita boros

"Banyak isyarat [sosial] dalam interaksi tatap muka berkaitan dengan siapa lawan bicara kita," kata Solveig Argeseanu, profesor kesehatan global dan epidemiologi di Emory University di Atlanta, Georgia, AS.

"Ini lebih tentang hubungan saya dengan orang itu, dan bagaimana saya membandingkan diri saya dengan dia.

"Jika saya pikir orang yang bersama saya lebih menarik atau populer, saya cenderung ingin lebih banyak meniru mereka. "

Ini bisa berarti lingkaran sosial kita dapat mendorong kita untuk makan lebih banyak, Argeseanu menambahkan.

Meskipun, menurut penelitian, berada di sekitar orang-orang dengan pola makan sehat dapat mendorong Anda untuk makan lebih sehat juga.

Kebiasaan makan kita juga dipengaruhi oleh apa yang kita lihat.

Para ilmuwan berkata kita lebih menyukai protein yang "meleleh" -- kuning telur setengah matang atau keju mozzarella leleh, misalnya.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

Ada kekhawatiran bahwa unggahan media sosial tentang makanan padat gula dan lemak dapat mendorong orang-orang untuk memilih makanan yang tidak sehat.

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca

Podcast

Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

"Ada beberapa bukti bahwa, jika Anda melihat gambar makanan, stimulasi visual itu dapat membuat Anda merasakan keinginan untuk makan," kata Suzanne Higgs, profesor psikobiologi nafsu makan di University of Birmingham, Inggris.

Meskipun, katanya, tindak lanjut keinginan itu dipengaruhi oleh banyak faktor lain, seperti makanan yang tersedia pada saat itu.

Namun media sosial adalah tempat isyarat visual dan sosial bertemu.

Ada bukti ilmiah yang kuat bahwa jika teman-teman di jejaring sosial Anda secara teratur membuat unggahan mengenai jenis makanan tertentu, itu dapat membuat Anda meniru mereka, baik atau buruk.

Dan penelitian menunjukkan bahwa media sosial mungkin mengubah hubungan kita dengan makanan, serta cara kita berpikir tentang makanan.

"Jika semua teman Anda di media sosial mengunggah foto diri mereka mengonsumsi makanan cepat saji, itu akan membuat Anda berpikir bahwa makan makanan cepat saji itu biasa," kata Higgs.

Baca juga:

  • Perangi kebiasaan buang-buang makanan, China pasang peringatan di video mukbang
  • Pria di China dilarang masuk restoran makan sepuasnya karena 'makan terlalu banyak'
  • Haruskah kita makan seperti orang Jepang agar panjang umur?

Penelitian menunjukkan kita lebih mungkin berinteraksi (menyukai, memberi komentar) dengan foto-foto makanan cepat saji, kata Ethan Pancer, profesor pemasaran di Saint Mary's University di Halifax, Nova Scotia, Kanada.

Hal ini terutama berlaku untuk makanan berlemak jenuh, yang enak dilihat karena membuat tubuh kita melepaskan dopamin dan merangsang pusat kesenangan di otak.

Manusia secara biologis terprogram untuk mencari makanan padat kalori - kemampuan yang membantu nenek moyang kita bertahan hidup di tengah kelangkaan makanan.

Sumber gambar, Oscar Wong/Getty

Keterangan gambar,

Para ilmuwan semakin khawatir bahwa konten yang berhubungan dengan makanan di media sosial mengubah cara kita berpikir tentang makanan.

"Menurut psikologi evolusi, orang bisa merasa senang hanya dengan melihat makanan-makanan ini, dan dengan demikian lebih banyak berinteraksi dengannya," kata Pancer.

Belum lagi, makanan sehat sering kali dipandang membosankan dibandingkan makanan olahan yang terkesan lebih "keren", kata Tina Tessitore, profesor pemasaran di Institut d'Économie Scientifique Et de Gestion (IESEG) School of Management di Lille, Prancis.

"Dalam iklan, Anda melihat makanan tidak sehat dalam aktivitas-aktivitas sosial - pesta barbekiu bersama teman-teman, misalnya, sementara makanan sehat lebih sering diperlihatkan dengan fokus pada nilai gizinya.

"Jika Anda melihat sekawanan orang makan salad bersama, itu tidak akan terlihat kredibel," ujarnya.

Para ilmuwan semakin khawatir bahwa konten yang berhubungan dengan makanan di media sosial mengubah cara kita berpikir tentang makanan.

