Badai siklon merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim yang disebabkan oleh

SAAT ini sebagian besar wilayah Indonesia sudah memasuki masa peralihan antara musim hujan menuju musim kemarau. Analisis dinamika interaksi atmosfer-laut menunjukkan La Nina masih berlangsung hingga Mei 2021 meskipun dengan intensitas lebih lemah dari sebelumnya, juga dengan kecenderungan akan melemah menjadi netral.

Faktor penggerak cuaca yang dominan pada masa peralihan ini lebih cenderung berasal dari faktor lokal yang memberi dampak tehadap kondisi cuaca pada skala lokal. Kondisi cuaca pada skala lokal tersebut mencakup wilayah yang tidak terlalu luas, durasi yang tidak lama, dan frekuensi yang tidak sering. Berdasarkan statistik, hujan lebat yang terjadi saat masa peralihan justru sering disertai kilat/petir, angin kencang berdurasi singkat, bahkan mengakibatkan angin puting beliung dan hujan es.

Meskipun faktor penggerak pada skala lokal mendominasi pembentukan cuaca pada masa peralihan, fenomena cuaca pada skala regional juga masih berpengaruh signifikan. Hal itu terjadi karena masih labilnya kondisi atmosfer di Indonesia yang dapat memengaruhi pola-pola cuaca pada skala regional. Salah satu fenomena yang memengaruhi kondisi cuaca pada skala regional tersebut ialah siklon tropis Seroja di sekitar Rote, Nusa Tenggara Timur.

Faktor penyebab

Secara umum, penyebab terbentuknya siklon tropis ialah hangatnya suhu muka laut di atas suatu wilayah perairan melebihi 26,5 derajat celsius, kelembapan udara cukup tinggi, dan kecepatan angin secara vertikal yang lemah. Untuk dapat berotasi, maka pembentukan bibit siklon tropis memerlukan gaya Coriolis. Gaya Coriolis di dekat ekuator nilainya mendekati 0 (nol) sehingga bibit siklon tropis terbentuk di wilayah pada jarak lebih dari 500 kilometer dari ekuator.

Siklon tropis Seroja pertama kali terpantau pada Jumat, 2 April 2021, di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur, dengan tekanan terendah 1.004 mb, bergerak ke timur tenggara sebagai bibit siklon tropis 99S. Pada Sabtu, 3 April 2021, bibit itu berada di Laut Timor sebelah barat daya Pulau Timor yang merupakan lingkungan yang mendukung untuk tumbuhnya bibit siklon tersebut.

BMKG sebagai Tropical Cyclone Warning Centre (TCWC) Jakarta bertugas memantau pertumbuhan bibit siklon yang berada di wilayah pemantauan TCWC Jakarta. Bibit Siklon tropis 99S kemudian meningkat intensitasnya hingga masuk ke kategori siklon tropis ketika berada pada wilayah tanggung jawab TCWC Jakarta sehingga diberi nama ‘Seroja’ oleh TCWC Jakarta pada 5 April 2021 pukul 01.00 WIB.

Posisi Siklon Tropis Seroja saat pertama kali terbentuk ialah pada koordinat 10.0 LS dan 127.7 BT dengan kecepatan angin maksimum 35 knot dan tekanan di pusat Siklon 994 hPa, serta pergerakan ke barat-barat daya dengan kecepatan 8 knot. Analisis terakhir (5 April 2021 pukul 13.00) menunjukkan posisi Siklon Tropis Seroja berada pada 10.7 LS 121.9 BT dengan kecepatan angin 45 knots (85 km/jam) dan tekanan di pusat siklon sebesar 989 hPa, dengan arah gerak ke barat daya menjauhi Indonesia.

Siklon Tropis Seroja memberikan dampak terhadap cuaca di Indonesia, yakni pertama, berupa hujan dengan intensitas sedang hingga sangat lebat disertai kilat/petir serta angin kencang di wilayah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, dan intensitas sedang hingga lebat disertai kilat/petir serta angin kencang di wilayah Bali, Sulawesi Selatan dan sebagian Sulawesi Tenggara.

Kedua, gelombang laut dengan tinggi 2.5 – 4.0 m berpeluang terjadi di wilayah Selat Bali - Lombok - Alas - Sape bagian selatan, Selat Sumba, Selat Ombai, Perairan Kep Flores, Laut Flores. Ketiga, tinggi gelombang 4.0 - 6.0 m berpeluang terjadi di wilayah Laut Sawu, Perairan Kupang – P Rotte, Laut Timor selatan NTT, Samudra Hindia selatan Bali. Keempat, gelombang laut dengan tinggi > 6.0 m berpeluang terjadi di wilayah Samudra Hindia selatan NTB hingga NTT.

