AHKAMUL JUM’AT Show Oleh 1. HUKUM SHALAT JUM’AT [1] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah...” [Al-Jumu’ah/62: 9] Inilah argumentasi yang jelas. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Thariq bin Syihab, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَـى كُلِّ مُسْلِمٍ (فِـيْ جَمَـاعَةٍ) إِلاَّ أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ. “Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim (dengan berjama’ah)[3] kecuali kepada empat orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sedang sakit.” Hadits ini dishahihkan bukan hanya oleh satu Imam (ulama hadits). 2. IMAM BESAR Kesimpulan, syarat tersebut sama sekali tidak berlandaskan kepada ilmu, bahkan yang mewajibkannya sama sekali tidak benar bahwa hal itu riwayat dari sebagian Salaf, apalagi dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu tidak ada manfaatnya memperpanjang masalah tersebut.[4] 3. JUMLAH JAMA’AH PADA SHALAT JUM’AT Saya senantiasa merasa aneh kenapa hal itu bisa terjadi di kalangan para penulis, bahkan dicantum-kan di dalam buku-buku bimbingan shalat, mereka memerintahkan orang awam untuk meyakini dan mengamalkannya, padahal pendapat tersebut ada di dalam jurang kehancuran, pendapat tersebut tidak khusus ada di dalam satu madzhab dari berbagai madzhab, juga bukan terjadi hanya pada satu daerah saja. Akan tetapi terjadi secara turun-menurun, seakan-akan pendapat tersebut diambil dari Kitabullah! Padahal ia hanya merupakan hadits khayalan belaka! Aduhai! Apa bedanya ibadah ini dengan ibadah yang lainnya? Bisakah syarat dan rukun-rukunnya serta wajibnya menjadi tetap hanya dengan dalil, yang jika disodorkan kepada para peneliti niscaya mereka tidak mungkin menjadikannya sebagai Sunnah, apalagi menjadikannya wajib apalagi syarat? Yang benar adalah sesungguhnya shalat Jum’at merupakan kewajiban dari Allah Subhanahu wa Ta’la yang merupa-kan syi’ar di antara syi’ar-syi’ar Islam dan merupakan salah satu bentuk shalat dari berbagai macam shalat, maka barangsiapa menganggap adanya syarat tertentu yang berbeda dengan shalat lainnya, maka ucapannya tidak akan didengar (diterima) kecuali jika berlandas-kan atas dalil. Jika pada suatu tempat hanya ada dua orang, maka salah satu di antara keduanya berdiri menyampaikan khutbah, sedangkan yang lainnya mendengar-kan, kemudian mereka berdua melakukan shalat, [dengan itu berarti mereka berdua telah melakukan][5] shalat Jum’at. Kesimpulan, semua tempat layak untuk melaksanakan kewajiban ini [6], jika di dalamnya ada dua orang muslim sebagaimana shalat berjama’ah yang lainnya. Bahkan jika ada yang mengatakan bahwa semua dalil yang menunjukkan sahnya shalat sendirian mencakup sahnya shalat Jum’at, maka pendapat itu pun tidak jauh dari kebenaran.[7] 4.
BANYAKNYA TEMPAT PELAKSANAAN SHALAT JUM’AT YANG DILAKUKAN PADA SATU NEGERI (WILAYAH). Kesimpulan, sesungguhnya larangan mendirikan dua Jum’at pada satu wilayah, walaupun dia mengatakan bahwa di antara syarat sah Jum’at adalah tidak adanya shalat Jum’at lain pada satu daerah, maka saya katakan dari manakah pendapat ini berasal? Dan apakah ada dalil yang menjadi landasan bagi pendapat tersebut? Jika mereka hanya berlandaskan atas tidak adanya izin dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendirikan Jum’at selain di masjid Madinah dan perkampungan yang ada di sekitarnya. Maka sesungguhnya hal ini -selain tidak layak untuk dijadikan dalil akan adanya syarat yang mengandung kebathilan, bahkan atas kewajiban yang ada di bawahnya- harus diterapkan pula pada shalat-shalat wajib yang lainnya [8], maka tidaklah sah melakukan shalat Jum’at pada satu tempat yang belum pernah diizinkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya, ini jelas merupakan dalil paling bathil. Selanjutnya, seandainya batalnya satu Jum’at yang lain dari dua tempat pelaksanaan Jum’at [9] ketika Anda mengetahui karena adanya sesuatu penghalang, maka apakah penghalang tersebut? Karena pada dasar-nya adalah sahnya suatu peribadatan di mana saja ia lakukan dan kapan saja kecuali adanya dalil yang menunjukkan larangan, sedangkan di dalam masalah ini sama sekali tidak ada larangan.[10] 5. APAKAH YANG HARUS DILAKUKAN OLEH ORANG YANG TERTINGGAL SHALAT