Algoritma media sosial mempromosikan konten yang paling banyak mendapat respons atau engagement dari pengguna, sehingga lebih banyak makanan tidak sehat yang muncul di linimasa kita, kata Pancer.

"Karena makanan yang tidak sehat lebih banyak menghasilkan engagement dan menjangkau lebih banyak orang, para produser konten bisa jadi perlahan-lahan menggeser konten mereka ke arah tidak sehat supaya tetap kompetitif," ujarnya.

"Dan karena lebih banyak terpapar makanan yang tidak sehat, persepsi konsumen tentang apa yang dianggap sebagai kebiasaan makan yang normal dapat condong ke tidak sehat."

Sebuah studi memperkirakan bahwa anak-anak dan remaja melihat iklan makanan antara 30 dan 189 kali per minggu di aplikasi media sosial, sebagian besarnya memasarkan makanan cepat saji dan minuman bergula.

Tapi tidak cuma iklan dari industri makanan - kita semua dapat memengaruhi orang lain lewat dunia maya.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

Mengunggah tentang makanan di media sosial telah menjadi fenomena yang begitu besar sehingga beberapa orang menjadikannya sebagai mata pencaharian mereka.

"Ketika kita memikirkan iklan, kita berpikir tentang industri yang berusaha mempromosikan suatu produk, tetapi influencer (pemengaruh) dapat bekerja dengan cara yang sama," kata Patricia Cavazos, profesor psikiatri di Washington University School of Medicine, di St. Louis, Missouri, AS.

"Konten di media sosial dari kawan sebaya sangat berpengaruh [pada pikiran], dalam hal apa yang kita anggap relevan dan menarik, serta norma sosial tentang bagaimana kita berperilaku."

Akan jadi berbahaya, kata Cavazo, jika konten yang dilihat orang-orang melanggengkan citra tubuh yang tidak sehat, misalnya.

"Beberapa dari kita tidak begitu terpengaruh oleh konten, tetapi bagi orang lain yang sudah berisiko dan barangkali mengalami gejala gangguan makan, melihat lebih banyak konten yang menormalkan pola makan yang tidak sehat dapat mendorong seseorang untuk mengadopsi perilaku yang tidak sehat juga."

Namun meskipun banyak studi telah menemukan bahwa media sosial dapat mengubah cara kita berpikir tentang makanan, dan bahwa kita biasanya lebih banyak berinteraksi dengan konten yang menampilkan makanan tidak sehat, belum jelas apakah ini benar-benar mengakibatkan perubahan dalam perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari.

"Jika saya membuka Instagram, melihat foto-foto makanan lezat, apakah saya akan benar-benar mencari makanan itu atau tidak tergantung seberapa laparkah saya saat itu, dan apakah saya bisa melakukannya," kata Higgs.

Dan ketika kita makan, kita tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang kita lihat online, imbuhnya.

Sumber gambar, Alexander Spatari/Getty

Keterangan gambar,

Ada orang yang lebih suka melihat makanan, misalnya, berarti otaknya mengirimkan sinyal kesenangan setelah mereka melihat makanan tertentu, kata Atkinson.

"Penelitian menunjukkan bahwa, ketika membuat keputusan tentang apa dan seberapa banyak yang kita makan, kita menggabungkan potongan-potongan informasi yang berbeda," kata Higgs. "Pengaruh-pengaruh sesaat menyatu dengan cara yang tidak benar-benar kita pahami."

Penelitian telah menemukan bahwa pengaruh-pengaruh tersebut dapat meliputi tingkat pengetahuan gizi, bentuk tubuh ideal, keterampilan memasak, dan biaya.

Dan meskipun para peneliti bisa dengan mudah mengenali pengaruh media sosial pada pola makan kita, ada lebih banyak hal di kehidupan nyata yang tidak dapat diamati oleh penelitian, kata Higgs.

"Mungkin bagi beberapa orang dalam situasi tertentu media sosial bisa menjadi faktor dominan yang mempengaruhi perilaku mereka, tetapi itu hanya salah satu faktor," imbuhnya.

Pengaruh media sosial juga bervariasi pada tiap individu, kata Melissa Atkinson, seorang dosen psikologi di University of Bath, Inggris.

"Ada banyak perbedaan individu dalam cara kita menanggapi gambar-gambar di media sosial, dalam proses biologis dan psikologis kita," ujarnya.

Ada orang yang lebih suka melihat makanan, misalnya, berarti otaknya mengirimkan sinyal kesenangan setelah mereka melihat makanan tertentu, kata Atkinson.

Orang-orang ini lebih mungkin merespons isyarat makanan di mana pun mereka menemukannya.

Tetapi bahkan tanpa jawaban pasti, para peneliti mencari berbagai cara untuk membuat media sosial memengaruhi pola makan kita secara positif.

Tessitore, misalnya, menemukan cara untuk membuat makanan yang lebih sehat tampak lebih menarik di media sosial.

Dia membuat dua halaman Twitter yang identik, namun berbeda dalam satu hal - satu akun memiliki 23 pengikut, sementara yang lain memiliki lebih dari 400.000.

Kedua akun tersebut menerbitkan twit yang sama tentang makanan sehat.

Dia menunjukkan peserta ke salah satu akun secara acak, dan setelah itu ketika ditanya seberapa besar mereka ingin makan salad, mereka yang melihat akun dengan lebih banyak pengikut lebih cenderung ingin makan salad.

Ini karena semakin kita menganggap seseorang punya pengaruh, semakin besar kemungkinan kita dipengaruhi oleh mereka, kata Tessitore.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

Meskipun gambar makanan dapat memengaruhi apa yang kita makan, ada isyarat-isyarat lain yang efeknya lebih kuat.

Meskipun temuan ini tidak mencerminkan kenyataan, di mana kita biasanya terpapar beberapa aliran informasi, gambar dan twit, kita masih akan memperhatikan dan memproses berapa banyak pengikut yang dimiliki sebuah akun Twitter, kata Tessitore, jadi kemungkinan besar efeknya akan sama.

Tapi saat ini, masih sulit untuk mendorong orang-orang makan lebih sehat dengan unggahan tentang salad dan menjauhkan mereka dari gambar-gambar protein leleh yang menggiurkan.

"Kita melawan bertahun-tahun evolusi di sini," kata Pancer. "Ada alasan mengapa kita berevolusi untuk mencari makanan padat kalori dalam kondisi kelangkaan makanan.

"Tapi memakan makanan yang membuat kita senang itu salah - sekarang kita perlu menemukan cara untuk mengkalibrasi ulang ini."

Pancer menemukan dalam penelitiannya bahwa, segera setelah kita mengungkap mengapa melihat foto burger dan keripik terasa enak, efek perasaan-baik itu hilang.

Dengan kata lain - jika kita memahami bahwa kita secara biologis diprogram untuk merasa senang ketika kita melihat foto burger, mungkin kita bisa menjadi lebih kebal dari pengaruhnya.

Dalam sebuah penelitian, ia dan timnya meminta peserta untuk menonton salah satu dari dua video, satu dengan makanan rendah-kalori dan satu dengan makanan padat kalori.

Mereka yang menonton lebih banyak makanan padat kalori merasa lebih positif setelahnya.

Sumber gambar, Westend61/Getty

Keterangan gambar,

Tetapi pada akhirnya, setelah kita menutup media sosial, pengaruh-pengaruh di dunia nyata pada apa dan bagaimana kita makan masih jauh lebih kuat, kata para ahli.

Pada bagian kedua penelitian, dia mengatakan kepada peserta bahwa perasaan mereka tidak dipengaruhi oleh makanan yang akan mereka lihat, tetapi oleh suara frekuensi rendah yang membangkitkan suasana hati, namun tidak terdengar oleh telinga manusia, sedangkan kelompok kedua tidak diberi tahu demikian.

Para peneliti kemudian memperlihatkan video lagi.

Mereka yang menonton video makanan padat kalori dan telah diberitahu tentang suara itu tidak lebih mungkin melaporkan bahwa mereka akan berinteraksi dengan video tersebut di media sosial.

Tetapi pada akhirnya, setelah kita menutup media sosial, pengaruh-pengaruh di dunia nyata pada apa dan bagaimana kita makan masih jauh lebih kuat, kata para ahli.

"Saya perkirakan bahwa isyarat makanan akan lebih kuat ketika bertemu langsung," kata Argeseanu.

"Kita tidak berinteraksi dengan cara yang sama ketika melihat foto, dan kita tidak berinteraksi lama.

"Juga, beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika kita melihat banyak foto, perlahan-lahan pengaruhnya berkurang - kita mulai merasakan sesuatu yang terasa seperti kenyang, seolah-olah kita sudah memakan semuanya. "

Tetapi setidaknya jika Anda hanya menikmati makanan-makanan itu di Instagram, Anda tidak perlu melonggarkan ikat pinggang.

--

Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini di BBC Future.