Apa yang dimaksud nkri harga mati

KETIKA NKRI Harga Mati diteriakkan, itu sebenarnya soal harga, bukan soal mati. Terdengar gagah memang. Namun, mengapa NKRI, singkatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dikaitkan dengan harga? Meski, harga mati sebenarnya tetap istilah jual beli. Tak terkait dengan mati, berkorban nyawa. Dan, bukankah semestinya eksistensi sebuah negara tak dikaitkan dengan istilah transaksi perdagangan.

Barang yang diberi label harga mati tetaplah bisa dijual. Kalau kita ke supermarket, semua barang yang dijual di sana harga mati. Kalau mau beli, ya sesuai dengan harga label. Harga pas. Fixed price. Tak ada tawar-menawar seperti jualan di kaki lima atau pasar bawah pohon. Memang, kadang-kadang ada harga diskon, tetapi jatuhnya tetap harga mati juga. Sebab, penentunya tetap sang penjual. Bukan hasil tawar-menawar dengan pembeli.

Yang baru saja terjadi, pemerintah menentukan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng. Artinya, itu patokan harga mati minyak goreng untuk yang paling atas. Besarannya Rp 14 ribu. Ditegaskan, ini akan diberlakukan sampai Juni. Eh, ternyata minyak goreng tetap langka dan epiknya antrean emak-emak bikin malu NKRI. Dan, para penguasa timbunan minyak goreng cuek saja terhadap keputusan pemerintah itu. Akibatnya, peraturan ”harga mati” eceran tertinggi itu kembali dijilat. Dalam sekejap mata, minyak goreng kembali nangkring di rak-rak toko. Namun, harganya jadi setengah mati.

Saat pandemi Covid-19, slogan NKRI Harga Mati bertambah panjang. Di mana-mana dipasang spanduk NKRI Harga Mati, Tak Pakai Masker Bisa Mati. Dua kata ”mati” itu berbeda makna. Yang pertama, mati bermakna tak bisa ditawar. Yang kedua, mati betulan. Masuk ke liang kubur.

NKRI Harga Mati beda makna dengan slogan Merdeka atau Mati. Yang belakangan memang soal taruhan mati. Bahkan, slogan heroik itu ditambahkan Lebih Baik Mati daripada Hidup Dijajah Kembali. Lain halnya dengan slogan NKRI Harga Mati yang tak ada kaitan dengan bertaruh nyawa demi NKRI. Hanya penegasan bahwa bentuk negara kesatuan tak bisa ditawar.

Makna slogan itu juga masih mengandung pertanyaan. Apakah negara kita sedang terancam bentuk negara yang non kesatuan, yakni federalisme? Ternyata tidak juga. Ide-ide federalisme mati sejak 1950-an. Okelah, mungkin diimajinasikan ada ”ancaman” konsep teokratis dalam bernegara. Tetapi, negara teokratis seperti Republik Islam Iran tetap bisa berbentuk kesatuan dan republik pula. Namun, memang ada ancaman NKRI yang paling kentara, yaitu teror separatisme.

Baca juga:

Sudah Stok Langka, Harga Minyak Goreng Mahal Pak Bupati…

Kalau mau dikaitkan dengan konstitusi, slogan NKRI Harga Mati mungkin terkait dengan pasal paling perdana UUD 1945. Pasal 1 ayat (1) berbunyi, ”Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik.” Agar tak ditawar, dikuncilah dengan pasal 37 ayat (5): ”Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”

Apakah dengan penguncian itu berarti tak mungkin dilakukan perubahan? Tetap saja bisa, yakni mengamandemen pasal 37 ayat (5). Sebab, selama konstitusi bisa diubah, pasal-pasal di dalamnya juga bisa diubah. Buktinya, jabatan presiden yang dikunci maksimal dua periode ternyata berupaya diutak-atik. Begitu pun masa jabatan presiden lima tahun yang bisa digoreng-goreng untuk diolor dua atau tiga tahun. Meski, sejauh ini upaya itu makin tumpul karena cemooh meluas.

