Apakah Dampak yang ditimbulkan jika seseorang salah dalam menentukan Padewasan

MUTIARAHINDU.COM -- Kalender Bali atau Kalender Saka disusun berdasarkan revolusi Bumi terhadap Matahari (Solar/Surya) dan juga revolusi Bulan terhadap Bumi (Lunar/Chandra). Sistem penanggalan yang digunakan pada kalender Bali yaitu Era Saka yang berawal pada tahun 78 Masehi dan disebut juga penanggalan Saliwahana. Penyebaran agama Hindu dari India di Asia Tenggara khususnya di Bali, berdampak sangat besar dalam penyusunan kalender Saka. Berbagai modifikasi unsur lokal telah dilakukan dalam penyusunan kalender Saka agar sesuai dengan kultur budaya, adat dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat lokal di Bali. Unsur-unsur lokal yang disusun pada kalender Saka menjadi patokan ritual keagamaan, hari baik dalam melakukan pekerjaan, menanam padi (agraria), membangun rumah (arsitektur), meramal watak seseorang (psikologi), meramal finansial seseorang, hingga detail-detail segala kegiatan masyarakat penggunanya. Selanjutnya di Bali, sistem ini dituangkan dalam lontar-lontar Wariga.

Apakah Dampak yang ditimbulkan jika seseorang salah dalam menentukan Padewasan
Image: yusny_5

Kalender Saka dapat dikatakan sebagai sistem penanggalan Lunisolar (kalender Suryachandra).  Kalender  Lunisolar  yang  dimaksud  adalah  kalender  yang menggunakan fase bulan sebagai acuan utama, dan juga menambahkan pergantian musim di dalam perhitungan tiap tahunnya. Kalender Saka ini ditandai dengan adanya bulan-bulan kabisat. Dalam kalender Saka yang berlaku di Bali, jatuhnya bulan-bulan kabisat, tidak sama diantara para pengamat wariga. Banyak varian dalam penggunaan sistem kabisat ini.

Disaat tahun 1948-1949, diadakan paruman/ rapat  yang  dilakukan  oleh  para  Sulinggih (Pandita) di Bali dan Lombok. Hasil paruman tersebut memberi kepercayaan alm. Ketut Bangbang Gde Rawi untuk menyusun kalender Bali  yang disusun  berdasarkan perhitungan Bulan sekaligus matahari.

Macam-macam Padewasan untuk Upacara Agama

Upacara dalam agama Hindu memiliki dimensi yang luas tidak semata-mata mengandung dimensi relegius saja. Seperti arti kata upacara dalam bahasa Sansekerta yang berarti mendekat. Mendekat dalam Upacara agama Hindu dilakukan dengan hati yang tulus dan keikhlasan mengabdi dan membangun keharmonisan dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta, dengan sesama manusia serta dengan alam lingkungan, yang terakomulasi dalam konsep tri hita karana yaitu tiga hubungan yang menyebabkan kebahagiaan, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:98).

Upacara agama menjadi suatu yang penting sebagai bagian dari tri kerangka dasar agama Hindu. Seperti disebutkan dalam Manawa Dharmasastra VII, 10, ada lima dasar penerapan Dharma (termasuk upacara) yaitu Ikşa, Śakti, Deśa, Kāla dan Tattwa. Ikşa, artinya, pandangan atau cita-cita seseorang, Śakti artinya kemampuan, Desa artinya ketentuan setempat (tempat) Kala artinya waktu dan tattwa artinya hakikat kebenaran Veda.

Jadi dalam melaksanaakan suatu upacara penentuan waktu dewasa menjadi suatu yang sangat penting. Seperti contoh untuk mendapatkan Vitamin D dari Sinar matahari, maka sebaiknya berjemur dilakukan pada pagi hari, bukan pada siang hari, artinya mencari atau melakukan sesuatu pada waktu yang tepat bisa berhasil sesuai dengan tujuan. Hal senada terkait dengan ketepatan waktu juga disebutkan dalam kitab Sàrasamuccaya 183 sebagai berikut:

Inilah perincian waktu yang baik, ada yang disebut daksinayana, waktu matahari bergerak ke arah selatan, ada yang disebut uttarayana, waktu matahari bergerak ke arah utara (dari khatulistiwa). Ada yang dinamakan sadacitimukha yaitu pada saat terjadinya gerhana bulan atau matahari, wisuwakala yaitu matahari tepat di khatulistiwa, adapun pemberian dana serupa benda pada waktu yang demikian itu sangat besar sekali pahalanya.