BMKG melalui TCWC Jakata telah memberikan peringatan dini terkait Siklon Tropis Seroja sejak pertama kali terindentifikasi sebagai bibit Siklon 99S tanggal 2 April 2021 yang lalu.

BMKG juga mengeluarkan press release terkait 99S untuk memberikan kewaspadaan kepada daerah terdampak dengan memberikan informasi potensi kejadian ekstrem yang dapat terjadi. Keseluruhan produk pemantauan dan peringatan dini itu diperbarui setiap hari oleh prakirawan BMKG dan didesiminasikan melalui berbagai platform informasi BMKG dan ke stakeholder terkait, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Kejadian Siklon Tropis di posisi lintang rendah dekat ekuator sejak seperti di wilayah Indonesia dan ASEAN selama 10 tahun terakhir ini tampaknya semakin meningkat. Pada November 2017, tercatat dua kejadian Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia di Samudra Indonesia dalam waktu kurang dari 10 hari.

Data BMKG juga menunjukkan terjadinya peningkatan suhu udara dan muka air laut di wilayah Kepulauan Indonesia secara signifikan selama 30 tahun terakhir sebagai akibat dari peningkatan gas rumah kaca (terutama emisi CO2 di udara yang dapat pula diabsorb oleh Laut) dan berujung pada pemanasan global ataupun lokal. Hal tersebut tampaknya korelatif dengan semakin seringnya kejadian Siklon Tropis.

Dengan meningkatnya kejadian Siklon Tropis ini, BMKG TCWC terus selalu memonitor dan mendeteksi dini potensi prmbentukan dan perkembangan SiklonTropis di wilayah Indonesia agar dapat sedini mungkin disampaikan kepada masyarakat, pemerintah daerah, dan pihak terkait di daerah terdampak.

Home Internasional Asia Pasifik

CNN Indonesia

Rabu, 13 Okt 2021 16:21 WIB

Badai siklon merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim yang disebabkan oleh

Foto ilustrasi banjir di China. (AFP/STR)

Jakarta, CNN Indonesia --

Efek perubahan iklim yang terjadi di dunia semakin menampakkan 'wajah beringas' dalam 10 tahun terakhir. Beberapa negara diterjang badai, siklon tropis, maupun banjir yang kian parah diduga akibat perubahan iklim.

Berita bencana alam juga kerap memenuhi media massa akhir-akhir ini. Sebut saja badai Kompasu di Filipina, hujan lebat di China, dan banjir di Thailand.

Sekitar sembilan orang tewas dan 11 orang lainnya dinyatakan hilang akibat Badai Kompasu yang memicu hujan lebat di Filipina pada Senin (11/10). Badai tropis yang membawa curah hujan lebat itu pun membanjiri desa-desa hingga memicu tanah longsor.


Di China, setidaknya 15 orang tewas akibat hujan lebat yang memicu banjir dan merendam Provinsi Shanxi.

"Lima belas orang tewas akibat bencana itu dan tiga orang lainnya masih hilang," ujar salah satu pejabat manajemen darurat setempat, Wang Qirui, seperti dikutip AFP, Selasa (12/10).

Selain itu, Wang juga mengatakan bahwa sekitar 19 ribu bangunan hancur akibat cuaca ekstrem ini. Sementara itu, 18 ribu bangunan lainnya rusak parah.

Di Thailand, setidaknya enam orang tewas dan 70 ribu rumah warga di negara itu terendam banjir akibat Badai Dianmu.

Departemen Pencegahan dan Mitigasi Bencana Thailand melaporkan bahwa keenam orang yang tewas itu tersebar di sejumlah provinsi.

Badai Dianmu memang menyebabkan banjir di setidaknya 30 provinsi di Thailand. Menurut departemen tersebut, daerah ibu kota negara menjadi kawasan yang terkena dampak paling parah.

Perubahan iklim yang terjadi membuat badai, banjir, dan hujan yang terjadi di Bumi semakin parah.

Mengutip New York Times, para ilmuwan mengatakan bahwa suhu permukaan Atlantik yang luar biasa hangat telah membantu meningkatkan aktivitas badai.

"Sangat mungkin bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia berkontribusi pada lautan yang hangat secara anomali itu," kata Ilmuwan Iklim di National Oceanic and Atmospheric Administration, James P. Kossin.

