Apa saja warisan koloni tentang pendidikan

Pemerintah kolonial Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun atau 3,5 abad. Selama menjajah Indonesia, pemerintah kolonial Belanda tidak hanya memberikan penderitaan tetapi ada hal positif yang diberikan antara lain melalui peninggalan beberapa lembaga penelitian yang kemudia dikembangjan untuk pusat pengembangan ilmu dan teknologi (IPTEK).

Pembahasan

Sebelum menjawab mengenai beberapa lembaga penelitian warisan kolonial Belanda, yuk belajar mengenai pengembangan iptek pada masa pemerintahan Belanda dan Jepang!

Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang di Indonesia sejak zaman pemerintah kolonial Belanda tetapi belum mampu mendorong terjadinya revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia seperti halnya negara-negara barat lainnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa pemerintah kolonial Belanda ditandai dengan adannya misi keagamaan, penerapan pola pendidikan negara-negara barat, dan berdirinya perusahaan swasta asing. Hal-hal tersebut dilakukan sebagai upaya eksploitasi ekonomi bangsa Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pengenalan dan pengembangan teknologi modern negara barat di Indonesia pertama kali melalui pabrik gula yang dikenal sebagai modernisasi teknologi. Modernisasi teknologi tersebut kemudian berkembang pada sektor lainnya, seperti galangan kapal dan pertambangan. Pengenalan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dilakukan oleh Jepang pada masa pendudukannya di Indonesia dengan memperkenalkan teknologi baru dalam bidang pertanian.  Namun, pengenalan dan pengembangan ilmu dan teknologi baik pada masa pemerintah kolonial Belanda maupun Jepan tidak banyak berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut:  

  1. Penduduk Indonesia yang berpendidikan masih terbatas jumlahnya.
  2. Penduduk Indonesia yang terlibat langsung dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih terbatas jumlahnya.
  3. Baik pihak pemerintah kolonial Belanda maupun penguasa swasta asing tidak memiliki niatan untuk melakukan alih teknologi kepada penduduk pribumi (penduduk Indonesia).
  4. Proses industrialisasi tidak terjadi.
  5. Inovasi teknologi yang berarti tidak terjadi dalam masyarakat Indonesia.

Usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia mulai dirintis setelah berakhimya masa kolonial Belanda di Indonesia yang dilakukan secara bertahap. Beberapa lembaga pendidikan dan pusat penelitian yang merupakan warisan atau peninggalan dari pemerintah kolonial Belanda menjadi modal besar bagi bangsa Indoesia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lembaga pendidikan dan pusat penelitian tersebut antara lain:  

  1. Techrusche Hoge School (THS) atau Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang sekarang dikenal sebagai ITB.
  2. Landbouw Hoge School atau yang sekarang dikenal sebagai Sekolah Tinggi Pertanian di Bogor.
  3. Rechts Hoge School (RHS) atau sekarang dikenal sebagai Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta.
  4. Geneeskundige Hoge School (GHS) atau sekarang dikenal sebagai Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta.
  5. Institut Ejkman di Jakarta.
  6. Observatorium Boscha di Lembang, Jawa Barat.

Barulah di awal tahun 1970, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indoensia mulai menunjukkan kemajuan. Hal ini dipengaruhi adanya beberapa faktor, antara lain:  

  1. adanya perkembangan ekonomi,
  2. meluasnya kesempatan untuk mengenyam pendidikan,
  3. adanya proses industrialisasi,
  4. modernisasi pertanian,  
  5. perubahan sosiai budaya.  

Dari uraian di atas maka lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda adalah:

  1. Techrusche Hoge School (THS).
  2. Landbouw Hoge School.
  3. Rechts Hoge School (RHS).
  4. Geneeskundige Hoge School (GHS).
  5. Institut Ejkman.
  6. Observatorium Boscha.

Semoga dapat membantu, ya!

Pelajari lebih lanjut

1. Materi tentang masa kolonial brainly.co.id/tugas/1843254, brainly.co.id/tugas/2562030

----------------------------

Detil Jawaban

Kelas : XI SMA

Mapel : Sejarah

Bab : Bangsa Eropa di Indonesia

Kode kategori : 11.3.1

Kata kunci : pengembangan iptek di Indonesia masa kolonial Belanda dan Jepang

Apa saja warisan koloni tentang pendidikan

Kiranya saat ini kita masih kesulitan dalam mendefinisikan terma kekerasan serta mengklasifikasikan suatu fenomena ke dalam beberapa kategori bentuk kekerasan. Terlebih untuk menginterpretasikan bentuk kekerasan dalam institusi pendidikan, begitu banyak persinggungan antara tradisi dan kebudayaan dengan cita-cita sistem pendidikan yang ideal. Implikasi nyata yang kemudian kita alami adalah kesemenjanaan diri dalam menilai kekerasan yang berakhir dengan sikap memafhumkan bentuk kekerasan dalam dunia pendidikan atas nama etiket serta konservatisme. Sistem nilai institusi pendidikan yang ditanamkan pada agenda rutin perpeloncoan, bullying, kekerasan fisik hingga kekerasan seksual berpotensi dialami oleh seluruh pihak baik siswa maupun tenaga pendidik. Masih hangat tersiar berita di telinga kita kasus pemukulan seorang siswa terhadap guru salah satu sekolah menengah atas di Madura yang berakhir dengan tewasnya guru tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa tiada satu orang pun dapat bebas dari jeratan ancaman kekerasan dalam institusi pendidikan. Adapun kasus kekerasan lain yang terjadi beberapa tahun yang lalu, yaitu pembunuhan berencana yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa di Medan kepada dosennya dengan motif rasa tidak puas atas nilai yang ia dapat dari dosen tersebut. Menariknya, respons yang muncul dari masyarakat atas fenomena ini terbagi menjadi dua kubu bersebrangan: banyaknya masyarakat yang mengutuk keras tindakan sadisitik yang dilakukan oleh sang mahasiswa, namun tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa kejadian ini dapat menjadi media pembelajaran bagi tenaga pendidik yang tidak profesional atau bertindak terlalu keras dalam mendidik.