Berdasarkan sloka tersebut mengandung makna bahwa pemberian dana pada waktu-waktu yang ditentukan tersebut akan memberikan pahala yang sangat besar. Jadi untuk mendapatkan suatu hasil atau pahala yang baik dari suatu kegiatan (upacara agama) ditentukan oleh waktu yang tepat dari pelaksanaannya. Berangkat hal tersebut di bawah ini akan diberikan beberapa contoh padewasan untuk melakukan upacara agama yang termasuk kedalam upacara Panca Yajña.

1. Melakukan Upacara Dewa Yajña

Selain upacara agama yang dilakukan pada hari-hari suci baik yang ditentukan berdasarkan atas wewaran, wuku, penanggal, panglong, sasih, yang dirayakan oleh umat Hindu secara berkala dan berkelanjutan, dalam kesempatan ini akan diberikan contoh-contoh padewasan untuk nangun (memulai) upacara Dewa Yajña, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:99).

a. Sasih yang baik untuk melakukan Dewa Yajña: Kapat, kelima, kedasa.

b. Amerta Bhuana : Dewasa Ayu untuk Dewa Yadnya, Pemujaan Tuhan Yang Maha Esa serta leluhur untuk mendapat kesejahteraan.

c. Amerta Dewa : Hari baik melaksanakan dharma, Panca Yajña:, khususnya Dewa Yajña: juga hari yang baik digunakan untuk membangun khayangan/tempat-tempat suci

d. Amerta Masa : Hari yang baik untuk melakukan Panca Yajña dalam rangka

e. Ayu Nulus memohon kesejahteraan : Hari yang baik untuk melaksanakan Yajña, pekerjaan, usaha dan

f. Dauh Ayu kegiatan yang berlandaskan dharma : hari yang baik untuk melaksanakan Panca Yajña

g.Dewa ngelayang : dewasa yang baik memuja Ida Sang Hyang Widi, membangun kahyangan, pura, maupun sanggah

h. Dewa Werdi : hari baik untuk melaksanakan Panca Yajña, khusunya Dewa Yajña.

2. Melakukan Upacara Bhuta Yajña

Upacara Bhuta Yajña yang dilakukan oleh umat Hindu pada hari-hari suci yang telah ditentukan berdasarakan wewaran, wuku, sasih, penanggal panglong termasuk pada saat piodalan di pura-pura, mrajan atau tempat suci lainnya. Selain itu dilakukan pula nangun (membangun/memulai) Bhuta Yajña di luar ketetapan tersebut. Dewasa yang baik untuk melakukan upacara Bhuta Yajña sebagai berikut:

  • Sasih baik untuk Bhuta Yadnya: keenem dan kesanga.
  • Dewa Mentas: Hari yang cocok untuk melaksanakan Bhuta Yajna dan upacara penyucian diri dalam rangka pendidikan.

3. Melakukan Upacara Pitra Yajña

Untuk upacara Pitra Yajña terkait dengan keputusan Kesatuan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I s/d XV, terkait dengan Jenis-jenis Padewasan untuk upacara Pitra Yajña (atiwa-tiwa) dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: 

  • Padewasan yang sifatnya amat segera atau dadakan, atiwa-atiwa segera bisa dilakukan dengan mengacu pada wariga, dewasa, dan kekeran (aturan) desa. Adapun larangan atiwa-tiwa adalah Pasah, Anggara Kasih, Buddha Wage, Buddha Kliwon, Tumpek, Purwani Purnama, dan Tilem.
  • Pedewasan serahina (sehari-hari) adalah bila pelaksanaan atiwa-tiwa tersebut dilaksanakan lebih dari tujuh hari dan memperhatikan padewasan serahina yang perhitungannya berdasarkan wewaran, wuku, dan dauh.
  • Padewasan berjangka (berkala), adalah pelaksanaan atiwa-tiwa berdasarkan jangka waktu tertentu (berkala) yang perhitungannya berdasarkan wewaran, wuku, tanggal, panglong, sasih, dan dauh, dan disertai dengan sasih yang baik yaitu Kasa, Karo, Ketiga, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:100).

Selain itu di bawah ini disebutkan beberapa contoh waktu yang baik untuk melalukan pemujaan kepada leluhur atau Pitra Yajña yaitu:

  1. Sasih yang baik untuk memukur (atmawedana) : kedasa
  2. Sasih yang baik untuk Pitra Yajña : kasa, karo, ketiga
  3. Amerta Akasa: Hari baik untuk pemujaan kepada leluhur guna memperoleh pengetahuan serta berwawasan yang lebih luas.
  4. Sedana Tiba : Dewasa Ayu mengadakan upacara terhadap leluhur di sanggah/mrajan.

