Apa dampak bagi negara jika nilai baca cenderung rendah

Apa dampak bagi negara jika nilai baca cenderung rendah
Ilustrasi Rupiah Turun. ©2015 Merdeka.com/Angeline Agustine

JATIM | 10 Maret 2021 16:15 Reporter : Edelweis Lararenjana

Merdeka.com - Berita mengenai melemahnya nilai rupiah seolah tak pernah ada habisnya. Melemahnya rupiah lebih mendominasi dibanding penguatannya. Hal ini tentu berdampak pada berbagai sektor perekonomian di dalam negeri.

Pelemahan yang terus-menerus akan mempersulit perencanaan bisnis, akibatnya perhitungan biaya produksi menjadi kacau. Hal ini membuat perhitungan harga jual produk yang masih menggunakan bahan baku impor menjadi serba sulit dan tidak pasti.

Mengutip artikel dari Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, pelemahan rupiah tidak lepas dari tingginya permintaan atau kebutuhan akan dolar AS di dalam negeri.

Di sisi lain, kebutuhan dolar AS belum cukup diimbangi dengan pasokan atau persediaan dolar AS di negeri ini. Oleh karena itu, upaya menekan kebutuhan akan dolar AS di dalam negeri perlu dilakukan. Sementara, upaya mendorong kegiatan ekonomi yang bisa menambah pasokan dolar AS pun juga diperlukan.

Berikut uraian selengkapnya mengenai penyebab rupiah melemah dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia yang menarik untuk diketahui.

2 dari 4 halaman

Secara alami, nilai tukar mata uang dipengaruhi oleh kondisi penawaran-permintaan (supply-demand) pada mata uang tersebut. Jika permintaan meningkat, sementara penawarannya tetap atau menurun, maka nilai tukar mata uang itu akan mengalami kenaikan.

Sebaliknya jika penawaran pada mata uang itu meningkat, sementara permintaannya tetap atau menurun, maka nilai tukar mata uang itu akan melemah. Faktor penyebab melemahnya nilai tukar rupiah dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal.

Berikut penjelasan mengenai penyebab rupiah melemah dari segi faktor internal dan eksternal, dilansir dari artikel Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.

3 dari 4 halaman

Faktor internal dalam penyebab rupiah melemah mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Kebijakan transaksi berjalan (total ekspor barang dan jasa dikurangi impor barang dan jasa) yang mengalami defisit sejak 2012 (lebih banyak impor daripada ekspor). Defisit berjalan ini dikhawatirkan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi tidak berkesinambungan. Untuk mengurangi defisit transaksi berjalan tersebut, tampaknya otoritas moneter memilih langkah memperlambat pertumbuhan ekonomi dan membiarkan rupiah cenderung melemah.

2. Keluarnya sebagian besar investasi portofolio asing dari Indonesia yang menurunkan nilai tukar rupiah karena dalam proses ini investor asing menukar rupiah dengan mata uang utama dunia, seperti dolar AS untuk diputar dan di investasikan di negara lain. Hal ini berarti akan terjadi peningkatan penawaran atas mata uang rupiah. Peristiwa tersebut akan simetris dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang akan cenderung menurun sejalan dengan kecenderungan penurunan nilai rupiah.

3. Politik anggaran negara terkait utang. Melemahnya rupiah tidak hanya berdampak pada kenaikan harga komoditas impor saja, namun juga dari utang luar negeri, karena utang luar negeri ditetapkan dengan mata uang asing dan masih ada yang tidak diasuransikan (lindung nilai). Akibatnya, karena utang harus dibayar dengan mata uang dolar AS, sedangkan nilai tukar rupiah dipastikan melemah, maka besaran utang otomatis meningkat.

4 dari 4 halaman

Faktor eksternal penyebab rupiah melemah lebih disebabkan oleh menguatnya ekonomi Amerika Serikat (AS). Pertumbuhan ekonomi AS yang kuat menimbulkan spekulasi Bank Sentral AS (The Fed) akan segera menaikkan suku bunga (Fed Rate).

Sementara di Eropa, Jepang, dan Tiongkok justru sedang membutuhkan dukungan kebijakan moneter untuk mencegah perekonomiannya jatuh ke masa resesi. Dengan kata lain, suku bunga di AS cenderung mengalami kenaikan, sedangkan suku bunga di negara lain cenderung tetap atau bahkan menurun.

Suku bunga yang tinggi di AS telah memicu aliran dana ke aset-aset dalam dolar AS (selain saham dan obligasi). Selain itu, kekhawatiran ekonomi global akan terus melambat telah membuat investor dunia mencari tempat yang aman untuk investasi mereka.

(mdk/edl)

Apa dampak bagi negara jika nilai baca cenderung rendah

TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor

Oleh: Syarifudin Yunus

(Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka Desa Sukaluyu, Kecamatan Tamansari

di Kaki Gunung Salak Bogor)

BOGOR-KITA.com BOGOR – Dibandingkan negara-negara lain di dunia, tingkat literasi anak-anak dan orang dewasa di Indonesia tergolong rendah.

Sebut saja, alokasi waktu membaca orang Indonesia per hari rata-rata hanya 30-59 menit. Masih kurang dari satu jam. Sedangkan, jumlah buku yang dibaca tuntas per tahun rata-rata hanya 5-9 buku (Perpusnas, 2017). Sementara standar UNESCO meminta agar waktu membaca tiap orang sekitar 4-6 jam per hari. Sementara masyarakat di negara maju rata-rata menghabiskan waktu membaca 6-8 jam per hari. Anehnya, orang Indonesia mampu menghabiskan waktu 5,5 jam sehari untuk bermain gawai atau gadget.

Laporan “Skills Matter” dari OECD (2016) menyebut tingkat literasi orang dewasa di Indonesia berada pada posisi terendah dari 40 negara yang mengikuti program ini. Hanya 1% orang dewasa di Jakarta yang memiliki tingkat literasi yang memadai (Level 4 dan 5);  mengintegrasikan, menafsirkan, dan mensintesis informasi dari teks yang panjang dan hanya 5.4% orang dewasa di Jakarta memiliki tingkat literasi pada level 3, yaitu dapat menemukan informasi dari teks yang panjang. Itu artinya, orang dewasa hanya terbiasa dengan bacaan dan informasi yang pendek. Bukan buku bacaan.

Baca juga  Corona Kabupaten Bogor: Positif 94, Cibinong Terus Mengancam

Ternyata, kemajuan zaman dan teknologi canggih tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kebiasaan membaca orang. Era digital dan revolusi industri 4.0 pun tidak menjamin tegaknya budaya literasi di Indonesia. Bahkan orang makin kaya pun belum tentu makin peduli pada budaya literasi. Justru sebaliknya, di era serba digital dan revolusi industri ini, faktanya makin banyak orang malas membaca, makin malas menulis. Perilaku baca makin terpinggirkan, budaya literasi kian dikebiri.

Bisa jadi, orang Indonesia hari ini lebih suka berceloteh di media sosial atau menonton TV. Maka wajar bila hoaks dan ujaran kebencian kian marak. Memang, agak sulit mengajak orang Indonesia untuk menjadikan budaya literasi sebagai gaya hidup. Membangun tradisi baca, bisa jadi “jauh panggang dari api”.

Baca juga  BPET MUI Tegaskan Terorisme Musuh Bangsa dan Umat Islam

Memangnya kenapa bila tingkat literasi masyarakat rendah?

Sebenarnya agak fatal bila tingkat literasi suatu bangsa rendah. Masyarakat yang tidak literat cenderung percara pada informasi yang salah, hoaks, bahkan gemar merendahkan orang lain. Masyaralat yang tidak literat itu berarti sulit memahami realitas, di samping tidak punya kesadaran untuk mencari solusi dari setiap masalah yang timbul.

Setidaknya, ada 6 (enam) dampak fatal bila tingkat literasi rendah, yaitu:

1.Kebodohan masyarakat yang tidak berujung dan terus-menerus.

2.Tingkat produktivitas manusia yang rendah jadi sebab sulit untuk maju.

3.Mudahnya pendidikan berhenti atau masih tingginya angka putus sekolah anak.

4.Kemiskinan yang tidak terobati bahkan makin meluas.

5.Kriminalitas dan premanisme yang meninggi jadi sebab tidak tertib masyarakat.

Baca juga  Hotel Bogor Valley Bakal Dijadikan Tempat Isolasi OTG

6.Sikap bijak yang gagal menyeleksi setiap informasi dan perilaku berkomunikasi yang emosional dan penuh sentimen.

Maka sebagai solusi, pemerintah atau masyarakat harus memberi ruang lebih besar kepada taman bacaan masyarakat (TBM).  Perlu dibuka taman bacaan yang lebih banyak. Harus ada kepedulian terhadap aktivitas membaca dan gerakan literasi yang ada di taman bacaan.

Taman bacaan adalah ujung tombak untuk mengkampanyekan tradisi baca dan budaya literasi di kalangan anak-anak dan masyarakat. Apalagi di tengah gempuran era digital.

Tradisi baca dan budaya literasi masyarakat Indonesia makin ke sini makin memprihatinkan. Zaman makin canggih tapi orangnya makin jauh dari buku bacaan.

Hoaks makin marak. Jadi bukti tingkat literasi kita rendah. Untuk itu, taman bacaan masyarakat harus diberi peran lebih besar.

Untuk menghidupkan tradisi baca dan budaya menulis. Jangan biarkan gawai merampas hidup anak-anak kita.  Siapapun harus peduli terhadap gerakan literasi.[]

Apa dampak bagi negara jika nilai baca cenderung rendah