Apa saja yang harus dikendalikan pada saat berpuasa sebutkan

Ridwan Arif.

Oleh: Ridwan Arif*

Seorang tokoh sufi agung dan pengarang kitab tasawuf terkenal, Kashful Mahjub menyatakan esensi puasa ialah menahan diri dari segala larangan Allah SWT. Pada dasarnya, menjauhi larangan Allah SWT adalah hal yang sukar dan berat bagi manusia.

Kenapa? Karena manusia memiliki hawa nafsu (keinginan jiwa). Sebagaimana dimaklumi, manusia selain dianugerahi akal oleh Allah SWT juga diberi nafsu. Kebanyakan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah adalah disukai oleh nafsu (syahwat), sedangkan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah yang akan mengantarkan manusia kepada keselamatan abadi di akhirat kelak, tidak disukai sama sekali oleh nafsu.

Seorang tokoh sufi agung periode awal, Imam al-Harits bin Asad al-Muhasibi dalam kitabnya yang terkenal, al-Ri’ayah li-Huquq Allah, mengemukakan sebuah hadis:

“Neraka dikelilingi oleh syahwat.”
(Hadis diriwayatkan oleh Muslim (nomor 2822) dari Anas bin Malik)

Hadis ini dijelaskan oleh sebuah hadis lainnya,"Sesungguhnya Allah SWT menciptakan neraka, kemudian Ia berkata kepada jibril: Pergilah ke neraka dan lihatlah. Maka, Jibril pun pergi ke neraka, lalu ia berkata: Demi kemuliaan-Mu, tiada seorang yang akan memasukinya. Kemudian Allah menghiasi neraka dengan syahwat, dan Ia berkata kepada Jibril: Pergilah ke neraka dan lihatlah apa-apa yang disediakan di dalam neraka untuk ahlinya. Maka Jibril pun pergi ke neraka lalu berkata: Demi kemuliaan-Mu, sungguh aku khawatir tidak seorang pun manusia yang akan selamat dari neraka. Dan Allah SWT menciptakan surga, lalu dia berkata kepada Jibril: Pergilah dan lihatlah ke dalamnya dan apa-apa yang aku sediakan di dalamnya untuk ahlinya. Maka Jibril pergi ke surga dan melihatnya, lantas ia berkata: Demi kemuliaan-Mu mungkin semua manusia akan memasukinya. Maka Allah menghiasi surga dengan yang tidak disukai, lalu ia berkata kepada Jibril: Pergilah dan lihatlah. Maka Jibril pun pergi dan melihat ke dalamnya, lalu ia berkata: Demi kemuliaan-Mu aku khawatir tiada seorang pun yang akan memasukinya."
(Hadis riwayat Ahmad (jilid 2 nomor 233, 353, 377), Abu Daud (nomor 4744) dan Tirmidzi (nomor 2560), Nasa’i (jilid 7, nomor 3), Ibn Hibban (nomor 7394)

Dari hadis di atas sangat jelas bahwa hal-hal yang bisa menjerumuskan manusia ke neraka identik dengan keinginan nafsu (syahwat), sedangkan amalan-amalan yang bisa memasukkan manusia ke surga, tidak disukai oleh nafsu. Karena itu puasa diperlukan sebagai latihan (training) pengendalian hawa nafsu.

Kegagalan manusia dalam mengendalikan hawa nafsu bisa berakibat fatal bagi diri manusia itu sendiri. Secara garis besar, hawa nafsu perlu dikendalikan karena:
1. Keinginan dari nafsu (syahwat) hanyalah hal-hal yang bersifat kelezatan duniawi, menyenangkan bagi jasad dan bersifat fisik material, sebagaimana firman Allah SWT,"Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak berupa emas, perak, kuda-kuda yang tampan, dan binatang ternak dan sawah ladang atau tanam-tanaman. Demikian itu merupakan kesenangan hidup dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (Alquran al-Imran 3:14)

Dengan demikian, orang yang tidak bisa mengendalikan nafsu cenderung mengabaikan kehidupan akhirat, kebutuhan rohani dan hal-hal yang bersifat spiritual. Akibatnya terjadi kesenjangan dalam diri seseorang dan terlena dengan kehidupan dunia.

2. Hawa nafsu cenderung membawa manusia kepada kejahatan sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Yusuf AS,"Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan-kesalahan), karena sesungguhnya nafsu (hawa nafsu) selalu menyuruh kepada kejahatan kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanku." (Alquran Yusuf 12:53)

Dari ayat ini, dipahami nafsu cenderung menjerumuskan manusia kepada kejahatan, perbuatan dosa (maksiat) dan kefasikan.

3. Hawa nafsu cenderung membawa manusia kepada kesesatan, sebagaimana firman Allah SWT,“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, maka ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (Alquran Shad 38:26)

4. Orang yang dikalahkan oleh hawa nafsu disifatkan Allah sebagai telah menjadi hamba bagi nafsunya (menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan) karena ia menaati nafsunya dan mendurhakai Allah SWT, Tuhan yang mesti ditaatinya, sebagaimana firman Allah SWT,"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka, apakah kamu dapat menjadi pemeliharanya?” (Alquran al-Furqan 25:43)

5. Orang yang dirinya didominasi oleh nafsu hewani akan turun derajatnya dan mendapatkan kehinaan. Itulah beberapa alasan mengapa pengendalian hawa nafsu itu sangat penting sekali. Kegagalan dalam pengendalian hawa nafsu akan membuat manusia terjerumus ke dalam kejahatan, dosa, maksiat dan kesesatan yang mengakibatkan manusia jauh dari Allah dan mendapat murka-Nya serta jatuh ke jurang kehinaan.

