Apakah DJP melanggar ketentuan Pasal 43 A apabila melakukan pemeriksaan bukti permulaan tanpa melalui pemeriksaan kepatuhan terlebih dahulu?

Dalam Pasal 43A ayat 1 UU KUP dapat ditemukan penegasan bahwa Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Lantas, apa yang dimaksud dengan pemeriksaan bukper tersebut?

Sebagaimana disebutkan dalam UU KUP, pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Sementara yang dimaksud dengan bukper adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Dengan kata lain, pengertian pemeriksaan bukper adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukper tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

Pemeriksaan bukper dilakukan untuk menegaskan bahwa ada dan terdapat bukti penyimpangan pajak yang dapat menjadi acuan untuk dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan tersebut. Tidak ada tindakan penyidikan tanpa didahului oleh pemeriksaan bukper. Hal ini mengisyaratkan bahwa penyidikan dilakukan apabila terdapat indikasi penyimpangan pajak yang didasarkan pada bukper.

Dalam hal ini pemeriksaan bukper merupakan alat yang bertujuan untuk mengungkapkan keberadaan bukper ada dugaan terjadi tindak pidana perpajakan. Apabila ditemukan adanya penyimpangan dan tindak pidana perpajakan maka akan ditindaklanjuti ke arah penyidikan.

Sebaliknya, jika tidak ditemukan bukper adanya dugaan terjadi penyimpangan dan tindak pidana perpajakan maka informasi, data, laporan atau pengaduan itu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk memberikan legalitas adanya dugaan terjadinya tindak pidana perpajakan.

Dasar Pemeriksaan Bukper

Bukper yang akan dilakukan pemeriksaan tertuju pada keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk ada dugaan terjadinya tindakan pidana perpajakan dan merugikan penerimaan negara, di antaranya yang bersumber dari :

  • Informasi: keterangan baik yang disampaikan secara lisan maupun tertulis yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya bukper tindak pidana di bidang perpajakan.
  • Data: kumpulan angka, huruf, kata, atau citra yang bentuknya dapat berupa surat, dokumen, buku atau catatan, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya bukper tindak pidana di bidang perpajakan, yang menjadi dasar pelaporan yang belum dianalisis.
  • Laporan: pemberitahuan yang disampaikan oleh orang atau institusi karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
  • Pengaduan: pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum orang pribadi atau badan yang telah melakukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang merugikannya

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 239/PMK.03/2014, Dirjen Pajak berwenang melakukan pemeriksaan bukper berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan yang akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan.

Ruang Lingkup Pemeriksaan Bukper

Ruang lingkup pemeriksaan bukper yaitu dugaan suatu peristiwa pidana yang ditentukan dalam surat perintah pemeriksaan bukper. Dengan kata lain, surat perintah pemeriksaan bukper menjadi dasar pelaksanaan pemeriksaan bukper oleh tim pemeriksa bukper.

Jenis pemeriksaan bukper sendiri terdiri dari pemeriksaan bukper secara terbuka dan tertutup. Pemeriksaan bukper secara terbuka dilakukan dalam hal pemeriksaan bukper terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP atau merupakan tindak lanjut dari pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Pemeriksaan bukper secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis perihal pemeriksaan bukper kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan pemeriksaan bukper. Sementara itu, pemeriksaan bukper secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan tentang adanya pemeriksaan bukper kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan pemeriksaan bukper.

Pemeriksaan bukper secara terbuka dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 12 sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan pemeriksaan bukper sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Adapun pemeriksaan bukper secara tertutup dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat perintah pemeriksaan bukper diterima oleh pemeriksa bukper sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Prosedur dan standar pelaksaan pemeriksaan bukper, serta kewajiban, hak dan kewenangan dalam pemeriksaan bukper saat ini diatur dalam PMK 239/2014.

moderator(Moderator)Jul 14, 2021 2:47 PM

Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Artikel ini membahas topik Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana diatur pada Peraturan Menteri Keuangan nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

I.           Definisi

1.      Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

2.      Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

3.      Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

4.      Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

II.           Dasar Pemeriksaan Bukti Permulaan

Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan. Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan yang diterima atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan. Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan dengan indikasi kuat adanya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang ditemukan dari hasil pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan dapat langsung ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan meskipun telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sepanjang belum melampaui daluwarsa penuntutan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

III.           Jangka Waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan

Pemeriksa Bukti Permulaan melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Pemeriksa Bukti Permulaan melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterima oleh pemeriksa Bukti Permulaan sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Apabila pemeriksa Bukti Permulaan tidak dapat melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan.

IV.           Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan

Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dilaksanakan sesuai dengan:

1.      standar umum Pemeriksaan Bukti Permulaan;

2.      standar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan

3.      standar pelaporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Standar umum Pemeriksaan Bukti Permulaan berkaitan dengan pemeriksa Bukti Permulaan, yaitu Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang:

1.      diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan;

2.      mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup sebagai pemeriksa Bukti Permulaan;

3.      menggunakan keterampilannya secara cermat dan saksama;

4.      jujur, bersih dari tindakan-tindakan tercela, dan senantiasa mengutamakan kepentingan negara; dan

5.      taat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Standar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

1.      dilaksanakan oleh tim pemeriksa Bukti Permulaan;

2.      dilakukan pengawasan oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan;

3.      didahului dengan persiapan yang baik;

4.      dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh pemeriksa Bukti Permulaan;

5.      dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu;

6.      didokumentasikan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan

7.      diperoleh simpulan yang berdasarkan pada Bahan Bukti yang sah dan cukup.

Standar pelaporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

1.      Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan

2.      Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan mengungkapkan tentang pelaksanaan, simpulan, dan usul tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan.

V.           Kewajiban dan Hak dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan

Pemeriksa Bukti Permulaan wajib:

1.      menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, jika Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka;

2.      memperlihatkan kartu tanda pengenal pemeriksa Bukti Permulaan, jika diminta oleh orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan;

3.      memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan, jika diminta oleh orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan;

4.      mengembalikan Bahan Bukti yang telah diperoleh melalui peminjaman dan tidak diperlukan dalam proses Penyidikan;

5.      merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan

6.      mengamankan Bahan Bukti yang ditemukan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, wajib:

1.      memberikan kesempatan kepada pemeriksa Bukti Permulaan untuk memasuki dan/atau memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Bahan Bukti;

2.      memberikan kesempatan kepada pemeriksa Bukti Permulaan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

3.      memperlihatkan dan/atau meminjamkan Bahan Bukti kepada pemeriksa Bukti Permulaan;

4.      memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis kepada pemeriksa Bukti Permulaan; dan

5.      memberikan bantuan kepada pemeriksa Bukti Permulaan guna kelancaran Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Pihak yang berkaitan atau pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan wajib memberikan keterangan dan/atau bukti yang diminta oleh pemeriksa Bukti Permulaan.

Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka mempunyai hak meminta kepada pemeriksa Bukti Permulaan untuk:

1.      menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan;

2.      memperlihatkan kartu tanda pengenal pemeriksa Bukti Permulaan;

3.      memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan; dan

4.      mengembalikan Bahan Bukti yang telah dipinjam dan tidak diperlukan dalam proses Penyidikan.