Munculnya opini masyarakat yang secara implisit ‘mendukung’ tindakan mahasiswa tersebut menandakan betapa kentalnya disharmonisasi hubungan antara tenaga pendidik dan siswa. Bisa jadi karena represi yang terlalu lama terendap, emosi siswa menjadi eksplosif dan tak dapat terelakkan lagi. Menelusuri rekam jejak sejarah tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan di Indonesia, data International Center for Research on Women (ICRW) menunjukkan bahwa pada tahun 2015 sebanyak 84% peserta didik di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah dan 75% siswa mengaku pernah melakukan aksi kekerasan di lingkungan sekolah. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia seperti Papua dan Papua Barat ‘melazimkan’ tindakan kekerasan di sekolah. Realita bahwa hukuman emosional dan fisik dari guru terhadap murid masih banyak dijumpai di sana, lebih dari 60% pengajar dilaporkan kerap menggunakan hukuman fisik terhadap peserta didiknya (hasil Multiple Indicator Cluster Survey Unicef, 2011). Sejumlah 54% sekolah di sana juga mempraktikkan cara hukuman fisik yang berat kepada peserta didik. Alasannya klasik; para guru mengaku angkat tangan dan tidak tahu harus bagaimana lagi untuk mendisiplinkan para siswa.

Dari sudut pandang historis, kerangka praktik relasi-kuasa yang terjadi pada era feodalisme turut andil dalam pelanggengan praktik kekerasan di ranah pendidikan. Terbentuknya stratifikasi sosial berdasarkan ras dan tingkat ekonomi yang diprakarsai oleh para penjajah Belanda dilakukan dengan tujuan kepentingan politik bermuara pada mobilitas masyarakat pribumi yang terhambat. Sebagai contoh, praktik perbudakan yang dikenakan pada pribumi dengan tingkat ekonomi rendah dihiasi oleh berbagai tindakan penindasan dan penyiksaan dari kaum penjajah, kaum budak kemudian teralienasi dan masuk dalam lingkaran kemiskinan sistemik. Di dunia pendidikan, akses pendidikan secara sengaja dibuat terbatas dan hanya bisa diakses oleh kaum priyayi, berdampak pada nilai prestise tersemat secara inheren pada kaum terdidik dan khususnya tenaga pendidik. Eksklusivitas yang terbentuk pada akhirnya melegitimasi hirarki antara pihak yang terlibat dalam struktur lingkungan belajar, dan masyarakat secara instingtif dapat dengan mudah menerima konsep ini karena bagian dari repetitif relasi-kuasa dalam lapisan sosial. Perpeloncoan, senioritas, dan tindakan ‘main fisik’ di lingkungan sekolah ‘mensahihkan’ petilasan kolonialisme dalam bentuk pengejawantahan dari hubungan antara kaum proletar dan borjouis dalam bentuk perbudakan yang modern.

Lain halnya bila kita menggunakan kacamata maskulinitas, kita dapat melihat bahwa budaya kekerasan dalam pendidikan merupakan pengaruh dari kedudukan gender yang terinternalisasi pada masyarakat. Maskulinitas dianalogikan sebagai perwujudan kekuatan yang identik dengan kemampuan fisik dan teraliansi dengan sikap hegemoni serta subordinasi. Laki-laki yang tidak mampu mencapai indikator machoism secara otomatis dianggap bukan laki-laki sejati. Oleh karena itu, kekerasan dibenarkan sebagai arena pembuktian kelaki-lakian seseorang dan secara nyata dibuktikan dengan keterlibatan kekerasan di sekolah dalam bentuk bullying, tawuran, dan lain sebagainya. Kekerasan juga dapat menjadi sarana ekspresi dari kerentanan maskulinitas yang dialami oleh seorang laki-laki disaat dirinya tidak dapat mencapai standar maskulinitas. Nasib guru honorer dengan gaji minim ditambah konstruksi sosial yang mengharuskan laki-laki bertanggung jawab dalam bentuk pemenuhan nafkah keluarga contoh konkrit beban psikis yang dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya kekerasan di dalam kelas antara guru laki-laki dan muridnya.

Kecenderungan pendidikan Indonesia yang stato-centris, di mana guru menjadi pemegang kuasa kontrol atas keberlangsungan pengajaran, sangat jelas tidak relevan untuk diaplikasikan karena begitu banyak dampak negatif yang dihasilkan seperti yang telah dijabarkan dari berbagai contoh kasus di atas. Sudah saatnya tenaga pendidik duduk sejajar bersama dengan siswa serta orangtua untuk bersinergi menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman serta meminimalisir hirarki antara seluruh pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Hal ini sangat diperlukan karena walau negara telah membuat peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak dari tindak kekerasan tercatut pada UU Nomor 35 Tahun 2014, upaya tersebut tidak dapat digunakan menjadi senjata utama dalam mengentaskan kekerasan dengan korban anak. Penyejahteraan guru dan mengapresiasi dedikasi yang telah dilakukan oleh para guru juga dapat digunakan sebagai salah satu jalan keluar menyudahi tindak kekerasan dalam pendidikan selain menciptakan lingkungan pendidikan yang sadar kekerasan lewat pemberian edukasi.

Kontributor : Izmy