Apa Latar belakang dan cita-cita yang mendasari kelahiran Balai Pustaka dan Angkatan Pujangga Baru

Angkatan Balai Pustaka adalah nama yang diberikan kepada pengarang yang dianggap sangat produktif menerbitkan karyanya oleh Penerbit Balai Pustaka pada tahun 1920-an. Di antaranya adalah Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, Marah Rusli, Muhammad Kasim, dan Merari Siregar. Angkatan ini juga dinamakan Angkatan Siti Nurbaya karena novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli merupakan puncak karya sastra pada zaman itu. Novel Siti Nurbaya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi yang kaku.[1]

Kebanyakan penulis pada zaman itu berasal dari Minangkabau sehingga persoalan yang dikemukakan sangat kental dengan budaya lokal Minangkabau. Angkatan Balai Pustaka juga disebut dengan angkatan 20-an yang lebih banyak menuliskan tentang persoalan adat yang kaku, kebebasan individu yang terkungkung, penindasan hak perempuan serta kesewenangan kaum tua (adat) terhadap kaum muda.[2]

Balai Pustaka lahir sebagai reaksi dari keresahan Pemerintah Hindia Belanda pada zaman itu terhadap banyaknya koran-koran atau bacaan yang berkembang pada masyarakat luas. Kritikan dan protes banyak dihadirkan oleh pihak bumiputra untuk menentang kekuasaan Belanda waktu itu. Hasilnya, berdirilah "Commissie voor de Volkslectuur" (Komisi Bacaan Rakyat, KBR) pada 1908, yang kelak menjadi Balai Pustaka. KBR saat itu menerbitkan buku-buku dan majalah yang dianggap "aman" oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tak disangka, pilihan berupa buku asing yang diterjemahkan, justru membantu pikiran rakyat Indonesia menjadi lebih terbuka. Lembaga ini dibangun sebagai konsekuensi politik etis yang mendirikan sekolah bagi kaum Bumi Putera.[3]

Merari Siregar

  • Azab dan Sengsara; novel (1920)
  • Binasa kerna Gadis Priangan!; novel (1931)

Marah Rusli

  • Siti Nurbaya; novel (1922)
  • La Hami; novel (1924)

Muhammad Yamin

  • Tanah Air; puisi (1922)
  • Indonesia, Tumpah Darahku; puisi (1928)
  • Kalau Dewi Tara Sudah Berkata; drama (1932)

Nur Sutan Iskandar

  • Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan; novel (1923)
  • Cinta yang Membawa Maut; novel (1926)
  • Salah Pilih; novel (1928)
  • Karena Mentua; novel (1932)

Tulis Sutan Sati

  • Tak Disangka; novel (1923)
  • Sengsara Membawa Nikmat; novel (1928)
  • Tak Membalas Guna; novel (1932)
  • Memutuskan Pertalian; novel (1932)

Djamaluddin Adinegoro

  • Darah Muda; novel (1927)
  • Asmara Jaya; novel (1928)
  • Melawat Ke Barat; novel (1930)

Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati

  • Dagang Melarat; novel (1926)
  • Pertemuan; novel (1927)

Abdul Muis

  • Salah Asuhan; novel (1928)
  • Pertemuan Jodoh; novel (1933)

Aman Datuk Madjoindo

  • Syair Si Banso Urai; syair (1931)
  • Menebus Dosa; novel (1932)
  • Rusmala Dewi; novel (bersama S. Hardjosoemarto, 1932)

Muhammad Kasim

  • Niki Bahtera; terjemahan cerita anak-anak karya Cornelis Johannes Kieviet (1920)
  • Muda Teruna; novel (1922)
  • Pemandangan dalam Dunia Kanak-Kanak; cerita anak-anak (1928)
  • Bertengkar dan Berbisik; cerita anak-anak (1929)
  • Bual di Kedai Kopi; cerita anak-anak (1930)
  • Pangeran Hindi; terjemahan cerita anak-anak karya Lew Wallace (1931)

Soeman Hasiboean

  • Kasih Tak Terlerai; novel (1930)
  • Percobaan Setia; novel (1931)
  • Mencari Pencuri Anak Perawan; novel (1932)
  • Kasih Tersesat; novel (1932)

Rustam Effendi

  • Bebasari; drama (1926)
  • Percikan Permenungan; puisi (1926)

Abdoel Rivai

  • Gubahan; puisi (1930)
  • Puspa Aneka; puisi (1931)
  1. ^ "Apa yang dimaksud dengan sastra angkatan Balai Pustaka ? - Diskusi Sastra - Dictio Community". www.dictio.id. Diakses tanggal 2019-12-17. 
  2. ^ WS, Hasanuddin (2009). Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa Group. hlm. 78–79.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  3. ^ Taum, Yoseph Yapi (2014). "Diskursus Batjaan Liar: Kajian Terhadap dua Sastrawan Liar dalam Periode 1900-1933". Jurnal Penelitian. 17 (2): 130. 

(Indonesia) Kumpulan Puisi Angkatan Balai Pustaka

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Angkatan_Balai_Pustaka&oldid=20997388"

BALAI PUSTAKA

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

Sejarah Sastra

Yang dibina oleh Ibu Dra. Ida Lestari, M.Si

Oleh :

Offerin A

Angkatan 2014

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

JURUSAN SASTRA INDONESIA

OKTOBER 2014



BAB II

2.1 Latar Belakang Balai Pustaka

Pada tahun 1920 Indonesia merupakan negara jajahan Belanda, hal ini mempengaruhi seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia termasuk di bidang bahasa dan sastra, akibatnya aktivitas bahasa dan sastra berkembang sesuai dengan kondisi setempat di bawah penjajahan Belanda. Sebagai akibat pelaksanaan politik etis atau balas jasa (Indonesia). Maka diusahakanlah aktivitas di tiga bidang, yakni: Irigasi, Transmigrasi, dan Edukasi. Wujud pengembangan aktivitas edukasi adalah didirikannya sekolah-sekolah. Hal inilah yang mendasari terbentuknya suatu badan yang kemudian bertugas menerbitkan buku-buku yang baik untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat. Di samping itu, badan ini mengusahakan taman pustaka atau perpustakaan yang ditempatkan di sekolah-sekolah rakyat, badan ini diperluas dan diperbesar seiring dengan makin banyaknya tamatan sekolah yang memerlukan bahan-bahan bacaan, dan badan ini kemudian dinamakan Balai Pustaka. Dalam sejarahnya awal mula Balai Pustaka terbentuk ketika pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat, pada 14 September 1908 melalui keputusan Gubernemen dengan nama awal yaitu Commissie voor de inlandsche school en volkslectuur diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Balai Pustaka baru menghasilkan bacaan pada tahun 1910 yang dipimpin oleh Dr. D.A. Rinkes sampai tahun 1916

dengan tugasnya adalah memajukam moral dan budaya serta meningkatkan apresiasi sastra. Balai Pustaka adalah suatu badan yang merupakan penjelmaan dari “Commissie voor de Volkslectuur” atau dalam bahasa Indonesianya: “ Komisi untuk Bacaan Rakyat” yang berkedudukan di Jakarta dan dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Komisi untuk bacaan rakyat didirikan, juga disebabkan politik ethis Belanda, politik balas jasa, untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Jadi, beberapa faktor berikut inilah yang menjadi penyebab perjalanan kesusastraan Indonesia berkembang mengikuti idiologi kolonial :

  1. Pendirian Balai Pustaka telah menafikan keberadaan karya – karya terbitan swasta yang secara sepihak dituding sebagai “bacaan liar”. Karya – karya sastra yang dipublikasikan lewat surat kabar dan majalah, dianggap tidak ada.
  2. Pemberlakuan sensor melalui Nota Rinkes menyebabkan buku – buku terbitan Balai Pustaka, khasnya novel – novel Indonesia sebelum perang, cenderung menampilkan tokoh – tokoh yang terkesan karikaturs.
  3. Penetapan bahasa Melayu mendorong munculnya sastrawan – sastrawan yang menguasai bahasa Melayu. Mereka datang dari Sumatera. Maka, sastrawan yang berasal dari Sumatera itulah yang kemudian mendominasi peta kesusastraan Indonesia.

Sastra Balai Pustaka adalah sastra rakyat yang berpijak pada kultur Indonesia abad 20. Hal ini dengan jelas nampak dari roman – roman Balai Pustaka dalam bahasa Jawa, Sunda, dan melayu tinggi. Sastra Balai Pustaka sebenarnya adalah “sastra daerah”, bukan saja dalam arti menggunakan bahasa daerah  tetapi juga menggarap tema – tema kedaerahan, bisa dilihat dari karya – karya yang lahir pada saat itu.