NKRI Harga Mati juga sulit dikaitkan ke dalam praktik transaksional lintas negara yang makin terkoneksi. Agar investasi masuk, tentu harus bernegosiasi alias tawar-menawar yang tak boleh kaku kepada asing. Kalau kekurangan uang, negara juga tetap enteng saja berutang ke asing. Nilainya kini sudah melewati Rp 6.000 triliun. Setiap utang pasti mengurangi kedaulatan diri karena diri terikat dan menyerahkan jaminan kepada si pemberi utang. Dan, negeri kita pernah mengalaminya saat program negara didikte pemberi utang, yaitu IMF.

Baca juga:

Harga Minyak Goreng Selangit, Ibu-ibu Pusing Hadapi Bulan Ramadan

Kalau mau lebih heroik, bisa saja slogan NKRI Harga Mati mengadopsi pekikan Merdeka atau Mati. Yakni, menjadi NKRI atau Mati. Ini bermakna perjuangan bertaruh nyawa demi menegakkan negara kesatuan. Pilihannya, NKRI tegak atau mati berkalang tanah. Di sini ”mati” tak dikaitkan dengan ”harga” yang merupakan istilah para pedagang.

Mungkin membahas bahasa slogan tak perlu dipikir dalam-dalam. Sebab, yang paling penting dari bahasa slogan adalah daya gedor psikologisnya. Daya gugahnya. Ketika slogan dipekikkan, orang tak perlu berpikir untuk merespons. Yang penting langsung menirukan dengan tegas atau meninju ke udara. Bukan memeriksa dulu makna sejatinya. (*)

*) Senior Editor Jawa Pos

Baca juga:

Soal Harga dan Pasokan Minyak Goreng, Ini Harapan Kepala BIN

Gresik, InfoPublik - Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Harga Mati bukan hanya menjadi semboyan tapi seharusnya merupakan suatu sikap nasionalisme mutlak bagi seluruh anak bangsa.

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki identitas kebangsaan, yakni Bhineka Tunggal Ika sebagai nilai dasar persatuan bangsa.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Reformer Institute, Zainal Arifin, mewakili Anggota Komisi I DPR RI Satya Widya Yudha, pada acara Forum Diskusi “Budaya Sebagai Pemersatu Bangsa”, di Gresik, Jawa Timur, Sabtu (14/9/2019) sore.

Forum diskusi tersebut diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bekerja sama dengan Komisi I DPR RI. Forum dihadiri 200 peserta dari kalangan generasi muda dan masyarakat umum.

Zainal Arifin menjelaskan tentang empat konsesus kehidupan berbangsa dan bernegara, yang meliputi Pancasila sebagai dasar Negara dan Ideologi Negara, Undang-undang Dasar RI Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara serta Ketetapan MPR, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara serta Bhineka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara.

Disampaikannya, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini di antaranya lemahnya pengamalan agama, abai terhadap kepentingan daerah, serta timbulnya fanatisme kedaerahan.

Selain itu, adalah kurang berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinekaan dan kemajemukan.

Pada kesempatan yang sama, Plt. Kasubdit Media Online, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo, Eko Selamet Riyanto mengajak semua kalangan untuk mrnggunakan media sosial dengan bijak.

Menurutnya, pemuda harus bisa memfilter nilai-nilai budaya asing yang sifatnya memecah belah bangsa. Ketika membuat postingan atau unggahan status harus mampu mencerminkan adat dan budaya sebagai bangsa yang beragam.

Disampaikan, kegiatan Forum Diskusi dan Tabliqh Akbar di Gresik bertujuan menggaungkan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai pemersatu bangsa, dasar negara Indonesia yng dibangun dengan rumpun budaya dan kearifan lokal yang terus diperjuangkan demi membangun karakter bangsa.

"Tentunya, semua anak bangsa tidak mengharapkan ke depannya Pancasila hanya diingat sebagai mitos saja. Padahal, seperti kita ketahui bersama bahwa nilai-nilai Pancasila bisa menjadi acuan dalam kehidupan kita berinteraksi sehari-hari,” katanya.