JUM’AT? وَمَنْ فَاتَتْهُ الرَّكْعَتَانِ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا. “Maka barangsiapa tertinggal dua raka’at (Jum’at), maka ia harus menggantikannya dengan melakukan empat raka’at.” [11] Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang ter-tinggal dengan tidak melakukan shalat Jum’at, maka ia harus menggantikannya dengan melakukan shalat Zhuhur. 6. APAKAH UKURAN YANG MENUNJUKKAN BAHWA SHALAT JUM’AT TELAH DILAKUKAN مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْجُمُعَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْجُمُعَةَ. “Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dalam shalat Jum’at (dengan berjama’ah), maka sesungguhnya ia telah mendapatkan shalat Jum’at.” Hadits ini memiliki dua belas jalan, al-Hakim menshahihkan tiga jalan di antaranya. Beliau berkata di dalam kitab al-Badrul Muniir, “Tiga jalan ini merupakan jalan yang paling baik bagi hadits tersebut sedangkan yang lainnya lemah.” Diriwayatkan pula oleh an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan ad-Daraqutni dari hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, baginya beberapa jalan. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam kitabnya Buluughul Maraam, “Sanadnya shahih, namun Abu Hatim [lebih memperkuat][12] untuk menjadikannya sebagai hadits Mursal. Semua hadits ini layak untuk dijadikan hujjah.[13] [Disalin dari kitab Al-Ajwibah an-Naafi’ah ‘an As-aalah Lajnah Masjidil Jaami’ah, Penulis Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Edisi Indonesia APAKAH ADZAN PADA SHALAT JUM’AT SATU KALI ATAU DUA KALI? Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit PUSTAKA IBNU KATSIR – Bogor] أَنَّهُمْ كَتَبُوْا إِلَى عُمَرَ يَسْأَلُوْنَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ فَكَتَبَ: جَمِّعُوْا حَيْثُمَا كُنْتُمْ.“ Kaum muslimin pernah menulis surat kepada ‘Umar menanyakan tentang shalat Jum’at? Lalu beliau menulis surat kepada mereka (yang isinya): ‘Lakukanlah shalat Jum’at di mana saja kalian berada.’” Sanad hadits ini shahih, diriwayatkan pula dari Imam Malik, beliau berkata: كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ J فِيْ هذِهِ الْمِيَاهِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِيْنَةِ يُجَمِّعُوْنَ. “Dahulu para Sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada di sekitar perairan ini, antara Makkah dan Madinah mereka melakukan shalat Jum’at.” Ini adalah nash dari beliau yang menyatakan bahwa shalat Jum’at tidak sah dilakukan dengan sendiri-sendiri dengan landasan hadits Thariq bin Syihab. Inilah pendapat yang benar. Saya kira tidak adanya kecermatan penulis di dalam buku yang pertama karena sebab-sebab yang telah saya sebutkan, yaitu tidak adanya kalimat “Dilakukan dengan berjama’ah” pada hadits. Karena itu tidak ada tulisan yang mengingatkan beliau di dalam
kitab itu, tidak pula beliau mengingatnya. Wallaahu a’lam. خَرَجْتُ مَعَ الزُّبَيْرِ مُخْرِجًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَصَلَّى الْجُمُعَةَ أَرْبَعًا. “Aku keluar menuju masjid bersama az-Zubair dengan terlambat pada hari Jum’at, lalu beliau melakukan shalat Dzuhur sebanyak empat raka’at.” ‘Abdurrahman yang ada di dalam sanad atsar ini adalah Ibnu ‘Abdillah bin Abi Dzuaib, Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqaat (VI/122), beliau berkata: “Ia adalah seorang yatim yang diasuh oleh az-Zubair bin al-‘Awwam. Pertama, sebagaimana dimaklumi bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para Sahabatnya melakukan shalat Zhuhur pada hari Jum’at ketika beliau berada dalam safar (perjalanan), akan tetapi mereka melakukannya secara qashar, seandainya shalat yang dilakukan pada