Saat itu buku – buku yang diterbitkan Balai Pustaka dapat dibagi tiga; pertama, buku untuk anak – anak. Kedua, buku hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa daerah. Ketiga, buku hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa melayu dan kemudian menjadi bahasa Indonesia. Pada masa pendudukan jepang (1942-1945) Balai Pustaka masih tetap eksis namun menggunakan nama lain yaitu, Gunseikanbo Kokumin Tosyokyoku yang artinya Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer Jepang.

Zaman keemasan Balai Pustaka sekitar tahun 1948 hingga pertengahan tahun 50-an ketika dipimpin oleh K.St. Pamoentjak dan mendominasi penerbitan buku – buku sastra dan sejumlah pengarang Indonesia bermunculan seperti H.B.Jassin, Idrus,  M.Taslim, dan lain – lain. Selama enam tahun volkslectuur menerima 1033 naskah (legenda, cerita wayang, ringkasan cerita rakyat, terjemahan dll) dari berbagai bahasa seperti:

1)      598 naskah bahasa Jawa      → 117 diterbitkan

2)      204 naskah bahasa Sunda    → 68  diterbitkan

3)      96 naskah bahasa Melayu    → 33  diterbitkan

4)      47 naskah bahasa Madura    → 1 diterbitkan

5)      8 naskah bahasa Batak         → 0 diterbitkan

2.1.1 Tujuan Berdirinya Balai Pustaka

Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa – bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.

Tujuan inti didirikannya Komisi Bacaan Rakyat adalah meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda. Tujuan lainnya adalah menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri

Adapun usaha – usaha positif yang dilakukan yaitu mengadakan perpustakaan di tiap – tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku – buku dengan tarif murah secara teratur, dan memberikan bantuan kepada usaha – usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan.

2.2  Karakteristik Sastra Periode Balai Pustaka

Periode Balai Pustaka muali muncul pada abad ke-20-an. Ada beberapa hal yang menjadi pembeda antara satu angkatan dengan angakatan yang lain. Selain mengambil latar belakang kehidupan masyarakat Minangkabau, pada sebagian karya sastranya, masih terdapat beberapa ciri-ciri lainnya yang cukup mencolok di antara karya sastra lainnya, diantaranya adalah:

1)      Karya sastra angkatan Balai Pustaka pada umumnya hanya berceritakan mengenai kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

2)      Karya-karya pada angkatan Balai Pustaka juga tidak berbicara mengenai politik, kemiskinan, dan nilai-nilai sekularisasi.

3)      Para penulisnya lebih bersifat kompromistis terhadap keadaan politik pada masa itu, pengarang berusaha untuk bersikap ramah dan baik terhadap pemerintah kolonial agar karya-karya yang mereka hasilkan dapat diterbitkan.

Karya-karya yang ada pada angkatan balai pustaka memang dibuat sedemikian rupa agar tidak menyinggung perpolitikan kaum kolonial. Karya-karya dari Balai Pustaka disortir secara ketat untuk mengurangi kemungkinan ada karya-karya yang berbau menentang pemerintahan kolonial.

Contoh paling dekatnya adalah karya Siti Nurbaya. Dalam karya tersebut kita dapat melihat bahwa Syamsul Bahri yang diposisikan sebagai tokoh protagonis lebih memilih untuk menjadi bagian dari tentara kolonial demi membalaskan amarahnya ke Datuk Maringgih. Syamsul Bahri dalam roman tersebut terkesan tidak nasionalis, sedangkan Datuk Maringgih berada pada pihak yang membangkang aturan-aturan kolonial terlepas dari sifatnya yang buruk dan licik. Hal ini bukan dikarenakan tidak adanya rasa nasionalisme pada diri bangsa Indonesia, namun lebih didasari atas aturan ketat syarat pempublikasian karya sastra yang diatur oleh pihak penerbit balai pustaka.

Adapun aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Netral dari visi dan misi yang berkaitan dengan ajaran agama.
  2. Netral dari visi dan misi yang berkaitan dengan propaganda politik.
  3. Karya yang akan diterbitkan adalah karya yang memiliki nilai mendidik.

Karena syarat dan ketentuan yang ketat dari pihak penerbit balai pustaka, maka tidak kita temukan karya-karya yang mengacu kepada kritikan terhadap perpolitikan kaum kolonial pada masa itu. Karya-karya tersebut terlebih dahulu disaring agar bisa lulus penyeleksian karya-karya yang akan dipublikasi.

2.2.1 Tema-tema Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka

Selain memiliki ketentuan kepenulisan yang terbebas dari propaganda politik dan ajaran agama, kesusastraan angkatan Balai Pustaka juga mulai mengangkat tema-tema yang sebelumnya belum diterapkan dalam kesusastraan melayu. Tema-tema yang biasa diangkat dalam karya-karya angkatan Balai Pustaka adalah:

1)      Adat kawin paksa

2)      Otoriter orang tua dalam menentukan perjodohan anak-anak mereka

3)      Konflik diantara kaum tua dan kaum muda

4)      Penjajahan Eropa yang dianggap wajar dan terkesan dianggap baik

Adat kawin paksa merupakan tema yang paling mendominasi karya-karya angkatan Balai Pustaka, seperti yang diceritakan dalam roman Siti Nurbaya.  Dalam karya tersebut dapat kita lihat bagaimana orang tua memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan pernikahan dari anak-anak mereka. Konflik antar generasi terutama generasi tua dan muda merupakan tema berikutnya yang sering menjadi topik-topik perbincangan dalam karya sastra.

Diantara karya-karya tersebut ada yang berakhir dengan tragis, atau diakhiri dengan kemenangan kaum tua, namun ada juga beberapa karya yang berani melawan arus kesusastraan pada masa itu dengan memberikan akhir kemenangan kaum muda dalam melawan kaum tua. Seperti yang terdapat dalam karya Darah Muda dan Mencari Anak Perawan.

Penokohan dalam karya sastra angkatan Balai Pustaka juga dibuat jauh bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Tokoh-tokoh protagonis digambarkan sedemikian sempurna baik dalam bidang moral ataupun sosial, sedangkan tokoh-tokoh antagonisnya digambarkan sangat jahat dan tidak beradab. Karya-karya pada masa angkatan Balai Pustaka merupakan karya-karya yang merepresentasikan realitas sosial pada masa itu, namun tentunya karya-karya tersebut harus sejalan dengan politik pemerintahan kolonial.

2.2.2 Persajakan pada Angkatan Balai Pustaka

Perkembangan kesusastraan pada masa Balai Pustaka tidak hanya berkembang melalui karya-karya prosa dan pernovelan saja, tetapi juga di bidang persajakan. Rustam Efendi dan Muhammad Yamin merupakan orang-orang yang memegang pengaruh besar dalam perkembangan persajakan di Indonesia pada masa itu. Mereka bahkan disebut-sebut sebagai Bapak Soneta Indonesia, karena mereka berdualah yang menjadi pelopor penulisan soneta di Indonesia.

Soneta yang berkembang pada masa itu, tidak lepas dari pengaruh kemelayuan, di mana sajak yang dihasilkan rata-rata menggunakan nada yang mendayu-dayu dengan menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di sekitar kita, seperti tumbuh-tumbuhan. Meskipun demikian, sebagai sebuah karya, sajak-sajak tersebut tetap bertugas untuk mengungkapkan pengalaman batin yang tidak terlepas dari nilai-nilai humanitas dan religuitas.

Rustam Efendi merupakan salah satu tokoh kesusastraan Indonesia yang serin disebut-sebut sebagai tokoh pembaharu puisi di Indonesia. Dia juga menggunakan penulisan drama bersajak, yang bahasanya lebih dipuisikan. Sebagai seorang sosialis kiri, Rustam Efendi juga menggunakan karya-karyanya sebagai penyampai hasrat-hasrat nasionalisme pada dirinya yang berbeda sekali dengan Muhammad Yamin yang lebih mengutamakan aspirasi kebangsaan.

Penulis-penulis yang sempat mengecap kesuksesan pada masa angkatan balai bahasa meliputi Merari Siregar, Marah Rusli, Rustam Efendi, Muhammad Yamin, Abdul Muis, Muhammad Kasim, Aman Datuk Madjoindo, Jamaluddin Adinegoro, Tulis Sutan Sati, dan Nur Sutan Iskandar. Penulis pada masa ini tidak hanya sebagai penghasil karya sastra saja, namun juga sebagai penerjemah karya-karya asing.

Dari penjelasan di atas kita dapat melihat hal-hal yang membedakan karya sastra angkatan Balai Pustaka dengan tipe karya sastra angkatan lainnya. Angkatan Balai Pustaka tidak hanya  merupakan masa peralihan yang berfungsi mengurangi pengaruh sastra melayu lama saja, tetapi juga merupakan cikal bakal perkembangan kesusastraan Indonesia. Meskipun kesusastraan angkatan balai bahasa tidak lepas dari campur tangan dari pemerintah kolonial, namun masa ini struktur bahasa dalam kasusastraan Indonesia mulai beranjak ke arah yang lebih baik.

2.2.3 Jenis Sastra Angkatan Balai Pustaka

Balai Pustaka merupakan badan penerbit yang diusahakan pemerintah kolonial, tentu saja kegiatannya tidak pernah lepas dari kepentingan politik penjajahan. Hal ini berpengaruh terhadap hasil karya bangsa Indonesia, sebab tidak semua hasil karya bangsa Indonesia bisa diterima di Balai Pustaka, walaupun bila ditinjau dari segi kesusastraan itu bernilai.

Adapun macam karangan yang muncul pada zaman Angkatan Balai Pustaka, adalah sebagai berikut.

      1. Prosa

Macam Prosa adalah sebagai berikut:

             a. Roman

Cerita yang diambil dari daerah Minangkabau dan Riau. Pada umumnya berisi perjuangan kaum muda yang gagal dalam menghadapi kejanggalan-kejanggalan adat pada masa itu. Selain itu, ada juga yang berisi pertentang anantara kaum muda yang bersifat modern dan kaum tua yang bersifat kolot/ortodoks. Contohnya roman yang bertemakan masalah adat, yaitu Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Salah Pilih (NurSutanIskandar), Salah Asuhan (Abdul Muis), dan Siti Nurbaya (MarahRusli). Contohnya roman yang bertemakan masalah kawin paksa, seperti Dian Yang Tak Kunjung Padam (Sutan Takdir Alisyabana), Darah Muda (Adi Negoro), Asmara Jaya (Adi Negoro). Roman yang bertemakan masalah kebangsawanan, seperti Siti Nurbaya (Marah Rusli), Si Cebol Rindukan Bulan (Aman Datuk Mojoindo), Pertemuan Jodoh (Abdul Muis), Memutuskan Pertalian (Tulis Sutan Sati).

        b. Cerita Pendek (Cerpen)

Setelah masalah kawin paksa tidak muncul lagi dalam angkatan BalaiPustaka, maka sebagai gantinya muncul cerita pendek (cerpen).

Ciri-ciri cerpen Angkatan Balai Pustaka adalah sebagai berikut:

1) Bahan ceritanya diambil dari kehidupan sehari-hari

2) Merupakan bacaan hiburan

3) Sifat cerpen biasanya mengkritik atau bersifat humor, karena cerpen merupakan cermin kehidupan masyarakat dengan suka dukanya

Contoh cerita pendeka adalah: Teman Duduk (kumpulan cerpen) oleh M. Kasim, Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen) oleh Hamka, dan Kawan Bergelut (kumpulan cerpen) oleh Suman Hasibuan.

                  c. Drama

Drama-drama yang dihasilkan oleh Angkatan Balai Pustaka, diantaranya adalah:

1)      Bebas dari oleh Rustam Effendi

Ini merupakan drama dalam kesusastraan Indonesia. Bentuknya sebuah drama bersajak yang isinya berupa sindiran tentang hidup yang tertekan di bawah penjajahan.

2)      Menantikan Surat dari Raja olehMoh. Yamin

Drama ini merupakan saduran dari karangan sastrawan India Rabindranath Tagore.

2)      Sajak

Pengarang sajak Angkatan Balai Pustaka masih menyukai bentuk puisi Melayu klasik, seperti bentuk pantun dan syair dalam sajak-sajaknya. Misalnya: (1) Syair Siti Aminah oleh Syahbudin, (2) Syair Si Lindung Delima oleh Aman, (3) Syair Putri Hijau oleh A. Rahman.

2.3 Peristiwa Sastra pada Periode Balai Pustaka

Peristiwa sastra adalah peristiwa yang menyangkut dengan lahirnya suatu karya sastra. Diantaranya ada awal mula terbentuknya Nota Rinkes dan juga adanya karya sastra yang ditolak oleh balai pustaka dan dianggap sebagai karya yang tak bernilai sastra atau bacaan liar.

2.3.1. Terbentuknya Nota Rinkes

Penyebab terbentuknya Nota Rinkes adalah lahirnya karya sastra Indonesia yang bervariasi baik buku-buku maupun saduran yang menimbulkan Belanda membuat Nota Rinkes untuk membatasi ide dan gagasan para sastrawan Indonesia. Isi Nota Rinkes adalah sebagai berikut :

a)      Karangan yang diterbitkan hendaklah yang dapat menambah kecerdasan dan budi perkerti.

b)      Isi karangan tidak mengganggu ketertiban umum dan keamanan negeri, artinya tidak bertentangan dengan pemerintah.

c)      Harus netral agama.

Balai Pustaka sebagai nama penerbit diketuai oleh Dr. K.A. Rinkes yang selanjutnya oleh Dr. G.W.J. Drewes, dan Dr. K. A. Hidding dari Belanda. Sedangkan dari indonesia yang menjadi pegawai rendahan yaitu Sutan Takdir Alisjahbana, Armin Pane, Adi Negoro, Nur Sutan Iskandar, HB. Jassin dan W.J.S Purwodaminto.

Balai Pustaka menerbitkan buku-buku yang sesuai dengan Nota Rinkes yaitu setiap naskah atau karangan harus mengandung budi pekerti, unsur politik dan netral terhadap agama.

2.3.2. Adanya Karya Sastra Di luar Balai Pustaka

Sastra pada tahun 1920-an tidak terbatas pada kegiatan dan usaha Balai Pustaka saja. Pada periode yang sama, muncul sastra di luar Balai Pustaka. Periode sastra di luar Balai Pustaka sama dengan periode sastra Angkatan Balai Pustaka, yaitu antara tahun 1920-an sampai dengan tahun 1930-an, namun kriteria-kriteria yang ada pada sastra di luar Balai Pustaka berbeda dengan angkatan Balai Pustaka. Hal itu terjadi sebagai wujud penentangan terhadap keberadaan Nota Rinkes yang dianggap membatasi ide dan kreativitas pengarang. Berdasarkan hal di atas banyak pengaruh yang terjadi dimana banyak pengarang yang tidak memasukkan karyanya ke dalam Balai Pustaka. Di samping untuk tetap mempertahankan kandungan politik, mereka juga ingin mempertahankan keutuhan naskah. Sastra di luar Balai Pustaka dibedakan menjadi dua, yaitu:

1)   Sastra yang bersifat politik

Karya-karya sastra yang dihasilkan isinya bertujuan untuk menghasut rakyat dan ingin memberontak melawan penjajah. Karena sifat dan isi karangannya yang seperti itu, maka karangan-karangan yang dihasilkan disebut dengan ”karangan liar” dan pengarangnya pun disebut pengarang liar”. Adapun semboyan yang dimiliki adalah ”Politik adalah Panglima” yang berarti bahwa segala sesuatu itu berdasarkan politik dan ditujukan kepada politik, dan hal ini juga berlaku pada hasil-hasil karya sastranya. Karakteristik sastra yang memiliki tujuan politik, antara lain:

a)        Sastra digunakan sebagai media perantara untuk menyampaikan tujuan politiknya

b)        Berisikan tentang kritik terhadap feodalisme dan kolonialisme

c)        Bahasa yang dipergunakan sangat kacau, baik ejaan dan tata bahasanya

2)      Sastra yang Bersifat Sastra

Karya-karya sastra yang dihasilkan isinya sesuai dan mematuhi kaidah sastra. Adapula yang menyebutnya dengan sastra pra Pujangga Baru, karena para pengurusnya nanti aktif dalam Pujangga Baru dan karakteristik karya-karya sastranya mendekati karaktertistik karya sastra angkatan Pujangga Baru. Karakteristik sastra yang bersifat sastra, antara lain:

a.         Memiliki unsur-unsur nasionalisme

b.        Banyak mengeluarkan puisi-puisi modern dimana sudah terdapat pemisahan dari karya sastra masa silam, yaitu telah meninggalkan tradisi pantun dan syair. Hal tersebut banyak terdapat dalam puisi-puisi Muh.Yamin.

c.         Adapula yang mempertahankan bentuk tradisi pantun dan syair. Hal itu masih terlihat dalam puisi-puisi Rustam Efendi.

2.4  Peristiwa Budaya pada Periode Balai Pustaka

 Sebagian besar karya periode ini mengambil tema pokok kawin paksa, karena masalah kawin ini dipengaruhi oleh cita-cita dan sikap hidup masyarakat pada masa itu. Bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah, bahasa melayu dan bahasa indonesia. Mengungkapkan pertentangan antara golongan muda dan golongan tua dimana golongan tua mempertahankan adat bahwa adat selalu benar, sedangkan golongan muda menentang adat yang menganggap tidak selamanya adat itu benar dan membawa kebaikan tetapi adat lebih cenderung membawa masyarakat pada kemunduran atau ketinggalan zaman. Contoh karyanya : Salah asuhan karya Abdul Muis (pro adat/golongan tua) dan Asmara Jaya karya Adi Negoro (kontra adat/golongan muda).


Page 2