Apakah yang dimaksud ilmu fiqih dan siapakah ulama ahli fiqih pada masa daulah Umayyah

Seorang Muslim harus memahami landasan hukum dari sebuah ibadah.

Dok Republika

Mengenal Ilmu Usul Fiqih. Foto: Fikih atau Fiqih Islam (ilustrasi)

Rep: Syahruddin El Fikri Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam dewasa ini sering kali menemukan perbedaan pandangan para ulama dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi umat (khilafiyah). Sebenarnya, hal yang sama juga terjadi pada masa sahabat Rasulullah SAW, para tabiin (orang yang hidup sesudah generasi sahabat), tabiit-tabiin (pengikut tabiin), dan ulama-ulama lainnya.Dalam mengajukan argumentasi permasalahan tersebut, para ulama menggunakan dalil dan dasar hukum yang sama. Misalnya, dalam memahami konsep istithaah (mampu) dalam berhaji, cara berwudhu, niat dalam shalat, bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya.Mengapa bisa terjadi perbedaan itu? Bahkan, hingga ada yang saling membid'ahkan, mengafirkan, dan sebagainya. Di antara mereka, ada pula yang memisahkan dari kelompok lainnya.Namun, perbedaan pandangan atau pendapat itu justru memperkaya khazanah intelektual umat Islam untuk saling memahami munculnya perbedaan itu.Pangkal muara perbedaan dari semua itu bukan karena kesalahan para ulama dalam menerjemahkan redaksi dasar dalil yang dijadikan sumber hukum, baik Alquran maupun hadis, melainkan perbedaan dalam memahami dan maksud dari dalil tersebut. Di samping itu, perbedaan ini disebabkan masalah politik, perbedaan dalam menggunakan kaidah usul fikih, atau karena tidak sampainya suatu riwayat atau hadis kepada ulama atau mujtahid bersangkutan.Bagi mereka yang mau mengambil hikmahnya, perbedaan itu justru sangat besar manfaatnya bagi umat Islam. Sebab, mereka makin mengetahui metode atau cara para mujtahid (orang yang menggali hukum Islam) dalam menetapkan hukum fikih.

Lalu, apakah sebenarnya metode hukum Islam (usul fikih) itu? Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama asal Mesir dalam bukunya Ushul Fiqih mengemukakan, metode hukum Islam disebut juga dengan usul fikih. Ilmu usul fikih adalah ilmu yang menguraikan metode atau cara yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar'i dari nash-nash Alquran ataupun hadis. Berdasarkan nash itu pula, para ulama mengambil illat (alasan) yang menjadi landasan hukum untuk kemashlahatan umat.

''Ilmu usul fikih memiliki peran penting dalam memengaruhi pembentukan pemikiran fikih,'' jelas Abu Zahrah.Adapun ilmu fikih adalah suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syara (seperti wajib, sunah, makruh, halal, haram, dan mubah/boleh) mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci dalam nash Alquran dan hadis Nabi SAW. Ada pula yang menambahkannya dengan dalil-dalil atau pendapat (ijtihad) dari para ulama, seperti ijmak dan qiyas.Dari penjelasan di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa usul fikih adalah sebuah metode yang ditempuh para ulama (ahli ijtihad) dalam menetapkan hukum-hukum syara yang dilakukan oleh seorang mukalaf (sudah dewasa atau orang yang sudah dibebani hukum), tentang halal, haram, wajib, sunah, atau makruhnya suatu perbuatan. Sedangkan, fikih adalah hasil dari hukum-hukum syar'i dari metode yang digunakan itu.Misalnya, seorang Muslim diwajibkan berpuasa. Dasarnya adalah firman Allah dalam surah Albaqarah [2]: 183-186. Dasar dari kewajiban shalat antara lain adalah surah Arrum: 31, Almujadalah: 13, dan Almuzammil: 20. Dasar larangan meminum khamar (yang memabukkan) adalah Almaidah ayat 90.Berdasarkan dalil-dalil tersebut, hal itu menjadi pedoman bagi umat dalam melaksanakan segala kewajiban yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT.Dengan mengetahui dalil-dalil tersebut, kata A Hanafie dalam bukunya Usul Fiqh, umat akan menjadi seorang pengikut yang baik karena memahami apa yang diikutinya (ittiba'). Sehingga, mereka tidak menjadi seorang Muslim yang sekadar ikut-ikutan (muqallid) tanpa mengetahui dasar hukumnya (taklid buta, yang penting ikut apa kata mereka, atau pokoknya kata si A, B, C, dan lainnya).