  • Kala Gotongan adalah hari yang pantang untuk mengubur, kremasi, ngaben (atiwa-tiwa) karena berakibat kematian berturut-turut. Tapi hari ini baik untuk pekerjaan dengan cara memikul atau bergotong royong.
  • Was Penganten : pantang untuk mengubur ataupun kremasi, karena dapat berakibat banyak orang sakit atau meninggal.

Jenis dari pelaksanaan upacara Manusa Yajña sangat banyak, yaitu mulai dari janin berada dalam kandungan hingga meninggal. Saat bayi lahir sesungguhnya ia telah mencari hari yang baik bagi kelahirannya. Pada tahap selanjutnya dilakukan rangkaian upacara hingga meningkat dewasa melalui upacara Rajasewala atau Rajasinga. Pada tahap selanjutnya setelah masa Brahmacari dilanjutkan masa Grhastha Asrama yaitu masa berumah tangga. Memasuki masa berumah tangga didahului dengan proses upacara sarira samskara berupa upacara Pawiwahan. Penentuan hari yang baik dalam upacara wiwaha sangat diharapkan, karena hal ini akan memberikan pengaruh terhadap eksistensi rumah tangga. Sebelum terjadinya proses pewiwahan (perkawinan) dan dikukuhkan dengan melaksanakan upacara perkawinan dalam memilih pasangan hidup didasarkan atas bibit, bebet, dan bobot. Dalam penentuan pilihan ini ada pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk menentukan dasar pilihan, salah satunya didasarkan atas primbon perjodohan. Hal ini diyakini memberikan pengaruh terhadap perkawinan. Ada beberapa primbon perjodohan sebagai rambu-rambu dalam memilih pasangan hidup yang didasarkan dasar wewarigan.

a. Perjodohan Berdasarkan Sapta Wara Kelahiran lanang (laki-laki) wadon (perempuan) Minggu-Minggu berakibat sering sakit-sakitan

Senin-Senin : berakibat buruk

Selasa-Selasa ; berakibat buruk

Rabu-Rabu : berakibat buruk

Kamis-Kamis : berakibat yuana (awet), senang

Jumat-Jumat : berakibat melarat

Sabtu-Sabtu : berakibat yuana, senang

Minggu-Senin : berakibat banyak penyakit

Minggu - Selasa : berakibat melarat

Minggu- Rabu : berakibat yuana, senang

Minggu-Kamis : berakibat konfli

Minggu-Jumat : berakibat yuana, senang

Minggu-Sabtu : berakibat melarat, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:101).

Jumat-Sabtu : berakibat celaka

Senen-Selasa : berakibat yuana (rupawan), senang

Senen-Rabu : berakibat beranak wadon (perempuan)

Senen Kamis : berakibat disukai orang

Senen-Jumat : berakibat yuana, senang

Senen-Sabtu : berakibat rezekian

Selasa-Rabu : berakibat kaya

Selasa-Kemis : berakibat kaya

Selasa-Jumat : berakibat pisah/cerai

Selasa-Sabtu : berakibat sering konfli

Rabu-Kamis : berakibat yuana, senang

Rabu-Jumat : berakibat yuana, senang

Rabu-Sabtu : berakibat baik

Kemis-Jumat : berakibat yuana, senang

Kemis-Sabtu : berakibat pisah/cerai

b. Jodoh berdasar Gabungan atau jumlah neptu (urip) Panca Wara dan Sapta Wara laki dan perempuan, kemuadian dibagi 5. Dan sisa menujukan pengaruh yang ditimbulkan dari perjodohan

Sisa 1: SRI, berarti rumah tangga beroleh rezeki

Sisa 2: DANA, berarti rumah tangga keadaan keuangan baik

Sisa 3:LARA berarti anggota rumah tangga dalam kesusahan atau kesakitan

Sisa 4: PATI berarti kesengsaran, mungkin bisa menemui kematian atau kehilangan rezeki

Habis dibagi : LUNGGUH, berarti akan mendapatkan kedudukan

c. Berdasarkan jumlah seluruh neptu dibagi empat, dan sisa menunjukan pengaruh yang ditimbulkan dari perjodohan

Sisa 1 disebut GENTO berarti jarang anak

Sisa 2 disebut PATI berarti banyak anak

Sisa 3 disebut SUGIH berarti banyak rezeki

Habis di bagi disebut PUNGGEL berarti kehilangan rezeki, cerai atau mati

d. Jodoh berdasarkan Pertemuan jumlah Neptu

Jumlah Neptu Sapta Wara dan Panca Wara laki, jumlah neptu Sapta Wara dan Panca Wara si perempuan masing-masing di bagi 9 (Sembilan), kemudian sisanya masing-masing dipertemukan :

1 dengan 1 : saling mencintai

1. dengan 3  : rukun, jauh amerta

1. dengan 4  : banyak celaka

1. dengan 5  : cerai, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:102).