"Perubahan iklim membuat badai lebih mungkin berperilaku dengan cara tertentu."

Perubahan iklim menyebabkan angin yang dibawa badai menjadi lebih kencang. Angin yang lebih kencang ini menyebabkan lebih banyak kabel listrik yang putus, atap yang rusak dan, jika dipasangkan dengan naiknya permukaan laut, banjir pantai yang lebih buruk.

Tak hanya itu, badai yang terjadi juga dapat membawa curah hujan yang lebih tinggi. Penyebabnya, pemanasan global meningkatkan jumlah uap air yang dapat ditampung oleh atmosfer.

Kossin juga menyampaikan badai saat ini dapat terjadi lebih lama. Badai yang lebih lambat dan lebih basah juga memperburuk banjir. Kossin menyamakan masalah ini dengan berjalan di halaman sambil menggunakan selang untuk menyemprotkan air ke tanah.

"Jika Anda berjalan cepat, air tidak akan memiliki kesempatan untuk mulai menggenang. Namun, jika Anda berjalan perlahan, Anda akan mendapatkan banyak hujan di bawah Anda," ujar Kossin.

Perubahan iklim juga menyebabkan wilayah badai kian melebar.

"Ada migrasi siklon tropis keluar dari daerah tropis dan menuju subtropis dan garis lintang tengah," kata Dr. Kossin. Peristiwa ini memungkinkan lebih banyak badai dapat mendarat di lintang yang lebih tinggi, seperti Amerika Serikat atau Jepang.

(pwn/bac)

Saksikan Video di Bawah Ini:

TOPIK TERKAIT

Selengkapnya

Jakarta -

Perubahan iklim menimbulkan risiko kebakaran hutan, gagal panen, kekeringan, banjir, hingga gelombang panas di berbagai dunia. Tetapi apakah detikers tahu, bahaya dampak perubahan iklim paling besar dirasakan orang dari negara dengan pendapatan menengah atau rendah?

Laporan Born Into the Climate Crisis dari Save the Children International mencatat, 50 persen negara dengan pendapatan tertinggi merupakan penyumbang 86 persen emisi karbon dioksida di bumi. Sebagai catatan, makin tinggi konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer, makin tinggi suhu bumi. Peningkatan suhu bumi inilah yang disebut pemanasan global.

Sementara itu, 50 persen negara lainnya hanya menyumbang 14 persen emisi karbon dioksida di bumi. Di sisi lain, anak-anak kawasan inilah yang merasakan dampak perubahan iklim terbesar.

Head of Resilience Save the Children Indonesia Fredy Chandra mencontohkan, 85 persen mata pencaharian di kawasan pesisir bergantung pada komoditas laut. Seperti pertanian, komoditas laut juga dipengaruhi perubahan curah hujan dan variabel iklim lain.

Perubahan curah hujan yang signifikan merupakan salah satu tanda pemanasan global. Karena suhu bumi meningkat, penguapan air juga meningkat, sehingga lebih banyak turun hujan.

Sebagai informasi, curah hujan tinggi mengganggu proses pengolahan lahan dan penanaman atau budidaya tanaman. Tidak hanya tanaman di darat, musim tanam rumput laut juga bisa terganggu karena normalnya ditanam saat curah hujan rendah atau musim kemarau. Alhasil, petani bisa gagal panen dan merugi.

"Kalau tidak beradaptasi, dampak perubahan iklim akan terasa secara langsung dan tidak langsung. Jadi dampak perubahan iklim ini berhubungan dengan sosioekonomi dan pembangunan," kata Fredy dalam peluncuran kampanye Aksi Generasi Iklim Save the Children Indonesia di Jakarta, Jumat (22/4/2022).

Dampak perubahan iklim lebih lanjut mencakup risiko demam berdarah, kekurangan makanan, hingga kemiskinan. Berikut lengkapnya:

Dampak Perubahan Iklim

1. Suhu Lebih Panas, Risiko Penyakit

Makin tinggi konsentrasi gas rumah kaca, makin tinggi suhu permukaan di Bumi. Sejak 1980-an, setiap dekade lebih panas dari 10 tahun sebelumnya. Alhasil, semua area daratan mengalami lebih banyak hari-hari panas dan gelombang panas, kebakaran hutan dua kali lebih cepta menyebar. Pencairan es di Arktik tempat beruang kutub tinggal juga jadi lebih cepat.