Wajib bermazhab?

Bagaimana bila umat tersebut tak mampu melakukannya secara sendirian? Bolehkah ia mengikuti pendapat atau mazhab tertentu? Sebagian kalangan ada yang melarang keras bermazhab, bahkan ada yang antimazhab. Namun, sebagian lainnya membolehkan ketika umat memang tidak mampu melakukan penggalian terhadap hukum Islam.

Karena banyaknya umat Islam yang tak mampu dalam melakukan hal tersebut, Anas Thohir Syamsuddin pernah menulis, "Bermazhab dalam arti melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihad para imam mujtahid, seperti Malik, Syafii, dan lainnya, itu hukumnya wajib bagi setiap orang Islam yang belum mampu melakukan ijtihad." Wallahualam.

Baca Juga

  • fikih
  • fiqih
  • fikih islam
  • ushl fiqih

Apakah yang dimaksud ilmu fiqih dan siapakah ulama ahli fiqih pada masa daulah Umayyah

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Apakah yang dimaksud ilmu fiqih dan siapakah ulama ahli fiqih pada masa daulah Umayyah

Pemerintahan Dinasti Bani Umayah mendirikan pusat-pusat kegiatan ilmiah untuk berbagai macam penelitian di Kota Basrah dan Kufah di Irak. Perkembangan ilmu pengetahuan itu ditandai dengan munculnya ilmuwan-ilmuwan muslim didalam berbagai bidang ke ahlian.

Pada masa pemerintahan, khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau sering mengundang para ulama dan ahli fiqih untuk mengkaji ilmu dalam berbagai majlis. Ulama-ulama lain yang muncul pada waktu itu adalah Hasan al Basri, Ibnu Shihab az Zuhri dan Wasil bin Ata. 

Untuk mengetahui pembahasan selengkapnya tentang Tokoh Ilmuwan Muslim Dinasti Umayyah dan perannya, simaklah penjelasan lengkapnya berikut ini.

Pada masa Rosulullah saw, ada larangan menulis hadits selain Al Qur’an. Namun sebagian Shahabat ada yang menulisnya untuk keperluan sendiri, seperti abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib. Adapun jumlah hadits yang mereka tulis adalah Abu Hurairah (5374 hadist), ‘Aisyah (2210 hadist), Abdullah bin Umar (± 2210 hadist), Abdullah bin Abbas (± 1500 hadist), Jabir bin Abdullah (±1500 hadist), Anas bin Malik (±2210 hadist). 

Penulisan hadits dikembangkan oleh muridnya Abu Hurairah yaitu Basyir bin Nahik dan Hammam bin Munabbib. 

Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86), Para thabiin mulai menulis hadits dan berkembang dengan gerakan rihlah ilmiah, yaitu pengembaraan ilmiah yang dilakukan para muhadditsin dari kota ke kota untuk mendapatkan suatu hadits dari shahabat yang masih hidup dan tersebar di berbagai kota. 

Dalam perkembangan selanjutnya, Khalifah Umar bin Abdul Azis merencakan pembukuan hadits. hal pokok alasan yang mendorong khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk pembukuan hadits, yaitu :

  1. Beliau khawatir hilangnya hadist-hadist dengan meningggalnya para ulama di medan perang. 
  2. Beliau khawatir akan tercampurnya antara hadist-hadist yang sahih dengan hadist-hadist palsu. 
  3. Dengan semakin meluasnya daerah kekusaan Islam, sementara kemampuan thabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini. 