1 dengan 6 : jauh sandang pangan

1 dengan 7 : banyak musuh

1 dengan 8 : terombang-ambing

1 dengan 9 : jadi tumpuan orang susah

1 dengan 2 : dirgahayu, banyak rezeki

2 dengan 3 : salah satu cepat mati

2 dengan 4 : banyak godaan

2 dengan 5 : sering celaka

2 dengan 7 : anak-anak bayak mati

2 dengan 8 : pendek rezeki

2 dengan 9 : panjang rezeki

3 dengan 4 : banyak cobaan/celaka

3 dengan 6 : mendapat nugraha

3 dengan 7 : banyak godaan

3 dengan 8 : salah satu cepat mati

4 dengan 4 : sering sakit

4 dengan 5 : banyak rencana

4 dengan 6 : kaya, banyak rezeki

4 dengan 8 : banyak rintangan

4 dengan 9 : salah satu kalah

5 dengan 5 : keberuntungan terus

5 dengan 6 : terbatas/pendek rezeki

5 dengan 7 : sandang pangan berkepanjangan

5 dengan 8 : banyak rintangan

5 dengan 9 : terbatas sandang pangan

6 dengan 6 : besar goadaannya

6 dengan 9 : terombang-ambing

7 dengan 7 : dikuasai istri

7 dengan 8 : celaka akibat perbuatan sendiri

7 dengan 9 : panjang jodoh dan berpahala

8 dengan 8 : disenangi orang

8 dengan9 : banyak celaka

9 dengan 9 : susah rezeki, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:103).

Petemon (pertemuan) laki-perempuan yang bernama Tri Premana ini didasarkan atas perhitungan jumlah neptu Panca Wara ditambah Sad Wara ditambah Sapta Wara dari weton (kelahiran) di pihak laki dan perempuan lalu di bagi 16 (enam belas) dan sisa dari pembagian memiliki makna sebagai berikut :

Sisa 1 bermakna diliputi kebimbangan, dalam keadaan suka dan duka, baik buruk, sehingga dituntut ketabahan

Sisa 2 bermakna durlaba, rezeki seret, tapi suka melancong

Sisa 3 bermakna sering mendapat malu dan kecewa

Sisa 4 bermakna susah mendapatkan sentana (keturunan)

Sisa 5 bermakna merana, sering sakit

Sisa 6 bermakna merana sering sakit

Sisa 7 bermakna mengalami suka duka, baik buruk dalam perjalanan hidupnya menuju bahagia

Sisa 8 bermakna sukar untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, bahkan sampai kekurangan (terak)

Sisa 9 bermakna kurang hati-hati, kesakitan tak henti-hentinya mewarnai hidupnya, sampai menimbulkan kekecewaan dan penyesalan hidup

Sisa 10 bermakna mendapatkan wibawa serta disegani bagaikan raja/ratu yang berkuasa, sehingga dapat mengayomi keluarga

Sisa 11 bermakna mendapat sukses dalam perjalanan hidup, tercapai cita-citanya penuh kepuasan (sidha serta sabita)

Sisa 12  bermakna sedana nulus, rezeki lancar/gampang

Sisa 13 bermakna dirgayusa, panjang umur, rezekinya berkepanjangan Sisa 14 bermakna mendapatkan kebahagiaan/kesenangan selalu

Sisa 15 bermakna sering mengalami kesusahan, keadaan buruk serta banyak problem

Sisa 16  bermakna memperoleh kebahagiaan dan kesenangan

Sebagai kelanjutan dari jenjang perjodohan yang telah dilakukan dengan memperhatikan beberapa pertimbangan tersebut di atas, sudah tentu diharapkan berlanjut pada jenjang perkawinan. Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah baik secara agama maupun secara hukum. Secara agama perkawinan adalah sakral. Sehingga dalam pelaksanaannya perlu memilih hari yang baik karena akan memberikan pengaruh pula dalam keharmonisan rumah tangga. Berikut ini akan diuraikan beberapa dewasa ayu untuk upacara Manusa Yajña (pewiwahan)

a. Mertha Yoga : Upacara untuk Manusa Yajña. Yang termasuk ke dalam Merta Yoga yaitu ; Soma Keliwon Landep, Soma Umanis Taulu, Soma Wage Medangsia, Soma Umanis Medangkungan, Soma Paing Menail, Soma Pon Ugu, Soma Wage Dukut.