Suhu bumi yang lebih tinggi juga meningkatkan jumlah kasus penyakit terkait panas. Contoh, nyamuk demam berdarah lebih aktif menggigit pada suhu panas sekitar 26-35 derajat Celcius. Di samping itu, peningkatan suhu juga mempercepat masa transmisi virus dari nyamuk Aedes aegypti, seperti dikutip dari laman Universitas Airlangga.

2. Badai Lebih Parah

Peningkatan suhu bumi atau pemanasan global memicu lebih banyak air menguap. Alhasil, curah hujam ekstrem yang menimbulkan badai destruktif dan banjir lebih sering terjadi, seperti dikutip dari laman PBB Indonesia.

Badai siklon, hurikan, dan taifun juga lebih kuat jika suhu air permukaan laut meningkat. Jenis badai ini sering menghancurkan rumah, menimbulkan kerugian ekonomi, dan kematian.

3. Kekeringan Lebih Buruk

Perubahan iklim membuat curah air hujan lebih tinggi. Alhasil, ketersediaan air berkurang karena air belum sempat terserap dan lebih banyak langsung kembali ke laut.

Rendahnya ketersediaan air pun berdampak pada kekeringan pertanian dan kekeringan ekologis. Kekeringan ekologis memicu ekosistem jadi lebih rentan karena tidak semua spesies bisa berpindah tempat dan bertahan hidup.

Kekeringan juga berisiko memicu badai pasir dan debu destruktif yang terbang lintas benua. Akibatnya, gurun menjadi semakin luas sehingga lahan untuk bercocok tanam berkurang.

4. Peningkatan volume dan suhu lautan

Volume laut bertambah karena air memuai saat menjadi lebih hangat. Mencairnya lapisan es juga menyebabkan kenaikan permukaan laut. Peningkatan volume laut ini berisiko mengancam masyarakat pesisir dan pulau.

Laut juga menyerap karbon dioksida sehingga mengurangi jumlahnya di atmosfer. Tetapi, makin banyak karbon dioksida di laut, makin tinggi keasaman laut. Akibatnya, biota laut dan terumbu karang bisa rusak.

5. Kekurangan Makanan

Laut yang semakin asam berisiko merusak sumber daya laut yang dikonsumsi manusia sehari-hari. Sementara itu, kekurangan air maupun tingginya curah hujan dapat mengganggu pertanian.

Tekanan panas juga dapat membuat sumber air dan padang rumput untuk menggembala berkurang. Alhasil, hewan ternak juga berisiko terdampak perubahan iklim.

6. Kemiskinan dan Berpindah

Dampak perubahan iklim juga termasuk kemiskinan. Banjir akibat curah hujan tinggi berisiko menimbulkan kerusakan di kawasan kumuh, menghancurkan rumah, dan merusak kawasan mata pencaharian.

Sementara itu, kekurangan air maupun tingginya curah hujan dapat membuat petani gagal panen. Jika tidak siap dengan bencana ini, orang berisiko mengalami kemiskinan dan harus mengungsi untuk mencari penghidupan.

Simak Video "Dampak Pemanasan Global Terhadap Munculnya Penyakit Menular Baru"



(twu/lus)


Page 2

Jakarta -

Perubahan iklim menimbulkan risiko kebakaran hutan, gagal panen, kekeringan, banjir, hingga gelombang panas di berbagai dunia. Tetapi apakah detikers tahu, bahaya dampak perubahan iklim paling besar dirasakan orang dari negara dengan pendapatan menengah atau rendah?

Laporan Born Into the Climate Crisis dari Save the Children International mencatat, 50 persen negara dengan pendapatan tertinggi merupakan penyumbang 86 persen emisi karbon dioksida di bumi. Sebagai catatan, makin tinggi konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer, makin tinggi suhu bumi. Peningkatan suhu bumi inilah yang disebut pemanasan global.

Sementara itu, 50 persen negara lainnya hanya menyumbang 14 persen emisi karbon dioksida di bumi. Di sisi lain, anak-anak kawasan inilah yang merasakan dampak perubahan iklim terbesar.

Head of Resilience Save the Children Indonesia Fredy Chandra mencontohkan, 85 persen mata pencaharian di kawasan pesisir bergantung pada komoditas laut. Seperti pertanian, komoditas laut juga dipengaruhi perubahan curah hujan dan variabel iklim lain.

Perubahan curah hujan yang signifikan merupakan salah satu tanda pemanasan global. Karena suhu bumi meningkat, penguapan air juga meningkat, sehingga lebih banyak turun hujan.

