Apa yang dimaksud dengan prinsip HAM non-diskriminasi

Apa yang dimaksud dengan prinsip HAM non-diskriminasi

Darussalam,
Managing Partner DDTC

DALAM konteks pajak internasional, istilah diskriminasi diartikan sebagai perlakuan pajak yang kurang menguntungkan terhadap suatu subjek pajak tertentu dibandingkan dengan subjek pajak lainnya dalam kondisi yang sama. Pasal 24 OECD Model mengatur mengenai penghindaran diskriminasi dalam kondisi-kondisi yang ditentukan secara spesifik.

Apabila ditelusuri lebih lanjut, diskriminasi dalam konteks Pasal 24 OECD Model dapat diartikan sebagai: (i) perlakuan yang tidak sama atas kasus yang sama (dapat diperbandingkan); atau (ii) perlakuan yang sama atas kasus yang tidak sama (dapat diperbandingkan). Tujuan diadakannya Pasal 24 OECD Model bukan untuk menghindari pajak berganda, namun untuk menghindari adanya pemajakan yang tidak adil. Hal ini berbeda dengan pasal-pasal lain dalam P3B yang umumnya diadakan untuk menghindari pajak berganda.

Pasal 24 ayat (1), (2) dan (5) OECD Model memiliki formulasi yang sebanding satu dengan yang lainnya dan oleh karena itu akan dijelaskan secara bersamaan.

Pasal 24 ayat (1) OECD Model mengatur tentang larangan untuk mengenakan pajak yang kurang menguntungkan atas dasar kewarganegaraan dari subjek pajak. Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) OECD Model, subjek pajak (misal, Subjek Pajak D) yang mempunyai status kewarganegaraan di negara asalnya (misal, di Negara D) tidak boleh dikenakan pajak secara lebih berat di negara lainnya.

Misalkan di negara sumber penghasilan (Negara S), dibandingkan dengan subjek pajak (misal, Subjek Pajak S) yang merupakan warganegara dari Negara S. Prinsip non-diskriminasi ini berlaku dengan syarat kondisi antara Subjek Pajak D dan Subjek Pajak S adalah sama. Misalnya, sama-sama menjadi subjek pajak dalam negeri Negara S.

Diskriminasi pemajakan dapat diperkenankan apabila status subjek pajak dalam negeri (resident) antara Subjek Pajak D dan Subjek Pajak S berbeda. Dalam hal ini, negara sumber penghasilan (Negara S) dapat membedakan perlakuan pajak antara subjek pajak dalam negeri dengan subjek pajak luar negeri.

Konsisten dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) OECD Model, Pasal 24 ayat (2) OECD Model menyatakan bahwa subjek pajak yang tidak mempunyai status kewarganegaraan yang menjadi subjek pajak dalam negeri di negara yang mengadakan P3B (misal, Negara D) tidak boleh diberi perlakuan pajak yang kurang menguntungkan di negara mitra perjanjian lainnya (misal, Negara S) dibandingkan dengan subjek pajak dalam negeri lainnya yang mempunyai status kewarganegaraan di negara yang mengadakan P3B tersebut (Negara S).

Sedangkan ketentuan Pasal 24 ayat (5) OECD Model melarang suatu negara (misalkan Negara S) mengenakan pajak yang kurang menguntungkan kepada suatu perusahaan (misalkan Perusahaan D) yang menjalankan kegiatan usaha di Negara S, di mana Perusahaan D tersebut dimiliki oleh subjek pajak dalam negeri dari Negara D. OECD Commentaries menegaskan bahwa prinsip non-diskriminasi ini ditujukan untuk ‘enterprise’ (perusahaan) dan bukan untuk ‘person’ yang memiliki atau mengendalikan perusahaan tersebut.

Ketentuan mengenai non-diskriminasi terhadap Bentuk Usaha Tetap (BUT) diatur dalam Pasal 24 ayat (3). Maksud dari Pasal 24 ayat (3) OECD Model adalah jika Perusahaan D yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari Negara D mempunyai BUT di Negara S maka perlakuan pajak atas BUT tersebut di Negara S tidak boleh kurang menguntungkan dibandingkan dengan, misalkan Perusahaan S yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari Negara S.

Hal tersebut berlaku dengan syarat kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUT dan Perusahaan S tersebut adalah sama. Mengenai persamaan perlakuan pajak atas biaya bunga, royalti, dan pembebanan biaya lainnya sebagai pengurangan penghasilan kena pajak, diatur dalam Pasal 24 ayat (4) OECD Model. Berdasarkan ketentuan ini perlakuan pajak atas biaya bunga, royalti, dan pembebanan biaya lainnya tidak boleh dibedakan antara biaya yang dibayarkan kepada subjek pajak dalam negeri dari negara sumber atau negara domisili.

