Bagaimana cara mengajukan kepada polisi tentang penemaran nama baik


Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) banyak aduan dan laporan ke Kepolisian dengan menggunakan UU ITE.

Dilansir dari tirto.id dalam artikelnya yang berjudul “Betapa Kecilnya Peluang untuk Lepas dari Jerat UU ITE”, dari data yang dihimpun sejak pertama kali munculnya UU ITE pada tahun 2008 hingga 26 Juni 2018 terdapat beberapa laporan dan aduan terkait kasus UU ITE, dan puncaknya pada tahun 2016 dengan 83 laporan. 1

Masih dilansir dari artikel yang sama, terdapat sekiranya 6 (enam) pasal yang digunakan oleh Pelapor. Yaitu Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 29 UU ITE. Selain menggunakan pasal-pasal di UU ITE, Pelapor juga melaporkan Terlapor dengan pasal-pasal yang terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yaitu Pasal 156 KUHP, Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. 2

Sejak 2008 hingga akhir 26 Juni 2018, sebanyak 49,72 persen pasal yang dipakai sebagai dasar pelaporan adalah Pasal 27 UU ITE ayat (3) yang mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik. 3

Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal terbanyak kedua yang dipakai sebagai jerat hukum adalah Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP dengan total 74 kali digunakan atau sebanyak 20,9 persen. Pasal ini mengatur soal penghinaan terkait dengan kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.

Pasal 310 KUHP menyatakan:

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Pasal 311 KUHP menyatakan:

(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitna h dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan Pasal 35 No. 1 – 3 dapat dijatuhkan.

Ketiga terbanyak adalah Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang digunakan sebanyak 60 kali atau sebanyak 16,95 persen. Pasal ini mengatur setiap orang untuk tidak menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). 4

Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyatakan:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Setelah Pasal-Pasal di atas, masih ada beberapa Pasal lain yang cukup banyak digunakan dalam laporan polisi. Antara lain Pasal 156 KUHP 5 dengan 2,82 persen, Pasal 29 UU ITE 6 sebanyak 2,26 persen, Pasal 27 ayat (1) 7 UU ITE 1,13 persen, dan pasal-pasal lainnya sebanyak 6,21 persen. 8

Pasal-pasal mengenai pencemaran nama baik yaitu Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 310 KUHP dikategorikan sebagai Delik Aduan. Perbedaan antara delik aduan dan delik biasa menurut Drs. P.A.F. Lamintang, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia adalah:

“Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.”

Pasal-pasal yang dapat tergolong sebagai Delik Aduan di KUHP selain Pasal 310 KUHP antara lain adalah Pasal 322, Pasal 332, dan Pasal 369.

Selain itu yang perlu diperhatikan adalah masalah daluwarsa, di dalam UU ITE sendiri tidak terdapat ketentuan daluwarsa baik dalam mengadukan atau melaporkan tindak pidana maka dari itu perlu di lihat ketentuannya di KUHP.

Dalam Pasal 74 KUHP diatur bahwa:

(1) Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.

(2) Jika yang terkena kejahatan berhak mengadu pada saat tenggang waktu tersebut dalam ayat 1 belum habis, maka setelah saat itu, pengaduan masih boleh diajukan hanya selama sisa yang masih kurang pada tenggang waktu tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jangka waktu untuk mengadukan atau melaporkan suatu tindak pidana pencemaran nama baik adalah 6 (enam) bulan jika bertempat tinggal di Indonesia, sedangkan untuk yang bertempat tinggal di luar Indonesia adalah 9 (sembilan) bulan.

Semoga bermanfaat,

LinkedIn: FJP Law Offices | Facebook: @FJPLaw | Instagram: @fredrik_jp


Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. yang dipublikasikan pertama kali pada 27 Desember 2018.

Implikasi Laporan atas Tindak Pidana

Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan laporan dugaan tindak pidana.

Menurut Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Pada dasarnya, setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.[1]

Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.[2] Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.[3]

Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.[4]

Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut hemat kami, surat laporan kepolisian yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah surat tanda penerimaan laporan.

Kemudian, perlu dipahami bahwa hukum Indonesia mengenal asas praduga bersalah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Asas praduga tak bersalah tersebut tentunya berlaku juga terhadap seorang terlapor yang namanya dicantumkan di surat tanda penerimaan laporan yang belum ditetapkan menjadi tersangka ataupun terdakwa, ia harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Baca juga: Konsekuensi Jika Melaporkan Orang sebagai Pelaku Tindak Pidana

Pencemaran Nama Baik di Facebook

Secara garis besar, mengenai pencemaran nama baik di Facebook diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”):

Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Bagi yang melanggar, diancam pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.[5]

Untuk dapat dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE, terdapat pedoman yang dapat diperhatikan aparat penegak hukum sebagaimana diatur Lampiran Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 219, 154, dan KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Impelementasi Atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (hal. 9 - 14), di antaranya yaitu:

  1. Muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”). Adapun Pasal 310 KUHP merupakan delik menyerangkan kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui umum. Sedangkan Pasal 311 KUHP itu perbuatan menuduh seseorang yang tuduhannya diketahui tidak benar oleh pelaku.
  2. Bukan delik pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE jika muatan yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas. Terhadap perbuatan tersebut, dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan sebagaimana diatur Pasal 315 KUHP.
  1. Bukan delik yang berkaitan dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jika muatan atau konten tersebut berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan.
  1. Dalam hal fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum, maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya sebelum aparat penegak hukum memproses pengaduan atas delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik UU ITE.
  1. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan absolut, sehingga harus korban sendiri yang mengadukan kepada aparat penegak hukum, kecuali korban masih di bawah umur atau dalam perwalian.
  1. Unsur “supaya diketahui umum” dapat dipersamakan dengan “agar diketahui publik”, yang dimaknai sebagai kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal, harus terpenuhi.
  1. Kriteria “diketahui umum” bisa berupa unggahan pada akun sosial media dengan pengaturan bisa diakses publik, unggahan pada grup yang bersifat terbuka di mana siapapun dapat bergabung, serta lalu lintas isi/informasi tidak ada yang mengendalikan tanpa ada moderasi tertentu (open group).

Dari pedoman di atas, maka sebelum perbuatan si pengunggah surat tanda penerimaan laporan dapat diproses hukum atas dasar pasal UU ITE di atas, harus dibuktikan terlebih dahulu kebenaran atas perbuatan yang dituduhkan kepada istri Anda. Maka dari itu, yang akan diperiksa terlebih dahulu adalah perkara penipuan arisan online.

Jika tuduhan tersebut tidak benar, maka istri Anda selaku korban dapat mengadukan perbuatan si pengunggah/pelapor atas tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Tapi perlu dicatat, jika konten yang diunggah tersebut hanya sebatas berisi informasi bahwa si pengunggah/pelapor telah melaporkan istri Anda atas dugaan tindak pidana penipuan arisan online, maka menurut kami perbuatan ini tidak bisa dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE, karena konten yang diunggah berupa kenyataan.

Lain halnya jika konten tersebut mengandung penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, maka si pengunggah/pelapor dapat dijerat atas penghinaan ringan sebagaimana diatur Pasal 315 KUHP.

Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, istri Anda selaku korban tetap berhak mengadukan persoalan tersebut kepada pihak kepolisian. Namun, pengaduan tersebut baru dapat diproses setelah perkara penipuan arisan online diproses hukum.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

[1] Pasal 108 ayat (1) KUHAP

[2] Pasal 108 ayat (4) KUHAP

[3] Pasal 108 ayat (5) KUHAP

[4] Pasal 108 ayat (6) KUHAP

[5] Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016