Di sinilah peran penting puasa sebagai latihan (training) pengendalian hawa nafsu. Puasa bukan untuk membunuh atau mematikan hawa nafsu, karena bagaimana pun manusia memerlukannya. Dengan adanya hawa nafsu manusia bisa meneruskan kehidupan di bumi, membangun bumi dan menciptakan peradaban di bumi, yang merupakan tugas manusia sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi.

Manusia dituntut untuk mengendalikan hawa nafsu agar tidak diperbudak olehnya. Hawa nafsu yang terkendali disebut dengan nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang), sebagaimana firman Allah SWT,"Wahai jiwa yang tenang Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (rida) lagi diridai. Maka, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Alquran al-Fajr 89:27-30)

Nafsu muthmainnah adalah nafsu yang sudah ditundukkan dan dikendalikan, sehingga bisa berjalan di jalan yang lurus dan di atas rel yang benar, sehingga tidak membahayakan pemiliknya.

Demikianlah pentingnya puasa sebagai momen latihan pengendalian hawa nafsu. Apabila seorang mukmin sukses dalam mengendalikan hawa nafsu, maka ia akan mampu menahan diri dari segala larangan Allah SWT dan tidak berat dalam melaksanakan semua perintah-Nya. Jika hal ini sudah terwujud, maka sesungguhnya seorang Muslim tersebut telah mencapai derajat takwa, suatu derajat yang paling mulia di sisi Allah SWT. Wallahualam.

*Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta.

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini


Fuad Mahbub Siraj.

Oleh: Fuad Mahbub Siraj

Salah satu ibadah yang diwajibkan oleh Allah dalam Alquran adalah ibadah puasa. Artinya, ibadah puasa adalah ajaran Alquran dan bukan hasil ijtihad manusia. Jika hasil ijtihad manusia, maka ibadah ini boleh diikuti dan boleh tidak. Namun, karena puasa adalah ajaran Alquran, maka jika kita tidak berpuasa, kita telah melanggar ajaran yang disampaikan oleh Alquran dan hukumnya adalah dosa.

Ibadah puasa diberikan Allah untuk manusia karena tidak ada satu pun manusia yang bisa menjamin dirinya terbebas dari dosa. Oleh karena itu, Allah memberikan ibadah puasa selama satu bulan penuh sebagai latihan dan penghapusan dosa-dosa manusia.

Puasa berarti menahan dan inti puasa itu terletak pada menahan atau terletak pada pengendalian dan yang dikendalikan bukan saja yang haram, melainkan juga yang halal. Dalam bulan puasa kita dilarang untuk makan, minum dan bergaul suami-istri di siang Ramadan. Karena itu semua adalah kebutuhan pokok dan jika kebutuhan pokok sudah mampu untuk ditahan, maka kebutuhan yang lain pasti akan bisa untuk ditahan.

Kenapa Allah menyuruh manusia untuk belajar menahan? Karena menahan inilah yang paling sulit bagi manusia. Contohnya dapat kita lihat pada Nabi Adam. Pada masa itu, Allah mengizinkannya untuk mengambil semuanya, kecuali satu, yaitu buah khuldi. Bisa disebut bahwa 99 persen Allah memberikan semua untuk Nabi Adam dan hanya 1 persen saja yang dilarang. Namun, Nabi Adam tidak bisa menahannya karena bujukan setan.

Nabi Muhammad juga mengatakan bahwa manusia jika diberikan dua buah gunung dari emas, maka manusia akan mencari gunung emas yang ketiga karena manusia tidak bisa menahan dirinya.

Salah satu istilah penyebutan manusia adalah al-insan, yang berarti terlupa dan tersalah. Malaikat disebut sebagai malaikat karena malaikat selalu patuh kepada Allah dan setan disebut sebagai setan karena selalu ingkar kepada Allah. Manusia disebut sebagai manusia karena manusia memliki sifat lupa dan salah yang akan membuat manusia bisa menjadi seperti malaikat dan seperti setan.

Malaikat patuh sudah biasa, karena memang sifatnya demikian. Namun, manusia yang patuh melebihi malaikat karena sifat ingkarnya hilang karena kepatuhannya. Manusia yang jahat pun bisa lebih setan daripada setan, karena setan yang patuh sudah biasa karena memang sifatnya demikian.

Seekor harimau jika dimasukkan ke dalam kandang kambing, maka kambing yang habis hanya sekenyang perutnya saja, sedangkan manusia jika dimasukkan ke dalam kandang kambing, maka dengan kandang-kandangnya pun akan habis. Demikianlah sifat manusia yang sulit untuk menahan dirinya.

Puasa melatih manusia untuk mengendalikan dirinya karena salah satu kunci puasa adalah kejujuran. Puasa adalah ibadah yang sangat personal dan hanya diri kita dan Allah yang tahu apakah kita masih puasa atau tidak. Untuk itu, puasa akan melatih kita untuk membentuk mentalitas yang berakhlak.

Manusia diciptakan atas dua unsur, jasmani dan rohani. Jasmani manusia dari tanah dan tanah bersifat materi, maka kebutuhan jasmani manusia juga bersifat materi. Prinsip dalam Islam menyebutkan bahwa Allah bersifat suci maka yang bisa dekat dengan Allah juga yang suci dan Allah bersifat inmateriel, maka yang bisa dekat dengan Allah juga yang inmateriel.

Kebutuhan rohani manusia adalah yang suci dan yang inmateriel. Dengan itu, manusia akan selalu bersih rohaninya. Untuk itu, pada hakikatnya setiap ibadah adalah untuk membersihkan rohani manusia dan mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT.

Penulis adalah pengajar di Universitas Paramadina Jakarta.

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA