Aktivitas pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka sangat mempengaruhi perkembangan agama

Malaka merupakan gerbang utama masuknya Islam ke Asia Tenggara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Kerajaan Malaka memiliki peranan yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Indonesia. Lewat jalur perdagangan, Islam disebarkan ke berbagai wilayah. Hadirnya Islam merupakan dampak positif dari ramainya transaksi dagang di Selat Malaka.

Gerbang utama

Melihat dari sejarahnya, Malaka merupakan gerbang utama masuknya Islam ke Asia Tenggara. Dari Semenanjung Malaka, Islam bersentuhan dengan bangsa Melayu yang kemudian menyebar ke seluruh kawasan Asia Tenggara.

Dalam versi lain disebutkan, Islam lebih dahulu dikenal di Samudra Pasai, Aceh, sebelum sampai ke Malaka. Keberadaan Islam di Samudra Pasai merupakan dampak perkembangan penyebaran Islam dari Kerajaan Perlak. Bermula dari Kerajaan Perlak, penyebaran Islam mengalami perkembangan pesat, termasuk di Malaka.

Sangat Strategis

Malaka merupakan selat yang letaknya sangat strategis dalam sejarah perdagangan dunia. Beragam transaksi jual-beli dari berbagai belahan dunia dilakukan di kawasan perairan ini. Kerajaan-kerajaan yang berada di dekat kawasan strategis itu pun memetik banyak keuntungan.

Selain keuntungan ekonomi, mengenal Islam juga merupakan salah satu dampak positif dari ramainya hubungan dagang dengan para saudagar mancanegara. Menurut hikayat Sejarah Melayu dan catatan orang Cina pada 1409, orang Malaka telah memeluk agama Islam.

Parameswara

Beberapa sumber sejarah menyebutkan, Islamnya Malaka berangkat dari Kerajaan Samudra Pasai. Parameswara, raja pertama Kerajaan Malaka (1384-1414), beristrikan putri dari Kerajaan Pasai.

Setelah menjalin hubungan dengan Pasai, Parameswara memeluk agama Islam. Dengan berislamnya sang sultan, diislamkanlah seluruh kerajaan dan rakyatnya. Islam pun menjadi agama resmi Kerajaan Malaka.

Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam disebutkan, para pedagang, mubalig, serta guru sufi kemudian datang berbondong-bondong dari Timur Tengah ke bandar Kerajaan Malaka dan Pasai. Dari dua kerajaan tersebut, tersebarlah ajaran Islam ke Pattani (Thailand) serta kawasan semenanjung, seperti Johor, Pahang, dan Perak.

Keruntuhan

Kerajaan Malaka runtuh pada Agustus 1511 ketika wilayahnya diserang penjajah Portugis di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Saat itu, Malaka diperintah Sultan Mahmud Syah. Tapi, runtuhnya Malaka bukan berarti lenyapnya Islam di tanah Melayu. Keruntuhan tersebut justru mendorong penyebaran Islam yang lebih luas.

Para keturunan Sultan Mahmud Shah masih terus berjuang mempertahankan diri, hingga kemudian tersebar ke beberapa wilayah. Riau, Lingga, Johor, dan Pahang menjadi empat negeri utama kelanjutan sejarah kerajaan Islam Melayu.

Aktivitas pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka sangat mempengaruhi perkembangan agama

sumber : Mozaik Republika

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Selat Malaka[n 1] adalah sebuah selat yang terletak di antara Semenanjung Kra (Thailand Selatan) dan pulau Sumatra (Indonesia).

Aktivitas pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka sangat mempengaruhi perkembangan agama

Selat Malaka memisahkan Semenanjung Malaysia dan Pulau Sumatra

Dari segi ekonomi dan strategis, Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia: India, Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok. Sebanyak 50.000 kapal melintasi Selat Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan laut dunia. Sebanyak setengah dari minyak yang diangkut oleh kapal tanker melintasi selat ini; pada 2003, jumlah itu diperkirakan mencapai 11 juta barel minyak per hari, suatu jumlah yang dipastikan akan meningkat mengingat besarnya permintaan dari Tiongkok. Oleh karena lebar Selat Malaka hanya 1,5 mil laut pada titik tersempit, yaitu Selat Phillips dekat Singapura yang merupakan salah satu dari kemacetan lalu lintas terpenting di dunia.

Keberadaan Selat Malaka sebagai salah satu jalur perdagangan terpenting di dunia tidak bisa dilepaskan dari berbagai kepentingan. Dari segi kepentingan ekonomi dan militer, Selat Malaka merupakan choke points yang sangat strategis bagi proyeksi armada angkatan laut negara-negara yang memiliki kepentingan di Kawasan Asia Pasifik. Bahkan, Selat Malaka juga dapat menjadi “alat” dalam rangka forward presence ke seluruh penjuru dunia.[1]

Semua faktor tersebut menyebabkan kawasan itu menjadi sebuah target pembajakan dan kemungkinan target terorisme. Pembajakan di Selat Malaka menjadi masalah yang mendalam akhir-akhir ini, meningkat dari 25 serangan pada 1994 hingga mencapai rekor 220 pada 2000. Lebih dari 150 serangan terjadi pada 2003. Jumlah ini mencakup sekitar sepertiga dari seluruh pembajakan pada 2003.

Tren isu perompakan yang cenderung menurun ini tidak lantas menjadikan Selat Malaka terbebas dari ancaman perompakan. Pada tahun 2015 TNI Angkatan Laut berhasil menangkap perompak di Selat Malaka yang berusaha membajak salah satu kapal niaga di Selat Malaka.Kasus ini menjadi bukti bagaimana kasus perompakan tidaklah dianggap remeh dan belumlah selesai dalam penanganannya. Keberadaan ancaman yang lebih juga terlihat dengan maraknya kasus terorisme dan separatis di Asia Tenggara seperti MILF, GAM, Abu Sayyaf, dan Jamaah Islamiah (Puspitasari, 2014: 452). Hal ini membuktikan bahwa kawasan perairan di Selat Malaka yang belum aman dari berbagai ancaman. Perlu menjadi catatan kasus dan Thailand Selatan menjadi catatan akan rawannya konflik di kawasan Selat Malaka.[2]

Frekuensi serangan meningkat kembali pada paruh awal 2004, dan angka total dipastikan akan melebihi rekor tahun 2000. Sebagai tanggapan dari krisis ini, angkatan laut Indonesia, Malaysia dan Singapura meningkatkan frekuensi patroli di kawasan tersebut pada Juli 2004.

Ketakutan akan munculnya aksi terorisme berasal dari kemungkinan sebuah kapal besar dibajak dan ditenggelamkan pada titik terdangkal di Selat Malaka (kedalamannya hanya 25 m pada suatu titik) sehingga dengan efisien menghalang lajur pelayaran. Apabila aksi ini berhasil dilancarkan dengan sukses, efek yang parah akan timbul pada dunia perdagangan. Pendapat antara spesialis keamanan berbeda-beda mengenai kemungkinan terjadinya serangan terorisme.

Keberadaan Selat Malaka dipandang sangat vital dalam perdagangan dan akses transportasi dunia. Hampir sebagian besar kapal niaga di dunia pasti akan melalui jalur Selat Malaka. Hal ini menarik perhatian negara-negara besar dunia untuk menancapkan pengaruh di Selat Malaka. Motivasi ini melihat penguasaan Selat Malaka secara tidak langsung menguasai jalur perdagangan dunia. Selain itu potensi sumber daya yang belum tereksploitasi secara penuh menjadikan keberadaan Selat Malaka semakin penting dalam distribusi barang produksi alam seperti minyak dan gas alam.[3]

Thailand telah mengembangkan beberapa rencana yang apabila dilaksanakan akan mengurangi pentingnya Selat Melaka dari sudut ekonomi. Awalnya, pemerintah Thailand mengusulkan agar sebuah terusan dibangun yang akan melintasi tanah genting Kra sehingga jarak perlayaran dari Afrika dan Timur Tengah menuju Pasifik dapat dikurangi sekitar 600 mil. Rencana ini akan memisahkan Thailand menjadi dua bagian sehingga lebih mengasingkan kelompok gerilyawan Muslim di Pattani. Alternatif kedua ialah membangun sebuah pipa saluran di sepanjang tanah genting yang akan mengangkut minyak ke perahu-perahu yang menunggu di sudut lain. Para penggagas rencana tersebut mengklaim harga pengiriman satu barel minyak ke Asia dapat menghemat sekitar 50 sen dolar AS per barel.

Myanmar juga mengajukan proposal pipa saluran yang sama.

Selain itu, beredar pula sebuah proposal pipa yang mengangkut minyak secara langsung dari Timur Tengah menuju Xinjiang, Tiongkok. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari China yang pada perkembangan saat ini mulai menunjukkan diri mereka sebagai salah satu kekuatan besar di dunia. Negara dengan pertumbuhan ekonomi yang maju serta pemerintahan yang sentralistik menjadikan China sebagai negara dengan potensi pengaruh yang besar dalam mempengaruhi perkembangan global. Salah satu contoh usaha China dapat dilihat bagaimana mereka berusaha menancapkan pengaruh di kawasan Laut China Selatan. Pada tahun 1968 di kawasan kepulauan Spratly dan Paracel ditemukan cadangan migas sebesar 105 miliar barrel. Cadangan migas ini menjadi ketartarikan China akan potensi di Laut China Selatan.[4] Usaha China dalam menguasai Laut China Selatan mulai terlihat dengan pembangunan pangkalan militer buatan di kawasan Laut China Selatan.

Ekspansi pengaruh China di kawasan Laut China Selatan dapat berdampak pada keberadaan Selat Malaka sebagai jalur perdangan dunia. 78 persen total kebutuhan minyak mentah China diangkut oleh kapal tengker yang melewati Selat Malaka.[2] Peran Selat Malaka semakin sentral bagi China setelah mereka menancapkan pengaruh di kawasan Laut China Selatan yang kaya akan cadangan migas. Selat Malaka menjadi jalur vital China dalam melakukan ekspansi dagang mereka terutama dalam perdagangan minyak mentah. Sehingga China juga memiliki potensi kuat untuk menancapkan pengarunhnya juga di kawasan Selat Malaka.

Kepentingan Amerika Serikat

Intervensi Amerika Serikat terjadi sejak terjadinya Perang Dingin. Sebagai checkpoint lalu lintas perang dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindi, Amerika Serikat menilai Selat Malaka sebagai daerah yang penting untuk memperkuat pertahanan ekonomi dan ekspansi globala. Amerika Serikat kemudian menawarkan kerjasama keamanan kepada negara Asia Tenggara.[2]

Pada tanggal 31 Maret 2004, Amerika Serikat melalui Kepala Angkatan Laut, Thomas B. Fargo, menawarkan suatu kerjasama pengamanan militer perairan Selat Malaka melalui proposal yang bernama Regional Maritime Security Initiative (RMSI). RMSI merupakan suatu usaha mengoperasionalkan suatu inisiasi pengamanan dalam bentuk kerjasama maritim regional dalam bidang pengamanan kawasan Asia Timur dan Pasifik terkhusunya Selat Malaka.[2] Secara mudah adalah penempatan personel Amerika Serikat sebagai salah satu penjaga keamanan di Selat Malaka.

Penawaran Amerika Serikat kepada negara Asia Tenggara terutama kepada negara di kawasan Malaka mengalami pro dan kontra. Indonesia dan Malaysia secara tegas menolak tawaran Amerika Serikat. Secara langsung konsep tawaran Amerika Serikat dapat mengancam kedaulatan nasional masing-masing negara. Namun Singapura sendiri menyambut positif tawaran Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat secara wajar sebab Singapura adalah negara yang paling lemah pertahanan dan keamanannya. Jumlah angkatan militer yang tidak terlalu banyak menjadikan Singapura rawan terhadap ancaman nasional mereka. Sehingga wajar Singapura menyambut baik tawaran Amerika Serikat. Akan tetapi tanggapan negara sekitar seperti Indonesia dan Malaysia yang cenderung menolak menjadikan rencana tersebut mengalami hambatan dalam realisasi.

Rencana Amerika Serikat ini didasari pemetaan mereka terhadap kawasan Asia Tenggara sebagai area yang rawan terjadinya terorisme. Semenjak terjadinya kasus 9/11 upaya Amerika Serikat dalam mencegah dan menyelesaikan kasus terorisme menjadi suatu prioritas penting. Plot daerah Asia Tenggara sebagai second front in the war on terrorism menjadikan munculnya usaha dalam menginisiasikan suatu base militer dalam menangani bibit-bibit terorisme.[1] Hal ini perlu dilihat sebagai bentuk kegiatan laten Amerika Serikat dalam memperluas pengaruh mereka terutama di kawasan Selat Malaka.

  • Kesultanan Melaka
  • Melaka

  1. ^ a b Nuswantoro, Edhi. 2008. Strategi Penanganan Perompakan di Selat Malaka dalam Rangka Menegakkan Kedaulatan Negara di Laut. Tesis Sarjana S-2 Program Studi Ketahanan Nasional Minat Manajemen Pertahanan. Universitas Gadjah Mada: Tidak Dipublikasikan
  2. ^ a b c d Puspitasari, Maygy Dwi. 2003. Alasan Indonesia, Malaysia & Singapura Menjalin Kerjasama Trilateral Patroli Terkoordinasi Malsindo di Tahun 2004. Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No.1
  3. ^ Mangindaan, Robert. Keamanan Maritim di Kawasan Asia Pasifik (Dari perspektif Angkatan Laut), Quarter Deck No. 5 Vol1/FKPM/MEI/2006
  4. ^ Muhammad, Simela Victor. 2012. Kepentingan China dan Posisi ASEAN dalam Sengketa Laut China Selatan. Vol. IV, No. 08/II/P3DI/April/2012

  1. ^ bentuk tidak baku: Selat Melaka

  • (Inggris) Titik kemacetan transit minyak dunia
  • (Inggris) Malacca Straits Research and Development Centre Diarsipkan 2010-08-18 di Wayback Machine.
  • (Inggris) "Killings by pirates on the rise", BBC News
  • (Inggris) "Shipping in South-East Asia: Going for the jugular", The Economist
  • (Inggris) "China builds up strategic sea lanes", The Washington Times

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Selat_Malaka&oldid=21205758"