Anisatul Hamidah



Diskriminasi terhadap perempuan seakan telah menjadi bagian dari perkembangan jaman karena terjadi sejak ratusan tahun silam hingga saat ini. Oleh karena itu, persoalan diskriminasi terhadap perempuan masih menjadi topik yang menarik dan penting untuk didiskusikan baik di tingkat global maupun di Indonesia. Upaya untuk meminimalisir adanya diskriminasi terhadap perempuan sebenarnya telah banyak dilakukan dengan menetapkan konsensus global yang tercantum di berbagai instrumen hukum seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Instrumen-instrumen tersebut secara tegas menyatakan tentang keharusan negara-negara untuk menerapkan prinsip non diskriminasi dan persamaan hak untuk semua orang termasuk perempuan. Namun faktanya, setelah lebih dari lima abad konsensus tersebut ditetapkan, diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi, temasuk diskriminasi dalam regulasi seperti yang terjadi di Indonesia



Non-diskriminasi, Regulasi, Perempuan, Indonesia


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no3.3129

  • There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2021 Anisatul Hamidah

Apa yang dimaksud dengan prinsip HAM non-diskriminasi


This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Apa yang dimaksud dengan prinsip HAM non-diskriminasi

HAM mengenal beberapa prinsip yang terkandung di dalamnya. Prinsip-prinsip itu adalah:

HAM harus diberikan kepada semua orang tanpa pengecualian dan tanpa diskriminasi. Alasan mengapa semua orang berhak atas pemenuhan HAM adalah karena mereka manusia.

2. Kesetaraan/equality

Konsep kesetaraan menekankan penghargaan terhadap martabat seluruh insan manusia. Manusia dilahirkan setara, hal ini diakui dalam Deklarasi Universal HAM 1948.

3. Non-diskriminatif

Non  diskriminatif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep kesetaraan. Konsep ini mendorong bahwa tidak seorangpun dapat diingkari hak asasinya karena alasan faktor eksternal, seperti: ras, warna kulit, seks, bahasa, agama, politik dan pandangan lain, asal nasionalitas atau sosial, kepemilikan, kelahiran atau status lain. HAM harus dijamin bebas dari segala bentuk diskriminasi baik yang sengaja ditujukan bagi kelompok tertentu (purposed discrimination) atau diskriminasi yang diakibatkan oleh kebijakan tertentu.

4. Martabat manusia

Prinsip-prinsip HAM didasarkan atas pandangan bahwa setiap individu, patut untuk dihargai dan dijunjung tinggi, tanpa memandang usia, budaya, kepercayaan, etnik, ras, jender, orientasi seksual, bahasa, ketidakmampuan atau kelas sosial.

5. Inalienability (tidak dapat direnggut)

Hak yang dimiliki individu tidak dapat dicabut, diserahkan atau dipindahkan. Namun dengan demikian tidak berarti HAM tidak dapat dibatasi atau dikurangi. Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah dengan alasan tertentu, misalnya keamanan nasional.

6.Kewajiban (Obligation) dan tanggung jawab (responsibility)

Pemerintah merupakan pemegang tanggung jawab utama (duty bearer)dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM warga Negara. Pemerintah harus mampu menjamin bahwa HAM dipenuhi tidak secara diskriminatif. Pemerintah juga wajib untuk mengatur agar aktivitas pihak swasta tidak mengganggu individu dalam menikmati haknya. Kewajiban ini dikenal dengan Kewajiban untuk pemajuan (to promote), untuk melindungi (to protect), dan untuk memenuhi (to fulfill).

7. Indivisibility (tidak dapat dipisah-pisahkan) dan Interdependensi (saling bergantung)

HAM harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan termasuk diantaranya, hak sipil, politik, sosial, ekonomi, budaya serta hak-hak kolektif. Demikian pula bahwa pemenuhan hak yang satu dapat mempengaruhi pemenuhan ham lainnya, sebaliknya pelanggaran salah satu HAM juga akan melanggar HAM yang lain.

Baca selanjutnya: 

Pengantar HAM(VI): Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah

Pengantar HAM (VII): Kesimpulan

Buku-buku

Budiardjo Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama.2002.

Damanik, Jayadi, Pertanggungjawaban Hukum Atas Pelanggaran HAM melalui Undang-Undang yang diskriminatif di Indonesia pada era Soeharto, Bayumedia Publishing.2008.

Hakim, A.Aziz, Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar. 2011.

Kelsen, Hans, Pure Theory of Law, University of California Press.1967.

Mahmassani, Subhi, Konsep-konsep Hak-hak Asasi Manusia, Studi Perbandingan Syariat Islam dan Perundang-undangan Modern, PT. Tintamas Indonesia.1993.

Soeprapto,M.F.Indrati, Ilmu Perundang- undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius.1998.

Vierdag, E.W., The Concept of Discrimination in International Law, Martinus Nijhoff.1973.

Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia Indonesia.1983.

Wuryandari, G, Keamanan di Perbatasan Indonesia-Timor Timur: Sumber Ancaman dan Kebijakan Pengelolaannya, Pustaka Pelajar.2009.

Undang Undang dan peraturan lainnya

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan

Lampiran Peraturan Bersama Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2012 dan

Nomor 77 Tahun 2012 tentang Parameter Hak Asasi Manusia Dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Literatur lainnya

United Nation Commettee on Economic, Sosial and Cultural Rights, General Comments No.3, Geneva, 1994.

Komentar Umum PBB Nomor 5 Tahun 1994, Komite EKOSOB PBB E/C.12/1994/13,

tentang Orang-orang Penyandang Cacat.

Komentar umum PBB No. 14 tentang Hak Atas Standar Kesehatan Tertinggi yang dapat dijangkau, Sidang ke. 22 Komite Hak Ekosob, Genewa (25 April-12 Mei 2000). Agenda ke.3, Pelaksanaan Kovenan Internasional Ekosob.

Website

h t t p : / / n a s i o n a l . t e m p o . c o / r e a d / news/2002/02/27/0553962/pengungsi-timor- timurtuntut-pemerintah-kucurkan-bantuan


Page 2

DOI: http://dx.doi.org/10.30641/ham.2018.9.1