Sebagai informasi, curah hujan tinggi mengganggu proses pengolahan lahan dan penanaman atau budidaya tanaman. Tidak hanya tanaman di darat, musim tanam rumput laut juga bisa terganggu karena normalnya ditanam saat curah hujan rendah atau musim kemarau. Alhasil, petani bisa gagal panen dan merugi.

"Kalau tidak beradaptasi, dampak perubahan iklim akan terasa secara langsung dan tidak langsung. Jadi dampak perubahan iklim ini berhubungan dengan sosioekonomi dan pembangunan," kata Fredy dalam peluncuran kampanye Aksi Generasi Iklim Save the Children Indonesia di Jakarta, Jumat (22/4/2022).

Dampak perubahan iklim lebih lanjut mencakup risiko demam berdarah, kekurangan makanan, hingga kemiskinan. Berikut lengkapnya:

Dampak Perubahan Iklim

1. Suhu Lebih Panas, Risiko Penyakit

Makin tinggi konsentrasi gas rumah kaca, makin tinggi suhu permukaan di Bumi. Sejak 1980-an, setiap dekade lebih panas dari 10 tahun sebelumnya. Alhasil, semua area daratan mengalami lebih banyak hari-hari panas dan gelombang panas, kebakaran hutan dua kali lebih cepta menyebar. Pencairan es di Arktik tempat beruang kutub tinggal juga jadi lebih cepat.

Suhu bumi yang lebih tinggi juga meningkatkan jumlah kasus penyakit terkait panas. Contoh, nyamuk demam berdarah lebih aktif menggigit pada suhu panas sekitar 26-35 derajat Celcius. Di samping itu, peningkatan suhu juga mempercepat masa transmisi virus dari nyamuk Aedes aegypti, seperti dikutip dari laman Universitas Airlangga.

2. Badai Lebih Parah

Peningkatan suhu bumi atau pemanasan global memicu lebih banyak air menguap. Alhasil, curah hujam ekstrem yang menimbulkan badai destruktif dan banjir lebih sering terjadi, seperti dikutip dari laman PBB Indonesia.

Badai siklon, hurikan, dan taifun juga lebih kuat jika suhu air permukaan laut meningkat. Jenis badai ini sering menghancurkan rumah, menimbulkan kerugian ekonomi, dan kematian.

3. Kekeringan Lebih Buruk

Perubahan iklim membuat curah air hujan lebih tinggi. Alhasil, ketersediaan air berkurang karena air belum sempat terserap dan lebih banyak langsung kembali ke laut.

Rendahnya ketersediaan air pun berdampak pada kekeringan pertanian dan kekeringan ekologis. Kekeringan ekologis memicu ekosistem jadi lebih rentan karena tidak semua spesies bisa berpindah tempat dan bertahan hidup.

Kekeringan juga berisiko memicu badai pasir dan debu destruktif yang terbang lintas benua. Akibatnya, gurun menjadi semakin luas sehingga lahan untuk bercocok tanam berkurang.

4. Peningkatan volume dan suhu lautan

Volume laut bertambah karena air memuai saat menjadi lebih hangat. Mencairnya lapisan es juga menyebabkan kenaikan permukaan laut. Peningkatan volume laut ini berisiko mengancam masyarakat pesisir dan pulau.

Laut juga menyerap karbon dioksida sehingga mengurangi jumlahnya di atmosfer. Tetapi, makin banyak karbon dioksida di laut, makin tinggi keasaman laut. Akibatnya, biota laut dan terumbu karang bisa rusak.

5. Kekurangan Makanan

Laut yang semakin asam berisiko merusak sumber daya laut yang dikonsumsi manusia sehari-hari. Sementara itu, kekurangan air maupun tingginya curah hujan dapat mengganggu pertanian.

Tekanan panas juga dapat membuat sumber air dan padang rumput untuk menggembala berkurang. Alhasil, hewan ternak juga berisiko terdampak perubahan iklim.

6. Kemiskinan dan Berpindah

Dampak perubahan iklim juga termasuk kemiskinan. Banjir akibat curah hujan tinggi berisiko menimbulkan kerusakan di kawasan kumuh, menghancurkan rumah, dan merusak kawasan mata pencaharian.

Sementara itu, kekurangan air maupun tingginya curah hujan dapat membuat petani gagal panen. Jika tidak siap dengan bencana ini, orang berisiko mengalami kemiskinan dan harus mengungsi untuk mencari penghidupan.

Simak Video "Dampak Pemanasan Global Terhadap Munculnya Penyakit Menular Baru"


[Gambas:Video 20detik]
(twu/lus)