Beliau memerintahkan para gubernur dan para ulama untuk mengumpulkan hadits. Salah satunya, Gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (wafat tahun 117 H). Dia diperintah oleh Khalifah untuk mengumpulkan hadits-hadts yang ada pada Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bi Abu Abu Bakar. Amrah adalah anak angkat Siti Aisyah dan orang yang terpercaya untuk menerima Hadits dari Siti Aisyah. 

Selain kepada Gubernur, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkan salah seorang ulama besar di Hijaz dan Syiria, Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-zuhri, dikenal dengan Ibnu Syihab al Zuhri. Ia bekerja sama dengan para perawi yang dianggap ahli untuk dimintai informasi tentang hadist-hadist nabi yang berceceran ditengah masyarakat Islam untuk dikumpulkan, ditulis dan dibukukan.

Usahanya cukup baik, walaupun Khalifah Umar bin Abdul Azis tidak melihat secara langsung karena lebih dulu meninggal. 

Az Zuhri dianggap pengumpul hadits yang pertama pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ini Setelah generasi az-Zuhri, pembukuan hadist dilanjutkan oleh Ibnu Juraij (w. 150 H), ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi ulama lainnya. pembukuan hadist dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna.

Pembukuan Hadits mencapai sempurna pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah. Pada tahap selanjutnya, program pengumpulan hadist mendapat sambutan serius dari tokoh-tokoh Islam, seperti: 

  1. Imam Bukhari, terkenal dengan Shohih Bukhari 
  2. Imam Muslim, terkenal dengan Shohih Muslim 
  3. Abu Daud, terkenal dengan Sunan Abu Daud 
  4. An –Nasa’i, terkenal dengan Sunan An-Nasa’i 
  5. At-Tirmidzi, terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi 
  6. Ibnu Majah, terkenal dengan Sunan Ibnu Majah 

Kumpulan para ahli hadist tersebut diatas, terkenal dengan nama Kutubus Shittah

Untuk memahami Al-Qur’an para Ahli telah melahirkan sebuah disiplin ilmu baru yaitu ilmu tafsir, ilmu ini dikhususkan untuk mengetahui kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika Nabi masih hidup, penafsiran ayat-ayat tertentu telah dipersiapkan maknanya oleh Malaikat Jibril. 

Setelah Rasulullah wafat para sahabat Nabi seperti Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud. Ubay bin Ka’ab mulai menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an bersandar dari Rasulullah lewat pendengaran mereka ketika Rasulullah masih hidup. Mereka dianggap sebagai pendiri mazhab tafsir dalam Islam. 

Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya: 

1. Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah. 

2. Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. 

3. Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy. 

Sebagian sahabat, seperti Umar bin Khattab, beliau tidak menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Sikap seperti ini karena Al Qur’an dianggap sebagai kitab suci yang tidak boleh ditafsirkan. Mereka berpendapat bahwa tafsir Al Qur’an merupakan sesuatu yang diluar perintah agama. 

Masalah tafsir menimbulkan berbagai sikap yang berpareasi antara lain Syafiq bin Slamah al Asadi apabila ditanya tentang suatu ayat, ia hanya menjawab “Allah Maha Benar dengan yang dimaksud”. Maksudnya adalah ia tidak berkeinginan untuk membahas makna yang ditanyakan. 

Pada masa pemerinthan Dinasti Bani Umayah terdapat seorang ahli tafsir bernama Sa’id bin Juber (wafat tahun 95 H). Ia diminta menafsirkan beberapa ayat Al Quran, tapi dia menolaknya. Bahkan ia lebih memilih kehilangan salah satu anggota tubuhnya daripada harus menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang diminta. 

Al Qur’an sebagai kitab suci yang sempurna, merupakan sumber utama bagi umat Islam, terkhusus dalam menentukan masalah-masalah hukum. Pada masa Khulafaurrasyidin, penetapan hukum disamping bersumber dari Rasulullah dilakukan sebuah metode penetapan hukum, yaitu ijtihad. Ijtihad pada awalnya hanya pengertian yang sederhana, yaitu pertimbangan yang berdasarkan kebijaksanaan yang dilakukan dengan adil dalam memutuskan sesuatu masalah. 

