Apakah Indonesia meratifikasi Konvensi Wina 1969

Apakah Indonesia meratifikasi Konvensi Wina 1969

Bandung - Beberapa perundangan terkait Perjanjian Internasional perlu disempurnakan, agar dapat dibedakan antara pengesahan eksternal sebagai suatu prosedur internasional dengan pengesahan internal sebagai suatu prosedur tata negara pada tingkat nasional. Hal itu disampaikan oleh Eddy Pratomo saat mempertahankan disertasinya di depan sidang terbuka promosi doktor di Ruang Sidang Gedung Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Jl. Dipati Ukur No. 35, Bandung, hari ini Selasa (26/4/2011). Dalam sidang dengan tim promotor yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Yudha Bhakti, SH, MH, Eddy yang saat ini masih aktif menjabat sebagai Dubes RI untuk Republik Federal Jerman, berhasil meraih gelar doktor ilmu hukum dengan yudisium Cum Laude.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selengkapnya saran penyempurnaan seperti beberapa peraturan perundangan terkait, seperti disampaikan Eddy Pratomo melalui Ayodhia Kalake kepada detikcom hari ini. Perlu penyempurnaan tentang pengertian perjanjian internasional pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional agar sesuai dengan pengertian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf (a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Juga Pasal 2 ayat (1) huruf (a) Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dengan Organisasi Internasional dan Organisasi Internasional dengan Organisasi Internasional lainnya. Selain itu perlu pula mengubah redaksional pada Pasal 8 ayat (d) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang semula berbunyi, "Melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan" menjadi ”Melakukan perjanjian pinjaman luar negeri (dibidang keuangan)." Pemerintah Republik Indonesia perlu segera meratifikasi Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional karena pada dasarnya Pemerintah Indonesia telah melaksanakan isi Konvensi Wina tahun 1969 tersebut. Terkait dengan status perjanjian internasional dalam hukum nasional, perlu menyempurnakan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 dengan menambah 1 (satu) ayat baru tentang kebijakan hukum Indonesia yakni penegasan teori kombinasi (inkorporasi dan transformasi yang dilakukan secara dinamis). Usulan ayat baru dimaksud berbunyi,"Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia (inkorporasi dan transformasi) menjadi hukum nasional". Pada ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional perlu ditambah 1 (satu) ayat baru yang berbunyi, "Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang atau dengan Peraturan Presiden mengikat Indonesia." Selain itu perlu pula menambah 1 (satu) ayat baru pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi, "Status hukum suatu Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi adalah setara dengan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang." Terakhir, perlu penyempurnaan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional untuk lebih menjelaskan makna ratifikasi dengan menambah 1 (satu) ayat baru yang berbunyi, "Pengesahan/ratifikasi meliputi prosedur internal dan eksternal."

(es/es)

Karmila Hippy


Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan ratifikasi perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969, bagaimanakah mekanisme dan praktik ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia, dan apakah kendala dalam proses ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia. Dengan menggunakan penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Salah satu cara untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional yaitu melalui ratifikasi yang dicantumkan dalam Pasal 14 ayat 1 Konvensi Wina 1969. 2. Ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang  Dasar 1945, Surat Presiden RI Nomor : 2826/HK/1960 dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yakni pengesahan/ratifikasi dalam bentuk undang-undang dan keputusan presiden. Tetapi faktanya, mekanisme pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional hanyalah berdasarkan Pedoman Praktis Pembuatan Dokumen Hukum yang dibuat oleh Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Bahwa praktik mengenai ratifikasi negara kitapun agak tidak menentu dan lambat. Lambatnya kerja ratifikasi ini dapat dilihat pada jumlah undang-undang ratifikasi yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR setiap tahunnya yang paling banyak hanya mencapai 7 (tujuh) ratifikasi saja. 3. Kendala dalam proses ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia, diantaranya sulitnya mengharmoniskan standar internasional itu dengan hukum dan peraturan domestik, kekurangan tenaga ahli, kurangnya perhatian pemerintah, belum adanya UU Ratifikasi.

Kata kunci: ratifikasi, perjanjian internasional


Ratifikasi Perjanjian Internasional

Perlu tidaknya perubahan terhadap undang-undang ratifikasi yang konvensi aslinya diubah adalah tergantung dari materi yang terdapat dalam perubahan konvensi tersebut.

Ratifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia berarti:

pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional.

Ratifikasi (pengesahan) sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UUPI”), dalam Pasal 1 Angka 2 UUPI dijelaskan bahwa:

Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk pengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).

Adapun yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.[1]

Terdapat dua bentuk ratifikasi yakni pengesahan menggunakan undang-undang dan pengesahan menggunakan keputusan presiden. Jika menggunakan pengertian ini maka semua perjanjian internasional memerlukan ratifikasi/pengesahan ke dalam hukum nasional. Ratifikasi dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (“KW 1969”) adalah persetujuan atau konfirmasi kesediaan untuk diikat oleh perjanjian internasional.

Dalam hukum internasional, menurut Sefriani dalam bukunya Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer (hal.102) ratifikasi bukan merupakan pengesahan tetapi persetujuan, konfirmasi, kesediaan Negara untuk tunduk (consent to be bound) dan diikat oleh suatu perjanjian internasional.[2]

Jadi dengan meratifikasi sebuah perjanjian internasional berarti Indonesia bersedia terikat dan menerima hak dan kewajiban yang timbul akibat perjanjian tersebut. Pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang dilakukan apabila menyangkut hal-hal yang fundamental. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang menyebutkan bahwa:

  1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

  2. Persiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

  3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Pasal tersebut memang tidak menjelaskan proses pengesahan secara eksplisit, namun yang dijelaskan lebih pada prasyarat ratifikasi melalui undang-undang dalam hal menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. jika prasyarat ini terpenuhi maka Presiden memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) untuk meratifikasi.

Selanjutnya dijelaskan lebih terperinci dalam Pasal 10 UUPI bahwa:

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

  1. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara;

  2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia.;

  3. kedaulatan atau hak berdaulat Negara;

  4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

  5. pembentukan kaidah hukum baru;

  6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Namun, terhadap perjanjian internasional yang tidak mengatur hal-hal pada pasal tersebut, maka tidak diperlukan ratifikasi menggunakan undang-undang terhadapnya, ratifikasi cukup dilakukan melalui Keputusasn Presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 UUPI, yakni:

  1. Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.

  2. Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.

Pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018, kriteria perjanjian internasional yang pengesahannya perlu mendapat persetujuan DPR diperluas dengan ditambahkan area perjanjian internasional lain yang menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Lalu putusan ini dapat juga dikatakan mempersempit lingkup ratifikasi dalam bentuk undang-undang karena tidak semua jenis perjanjian harus memperoleh persetujuan DPR.

Meskipun masuk dalam kategori sebagaimana dimaksud Pasal 10 UUPI, masih perlu dilihat apakah perjanjian tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara atau tidak. Dalam pertimbangannya, Mahkamah mendasarkan pada semangat pembukaan UUD 1945, hakikat kekuasaan eksekutif, dan memperhatikan praktik negara-negara berdaulat, keterlibatan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat dalam proses pemberian persetujuan pembuatan perjanjian internasional umumnya tidak diberlakukan pada semua perjanjian internasional, melainkan hanya terhadap perjanjian internasional yang dianggap penting saja.

Perlukah Undang-Undang Ratifikasi Diubah Jika Perjanjian Internasional Berubah?

Maka dari itu menjawab pertanyaan Anda, perlu diperhatikan terlebih dahulu perihal materi apa yang diatur dalam perubahan konvensi internasional tersebut. Apakah perubahan konvensi tersebut mengatur perihal hal-hal yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UUPI dan Putusan a quo Mahkamah Konstitusi. Jika terhadap perubahan konvensi internasional bertentangan dengan berbagai aspek yang fundamental sebagaimana prasyarat dalam UUPI dan putusan MK maka perlu dilakukan perubahan terhadap undang-undang ratifikasinya.

Sebaliknya, jika perubahan tersebut masih sejalan dengan dasar-dasar dan ideologi bangsa dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud UUPI dan Putusan MK maka undang-undang ratifikasinya tidak perlu diubah. Hal ini disebabkan karena perubahan terhadap undang-undang memerlukan tahapan yang tidak sederhana dan cenderung memakan waktu yang lama. Terhadap perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori berdampak luas maka dalam pengesahannya hanya diperlukan keputusan presiden saja.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermafaat.

Dasar Hukum:

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018.

Referensi:

  1. Sefriani. 2016. Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer . Jakarta : Rajawali Pers.

[2] Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer ( Rajawali Pers: Jakarta, 2016) hlm. 102