31 Okt
Perbedaan antara standar akuntansi (SAK) dengan peraturan pajak (Fiskal) disebabkan oleh perbedaan yang sifatnya tetap dan perbedaan yang sifatnya temporer. Untuk memahami penerapan PSAK 46 langkah pertama adalah memahami kedua perbedaan tersebut di atas. BEDA TETAP PENGHASILAN
BEDA TETAP BIAYA
BEDA TETAP YANG MURNI
BEDA TETAP YANG DISEBABKAN TIDAK DIPENUHI SYARAT-SYARAT KHUSUS
BEDA TETAP YANG DISEBABKAN PRAKTIK-PRAKTIK AKUNTANSI YANG TIDAK SEHAT Baik menurut SAK maupun Undang-Undang PPh tidak mengakuinya sebagai beban.
BEDA WAKTU
MERUPAKAN PERBEDAAN PEMBEBANAN BIAYA TIAP-TIAP TAHUN BUKU/TAHUN PAJAK KARENA PERBEDAAN METODA YANG DIGUNAKAN, TETAPI SECARA KESELURUHAN JUMLAH YANG DIBEBANKAN SEBAGAI BIAYA ADALAH SAMA. Contoh :
A. Rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal Rekonsiliasi fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan ketentuan pajak. Rekonsilisasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari sektor swasta, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak. Penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal adalah karena terdapat perbedaan prinsip akuntansi, perbedaan metode dan prosedur akuntansi, perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya, serta perbedaan perlakuan penghasilan dan biaya. Jika suatu entitas (Wajib Pajak) harus menyusun dua laporan keuangan yang berbeda, maka disamping terdapat pemborosan waktu, tenaga, dan uang juga akan terjadi tidak tercapainya tujuan menghindari manipulasi pajak. Menurut Bambang Kesit (2001), untuk mengatasi masalah tersebut digunakan beberapa pendekatan dalam penyusunan laporan keuangan fiskal, yaitu:
Untuk menjembatani adanya perbedaan tujuan kepentingan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal serta tercapainya tujuan efisiensi maka lebih dimungkinkan untuk menetapkan pendekatan yang kedua. Perusahaan hanya menyelenggarakan pembukuan menurut akuntansi komersial, tetapi apabila akan menyusun laporan keuangan fiskal barulah menyusun rokonsiliasi terhadap laporan keuangan komersial tersebut. B. Beda Permanen dan Temporer Perbedaan penghasilan dan biaya/pengeluaran menurut akuntansi dan menurut fiskal dapat dikelompokkan menjadi beda tetap/ permanent (permanent differences) dan beda waktu/sementara (timing differences). 1. Beda Tetap/ Permanen Adalah perbedaan pengakuan pendapatan dan beban berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku dengan Standar Akuntansi Keuangan yang bersifat permanen. Artinya penghasilan atau biaya yang demikian tidak akan diakui untuk selamanya dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak. Contoh: pemberian kenikmatan/ natura kepada karyawan, sumbangan, biaya jamuan makan,pendapatan bunga, pembayaran dividen. Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya menurut akuntansi dengan menurut pajak, yaitu adanya penghasilan dan biaya yang diakui menurut akuntansi komersial namun tidak diakui menurut fiskal, atau sebaliknya. Beda tetap dengan laba kena pajak menurut fiskal (taxable income). Beda tetap biasanya timbul karena peraturan perpajakan mengharuskan hal-hal berikut dikeluarkan dari perhitungan Penghasilan Kena Pajak: 1. Penghasilan yang telah dikenakan PPh final (pasal 4 ayat 2 UU PPh) 2. Penghasilan yang bukan Objek pajak (pasal 4 ayat 3 UU PPh) 3. Pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yaitu mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta pengeluaran yang sifat pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran (pasal 9 ayat 1 UU PPh). Beda Tetap (Permanen) terdiri dari: 1. Penerimaan menurut PSAK merupakan penghasilan tetapi undang – undang Pajak Penghasilan (PPh) bukan penghasilan. Contoh: Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 1) Dividen berasal dari cadangan laba ditahan 2) bagian perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut. 2. Penerimaan yang menurut SAK bukan merupakan penghasilan tetapi menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) merupakan penghasilan. Contohnya: penerimaan hibah atau bantuan dari pihak-pihak yang ada hubungan istimewa. 3. Penghasilan yang dikenakan pemungutan pajak bersifat final. b. Beda Tetap Biaya Pengeluaran yang menurut PSAK merupakan beban tetapi menurut UU PPh tidak boleh dikurangi penghasilan bruto. 1. Biaya yang tidak ada hubungan langsung untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, . 2. Biaya untuk mendapat, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan PPh Final 3. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh . 4. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang – undangan dibidang perpajakan. 5. Kerugian karena penjualan/pengalihan aktiva dan/atau hak yang dimiliki yang tidak dipergunakan dalam kegiatan usaha dan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. 6. PPh Pasal 21 dan 26 yang ditanggung oleh pemberi penghasilan kecuali dalam menghitungnya menggunakan metode groos up. c. Beda Tetap yang disebabkan tidak dipenuhi syarat-syarat khusus: Yaitu suatu penghasilan atau biaya baru akan diakui berbeda sepanjang tidak memenuhi syarat – syarat pengakuannya dalam ketentuan perpajakan. namun jika memenuhi ketentuan perpajakan maka perbedaan yang timbul dalam pengakuan menurut fiskal akan menjadi hilang dan pengakuannya akan sama dengan pengakuan menurut prinsip akuntansi. contoh:
a. Keperluan pribadi pemilik atau pemegang saham dan keluargannya yang dibayar perusahaan dan dibukukan sebagai beban usaha. b. Keperluan pribadi pegawai perusahaan yang dibayar perusahaan dan dibukukan sebagai beban usaha. 2. Beda Waktu / Sementara Adalah perbedaan pengakuan pendapatan dan beban tertentu menurut Standar Akuntansi Keuangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Perbedaan ini menyebabkan pergeseran pengakuan pendapatan atau beban antara satu tahun pajak ke tahun pajak lainnya. Contoh : penyusutan aktiva tetap, pengakuan terhadap piutang dan persediaan. Beda waktu biasanya timbul karena perbedaan yang dipakai antara pajak dengan akuntansi dalam hal: 1. Akrual dan realisasi 2. Penyusutan dan amortisasi 3. Penilaian persediaan 4. Kompensasi kerugian fiskal Contoh Beda Waktu/Sementara:
Koreksi Positif dan Negatif Dengan adanya beda waktu dan beda tetap laporan keuangan komersial harus dikoreksi terlebih dahulu untuk menghitung penghasilan kena pajaknya. Koreksi ini disebut koreksi fiskal yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu : 1) Koreksi positif yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penghasilan kena pajak secara fiskal bertambah, yang selanjutnya berdampak memperbesar nilai pajak penghasilan yang terutang. Koreksi Positif terjadi apabila pendapatan menurut fiskal bertambah. Koreksi positif biasannya dilakukan akibat adanya: 1. Beban yang tidak diakui oleh pajak (non-deductible expense) 2. Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan fiskal 3. Amortisasi komersial lebih besar dari amortisasi fiskal 4. Penyesuaian fiskal positif lainnya 2) Koreksi negatif yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penghasilan kena pajak secara fiskal menjadi berkurang yang selanjutnya berdampak memperkecil penghasilan kena pajak. Koreksi negatif biasanya dilakukan akibat adanya: 1. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak 2. Penghasilan yang dikenakan PPh final 3. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya 4. Penyesuaian fiskal negaif C. Perhitungan Pajak Terutang Untuk Tahun Pajak 2009 ada beberapa tarif untuk menghitung Pajak Terhutang, yaitu: a. Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%. Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap: Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 1.250.000.000,00 Pajak Penghasilan yang terutang: 28% x Rp 1.250.000.000,00 = Rp 350.000.000,00 b. Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b) Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib Pajak tersebut dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU No. 36 Tahun 2008 yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Contoh: Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 1.250.000.000,00 Pajak Penghasilan yang terutang: (28% - 5%) x Rp1.250.000.000,00 = Rp 287.500.000,00 c. Tarif PPh Pasal 31E Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Jika peredaran bruto kurang dari Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut: PPh terutang = (50% x 28%) x seluruh Penghasilan Kena Pajak 2) Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut: PPh Terutang = (50% x 28%) x Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas + 28% x Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) x Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak – Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas Contoh 1): Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Penghitungan pajak yang terutang: Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00. Pajak Penghasilan yang terutang: (50% x 28%) x Rp 500.000.000,00 = Rp 70.000.000,00 Contoh 2): Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
(Rp 4.800.000.000,00/Rp 30.000.000.000,00) x Rp 3.000.000.000,00 = Rp 480.000.000,00
Rp 3.000.000.000,00 – Rp 480.000.000,00 = Rp 2.520.000.000,00 Pajak Penghasilan yang terutang: (50% x Rp 28%) x Rp 480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00 28% x Rp 2.520.000.000,00 = Rp 705.600.000,00 + Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp 772.800.000,00 D. Kredit Pajak Untuk mendapatkan pajak yang masih harus dibayar pada suatu tahun pajak maka atas pajak yang terhutang perlu dikurangi dengan kredit pajak. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Kredit pajak yang dapat dikurangkan terhadap pajak yang terutang pada akhir
tahun adalah Pajak Penghasilan yang Telah dilunasi dalam tahun berjalan oleh WP
Dalam Negeri
Langkah-langkah menghitung Pajak Penghasilan Terutang pada akhir tahun untuk Wajib Pajak Badan: 1. Memperoleh laporan keuangan komersial (laporan laba rugi) beserta rincian-rinciannya yang dihasilkan oleh sistem pembukuan. Meneliti akun-akun dalam laporan keuangan (komersial) untuk melakukan rekonsiliasi fiskal. 2. Menyesuaikan penyajian laporan laba rugi komersial kedalam bentuk penyajian yang sesuai dengan ketentuan perpajakan. 3. Melakukan rekonsiliasi fiskal dan mengklasifikasikan pendapatan dan beban yang terdapat dalam laporan keuangan fiskal menjadi penghasilan dan pengurangan sesuai ketentuan perpajakan. 4. Menghitung dan mengklasifikasi jumlah penghasilan neto menurut sifatnya yaitu penghasilan yang pengenaan pajaknya tidak final, penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final, dan penghasilan yang bukan Objek Pajak. 5. Menghitung Penghasilan Kena Pajak . 6. Menghitung kredit pajak yang dibolehkan. 7. Menghitung pajak yang masih harus dibayar (lebih bayar). 8. Menentukan penghasilan yang dikenakan PPh final serta jumlah yang telah dipotong/dipungut . 9. Menentukan penghasilan yang bukan objek Pajak Penghasilan. Kredit pajak penghasilan adalah pajak – pajak yang telah dibayar sendiri atau telah dipotong oleh pihak lain yang berkaitan dengan transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak lain. Yang perlu diperhatikan atas pajak – pajak yang dapat dikreditkan antara lain seperti berikut:
Kredit pajak penghasilan dapat dibedakan menjadi seperti berikut ini:
Kredit Pajak Yang Dibayar Sendiri Pajak yang dibayar sendiri oleh WP yang dapat dikreditkan adalah PPh pasal 25 dan Fiskal Luar Negeri. PPh pasal 25 adalah uang muka PPh yang akan diperhitungkan atas PPh yang terutang diakhir tahun. Besarnya PPh pasal 25 dihitung dengan cara sebagai berikut:
E. Pajak Akhir Tahun Pada akhir tahun pajak, Wajib Pajak Dalam Negeri, Bentuk Usaha Tetap diwajibkan untuk melakukan perhitungan pajak yang terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan, kecuali atas penghasilan yang telah dipotong pajak bersifat final. Pajak yang terutang pada akhir tahun dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun yang bersangkutan. Hasil pengurangan Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun dengan kredit pajak untuk tahun yang bersangkutan akan berakibat pajak penghasilan yang terutang lebih besar atau lebih kecil dari kredit pajak ataupun nihil. Mengacu pada Pasal 28, Pasal 28A, dan Pasal 29 Undang-undang Pajak Penghasilan. PPh Pasal 28 Bagi WP Dalam Negeri dan BUT, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa:
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi – sanksinya. PPh Pasal 29 Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan. Tambahan data mengenai perubahan tarif Undang – Undang PPh: Tarif Pemotongan / Pemungutan
PPH Pasal 22 UU No. 17 Tahun 2000: Menteri Keuangan dapat menetapkan:
diusulkan tambahan:
Perubahan PPh Pasal 23 Perubahan pada PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c: Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, atau disediakan untuk dibayarkan, atau jatuh tempo pembayaran oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2 % (dua persen) dari jumlah bruto atas:
PPh Pasal 25 ayat (7) huruf c WP OP Tertentu Keputusan Perubahan: Diangkat menjadi Batang Tubuh UU PPh Pasal 25 ayat(7) Tarif paling tinggi 0,75% dari jumlah peredaran bruto berdasarkan pembukuan atau pencatatan setiap bulan. FISKAL LUAR NEGERI PPh Pasal 25 ayat (8) Keputusan Perubahan: a) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki NPWP tidak membayar Fiskal Luar Negeri. b) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 tahun yang bertolak ke LN, wajib membayar Fiskal Luar Negeri sebagai pembayaran pajak dimuka yang ketentuannya diatur dengan PP. DAFTAR REFERENSI Resmi, Siti. 2007. Perpajakan Teori dan Kasus, Edisi Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Salemba Empat. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. www.google.com www. pajak.go.id www.pajakonline.com www.pajak.org Undang – Undang dan Peraturan Pelaksanaannya. 2008. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Waluyo. 2007. Perpajakan Indonesia. Buku satu dan dua. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Page 2 |