Apa maksud dari perawat sebagai subtitue

Defenisi peran perawat menurut Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang registrasi dan praktik perawat, perawat adalah seseorang yang lulus pendidikan perawat, baik didalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Dalam menjalankan praktik keperawatan harus senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan tugasnya. Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat juga dituntut melakukan peran dan fungsi sebagaimana yang diharapkan oleh profesi dan masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Sedangkan menurut Kusnanto (2004), peran perawat adalah memberikan perhatian kepada klien dalam segala situasi yang berhubungan dengan kesehatannya.

Klasifikasi peran perawat menurut Doheny (1982) mengidentifikasikan beberapa elemen peran perawat profesional sebagai berikut :

Sebagai pemberi asuhan keperawatan (Care giver)

Sebagai pelaku/pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien, menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi : melakukan pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan informasi yang benar, menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan hasil analisis data, merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah yang muncul dan membuat langkah/cara pemecahan masalah, melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ada dan melakukan evaluasi berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.

Sebagai pembela untuk melindungi klien (Client advocate)

Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara klien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela kepentingan klien dank lien memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun profesional. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat bertindak sebagai narasumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Dalam menjalankan peran sebagai advokat (pembela klien) perawat harus dapat melindungi dan memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalam pelayanan keperawatan.

Sebagai pemberi bimbingan/konseling klien (Counselor)

Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sehat-sakitnya. Adanya pola interaksi ini merupakan dasar dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya. Memberikan konseling/bimbingan kepada klien, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan sesuai prioritas. Konseling diberikan kepada individu/keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan pengalaman yang lalu, pemecahan masalah difokuskan pada masalah keperawatan, mengubah perilaku hidup kearah perilaku hidup sehat.

Sebagai pendidik klien (Educator)

Sebagai pendidik klien, perawat membantu klien meningkatkan kesehatannya melalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan tindakan medik yang diterima sehingga klien/keluarga dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahuinya. Sebagai pendidik, perawat juga dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada kelompok keluarga yang beresiko tinggi, kader kesehatan, dan lain sebagainya.

Sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain (Collaborator)

Perawat bekerjasama dengan tim kesehatan lain dan keluarga dalam menentukan rencana maupun pelaksanaan asuhan keperawatan guna memenuhi kebutuhan kesehatan klien.

Sebagai koordinator agar dapat memanfaatkan sumber-sumber potensi klien (Coordinator)

Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik materi maupun kemampuan klien secara terkoordinasi sehingga tidak ada intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih.

Dalam menjalankan peran sebagai koordinator, perawat dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :


  1. Mengkoordinasi seluruh pelayanan keperawatan
  2. Mengatur tenaga keperawatan yang akan bertugas
  3. Mengembangkan sistem pelayanan keperawatan
  4. Memberikan informasi tentang hal-hal yang terkait dengan pelayanan keperawatan pada sarana kesehatan

Sebagai pembaharu yang selalu dituntut untuk untuk mengadakan perubahan-perubahan (Change agent)

Sebagai pembaharu, perawat menggadakan invasi dalam cara berfikir, bersikap, bertingkah laku dan meningkatkan keterampilan klien/keluarga agar menjadi sehat. Elemen ini mencakup perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dalam berhubungan dengan klien dan cara memberikan perawatan kepada klien.

Sebagai sumber informasi yang dapat membantu memecahkan masalah klien (Consultan)

Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan peran ini dapat dikatakan perawat adalah sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi spesifik klien (Ali Z.H, 2002:5-9).

Menurut Lokakarya Nasional (1998), peran perawat adalah :

1) Pelaksana pelayanan keperawatan

2) Pengelola pelayanan keperawatan dan institusi pendidikan

3) Pendidik dalam keparawatan

4) Peneliti dan pengembang keperawatan

Menurut para sosiolog peran perawat adalah :


  1. Peran terapeutik yaitu kegiatan yang ditujukan langsung pada pencegahan dan pengobatan penyakit.
  2. Expressive/mother substitute role yaitu kegiatan yang bersifat langsung dalam menciptakan lingkungan dimana klien merasa aman, diterima, dilindungi, dirawat dan didukung oleh perawat itu. Menurut Johnson dan Mortin (1989), peran ini bertujuan untuk menghilangkan kegagalan dalam kelompok pelayanan.

Menurut Schulman (1986), peran perawat adalah hubungan perawat dan klien sama dengan hubungan ibu dan anak, antara lain :

1) Hubungan interpersonal disertai dengan kelembutan hati dan rasa kasih sayang.

2) Melindungi dari ancaman dan bahaya

3) Memberi rasa nyaman dan aman

4) Memberi dorongan untuk mandiri (Wijono D, 2002:36).