hari Jum’at asalnya adalah shalat Jum’at, niscaya beliau akan melakukannya walaupun ada di dalam sebuah safar (perjalanan). Kedua, ‘Abdullah bin Ma’dan meriwayatkan dari neneknya, dia berkata bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud berkata kepada kami: إِذَا صَلَّيْتُنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مَعَ اْلإِمَـامِ فَصَلِّيَنَّ بِصَلاَتِهِ، وَإِذَا صَلَّيْتُنَّ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ فَصَلِّيَنَّ أَرْبَعًا. “Jika kalian melakukan shalat Jum’at beserta imam, maka laku-kanlah seperti shalatnya, dan jika kalian melakukannya di rumah kalian, maka lakukanlah dengan empat raka’at.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (I/207/2), dan sanadnya shahih kepada nenek Ibnu Ma’dan, adapun dia, aku tidak mengenalnya. Yang jelas dia adalah seorang Tabi’in dan bukan Sahabat. Akan tetapi hadits ini diperkuat oleh riwayat dari al-Hasan tentang seorang wanita yang hadir di dalam masjid pada hari Jum’at bahwa ia cukup dengan melakukan shalat seperti shalatnya imam. Di dalam riwayat lain, beliau berkata: كُنَّ النِّسَاءُ يَجْمَعْنَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَكَـانَ يُقَالُ: لاَ تَخْرُجْنَ إِلاَّ تَفَلاَتٍ لاَ يُوْجَدُ مِنْكُنَّ رِيْحٌ طَيِّبٌ. “Para wanita pada zaman Nabi keluar bersama Nabi j, dan dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian keluar kecuali tafalaat, yakni tidak memakai wewangian sama sekali.” Sanad hadits ini shahih. كُنَّ نِسَاءُ الْمُهَاجِرِيْنَ يُصَلِّيْنَ الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَحْتَبِسْنَ بِهَا مِنَ الظُّهْرِ. “Dahulu para wanita Muhajirin melakukan shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka meninggalkan shalat Zhuhur, karena merasa cukup dengan shalat Jum’at.” Komentar saya: Barangsiapa berpendapat bahwa hukum asal shalat pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at dan orang yang ketinggalan melakukannya atau orang yang tidak
wajib atasnya shalat Jum’at -seperti orang yang sedang dalam perjalanan dan wanita-, maka wajib baginya hanya melakukan dua raka’at shalat Jum’at, sungguh orang yang berpendapat demikian telah menyalahi nash tanpa alasan. Kemudian saya melihat ash-Shan’ani menuturkan (II/74) seperti itu dan sesungguhnya orang yang ketinggalan dan tidak melakukan shalat Jum’at, maka ia harus melakukan shalat Zhuhur menurut kesepakatan para ulama, karena ia adalah penggantinya, dan inilah pendapat yang disepakati
(ijma’). Demikianlah yang beliau ucapkan, dan kami telah mentahqiqnya di dalam risalah tersendiri. إِنَّمَا جُعِلَتِ الْخُطْبَةُ مَكَانَ الرَّكْعَتَيْنِ، فَإِنْ لَمْ يُدْرِكِ الْخُطْبَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا. “Sesungguhnya khutbah itu sebanding dengan dua raka’at, maka barangsiapa tidak mendapati khutbah, hendaknya ia melakukan shalat sebanyak empat raka’at.” Riwayat ini tidak shahih, karena terputusnya jalan antara Yahya bin Abi Katsir dengan ‘Umar.
Apakah shalat Jumat itu wajib?Sholat Jumat sendiri hukumnya fardhu 'ain alias wajib bagi tiap Muslim laki-laki yang memenuhi syarat. Bahkan, dalil yang menunjukkan sholat Jumat itu wajib disebutkan dalam Al Quran, Hadits, dan Ijma atau kesepakatan ulama. Salah satunya termaktub dalam Quran, Surat Al Jumuah Ayat 9.
Apa hukumnya jika tidak sholat Jumat?Lantas apa hukum orang yang meninggalkan sholat Jumat? Dilansir dari Elbalad, meninggalkan sholat Jumat adalah dosa besar jika tanpa alasan syar'i yang mencegah seseorang untuk melakukannya. Dijelaskan dalam hadist, orang yang sengaja meninggalkan sholat Jumat, Allah SWT akan tutup hatinya dari cahaya hidayah.
Apakah wajib sholat Jumat di masjid?Merdeka.com - Setiap hari Jumat, para laki-laki yang beragam Islam akan berbondong-bondong menuju masjid terdekat untuk melaksanakan ibadah salat Jumat. Salat Jumat ini merupakan ibadah wajib bagi setiap laki-laki muslim yang sudah baligh. Ibadah ini dilakukan secara berjemaah di waktu zuhur.
|