Pada tahap perkembangan pemikiran Islam, lahir sebuah ilmu hukum yang disebut Fiqih, yang berarti pedoman hukum dalam memahami masalah berdasarkan suatu perintah untuk melakukan suatu perbuatan, perintah tidak melakukan suatu perbuatan dan memilih antara melakukan atau tidak melakukannya. Dasar dan pedoman pokok yang telah dibukukan kemudian disebut Ushul Fiqih. 

Tradisi ijtihad sudah berlangsung sejak Zaman Nabi Muhammad saw. Pelaksanaan ijtihad dinyatkan oleh Muaz bin Jabal ketika mendapat perintah berdakwah di Yaman. Ia akan menggunakan nalarnya dalam memutuskan perkara jika tidak terdapat rujukan dalam Al Qur’an dan hadits. 

Setelah itu, bermunculan para ahli fiqih ternama antara lain: Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan ibnu Abbas. 

Pada perkembangannya, perbedaan pendapat para ahli fiqih semakin tajam. Ahli fiqih Hijaz dan ahli fiqih Irak berbeda pendapat dalam pengambilan Ra’yu sebagai argumen. Ahli fiqih Hijaz berpegang pada Atsar (ketetapan hukum yang pernah dilakukan para shahabat) sebagai argumentasi hukum. Mereka tidak menekankan pada Ra’yu.

Sedangkan Ahli fiqih Irak cenderung kepada Ra’yu. Akhirnya Ahli fiqih Hijaz menganggap Ahli fiqih Irak mengabaikan sunah. Sebaliknya Ahli fiqih Irak menganggap Ahli fiqih Hijaz menganut pemikiran jumud yaitu pemikiran kolot dan tradisional. 

Ulama-ulama tabi’in Fiqih pada masa bani Umayyah diantaranya adalah: Syuriah bin Al-Harits, ‘alqamah bin Qais, Masuruq Al-Ajda’,Al-Aswad bin Yazid kemudian diikuti oleh murid-murid mereka, yaitu: Ibrahim An-Nakh’l (wafat tahun 95 H) dan ‘Amir bin Syurahbil As Sya’by (wafat tahun 104 H). sesudah itu digantikan oleh Hammad bin Abu Sulaiman (wafat tahun 120 H), guru dari Abu Hanafiah 

Pada zaman Dinasti Umayyah ini telah berhasil meletakkan dasar-dasar hukum islam menurut pertimbangan kebijaksanaan dalam menetapkan keputusan yang berdasar Al Qur’an dan pemahaman nalar akal. 

Tasawuf merupakan sebuah ilmu tentang cara mendekatkan diri kepada Allah saw, tujuannya agar hidup semakin mendapatkan makna yang mendalam, serta mendapatkan ketentraman jiwa. Ilmu tasawuf berusaha agar hidup manusia memilki akhlak mulia, sempurna dan kamil. 

Munculnya tasawuf, karena setelah umat semakin jauh dari Nabi, terkadang hidupnya tak terkendali, utamanya dalam hal kecintaan terhadap materi. 

Tokoh-tokoh Sufi di antaranya : 

Sa’id bin Musayyab wafat tahun 91 Hijriyah / 710 Masehi adalah murid dan menantu Abu Hurairah (seorang Ahli Suffah). Ia mencontohkan hidup zuhud pada pengikutnya. Dalam satu riwayat, ia ditawari sejumlah 35.000 dirham uang perak oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan, tetapi dia Tolak. 

Hasan al-Basri lahir di Madinah tahun 21 Hijriyah / 642 Masehi dan meninggal di Basra pada tahun 110 Hijriyah / 729 Masehi. Ibunya adalah seorang hamba shaya Ummu Salamah, Istri Rosulullah saw. Hasan Basri berkembang di lingkungan yang saleh. Ia banyak belajar dai Ali bin Abi Thalib dan Huzaifah bin Yaman, dua shahabat Nabi Muhammad saw. 