b. Baik Buruknya Sapta Wara untuk upacara Pewiwahan

  1. Minggu : Buruk, sering terjadi pertengkaran, dapat berakibat pertengkaran
  2. Senin : Baik mendapat keselamatan dan kesenangan
  3. Selasa : Buruk, suka berbantah, masing-masing tidak mau mengalah, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:104).
  4. Rabu : Amat baik, berputra serta berbahagia
  5. Kamis : Baik hidup rukun, senang dan disenangi orang
  6. Jumat : Baik, tentram sentosa, tak kurang sandang pangan
  7. Sabtu : Sangat buruk, senantiasa dalam kesusahan

c. Baik Buruknya Penanggal /Tanggal untuk upacara Perkawinan 

Tanggal 1 Dirgahayu, sejahtera

Tanggal 2 Sidha cita, Sidha karya, disayang keluarga Tanggal 3 Memperoleh banyak anak, sentana Tanggal 4 Suami sering sakit

Tanggal 5 Dirgahayu, dirgayusa, selamat, sejahtera dan panjang umur 

Tanggal 6 Menemui kesusahan

Tanggal 7 Suka, rahayu, hidup bahagia 

Tanggal 8 Sering sakit hampir meninggal 

Tanggal 9 Senantiasa sengsara

Tanggal 11 Kurang ulet berkarya, penghasilan kurang 

Tanggal 12 Mendapat kesusahan

Tanggal 13 labha bhukti, mendapat keberuntungan, terutama menyangkut pangan kinum

Tanggal 14 Sering berbantah, kemungkinan bisa sampai cerai 

Tanggal 15 Sangat buruk, bisa menemui kesengsaraan

d. Baik Buruknya Sasih hubungannya dengan upacara wiwaha (upacara pernikahan)

  1. Kasa, (Srawana - Juli) : buruk anak-anaknya menderita
  2. Karo, (Bhadrawada - Agustus) : buruk sangat miskin
  3. Ketiga, (Asuji - September) : Sedang banyak anak-anak
  4. Kapat, ( Kartika - Oktober) : baik, kaya dicintai orang
  5. Kelima, (Marggasira - Nopember) : baik, tidak kurang makan dan minum
  6. Keenem (Posya - Desember) : buruk, janda
  7. Kepitu (Magha - Januari) : baik, mendapat keselamatan, panjang
  8. Kawolu (Palguna - Pebruhari) umur : buruk kurang makan dan minum
  9. Kesanga (Citra- Maret) : buruk sekali, selalu sengsara sakit-sakitan
  10. Kedasa (Waisaka - April) : baik sekali, kaya raya selalu gembira
  11. Desta (Jyesta - Mei) : buruk, duka, sering bertengkar marah
  12. Sada (Asadha - Juni) : buruk, sakit-sakitan.

a. Baik buruknya Wuku hubungannya dengan upacara Manusa Yajña (Wiwaha) 

  1. Rangda Tiga adalah wuku pantangan untuk melakukan upacara pernikahan (wiwaha), apabila ada orang yang melakukan pernikahan dalam wuku ini dinyatakan bisa menjanda atau menduda. Adapun kemunculannya pada wuku berikut; wariga, warigadian, pujut, pahang, menhil, parangbakat, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:105).
  2. Amerta Mukti adalah baik untuk melaksanakan upacara Manusa Yajña untuk memohon waranugraha kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan menyucikan diri, lahir dan batin.
  3. Dagdig krana adalah hari yang buruk untuk segala upacara, terutama untuk pertemuan asmara.
  4. Dewa Werdi adalah hari baik untuk melaksanakan Manusa Yajña, metatah Dirgayusa adalah sangat baik melakukan upacara Manusa Yajña, tapi sangat jarang ditemukan dewasa ini yang jatuh pada buddha pon, penanggal 10
  5. Panca Werdi adalah hari yang baik untuk melaksanakan Manusa Yajña antara lain mepetik, potong gigi, dan lain-lain, karena berpahala dirgayusa, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:106).

Sudirga, Ida Bagus dan Yoga Segara, I Nyoman. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti                 Untuk SMA/SMK Kelas X (cetakan ke-1). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan,