2 sebutkan dan jelaskan sebab sebab mutlak diperlukanya perlindungan bagi tenaga kerja

2 sebutkan dan jelaskan sebab sebab mutlak diperlukanya perlindungan bagi tenaga kerja

Perlindungan terhadap tenaga kerja adalah hal yang paling utama dalam ketenagakerjaan. Langkah awal dari sebuah perjanjian kerja yang dilakukan oleh pengusaha dan pemberi tenaga kerja, pelaksanaan hak dan kewajipan pun menjadi titik tumpu dalam hal ini.

Mengapa hal perlindungan terhadap tenaga kerja menjadi begitu penting? Apakah UU Ketenagakerjaan mengatur tentang hal tersebut? Simak ulasan singkat dalam artikel yang satu ini!

Pengertian Perlindungan Tenaga Kerja

Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa dan dapat berguna untuk umum maupun dirinya sendiri. Ketenagakerjaan atau tenaga kerja juga bagian dari faktor produksi, oleh sebab itu peran tenaga kerja menjadi penting dalam setiap kegiatan perekonomian negara.

Diperlukannya perlindungan pekerja adalah untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa pemberlakukan pembedaan terhadap ras, jenis dan kelamin. Pemberlakuan hal yang sama terhadap penyandang cacat dan kewajiban pemberian hak dan kewajiban yang berwujud perlindungan hukum terhadap tenaga kerja.

Alasan Mengapa Tenaga Kerja Perlu Dilindungi

Masalah ketenagakerjaan dapat timbul karena beberapa faktor seperti pendidikan, kesempatan kerja maupun pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah. Hal ini dialami oleh banyak negara yang termasuk Indonesia, karena hingga saat ini masih banyak pengangguran atau lebih tepatnya lagi orang yang tidak dapat bekerja karena minimnya lapangan pekerjaan. Sedangkan dalam menghadapi masalah-masalah tersebut tenaga kerja yang sejatinya adalah salah satu engine utama dalam berputarnya roda perekonomian sering berada pada Pihak yang tidak terlindungi hak dan kepentingannya.  

Perlindungan terhadap tenaga kerja dapat dikupas tuntang dalam Undang-Undang No.13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dengan segala klasifikasi dan detail terhadap pengusaha maupun tenaga kerja.

Baca Juga: Konsumen Aman Oleh UU Perlindungan Konsumen

Dasar Hukum UU Ketenagakerjaan

Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan tenaga kerja baik pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Peraturan tersebut dilandasi dengan tujuan  sebagai berikut:

  1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi
  2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan  tenaga  kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah
  3. Memberikan pelindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan
  4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya

Perlu diketahui secara umum bahwa tenaga kerja dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu:

Tenaga Kerja Terdidik

Tenaga kerja yang mempunyai keahlian pada bidang tertentu atau khusus yang diperoleh dari bidang pendidikan. Sebagai contoh: dosen, dokter, guru, pengacara, akuntan dan sebagainya.

Tenaga Kerja Terlatih

Tenaga kerja yang memiliki keahlian pada bidang tertentu atau khusus yang diperoleh dari pengalaman dan latihan. Sebagai contoh: supir, tukang jahit, montir dan sebagainya.

Tenaga Kerja Tidak Terdidik dan Tidak Terlatih

Tenaga kerja yang mengandalkan tenaga, tidak memerlukan pendidikan maupun pelatihan terlebih dahulu. Sebagai contoh: kuli, pembantu rumah tangga, buruh kasar dan sebagainya.

UU ketenagakerjaan juga mengatur hubungan antara pengusaha dengan tenaga kerja. Hubungan itu terjadi karena adanya ikatan atau perjanjian kerja yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak, bersifat tertulis atau lisan dan dilandasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak dan kewajiban antara pengusaha dan tenaga kerja juga menjadi perhatian demi menciptakan keamanan dan kenyamanan saat melakukan aktivitas pekerjaan.

Baca Juga: Sejarah dan Perkembangan UU Ketenagakerjaan di Indonesia

Perubahan UU Ketenagakerjaan dari waktu ke waktu

Saat ini telah beredar isu perubahan atau revisi tentang Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam beberapa hal. Sektor perubahan yang dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia tidak mendapatkan reaksi yang baik oleh para pekerja maupun buruh.

Menurut informasi yang beredar, perubahan pasal tersebut dapat memberatkan para pekerja atau buruh dalam hal jangka waktu kerja, pemberian pesangon dan hal lainnya yang dimaksud dalam perubahan pasal tersebut. Namun hal ini belum menemukan titik temu dan masih dalam rangka pembahasan.

Menilai dari penjelasan diatas bahwa perlindungan terhadap pekerja adalah hal yang menjadi suatu keharusan dalam menjaga tingkat produktivitas kerja maupun keselarasan antara pengusaha dan pekerja. Hingga saat ini peraturan yang mengatur tentang pekerja ada dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Tenaga kerja merupakan pelaku ekonomi dan pembangunan, baik secara individu maupun secara kelompok, yang memiliki peranan penting dalam aktivitas perekonomian nasional, yaitu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, tenaga kerja berperan sebagai salah satu penggerak ekonomi dan juga sebagai sumber daya yang jumlahnya cukup melimpah. Hal ini dapat dilihat pada problema masih tingginya tingkat pengangguran serta minimnya lapangan pekerjaan.

Menyadari pentingnya tenaga kerja pada setiap lapisan, yakni perusahaan, pemerintah, dan masyarakat, maka diperlukan suatu pemikiran agar tenaga kerja/pekerja agar dapat menjaga keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan yang diamanatkan kepadanya. Begitu pula dengan kesehatan dan jaminan lainnya. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan kerja bagi para tenaga kerja. Namun demikian, begitu besarnya potensi tenaga kerja di Indonesia tidak diimbangi dengan pemahaman konsep perlindungan kerja. Dan ironisnya mayoritas dari mereka justru cenderung mengabaikannya.

2 sebutkan dan jelaskan sebab sebab mutlak diperlukanya perlindungan bagi tenaga kerja

A.  Ruang Lingkup Perlindungan Tenaga Kerja

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2, yang dimaksud sebagai tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia, mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja merupakan pelaksana pembangunan untuk mencapai kesejahteraan umum dan kualitas kehidupan yang semakin baik. Oleh karenanya, upaya perlindungan tenaga kerja terhadap bahaya yang dapat timbul selama bekerja merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar. Dengan adanya perlindungan tersebut diharapkan agar tenaga kerja dapat bekerja dengan aman dan nyaman sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja.

Tidak kalah pentingnya, perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar para pekerja/buruh dan menjamin kesempatan, serta menghindarkan dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan pengusaha. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Di antara perundang-undangan yang berkenaan dengan perlindungan tenaga kerja ialah:

ü Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

ü Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

ü Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945  setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

ü Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

ü Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industiral.

B.  Sebab-sebab Diperlukannya Perlindungan Tenaga Kerja

Secara yuridis, Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.  Sedangkan Pasal 6 mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. Kedua kandungan pasal ini merupakan wujud perlindungan hukum bagi para tenaga kerja.

Di antara sebab-sebab mutlak diperlukannya perlindungan bagi tenaga kerja adalah:

1)   Posisi tawar yang rendah

Lemahnya kedudukan tenaga kerja dari segi ekonomi dan pendidikan, menyebabkan rendahnya kualitas si pekerja. Tenaga kerja dengan pendidikan yang tidak memadai akan cenderung mendominasi pekerjaan kasar. Hal ini juga disebabkan adanya kualifikasi dari pihak penyedia lapangan kerja dalam mempersyaratkan calon tenaga kerja yang direkrutnya.

2)   Hubungan kerja yang tidak seimbang antara pengusaha dan pekerja/buruh dalam pembuatan perjanjian

Pembebanan hak dan kewajiban yang tidak seimbang antara penyedia lapangan kerja dengan pekerja/buruh ini menyebabkan suatu ketimpangan. Secara tidak langsung pekerja/buruh hanya akan diberi pilihan-pilihan yang cenderung merugikan dirinya, sedang di sisi lain memberi banyak keuntungan pada pengusaha.

3)   Pekerja/buruh diperlakukan sebagai obyek

Dalam konteks ini, seorang pekerja/buruh diperlakukan tak ubahnya alat yang dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga berakibat pada:

§  Kesewenang-wenangan pengusaha,

§  Tuntutan kerja maksimal,

§  Upah yang sebatas pada upah minimum regional/provinsi,

§  Kurang diperhatikannya masa kerja pekerja/buruh, dan sebagainya.

4)   Diskriminasi golongan

Meskipun perbuatan diskriminasi dilarang, namun tak pelak bahwa hal ini masih sering terjadi di kalangan masyarakat, seperti mengenai jenis kelamin, ras, latar belakang sosial, fisik, dan sebagainya.

C.  Objek Perlindungan Tenaga Kerja

Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menjadi objek utama perlindungan tenaga kerja adalah penyandang cacat, anak, dan perempuan.

1.    Penyandang cacat

Adanya perlakuan diskriminasi bagi penyandang cacat atau kaum difabel menyebabkan undang-undang berbicara. Menurut ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan, pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

2.    Anak

Undang-undang Ketenagakerjaan melarang pengusaha untuk mempekerjakan anak-anak. Pengecualian bagi anak yang telah berumur 13 tahun sampai dengan 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak tersebut, dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Akan tetapi syarat ini tidak berlaku bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

3.    Perempuan

Di samping perempuan pada umumnya, dalam hal pekerja/buruh perempuan ini yang menjadi sasaran utamanya adalah perempuan di bawah 18 tahun dan perempuan hamil. Mereka yang berumur di bawah 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, sedangkan untuk perempuan hamil dapat dipekerjakan apabila tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan kandungannya.

D.  Macam-macam Perlindungan Tenaga Kerja

Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan tuntunan, santunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku dalam perusahaan.

Dengan demikian, secara teoretis dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja, yaitu sebagai berikut.

1.  Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan mengembangkan perikehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial ini disebut juga dengan kesehatan kerja.

2.  Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja.

3. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jaminan sosial.

E.  Prinsip-prinsip Perlindungan Tenaga Kerja

1.    Keselamatan Kerja

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, keselamatan kerja termasuk dalam perlindungan teknis, yaitu perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dan terhindar dari bahaya yang sewaktu-waktu dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Berbeda dengan jenis perlindungan kerja yang lain yang umumnya ditekankan untuk kepentingan pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh juga kepada pengusaha dan juga pemerintah. Berikut pemaparannya.

·  Bagi pekerja/buruh, dengan adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja ini akan menciptakan suasana kerja yang tentram dan kondusif, sehingga para pekerja/buruh akan fokus pada pekerjaannya dan tidak was-was apabila sewaktu-waktu terjadi kecelakaan kerja.

·  Bagi pengusaha, dengan adanya pengaturan keselamatan kerja ini akan meminimalisir terjadinya kecelakan kerja yang berakibat pada pemberian jaminan sosial.

·      Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya peraturan keselamatan kerja yang ditaati, maka apa yang direncanakan pemerintahan untuk mensejahterakan masyarakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi perusahaan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Penjagaan secara umum dari bahaya kecelakaan di tempat kerja pada mulanya diatur dalam “Reglement houdende bepalingen tot beveiligin bij het verblijven in fabrieken en werkplaatsen” (Peraturan tentang Pengamanan dalam Pabrik dan Tempat Kerja) atau disingkat “Veiligheidsreglement” (Stbl. 1905 No. 521). Reglement ini pada tahun 1910 diganti dengan peraturan baru dengan nama “Veiligheidsreglement” (Stbl. 1905 No. 406), hingga pada akhirnya diganti dengan peraturan nasional kita sendiri, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang ini mengatur ruang lingkup keselamatan kerja di segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia, sebagaimana dijabarkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2).

Menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Keselamatan Kerja, syarat-syarat keselamatan kerja yang harus diperhatikan oleh pengusaha akan diatur lebih lanjut. Berhubung peraturan perundangan yang dimaksud belum ada hingga kini, maka perundangan warisan Hindia Belanda menjadi jalan alternatif. Penetapan syarat-syarat keselamatan kerja di antaranya bertujuan untuk:

a.    Mencegah dan mengurangi kecelakaan

b.    Mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran;

c.    Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;

d.   Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;

e.    Memberikan pertolongan pada kecelakaan;

f.     Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja/buruh;

g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluaskan suhu, kelembapan, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara, dan getaran;

h.  Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik maupun psikis, peracunan, infeksi, dan penularan; dst.

Berdasarkan tujuan di atas, dibuatnya aturan penyelenggaran keselamatan kerja pada hakikatnya adalah pembuatan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan peralatan dalam bekerja, serta pengaturan dalam penyimpanan bahan, barang, produk teknis, dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan, sehingga potensi bahaya kecelakaan kerja tersebut dapat dieliminir. Dan syarat-syarat tersebut diharapkan memuat prinsip teknis ilmiah yang menjadi kumpulan peraturan yang tersusun secara sistematis, jelas dan praktis yang mencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan dan pembuatan, alat-alat perlindungan, dan lain-lain.

a)   Kewajiban Pengusaha

Keselamatan para pekerja/buruh di tempat kerja merupakan tanggung jawab pemimpin atau pengurus tempat kerja atau pengusaha. Kewajiban pengusaha atau pimpinan perusahaan dalam melaksanakan keselamatan kerja terbagi menjadi dua, sebagai berikut.

1.    Terhadap tenaga kerja yang baru bekerja, iaberkewajiban menunjukkan dan menjelaskan tentang:

§  Kondisi dan bahaya yang dapat ditimbulkan di tempat kerja.

§  Semua alat pengaman dan pelindung yang diharuskan.

§  Cara dan sikap dalam melakukan pekerjaan;

§  Memeriksa kesehatan baik fisik maupun mental tenaga kerja bersangkutan.

2.    Terhadap tenaga kerja yang telah/sedang dipekerjakan, ia berkewajiban:

§  Melakukan pembinaan dalam hal pencegahan kecelakaan dan penanggulangannya.

§  Memeriksa kesehatan fisik dan mental tenaga kerja secara berkala.

§  Menyediakan secara cuma-cuma alat perlindungan diri bagi tiap pekerja.

§  Memasang gambar atau undang-undang keselamatan kerja, serta nahan pembinaannya lainnya di tempat kerja.

§  Melaporkan setiap peristiwa kecelakaan di tempat kerja ke Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat.

§  Membayar biaya pengawasan keselamatan kerja  ke Kantor Perbendaharaan Negara.

§  Menaati semua peraturan keselamatan kerja.

Selain itu, menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Kerja, kewajiban pengusaha adalah:

1.    Menyediakan petugas P3K di tempat kerja;

2.    Menyediakan fasilitas P3K di tempat kerja; dan

3.    Melaksanakan P3K di tempat kerja.

b)   Hak dan Kewajiban Pekerja/Buruh

Dari sudut si tenaga kerja, juga memiliki hak dan kewajiban dalam pelaksanaan keselamatan kerja. Kewajiban-kewajiban tersebut di antaranya:

§  Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh Pegawai Pengawas atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja;

§    Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan; dan

§  Memenuhi dan menaati semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku di tempat kerja/perusahaan yang bersangkutan.

Sedangkan hak-hak tenaga kerja adalah:

§  Meminta kepada pimpinan atau perngurus perusahaan tersebut agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;

§  Menyatakan keberatan melakukan pekerjaan bila syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat perlindungan diri yang diwajibkan tidak memenuhi persyartan, kecuali ditetapkan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.

c)    Faktor Penyebab Kecelakaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa keselamatan kerja bertalian erat dengan kecelakaan kerja. Namun demikian, suatu kejadian atau peristiwa pasti memiliki sebab yang melatarbelakanginya, di mana terdapat 4 faktor penyebab, yaitu:

1.    Faktor manusianya, misalnya karena kurangnya keterampilan atau pengetahuan, atau salah penempatan.

2.    Faktor materialnya/bahannya/peralatannya, misalnya bahan yang seharusnya dari besi dibuat dari bahan yang lebih murah sehingga mudah menimbulkan kecelakaan.

3.    Faktor bahaya/sumber bahaya, terdapat dua sebab:

·      Perbuatan berbahaya, misalnya metode kerja salah, keletihan, dsb.

·  Kondisi/keadaan berbahaya (keadaan yang tidak aman dari mesin/peralatan, lingkungan, proses, dll.)

4.    Faktor yang dihadapi, misalnya kurangnya pemeliharaan/perawatan mesin sehingga tidak dapat bekerja sempurna.

Menurut International Labour Organization (ILO) ada beberapa cara atau langkah yang perlu diambil untuk menanggulangi kecelakaan yang terjadi di tempat kerja, yaitu melalui:


§  Peraturan perundang-undangan.             

§  Standarisasi.

§  Inspeksi.

§  Riset teknis.

§  Riset medis.

§  Riset psikologis.

§  Riset statistik.

§  Pendidikan.

§  Latihan.

§  Persuasi.

§  Asuransi.



2.    Kesehatan Kerja

Kesehatan kerja termasuk dalam jenis perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian atau keadaan hubungan kerja yang dapat merugikan kesehatan atau kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melakukan pekerjaannya.

a)   Riwayat Kesehatan Kerja

Menilik pada sejarahnya, kesehatan kerja ini dimaksudkan sebagai perlindungan bagi buruh terhadap pemerasan (eksploitasi) tenaga buruh oleh majikan yang misalnya untuk mendapat tenaga yang murah, mempekerjakan budak, pekerja rodi, anak dan wanita untuk pekerjaan yang berat dan waktu yang tak terbatas. Kesehatan kerja pertama kali diatur dalam:

§     Maatregelen ter Beperking van de Kindearrbied en de Nachtarbeid van de Vroewen, yang biasanya disingkat Maatregelen, yaitu peraturan tentang pembatasan pekerjaan anak dan wanita pada malam hari, yang dikeluarkan dengan Ordonantie No. 647 Tahun 1925, mulai berlaku tanggal 1 Maret 1926.

§  Bepalingen Betreffende de Arbeit van Kinderen en Jeugdige Persoonen ann Boorvan Scepen, biasanya disingkat “Bepalingen Betreffende”, yaitu peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal, yang diberlakukan dengan Ordonantie No. 87 Tahun 1926, mulai berlaku tanggal 1 Mei 1926.

Sebagaimana diketahui, kedua peraturan ini hanya membatasi pada hal-hal tertentu, dan merupakan tindak lanjut dari beberapa konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Di samping kedua peraturan ini pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan peraturan-peraturan lainnya terkait kesehatan kerja. Namun karena sifatnya yang tidak menyeluruh dan hanya berlaku pada tempat dan golongan tertentu, hal itu justru menimbulkan pluralitas hukum.

Setelah Indonesia merdeka pun peraturan perundangan mengenai kesehatan kerja ini tetap mengalami penggodokan, hingga akhirnya dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948, yang dimaksudkan sebagai undang-undang pokok yang memuat aturan-aturan dasar tentang:

ü Pekerjaan anak;

ü Pekerjaan orang muda;

ü Pekerjaan wanita;

ü Waktu kerja, istirahat, dan mengaso;

ü Tempat kerja dan perumahan buruh; untuk semua pekerjaan tidak membeda-bedakan tempatnya, misalnya di bengkel, di pabrik, di rumah sakit, di perusahaan pertanian, perhubungan, pertambangan, dan lain-lain.

Undang-undang ini terus berlaku berikut peraturan pelaksanaannya hingga kemudian undang-undang kerja ini dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.

b)   Tujuan Kesehatan Kerja

Beberapa tujuan diterapkannya prinsip kesehatan kerja, adalah:

a.    Meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya, baik fisik, mental maupun sosial.

b.   Mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja.

c.    Menyesuaikan tenaga kerja dengan pekerjaan atau pekerjaan dengan tenaga kerja.

d.   Meningkatkan produktivitas kerja.

c)    Sumber-sumber Bahaya bagi Kesehatan Tenaga Kerja

Sumber-sumber bahaya bagi kesehatan tenaga kerja dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:

1.  Faktor fisik, berupa suara terlalu bising, suhu terlalu tinggi atau terlalu rendah, radiasi, getaran mekanis, dan sebaginya.

2.  Faktor kimia, berupa gas/uap, cairan, debu-debuan, butiran kristal, dan bahan-bahan kimia yang mempunyai sifat racun.

3. Faktor biologis, berupa bakteri virus, jamur, cacing, serangga, tumbuh-tumbuhan dan semacamnya yang hidup dalam lingkungan tempat kerja.

4.   Faktor fatal, berupa sikap badan yang tidak baik pada waktu kerja, gerak yang senantiasa duduk atau berdiri, proses, sikap dan cara kerja yang monoton, beban kerja melampaui batas kemampuan, dan lain-lain.

5. Faktor psikologis, berupa kerja yang terpaksa/dipaksakan tidak sesuai kemampuan, suasana kerja tidak menyenangkan, pikiran yang tertekan, dan pekerjaan yang senderung mudah menimbulkan kecelakaan.

d)   Tentang Pekerja Anak

Dalam Pasal 68 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, secara tegas melarang pengusaha mempekerjakan anak. Larangan itu sifatnya mutlak, artinya di semua perusahaan. Tidak dibedakan apakah pekerjaan itu dilakukan di perusahaan perindustrian, di perusahaan pertanian, ataukah di perusahaan perdagangan. Hal ini juga berkaitan dengan program wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah. Dengan demikian, tentunya anak-anak yang berusia di bawah 14 tahun sedang giat-giatnya belajar, dan bukannya bekerja. Jadi, larangan pekerjaan anak itu bermaksud untuk menjaga kesehatan dan pendidikannya.

Namun kenyataannya, hingga saat ini masih banyak anak-anak yang terpaksa ikut bekerja untuk membantu orang tuanya. Banyak pula dari mereka yang harus meninggalkan bangku sekolah dan memilih bekerja karena himpitan ekonomi keluarga. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perekonomian negara kita memang belum memungkinkan untuk membebaskan anak-anak dari pekerjaan. Oleh karena itu, Undang-undang 13 Tahun 2003 ini lebih lanjut mengatur mengatur tentang pekerjaan anak, yakni pada Pasal 68 sampai dengan Pasal 75.

Bagi anak yang berumur antara 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Anak juga dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat berwenang. Selain itu pula, anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

Mengenai perlindungan bagi anak yang melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-115/MEN/VII/2004. Di samping itu, pengusaha yang mempekerjakan anak untuk hal ini diwajibkan melapor ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota anak itu dipekerjakan. Laporan tersebut harus dilakukan paling lambat empat belas hari sebelum pengusaha mempekerjakan anak.

e)    Tentang Pekerja Perempuan

Mempekerjakan perempuan di perusahaan tidak semudah yang dibayangkan. Masih ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengingat bahwa:

1.    Para wanita umumnya bertenaga lemah, halus tapi tekun.

2.  Norma-norma susila harus diutamakan, agar tenaga kerja wanita tidak terpengaruh oleh perbuatan negatif dari tenaga kerja lawan jenisnya, terutama kalau dipekerjakan pada malam hari.

3. Para tenaga kerja wanita itu umumnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang halus sesuai dengan kehalusan sifat dan tenaganya.

4. Para tenaga kerja itu ada yang masih gadis, ada pula yang sudah bersuami atau berkeluarga yang dengan sendirinya mempunyai beban-beban rumah tangga yang harus dilakukannya pula.

Semua itu harus menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan norma kerja bagi perempuan. Untuk itu, Pasal 76 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menentukan norma kerja perempuan.

f)     Tentang Waktu Kerja, Mengaso, dan Istirahat (Cuti)

Pada hakikatnya pemberian waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh bertujuan untuk mengembalikan kesegaran dan kesehatan baik fisik, mental, dan sosial pekerja/buruh. Sebagaimana manusia pada umumnya, para pekerja/buruh memiliki fungsi dan kewajiban sosial dalam masyarakat dan keluarganya. Sehingga dalam masa istirahat atau cuti inilah mereka dapat menunaikan fungsi dan kewajiban sosialnya. Beberapa peraturan perundangan yang mengatur terkait hal ini adalah:

o  Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 79 sampai dengan Pasal 84 dan cuti tahunan yang berkaitan dengan PHK, yaitu Pasal 156 ayat (4).

o  Kepmenakertrans No. KEP-51/Men/IV/2004 tentang Istirahat Panjang pada Perusahaan Tertentu.

o   Kepmenakertrans No. KEP-234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Energi dan sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu.

Penggunaan istilah “waktu kerja”, “mengaso” dan “istirahat” ini pada dasarnya bertujuan untuk mempermudah pengertian, sebab yang dimaksud dengan:

o  Waktu kerja, adalah waktu efektif di mana pekerja/buruh hanya melakukan pekerjaannya. Waktu kerja menurut Pasal 77 UU No. 13 Tahun 2003, meliputi: (a) 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu, atau (b) 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu.

o  Waktu mengaso, yaitu waktu istirahat bagi pekerja/buruh setelah melakukan pekerjaan 4 jam berturut-turut yang tidak termasuk waktu kerja. Waktu mengaso paling sedikit adalah 30 menit.

o  Waktu istirahat adalah waktu cuti, yaitu waktu di mana pekerja/buruh diperbolehkan untuk tidak masuk kerja karena alasan-alasan yang diperbolehkan undang-undang. Secara yuridis, waktu cuti ini dibedakan menjadi empat:

§  Istirahat (cuti) mingguan, yaitu 1 hari untuk 6 hari kerja seminggu, atau 2 hari untuk 5 hari kerja seminggu.

§  Istirahat (cuti) tahunan, yaitu sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan terus-menerus (Pasal 79 ayat (2) huruf c UU No. 13 Tahun 2003).

§  Istirahat (cuti) panjang, yaitu sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ke-7 dan 8 masing-masing satu bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut, dan untuk 2 tahun berjalan tidak berhak mengambil cuti tahunan lagi.

§  Istirahat (cuti) haid, hamil/bersalin. Cuti haid hanya berlaku untuk hari pertama dan kedua bagi pekerja/buruh perempuan (dengan syarat memberitahukan kepada pengusaha). Untuk pekerja/buruh perempuan yang sedang hamil dapat mengambil cuti satu setengah bulan sebelum melahirkan dan setengah bulan setelah melahirkan. Di samping itu, bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran dapat mengambil cuti satu setengah bulan sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

3.    Pengupahan

a)   Pengertian Upah

Dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah disebutkan bahwa upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilaksanakan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut persetujuan atau perundang-undangan yang berlaku dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh itu sendiri maupun keluarganya.

Sedangkan dalam pasal 1 angka 30 Undang-Undang Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan memberikan pengertian upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Peranan upah disini sangat penting dan upah merupakan ciri khas suatu hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan upah adalah tujuan utama seseorang pekerja/buruh bekerja pada orang lain atau badan hokum. Oleh karena itulah dibutuhkan peranan pemerintah untuk menangani permasalahan dalam upah melalui berbagai macam kebijakan. Untuk menjaga agar jangan sampai upah yang diterima terlalu rendah, maka pemerintah turut menetapkan standar upah terendah melalui peraturan perundang-undangan. Dan inilah yang disebut upah minimum.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 88 ayat (1) menyebutkan setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

b)   Perlindungan Upah

Problematika ketenagakerjaan/perburuhan sepanjang masa tidak pernah selesai, dari masalah perlindungan, pengupahan, kesejahteraan, perselisihan hubungan industrial, pembinaan, dan pengawaan ketenagakerjaan. Hal ini lebih diakibatkan kelemahan pemerintah secara sistemik dalam mengimplementasikan undang-undang ketenagakerjaan, bahkan cenderung ada penyimpangan, hal lain masalah koordinasi dan kinerja antar lembaga belum optimal dan masih sangat memprihatinkan.

Dewasa ini kebijakan penetapan upah minimum masih menemui banyak kendala sebagai akibat belum terwujudnya satu keseragaman upah. Oleh karena itu, upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan sektor pada wilayah provinsi kabupaten/kota. Upah minimum tersebut ditetapkan oleh gubernur untuk wilayah provinsi dan oleh bupati/wali kota untuk wilayah kabupaten/kota, dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi atau bupati/wali kota. Pengusaha dalam hal ini tidak boleh membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang telah ditetapkan di masing-masing wilayah.

Dengan adanya system penetapan upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan sector pada wilayah atau kabupaten/kota, berarti masih belum ada keseragaman upah di semua perusahaan dan wilayah/daerah. Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi dan sifat perusahaan di setiap sector wilayah/daerah tidak sama dan belum bisa disamakan. Demikian juga kebutuhan hidup seseorang pekerja/buruh sangat berbeda tergantung pada situasi dan kondisi wilayah atau daerah dimana tempat bekerja itu berada.

Belum adanya keseragaman upah tersebut justru masih didasarkan atas berbagai macam pertimbangan demi kelangsungan hidup perusahaan dan para pekerja.

Sistem pengupahan yang bersifan diferensif menyebabkan kuantitas tingkat upah khusunya dalam penetapan upah minimum terjadi beberapa perbedaan. Kebijakan sektoral dan regional didasarkan pada pemilihan wilayah /daerah berikut sector ekonominya yang potensial dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang mempengaruhi antara lain adalah:

1.    Aspek kondisi perusahaan

Melalui aspek ini dapat diketahui kriteria perusahaanyang tergolong kecil, menengah, atau besar, yang membawa konsekuensi pada kemampuan perusahaan tersebut dalam memberikan upah.

2.    Aspek keterampilan tenaga kerja

Tenaga kerja merupakan modal dasar bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi perusahaan. Karena peningkatan produksi dan produktivitas kerja sangat ditentukan oleh personil perusahaan, baik tingkat bawah maupun tingkat atas.

3.    Aspek standar hidup

Pemberian upah juga didasarkan pada wilayah atau daerah dimana perusahaan itu berada, karena standar hidup di masing-masing daerah itu berbeda. Peningkatan upah ini didasarkan pada kebutuhan pokok tenaga kerja yang bersangkutan sesuai tingkat perkembangan ekonomi dan social di wilayah tertentu.

4.    Aspek jenis pekerjaan

Perbedaan pada jenis perkerjaan juga mengakibatkan terjadinnya perbedaan tingkat upah. Aspek ini mempunyai arti yang khusus, karena diperolehnya pekerjaan dapat membantu tercapainya kebutuhan pokok bagi pekerja yang bersangkutan.

c)    Komponen Upah

Memberi upah yang tidak dalam bentuk uang dibenarkan asal tidak melebihi 25% dari nilai rupiah yang seharusnya diterimanya. Imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerjanya tidak selamnya disebut sebgai upah, karena bisa jadi imbalan tersebut tidak masuk dalam komponen upah.

Dalam surat edaran Menteri Tenaga Kerja No. 07/MEN/1990 tentang pengelompokan komponen upah dan pendapatan non upah disebut bahwa:

1.    Termasuk komponen upah:

a.    Upah pokok, merupakan imbalan dasar yang dibayrakan kepada pekerja menurut jenis pekerjaan, dan mengenai besarnya ditentukan berdasarkan perjanjian.

b.  Tunjangan tetap, tunjangan ini diberikan bersamaan dengan upah pokok, tunjangan tetap ini seperti, tunjangan kesehatan, perumahan, anak dan lain-lain. Yang diberikan kepada buruh dan keluarganya.

c.  Tunjanga tidak tetap, diberikan secara tidak tetap bagi pekerja dan keluarganya, dan tidak dibayakan bersamaan dengan upah pokok.

2.    Tidak temasuk komponen upah:

a. Fasilitas, kenikmatan yang bersifat khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, seperti kendaraan antar jemput.

b.  Bonus, pembayaran yang diterima buruh dari hasil prestasinya di perusahaan tempatnya bekerja.

c.    Tunjangan Hari Raya dan pembagian keutungan lainnya.

d)   Upah Satuan Waktu dan Upah Satuan Produk

Upah dapat ditentukan menurut satuan waktu atau menurut satuan produk yang dihasilkan oleh pekerja. Upah menurut satuan waktu dapat dihitung dalam bentuk upah per jam, upah per hari, upah per minggu dan seterusnya. Upah perjam biasanya digunakan untuk pelaksanaan kegiatan yang sifatnya tidak lama, seperti konsultan, penceramah, tenaga bebas dan sebagainya.

Sedangkan upah per bulan biasanya diperuntukkan bagi pekerja yang sifatnya tetap. Pekerja mempunyai ikatan kerja yang relative lama atau tetap sehingga disebut pekerja tetap.

Istilah upah biasanya digunakan untuk satua waktu yang relative pendek seperti per jam, per hari. Sedangkan istilah gaji biasanya mencakup juga tunjangan-tunjangan dan digunakan untuk satuan waktu yang relative panjang seperti per bulan dan per tahun.

Penentuan upah menurut satuan produk masih mengandung beberapa kelemahan jika dilihat dari segi perlindungan dan keselamatan kerja, seperti dalam pekerjaan menjahit baju.

e)    Gaji Pokok dan Tunjangan

Sistem pengupahan menurut satuan waktu pada umumnya memakai pola gaji pokok dan tunjangan. Gaji pokok adalah gaji dasar yang ditetapkan untuk melaksanakan satu jambatan atau pekerjaan tertentu pada golongan pangkat dan waktu tertentu. Gaji  pokok di suatu perusahaan disusun menurut jenjang karir di perusahaan tersebut.

Sesuai dengan kondisi perusahaan masing-masing dan antara pengusaha dan para pekerja, perusahaan memberikan berbagai macam jenis tunjangan yan mempunyai kaitan langsung dengan pekerjaan atau produk seperti halnya tunjangan jabatan. Tunjangan adalah suplemen terhadap upah atau gaji pokok daam tiga fungsi yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas, dalam rangka fungsi social seperti tunjangan untuk keluarga dan sebagai insentif.

Seluruh komponen upah gaji yang dinyatakan dalam bentuk uang dinamakan upah atau gaji bruto. Berdasarkan upah atau gaji tersebut mungkin masih dipotong pajak penghasilan dan iuran dan apensiun atau kewajiban lain setelah pengurangan tersebut, pekerja/buruh akan menerima upah net atau upah bersih yang dibawa ke rumah dan dinamakan take home pay.

f)     Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur

Perusahaan harus mempekerjakan buruh/pekerja sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang undanga, jika melebihi ketentuan tersebut harus dihitung/ dibayar sebagai upah kerja lembur.

Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 8 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan/atau pada hari istirahat resmi yang ditetapkan pemerintah. ( pasal 1 butir 1 Kepmenakertrans No. KEP-102/Men/VI/2004 tentang kerja lembur dan upah kerja lembur).

·      Penghitungan upah kerja lembur

a.    Dilakukan pada hari kerja

Ø Untuk jam kerja lembur pertama dibayar upah 1,5 kali upah sejam.

Ø Untuk jam lembur berikutnya dibayar upah 2 kali upah sejam.

Ketentuan ini sama dengan ketentuan dalam Kepmenakertrans N0. 72 Tahun 1984 yang dicabut dengan Kepmenakertrans No. 102/Men/VI/2004.

b.    Dilakukan pada hari istirahat dan libur resmi

a)   6 hari kerja 40 jam seminggu

Ø Untuk 7 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam.

Ø Untuk jam ke-8 dibayar 3 kali upah sejam.

Ø Untuk jam ke-9 dan ke-10 dibayar 4 kali upah sejam.

Ø Apabila hari libur libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, upah lembur lima jam pertama dibayar 2 kali upah sejam. Jam ke-6 dibayar 3 kali upah sejam dan kerja lembur ke-7 dan ke-8 dibayar 4 kali upah sejam.

b)   5 hari kerja 40 jam seminggu

Ø Untuk 8 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam.

Ø Untuk jam ke-9 dibayar 3 kali uah sejam.

Ø Untuk jam ke-10 dan ke-11 dibayar 4 kali upah sejam.

Ada ketentuan yang harus diperhatikan, yaitu adanya ketentuan yang menyatakan bahwa bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang nilainya lebih baik, perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku.

4.    Jaminan Sosial

Jaminan sosial di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat diartikan sebagai suatu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sedangkan secara luas, jaminan sosial merupakan berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan/atau pemerintah. Menurut Sentanoe Kertonegoro, usaha-usaha yang dimaksudkan ialah usaha-usaha yang berupa pencegahan dan pengembangan, berupa pemulihan dan penyembuhan, berupa pembinaan, dan di bidang perlindungan ketenagakerjaan yang khusus ditujukan untuk masyarakat tenaga kerja yang merupakan inti tenaga pembangunan dan selalu menghadapi resiko-resiko sosial ekonomis, yang digolongkan dalam Asuransi Sosial (Sosial Insurance). Sedangkan menurut International Labour Organization (ILO), jaminan sosial adalah jaminan yang diberikan kepada masyarakat melalui suatu lembaga tertentu yang dapat membantu anggota masyarakat dalam menghadapi resiko yang mungkin dialaminya. Adapun kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kegiatan dapat dikatakan sebagai program jaminan sosial meliputi: (a) tujuan berupa perawatan medis, (b) terdapat UU yang mengatur tentang hak dan kewajiban lembaga, (c) kegiatan diselenggarakan oleh suatu lembaga tertentu.

Pada hakikatnya, jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang karena suatu peristiwa yang menimpa tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan. Terdapat dua aspek penting yang tercakup dalam program jaminan sosial, yaitu: (1) memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya, (2) merupakan penghargaan kepada pekerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan atau semacamnya. Menurut Mondy dan Noe, jaminan sosial merupakan bentuk kompenssi atau imbalan dalam bentuk uang yang tidak diterima oleh pekerja. Yang kemudian Redja menambahkan bahwa terdapat beberapa teori tentang kompensasi, meliputi teori resiko kerja, teori biaya sosial rendah, dan teori kompromi sosial.

Selain itu, jaminan sosial juga memiliki ruang lingkup yang meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua.

a)   Jaminan Kecelakaan Kerja

Jaminan kecelakaan kerja merupakan kecelakaan yang terjadi pada hubungan pekerjaan, termasuk sakit akibat hubungan kerja atau kecelakaan yang terjadi ketika dari rumah menuju tempat kerja dan pulang kembali melalui jalan yang biasa dilalui. Pekerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak atas jaminan kecelakaan kerja berupa penggantian biaya berupa (a) biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya, termasuk biaya P3K, (b) biaya pemeriksaan dan/atau perawatan selama dirumah sakit, termasuk rawat jalan, (c) biaya rehabilitasi berupa alat bantu dan/atau alat ganti bagi tenaga kerja yang anggota badannya hilang atau tidak berfungsi karena kecelakaan kerja. Selain itu, tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja juga diberikan santunan berupa uang, meliputi:

ü Santunan sementara tidak mampu bekerja, dengan besar santunan 4 bulan pertama 100% x upah sebulan, 4 bulan kedua 75% x upah sebulan, dan bulan seterusnya 500% x upah sebulan.

ü Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya, dibayarkan sekaligus dengan besaran santunan % sesuai tabel x 70 bulan upah.

ü Santunan cacat total untuk selama-lamanya, dibayarkan secara sekaligus dan secara berkala dengan besarnya santunan: (1) sekaligus sebesar 70% x 70 bulan upah, (2) berkala sebesar Rp 50.000,- selama 24 bulan.

ü Santunan cacat kekurangan fungsi, dibayarkan sekaligus dengan besaran santunan % berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 70 bulan upah.

ü Santunan kematian, dibayarkan sekaligus dengan besaran 60% x 70 bulan upah, sekurang-kurangnya sebesar jaminan kematian dan secara berkala dengan besaran Rp 50.000,- selama 24 bulan, serta biaya pemakaman sebesar Rp 600.000,-.

Dalam kaitannya dengan kecelakaan kerja, terdapat suatu jenis kecelakaan yang tidak dikategorikan sebagai kecelakaan kerja, meliputi:

a)    Kecelakaan yang terjadi pada waktu cuti.

b)   Kecelakaan yang terjadi di mes/perkemahan yang tidak berada di lokasi tempat kerja.

c)    Kecelakaan yang terjadi dalam rangka melakukan kegiatan yang bukan merupakan tugas dari atasan, untuk kepentingan perusahaan.

d)   Kecelakaan yang terjadi pada waktu yang bersangkutan meninggalkan tempat kerja untuk kepentingan pribadi.

b)   Jaminan Kematian

Kematian pada umumnya menimbulkan kerugian finansial bagi mereka yang ditinggalkannya, baik berupa kehilangan mata pencaharian maupun biaya perawatan selama di rumah sakit hingga pemakaman. Sehingga dengan adanya hal tersebut, program jaminan sosial tenaga kerja, pemerintah mengadakan program jaminan kematian.

Kematian yang di maksudkan disini ialah meninggal pada waktu pekerja menjadi peserta jaminan sosial atau sebelum melewati enam bulan sejak pekerja berhenti bekerja, yang santunan tersebut diberikan kepada ahli waris pekerja yang di prioritaskan mulai dari istri/suami yang sah, anak dibawah 21 tahun yang belum menikah dan belum bekerja, orang tua, cucu, kakek/nenek, saudara kandung, dan mertua. Apabila pekerja yang meninggal tidak memiliki ahli waris, maka yang diberikan hanya biaya pemakaman saja, yang diberikan kepada para pengurus pemakaman tenaga kerja tersebut. Jaminan kematian ini diberikan kepada ahli waris tenaga kerja yang meninggal sebelum mencapai usia 55 tahun. Karena setelah mencapai usia tersebut, tenaga kerja yang bersangkutan akan mendapat jaminan hari tua.

Besarnya jaminan kematian sebesar 0,30% dari upah pekerja selama sebulan yang ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha yang secara rutin harus dibayar langsung oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara. Jaminan yang diterima berdasarkan program ini ialah:

a) Biaya pemakaman sebesar Rp 1.000.000,- apabila pekerja meninggal karena kecelakaan/penyakit dalam hubungan kerja/hubungan industrial.

b)   Santunan berupa uang sebesar Rp 5.000.000,- yang diberikan kepada ahli waris pekerja tersebut.

Para ahli waris atau pihak yang berhak menerima santunan, bail berupa santunan dan biaya pemakaman mengajukan permohonan kepada Badan Penyelenggara dengan melampirkan bukti-bukti berupa kartu peserta dan surat keterangan kematian. Dalam hal magang atau murid, dan mereka yang memborong pekerjaan, serta narapidana meninggal dunia bukan karena kecelakaan kerja yang berhubungan dengan hubungan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas jaminan kematian.

c)    Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Pemeliharaan kesehatan merupakan bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar pekerja memperoleh kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal. Program pemeliharaan kesehatan merupakan upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan, termasuk kehamilan dan persalinan. Pemeliharaan kesehatan tersebut meliputi pelayanan medis dan pemberian obat-obatan bagi pekerja dan bagi anggota keluarganya yang menderita sakit, misal dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, obat-obatan, dan penunjang diagnostik termasuk pemeliharaan kehamilan dan persalinan. Selain pelayanan tersebut, juga terdapat pelayanan secara khusus yang hanya diberikan kepada anggota keluarganya, antara lain pelayanan kacamata, gigi palsu, alat bantu dengar, kaki atau tangan palsu, dan mata palsu.

Iuran jaminan pemeliharaan kesehatan sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha yang besarnya 6% dari upah tenaga kerja sebulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga dan upah tenaga kerja sebulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga. Jaminan tersebut diberikan kepada tenaga kerja atau suami/istri yang sah dan anak maksimal 3 orang. Dalam penyelenggaraan paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar, Badan Penyelenggara wajib memberikan kartu pemeliharaan kesehatan kepada setiap peserta, serta memberikan keterangan yang perlu diketahui peserta mengenai paket pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan. Untuk memahami program jaminan sosial tenaga kerja, perlu diketahui pula fungsi program tersebut, yaitu:

a)   Perlindungan, bersifat sukarela seperti melalui asuransi komersial tidak mampu menjamin setiap orang bersedia dan mampu menyisihkan dana untuuk ikut dalam program asuransi. Sehingga pekerja memiliki kepastian memperoleh resiko sosial dan ekonomi.

b) Produksi, tenaga kerja akan lebih produktif dalam bekerja dan hasil produksi pada perusahaan juga akan baik karena adanya jaminan kesehatan.

c) Redistribusi pendapatan, tenaga kerja memberikan kontribusi sesuai dengan penghasilannya dan memperoleh jaminan sosial sesuai dengan kebutuhannya.

d)   Kemasyarakatan, bisa mengurangi perselisihan antara tenaga kerja dengan pemberi kerja yang pada akhirnya dapat mencegah timbulnya keresahan sosial.

Program jaminan sosial, wajib dilaksanakan oleh setiap perusahaan yang mempekerjakan pekerja dalam suatu hubungan kerja dengan ketentuan yang bersifat alternatif sebagai berikut:

a)  Minimal 10 orang dan/atau membayar upah minimal Rp 1.000.000,- sebulan atau bisa juga pekerja dalam perusahaan kurang dari 10 orang dan/atau upah leih dari Rp 1.000.000.- sebulan, maka perusahaan tersebut wajib menjadi peserta jamsostek.

b)   Lebih dari 10 pekerja dengan upah kurang dari Rp 1.000.000,- perusahaan tersebut juga wajib menjadi peserta jamsostek.

c) Jika terdapat pelanggaran dalam hal diatas, dikenakan kurungan maksimal 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp 50.000.000,-.

d)   Jaminan Hari Tua

Hari tua dapat diartikan sebagai umur pada saat produktivitas tenaga kerja menurun, sehingga perlu di ganti dengan tenaga kerja yang lebih muda, termasuk apabila tenaga kerja mengalami cacat tetap dan total. Jaminan hari tua merupakan program tabungan wajib yang berjangka panjang, dimana iurannya ditanggung bersama antara pengusaha (3,70%) dan pekerja (2%). Kepesertaan jaminan hari tua bersifat wajib nasional bagi semua pekerja yang memenuhi persyaratan: pekerja harian lepas, borongan dan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu yang harus bekerja diperusahaannya selama lebih dari tiga bulan. Apabila kurang dari tiga bulan, maka pengusaha tidak wajib mengikutsertakan dalam program tersebut, tetapi hanya wajib mengikutsertakan dalam program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian.

Umumnya, jaminan haari tua diberikan pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 tahun , tetapi apabila tenaga kerja mengalami cacat sehingga tidak bisa bekerja lagi maka jaminan tersebut dapat diberikan. Tetapi, apabila tenaga kerja meninggal dunia jaminan tersebut akan diberikan kepada ahli waris. Selain itu, jika tenaga kerja di PHK sebelum usia 55 tahun, jaminan tersebut dapat diberikan setelah yang bersangkutan memiliki masa kepesertaan minimal lima tahun dengan masa tunggu enam bulan. Jaminan hari tua dibayarkan pada saat pekerja mengalami cacat total untuk selama-lamanya dapat dilakukan dengan:

a)    Secara sekaligus apabila jumlah seluruh jaminan hari tua yang harus dibayarkan kurang dari Rp 3.000.000,-.

b)   Secara berkala apabila seluruh jaminan hari tua yang harus dibayar mencapai lebih dari Rp 3.000.000,- atau dilakukan paling lama 5 tahun. 

F.   Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri

1.    Jaminan Keamanan TKI

Program penempatan Tenaga Kerja Indonesia atau lebih sering disingkat TKI ke luar negeri, merupakan salah satu upaya penanggulangan pengangguran. Peranan pemerintah dalam hal ini dititikberatkan pada aspek pembinaan, serta perlindungan dan memberikan kemudahan kepada TKI maupun PJTKI. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam mengatur penempatan TKI semakin jelas dan nyata dengan adanya Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-undang ini tentunya juga mengatur masalah perlindungan bagi TKI.

Dari sekian banyak persoalan terkait TKI, jarang yang menempatkan pendidikan sebgai salah satu faktor terjadinya kekerasan terhadap TKI, padahal faktor pendidikan ini begitu penting dalam menentukan nasib TKI di kemudian hari. Selain itu terdapat pula efek negatif lainnya dari penempatan TKI ini.

Penyebab utama terjadinya ketidakamanan yang diderita oleh para TKI, khususnya tenaga kerja wanita (TKW) adalah tingkat pendidikan yang rendah. Dari sekian banyak TKI yang dikirim ke luar negeri rata-rata pendidikan tertinggi mereka adalah tingkat SLTA, sehingga menyebabkan TKI kurang bisa memberikan daya tawar kepada majikan atau perusahaan yang mempekerjakannya. Tingkat pendidikan juga sangat berpengaruh tentang penguasaan bahasa dan budaya masyarakat di tempat mereka kerja. Karena menjadi TKI tidak hanya bermodal keahlian teknis semata.

Transparansi informasi memiliki nilai positif agar mereka yang berkeinginan bekerja ke luar negeri mampu membekali diri dengan keahlian atau keterampilan. Dengan demikian, mereka tidak hanya berbondong-bondong bekerja ke luar negeri karena bayangan menggiurkan, tetapi justru melihat pekerjaan yang aman sebagi modal untuk kehidupan masa depan.

Perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri dimulai dan terintegrasi dalam setiap proses penempatan TKI, dimulai dari proses penempatan, selama bekerja, hingga pulang ke tanah air. Oleh karena itu, yang lebih diutamakan dalam rangka perlindungan maksimal bagi TKI adalah ketaatan semua pihak dalam menjalankan prosedur yang telah ditentukan. Di sisi lain, yang diperlukan dalam perlindungan TKI di luar negeri adalah kepastian pekerjaan sebagaimana dinyatakan dalam job order. Dalam hal ini dituntut keseriusan dan tanggung jawab PJTKI yang bersangkutan maupun mitra kerjanya di luar negeri.

Untuk menangulangi permasalahan-permasalahan terkait TKI, hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut.

a.    Meningkatkan status perangkat hukum dalam penempatan tenaga kerja luar negeri.

b.    Menjalin kerja sama bilateral dengan negara-negara penerima TKI maupun dengan sesama negara pengirim.

c.    Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai proses mekanisme penempatan tenaga kerja ke luar negeri guna memperkecil penempatan TKI tanpa dokumen (ilegal) serta pelarian TKI dari tempat kerja.

d.   Promosi dan analisis pasar kerja internasional, serta memanfaatkan pasar kerja formal secara maksimal, dan sebagainya.

2.    Jenis-jenis Perlindungan TKI

Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri menentukan ada tiga jenis perlindungan bagi TKI, yaitu: (a) Perlindungan TKI prapenempatan, (b) Perlindungan TKI selama penempatan, dan (c) Perlindungan TKI purna penempatan.

a)   Perlindungan TKI prapenempatan

Perlindungan TKI prapenempatan dilakukan oleh pemerintah, Dinas Tenaga Kerja Provinsi dan/atau Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota. Perlindungan ini dapat dilakukan dalam bentuk pengawasan terhadap:

§  Permintaan tenaga kerja (job order/demand letter/visa wakalah);

§  Perjanjian Kerja Sama Penempatan;

§  Perjanjian Penempatan;

§  Perjanjian Kerja;

§  Asuransi; dan

§  Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), yaitu kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.

b)   Perlindungan TKI selama penempatan

Selama penempatan di luar negeri, TKI tetap mendapat perlindungan khusus dari pemerintah maupun pelaksana penempatan TKI swasta, meliputi:

§  Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan TKI di tempat kerja yang tidak sesuai dengan isi dalam surat perjanjian yang disepakati.

§  Perwakilan Republik Indonesia memberikan perlindungan TKI dengan menetapkan Atase Ketenagakerjaan pada Perwakilan RI di luar negeri.

§  Perwakilan RI melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta dan TKI yang ditempatkan di luar negeri.

§  Perlindungan terhadap TKI di luar negeri dilakukan dengan memberikan bantuan hukum sesuai peraturan perundangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional.

§  Pembelaan atas pemenuhan hak sesuai perjanjian kerja atuperaturan perundangan di negara TKI ditempatkan.

Selain perlindungan selama penempatan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-22/MEN/XII/2008 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di lUar Negeri juga menentukan bahwa perlindungan penempatan oleh Perwakilan RI di luar negeri, meliputi:

ü Penyelesaian perselisihan antara TKI dengan pengguna jasa TKI;

ü Pemberian bantuan hukum;

ü Advokasi atau pendampingan pada TKI yang bermasalah atau berselisih dengan majikan;

ü Bantuan konsuler dan upaya diplomatik sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; dan

ü Asuransi.

c)    Perlindungan TKI purna penempatan

Adapun jenis perlindungan TKI purna penempatan, meliputi:

§    Kepulangan TKI yang disebabkan oleh berakhirnya perjanjian kerja, pemutusan hubungan kerja, terjadinya perang, wabah penyakit di negara tujuan, dan sebab-sebab lainnya.

§  Dalam hal TKI meninggal dunia di negara tujuan, pelaksana penempatan TKI berkewajiban: (1) Memberitahukan kepada keluarga TKI, (2) Mencari informasi tentang sebab-sebab kematian, (3) Memulangkan jenazah ke tempat asal, (4) Mengurus pemakaman TKI di negara tujuan atas persetujuan keluarga, (5) Memberi perlindungan atas harta TKI, dan (6) Mengurus pemenuhan hak yang seharusnya diterima TKI.

§  Mengurus kepulangan TKI dalam hal terjadi wabah penyakit, bencana alam, perang dan dideportasi, dari negara asal hingga tiba di daerah asal.

§  Pengurusan kepulangan TKI meliputi: (1) Kemudahan atau fasilitas kepulangan; (2) Pemberian failitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam kepulangan; dan (3) Pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan adanya tindakan pihak lain yang tidak bertanggung jawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan.

3.    Perjanjian Bilateral

Pemerintah Indonesia sampai saat ini telah menandatangani perjanjian kerjasama penempatan TKI (MoU) dengan tiga negara penerima, yaitu Yordania pada tahun 1996, Kuwait tahun 1996, dan Malaysia tahun 2004. Saat ini sedang dipersiapkan perjanjian kerjasama penempatan dengan negara Suriah, Qatar, Korea Selatan, Brunei Darussalam, dan Taiwan.

Guna membantu para pekerja/buruh Indonesia yang berada di luar negeri, saat ini telah ditempatkan tiga petugas ketenagakerjaan di tiga perwakilan RI, yaitu di KBRI Kuala Lumpur, Riyadh, dan Arab Saudi. Penambahan jumlah petugas ini bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi TKI dengan mempertimbangkan jumlah penempatan, permasalahan TKI, dan potensi pasar kerja di setiap negara. Menteri Keuangan dan Meneg PAN juga telah menyetujui usulan penempatan petugas ketenagakerjaan di Kwait, Kinabalu, Singapura, dan Hongkong, yang saat ini tinggal menunggu konfirmasi dari Menteri Luar Negeri.

TABEL 1: MACAM CACAT TETAP SEBAGIAN

MACAM CACAT SEBAGIAN TETAP

% x UPAH

Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah

40

Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah

35

Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah

35

Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah

30

Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah

32

Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah

28

Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah

70

Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah

35

Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah

50

Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah

25

Kedua belah mata

70

Sebelah mata

35

Pendengaran pada kedua belah telinga

40

Pendengaran pada sebelah telinga

20

Ibu jari tangan kiri

12

Ibu jari tangan kanan

15

Telunjuk tangan kanan

9

Telunjuk tangan kiri

7

Salah satu jari lain dari tangan kanan

4

Salah satu jari lain dari tangan kiri

3

Ruas pertama dari telunjuk kanan

4,5

Ruas pertama dari telunjuk kiri

3,5

Ruas pertama jari lain dari tangan kanan

2

Ruas pertama jari lain dari tangan kiri

1,5

Salah satu ibu jari kaki

5

Salah satu telunjuk kaki

3

Salah satu jari kaki lain

2

TABEL 2: MACAM CACAT KEKURANGAN FUNGSI

CACAT LAINNYA

% X UPAH

Terkelupasnya kulit kepala

10-30

Impotensi

30

Kaki memendek sebelah: kurang dari 5 cm

5-7,5 cm

7,7 cm atau lebih

10

20

30

Penurunan daya dengar kedua belah telinga sampai setiap 10 desibel

6

Penurunan daya dengar sebelah telinga sampai setiap 10 desibel

3

Kehilangan daun telinga sebelah

5

Kehilangan kedua belah daun telinga

10

Cacat hilangnya cuping hidung

30

Perforasi sekat rongga hidung

15

Kehilangan daya penciuman

10

Hilangnya kemampuan kerja fisik:

-    50%-70%

-    25%-50%

-    10%-25%

40

20

5

Hilangnya kemampuan kerja mental

70

·   Kehilangan sebagian fungsi pengelihatan.  Setiap kehilangan efisiensi tajam pengelihatan 10%. Apabila efisien pengelihatan kanan dan kiri berbeda, maka efisiensi pengelihatan binokuler dengan rumus kehilangan efisiensi pengelihatan (3x% efisiensi pengelihatan terbaik) + % efisiensi pengelihatan terburuk.

·   Setiap kehilangan efisiensi pengelihatan 10%

·   Kehilangan pengelihatan warna

·   Setiap kehilangan lapangan pandang 10%

7

7

10

7

DAFTAR PUSTAKA

Asyhadie, Zaeni. 2013. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta: Rajawali Pers.

Husni, Lalu. 2005. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Khakim, Abdul. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Soepomo, Imam. 1985. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan.

Sutedi, Adrian. 2009. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika.

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.




Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 60.