Sementara pembicara lainnya, Dyah Roro Esti Widya, Founder and Chair Indonesian Energy and Environmental Intitute, mengingatkan pentingnya peran pemuda dalam menunjukkan sikap toleransi , dan saling menghargai di tengah perbedaan bangsa Indonesia yang berbeda dalam hal agama, keyakinan dan suku bangsa.

Menurutnya, yang wajib dipahami dan diamalkan secara keseluruhan di antaranya semboyan negara Bhineka Tunggal Ika. Bagian dari empat konsesus kehidupan berbangsa dan bernegara itu, dalam keseharian tidak hanya sebatas semboyan untuk dihafal, tetapi pedoman bernegara sebagai solusi bagi kemajemukan bangsa ini.

“Kemajemukan sebagai berkah dan potensi kekuatan bersama, bukan sebagai pemecah belah sosial,” katanya.

  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber InfoPublik.id

Apa yang dimaksud nkri harga mati

Setiawan, Sekretaris PAC GP Ansor Cileunyi – Slogan NKRI harga mati seringkali kita temukan dan kita simak, bahkan mungkin kita ucapkan. Namun pernahkah kita bertanya siapakah orang yang mencetuskan slogan tersebut sampai-sampai menjadi slogan yang hamper umum seperti sekarang?

Ya, sosok tersebut adalah seorang Kyai khoos yang kharismatik, seorang ulama pendiri pondok pesantren Al-Muttaqin Pancasila Sakti di daerah Klaten, Jawa Tengah. Kyai tersebut bernama KH. Moeslim Rifa’I Amampuro atau akrab disapa Mbah Liem.

Mbah Liem adalah seorang kyai sepuh dan kharismatik dari kalangan Nahdliyin. Beliau lah yang pertama kali mendengungkan slogan “NKRI Harga Mati” pada sekitar tahun 1990-an. Awal mula beliau mendendangkan slogan tersebut adalah dengan kata-kata “NKRI HPAMD Harga Mati” dengan kepanjangan PAMD adalah Pancasila Aman Makmur dan Damai. Namun seiring berjalannya waktu, Mbah Liem pun mulai menyebutnya dengan singkat dan padat yakni hanya “NKRI Harga Mati”.

NKRI harga mati adalah sebuah slogan yang sering digaungkan untuk menyatakan diri bahwa kita menyetujui dan mencintai Negara Kesatuan Repubrik Indonesia. Jika ditinjau dari Bahasa, NKRI Harga Mati adalah sebuah istilah yang dalam KBBI istilah berarti sebuah gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu.

Jika dalam hal ini NKRI harga mati diucapkan sebagai wujud, maka posisinya adalah sebagai kata yang mengungkapkan makna keadaan, dimana ia bekerja sebagai frasa yang menyatakan keadaan individu yang mencintai dan menyetujui NKRI.

Memang NKRI harga mati juga adalah sebuah gaya Bahasa atau majas yang menyatakan sesuatu secara berlebihan, atau yang biasa kita sebut hiperbola. Dimana sesuatu yang berlebihan tersebut? Yakni pada gabungan kata “harga mati”. Dalam morfologi, harga mati adalah sebuah kata majemuk atau komposisi kata, yaitu hasil dari proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun terikat. Sehingga terbentuk sebuah kontruksi yang memiliki identitas leksial yang berbeda ata bias disebut yang baru. Komposisi harga mati bermakna idiomatical, yang artinya kontruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna unsurnya. Bias disebut multitafsir.

Arti dari harga mati sendiri adalah sesuatu yang sudah final atau sudah tidak bias diganggu gugat. Bukankah mati adalah sesuatu yang pasti dan tidak bisa ditawar kembali kalua sudah dating waktunya?

Jadi, kesimpulannya, NKRI Harga Mati adalah sebuah penegasan bahwa kita setuju Negara Kesatuan Republik Indonesia ini telah final dan harus kita jaga serta melindungi kemerdekaan dan kedaulatannya.

Bukankah Hadrotusyiekh KH. Hasyim ‘Asy’ari telah mempertegas bahwa “hubbul wathon minal iman”, cinta tanah air merupakan sebagian dari iman. Dan itu dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW langsung dengan dibuatnya piagam Madinah. Lantas kenapa masih mepertanyakan slogan “NKRI Harga Mati”?