Ia mengenalkan kepada umat tentang pentingnya tasawuf, karena tasawuf dapat melatih jiwa/hati memiliki sifat zuhud (hatinya tidak terpengaruh dengan harta benda, walau lahiriyah kaya), sifat roja’ (harta benda, anak-anak, jabatan tidak bisa menolong hidupnya tanpa adanya harapan ridho dari Allah swt) dan sifat khouf (sifat takut kepada Allah swt yang dalam dan melekat dalam jiwanya). 

Sufyan As Tsaauri lahir dikufah tahun 97-161 Hijriyah / 716-778 Masehi. Ia mempunyai nama lengkap Abu Abdullah Sufyan bin SA’id Ats-Tsauri. Ia menjalani kehidupan penuh kesederhanaan, dan menganjurkan zuhud. Pemikiran bidang taswuf merangkum sebagai berikut: 

a. Manusia dapat memiliki sifat zuhud, bila saat ajalnya menghampirinya, karena kelezatan dunia telah diambil Allah swt, maka manusia baru ingat makna kehidupannya. 

b. Manusia dalam menjalani hidup didunia harus bekerja keras agar hidupnya tercukupi, dengan kerja manusia dapat terhindar dari kegelapan dan kehinaan. 

Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, Bahasa Arab digunakan sebagai bahasa administrasi negara. Penggunaan bahasa arab yang makin luas membutuhkan suatu panduan kebahasaan yang dapat dipergunakan oleh semua golongan.

Hal itu mendorong lahirnya seorang ahli bahasa yang bernama Sibawaihi. Ia mengarang sebuah buku yang berisi pokok-pokok kaidah bahasa Arab yang berjudul al-kitab. Buku tersebut bahkan termashur hingga saat ini. 

Bidang kesusastraan juga mengalami kemajuan.Hal itu ditandai dengan munculnya sastrawan-sastrawan berikut ini : 

  1. Nu’man bin Basyir al Anshari ( wafat 65 H/680 M) 
  2. Qays bin Mulawwah , termasyhur dengan sebutan Laila Majnun (wafat 84 H/ 699 M) 
  3. Al Akhthal ( wafat 95/710 M ) 
  4. Abul Aswad al Duwali ( 69 H ) 
  5. Al Farazdaq ( wafat 114 H / 732 M ) 
  6. Jarir ( wafat 111 H / 792 M ). 

Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Pada Masa Dinasti Bani Umayah, Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan memerintah Ubaid bin Syariyah Al Jurhumi untuk menulis buku sejarah masa lalu dan masa bani Umayah.

Di antara karyanya adalah kitab al Muluk wal Akhbar al Madhi ( buku catatan sejarah Raja-raja masa lalu). Sejarawan lainnya adalah Shuhara Abdi yang menulis buku Kitabul Amsal. 

Ilmu kedokteran belum berkembang dengan baik pada masa Dinasti Bani Umayah. Tetapi pada masa Khalifah Walid bin Abdul Malik telah terjadi perkembangan cukup baik di bidang kedokteran. Ia mendirikan sekolah tinggi kedokteran pada tahun 88 Hijriyah / 706 Masehi. 

Khalifah Walid memerintahkan para dokter untuk melakukan riset dengan anggaran yang cukup. Para dokter bertugas di lembaga tersebut dengan gaji negara dalam rangka mengembangkan ilmu kedokteran, khalifah meminta bantuan para dokter dari Persia. 

Di lembaga inilah, Harist bin Kildah dan Nazhar meraih ilmu kedokteran. Selain itu, gerakan terjemah buku-buku kedokteran mendukung perkembangan ilmu kedokteran di masa Bani Umayah.  

Khalid bin Zayid bin Mu'awiyah adalah orang pertama yang menerjemahkan buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia. Disamping itu, Khalid bin Yazid merupakan seorang penyair dan orator yang terkenal.

Demikianlah pembahasan mengenai Tokoh Ilmuwan Muslim Dinasti Umayyah dan perannya, semoga ada manfaatnya untuk kita semua.