Selama beberapa dekade terakhir, keperawatan telah mengalami perubahan-perubahan yang mengagumkan, terutama melalui munculnya gerakan reformasi profesional pada tahun 1970-an yang disebut “Keperawatan Baru” (Salvage, 1992). Unsur sentral dari ideologi keperawatan baru adalah hubungan antara perawat dengan pasien. Fokus perawatan beralih dari pendekatan yang berorientasi pada medis-penyakit ke model yang berfokus pada orang dan bersifat pribadi. Disini pasien dilihat sebagi partisipan yang aktif dan bukan penerima perawatan yang pasif. Dalam konteks yang sama, peran pengasuhan dari perawat tidak lagi berpusat pada fungsi-fungsi biologis pasien tetapi telah meluas ke aspek-aspek psiko-sosial individu.

Gerakan ini tidak hanya ditujukan pada sifat interaksi antara pasien dengan perawat, tetapi juga pada status dan wewenang perawat. Stereotip perawat sebagai pembantu dokter telah mendapat tantangan. Tuntutan untuk kesetaraan dan otonomi dari perawat telah meningkat sejalan dengan ditetapkannya teori keperawatan dan model-model keperawatan. Perawat mulai melihat dirinya sebagai praktisi dengan hak tersendiri, mempunyai dan menerima tanggung jawab untuk membuat keputusan tentang praktik keperawatan. Hubungan perawat-pasien diidentifikasikan sebagai tanda dari keperawatan profesional (Ellis, Gates & Kenworthy, 2000: 78).

Perawat adalah orang yang memberikan pelayanan/asuhan keperawatan berdasarkan data hasil pengkajian sampai pada evaluasi hasil baik medik maupun bio-psikososio-spiritual (Ali H.Z, 2002: 43).

Untuk memudahkan dalam memberikan asuhan keperawatan dengan memperhatikan kebutuhan spiritual penerima pelayanan keperawatan, maka perawat mutlak perlu memiliki kemampuan mengidentifikasi atau mengenal karakteristik spiritualitas seperti sembahyang, perlengkapan keagamaan dan bersatu dengan alam. Secara ringkasnya dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualnya apabila mampu :

1. Merumuskan arti persoalan yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan.

2. Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan.

3. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta.

4. Membina integritas personal dan merasa diri berharga.

5. Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan.

6. Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif.

Keyakinan spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku self care klien. Beberapa pengaruh dari keyakinan spiritual yang perlu dipahami adalah sebagai berikut :

1. Menentukan kebiasaan hidup sehari-hari

Praktik penentu pada umumnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan mungkin mempunyai makna keagamaan bagi klien. Sebagai contoh, ada agama yang menetapkan makanan diit yang boleh dan tidak boleh dimakan. Begitu pula metode keluarga berencana ada agama yang melarang cara tertentu untuk mencegah kehamilan termasuk terapi medic atau pengobatan.

Pada sat mengalami stress, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca kitab suci dan perktik keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritual yang juga merupakan suatu perlindungan terhadap tubuh.

3. Sumber kekuatan dan penyembuhan

Menurut Taylor, Lilis dan Le Mone (1997), nilai dari keyakinan agama tidak dapat dengan mudah dievaluasi. Walaupun demikian pengaruh keyakinan tersebut dapat diamati oleh tenaga kesehatan dengan mengetahui bahwa individu cenderung dapat menahan distress fisik yang luar biasa karena mempunyai keyakinan yang kuat. Keluarga klien akan mengikuti semua proses penyembuhan yang memerlukan upaya luar biasa, karena keyakinan bahwa semua upaya tersebut akan berhasil.

Pada suatu situasi tertentu, bisa terjadi konflik antar keyakinan agama dengan praktik kesehatan. Ada agama tertentu yang menganggap manusia sebagai makhluk yang tidak berdaya dalam mengendalikan lingkungannya, oleh karena itu penyakit diterima sebagai nasib bukan sebagai sesuatu yang harus disembuhkan (Hidayat, 2006: 209).

Menurut Taylor, Lilis & Le Mone (1997) dan Craven & Hirnle (1996), faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang salah satunya adalah pemberian asuhan keperawatan yang kurang tepat.

Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada kilen, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkian perawat justru menghindar untuk memberikan asuhan spiritual. Alas an tersebut antara lain karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritual, tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritual dalam keperawatan, atau merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual bagi klien bukan menjadi tugasya tetapi tanggung jawab pemuka agama. Lima isu nilai yang mungkin timbul antara perawat dengan kilen, adalah :


  1. Pluralisme, perawat dan klien menganut kepercayaan dan iman dengan spektrum yang luas.
  2. Fear, berhubungan dengan ketidakmampuan mengatasi situasi, melanggar privacy klien, atau merasa tidak pasti dengan sistem kepercayaan dan nilai diri sendiri.
  3. Kesadaran tentang pertanyaan spiritual, apa yang memberikan arti dalam kehidupan, tujuan, harapan dan merasakan cinta dalam kehidupan pribadi perawat.
  4. Bingung, terjadi karena adanya perbedaan antara agama dan konsep spiritual.

Berbagai perilaku dan ekspresi yang dimanifestasikan klien seharusnya diwaspadai oleh perawat, karena mungkin saja klien sedang mengalami masalah spiritual. Individu yang mengalami gangguan fungsi spiritual biasanya memverbalisasikan distress yang dialaminya atau mengekspresikan kebutuhan untuk mendapatkan bantuan. Biasanya klien meminta perawat untuk berdoa bagi kesembuhannya atau memberitahukan kepada pemuka agama untuk mengunjunginya. Perawat juga perlu peka terhadap keluhan klien tentang kematian atau merasa tidak berharga dan kehilangan arti hidup. Kepekaan perawat sangat penting dalam menarik kesimpulan dari verbalisasi klien tentang distress yang dialami klien. Perubahan perilaku juga dapat merupakan manifestasi gangguan fungsi spiritual. Klien yang merasa cemas dengan hasil pemeriksaan atau menunjukkan kemarahan setelah mendengar hasil pemeriksaan mungkin saja sedang menderita distress spiritual. Oleh karena itulah perawat kiranya hadir sebagai care giver bagi kien yang sedang mengalami masalah tersebut (Hamid A.Y., 2000:16-18).

Pembelajaran kooperatif tipe STAD mempunyai beberapa keuntungan dan kelamahan. Kuswadi (2004:37)menyebutkan beberapa keuntungan dan kelemahan dari  pembelajaran kooperatif  tipe STAD. Beberapa keuntungannya antara lain: Setiap anggota kelompok mendapat tugas Adanya interaksi langsung antar siswa dalam kelompok Melatih siswa mengembangkan keterampilan sosial (social skill) Membiasakan siswa menghargai pendapat orang lain Meningkatkan kemampuan siswa dalam berbicara dan berbuat, sehingga kemampuan akademiknya meningkat Memberi peluang kepada siswa untuk berani bertanya dan mengutarakan pendapat Memfasilitasi terwujudnya rasa persaudaraan dan kesetiakawanan Terlaksananya pembelajaan yang berpusat pada siswa, sehingga waktu yang tersedia hampir seluruhnya digunakan oleh siswa untuk kegiatan pembelajaran Memberi peluang munculnya sikap-sikap positif siswa Adapaun beberapa kelemahan dari pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah: Dalam pelaksanaan di kelas, membutuhkan wakr

Menurut Slavin (dalam Murdiana, 2002: 21-22) Teori Vygotsky menekankan pada empat prinsip utama dalam pembelajaran, yaitu:  (1) the sociocultural nature of learning, (2) zone of proximal development, (3) cognitive apprenticeship, dan (4) scaffolding. Prinsip pertama the sociocultural nature of learning menurut Vygotsky menekankan pada pentingnya peran orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu dalam belajar. Vygotsky menyarankan untuk menggunakan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggota kelompok yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan konseptual. Penggunaan prinsip sosiokultural dalam pembelajaran kooperatif terlihat pada tahap kegiatan kelompok(fase-3 dan pelaksanaannya dapat dilihat pada rencana pembelajaran. Pada tahap kegiatan kelompok akan terjadi interaksi sosiokultural antar anggota kelompok yang berbeda dalam kemampuan akademis, latar belakang sosial budaya, dan tingkat emosional Prinsip kedua zone of proximal development menurut Vygotsky adalah i

Ada 8 (delapan) dimensi kualitas yang dikembangkan Garvin (dalam Lovelock; Peppard dan Rowland, 1995) seperti dikutip Fandy Tjiptono (1996 : 68) dan dapat digunakan sebagai kerangka perencanaan strategis dan analisis. Dimensi-dimensi tersebut adalah : Kinerja (performance), karakteristik pokok dari produk inti. Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap. Kehandalan (realibility), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal dipakai. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), yaitu sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standard-standard yang telah ditetapkan sebelumnya. Daya tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama produk tersebut dapat terus digunakan. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah diperbaiki, penanganan keluhan yang memuaskan. Estetika (aesthetics), yaitu daya tarik produk terhadap panca indra. Kualitas yang dipersepsikan (perceive