Laporan oleh Arif Maulana
[unpad.ac.id, 13/8/2020] Nilai-nilai Pancasila harus tetap dipahami dan diamalkan di tengah arus globalisasi di Indonesia. Generasi milenial menjadi obyek utama yang harus didorong untuk tetap mengamalkan nilai luhur tersebut. Ini bertujuan agar Pancasila tidak tergerus oleh berbagai faham yang bisa memecah kedaulatan bangsa.
Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Rina Indiastuti mengungkapkan, generasi milenial saat ini merupakan motor untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Karena itu, generasi milenial Indonesia harus tetap berpedoman pada Pancasila agar tidak tergerus oleh penyimpangan ideologi.
(baca juga: Bahas Fenomena Post Truth, Lemhanas RI dan Unpad Gelar Diskusi Kelompok Terarah)
“Peluang bisa jadi ancaman. Human capital yang diidamkan di 2045 betul-betul manusia sempurna yang diidamkan Pancasila,” ungkap Rektor saat menjadi pembicara dalam Diskusi Kelompok Terpumpun yang digelar Deputi Bidang Pengkajian Srategis Lemhanas RI di Hotel Santika, Bandung, Kamis (13/8) lalu.
Diskusi bertajuk “Mencari Bentuk Implementasi Nilai-nilai Pancasila di Era Globalisasi” ini digelar atas kerja sama Lemhanas RI dengan Unpad. Selain Rektor Unpad, diskusi ini menghadirkan pembicara dari dua Guru Besar Unpad lainnya, yaitu Prof. Yanyan M. Yani dan Prof. Arry Bainus.
Rektor menjelaskan, beragam faham dan aksi yang bertentangan dengan nilai Pancasila akan mendorong Indonesia menjadi kurang kompetitif. Padahal, Indonesia diprediksi akan menduduki peringkat ke-5 negara dengan PDB tertinggi di dunia pada 2045 mendatang.
(baca juga: Pancasila Bingkai Merajut Keberagaman)
Penanaman nilai Pancasila pada generasi milenial akan semakin membuat mereka pintar, memiliki sikap toleransi, kohesif, dan punya literasi keagamaan yang baik. Pancasila, kata Rektor, juga akan menjadi jati diri generasi milenial.
Namun, ada strategi khusus dalam menanamkan nilai Pancasila pada generasi muda. Rektor menjelaskan, pengamalan tidak boleh dilakukan dengan metode indoktrinasi. Fleksibilitas harus dilakukan.
Senada dengan Rektor, Prof. Arry Bainus menjelaskan, ada perbedaan strategi penanaman nilai Pancasila pada generasi milenial. Metode doktrin dipandang sudah tidak relevan dengan sikap dan pola pikir generasi milenial.
“Kedepankan budaya mendengar ketimbang menggurui. Dengar apa yang anak milenial inginkan tentang Pancasila,” kata Prof. Arry.
(baca juga: Pancasila Pedoman Persatuan dan Kesatuan Bangsa)
Pemerintah juga perlu menyiapkan strategi kekinian dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila di generasi muda. Memanfaatkan platform media sosial maupun teknologi informasi yang ada merupakan metode efektif.
Bahkan, kata Prof. Arry, pemerintah bisa memanfaatkan sejumlah tokoh pemengaruh (influencer) di media sosial sebagai media untuk mengenalkan nilai-nilai Pancasila. Gali berbagai nilai Pancasila yang bisa disampaikan dengan metode yang tidak menggurui dan sesuai dengan selera generasi milenial.
Prof. Yanyan M. Yani memaparkan, dalam mengamalkan nilai Pancasila, membangun semangat kebinekaan merupakan strategi yang bisa dilakukan. Pengakuan terhadap berbagai perbedaan, perlakuan sama terhadap berbagai komunitas, serta penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia harus ada dalam setiap kebijakan pemerintah.
Strategi selanjutnya adalah penguatan nilai Pancasila berbasis kearifan lokal. Prof. Yanyan yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Organisasi dan Perencanaan Unpad ini menerangkan, nilai Pancasila dihasilkan dari akar rumput budaya masyarakat Indonesia. Maka, kearifan lokal jangan pernah dilupakan.
Diskusi yang dimoderatori Direktur Pendidikan dan Internasionalisasi Unpad Mohamad Fahmi, PhD, ini juga menghadirkan tiga pembahas, antara lain Dekan Fakultas Psikologi Unpad Prof. Hendriati Agustina, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dr. R. Widya Setiabudi S, serta Direktur Sumber Daya Manusia Unpad Aulia Iskandarsyah, PhD.
Diskusi dibuka secara resmi oleh Deputi Bidang Pengkajian Strategis Lemhanas RI Prof. Reni Maryeni.*
Sistem sosial budaya Indonesia adalah sebagai totalitas nilai, tata sosial, dan tata laku manusia Indonesia harus mampu mewujudkan pandangan hidup dan falsafah negara Pancasila ke dalam segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara.[1] Asas yang melandasi pola pikir, pola tindak, fungsi, struktur, dan proses sistem sosial budaya Indonesia yang diimplementasikan haruslah merupakan perwujudan nilai- nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, transformasi serta pembinaan sistem social budaya harus tetap berkepribadian Indonesia.[1] Pada dasarnya, masyarakat Indonesia sebagai suatu kesatuan telah lahir jauh sebelum lahirnya (secara formal) masyarakat Indonesia. Peristiwa sumpah pemuda antara lain merupakan bukti yang jelas. Peristiwa ini merupakan suatu konsensus nasional yang mampu membuat masyarakat Indonesia terintegrasi di atas gagasan Bineka Tunggal Ika.
Konsensus adalah persetujuan atau kesepakatan yang bersifat umum tentang nilai-nilai, aturan, dan norma dalam menentukan sejumlah tujuan dan upaya mencapai peranan yang harus dilakukan serta imbalan tertentu dalam suatu sistem sosial.Model konsensus atau model integrasi yang menekankan akan unsur norma dan legitimasi memiliki landasan tentang masyarakat, yaitu sbb:
Apabila menelaah pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peristiwa Sumpah Pemuda merupakan konsensus nasional yang mendapat perwujudannya di dalam sistem budaya Indonesia yang didasarkan pada asas penting, yaitu sebagai berikut ini.[1] Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, yang hidup tersebar diseluruh tanah air, yang memiliki berbagai macam ragam budaya.[1] Sehingga menimbulkan keanekaragaman institusi dalam masyarakat.[1]
Institusi adalah suatu konsep sosiologi yang paling luas digunakan, walau memiliki pengertian yang berlainan:
Bronislaw menganggap institusi sosial merupakan konsep utama untuk memahami masyarakat, yang setiap institusi saling berkaitan dan masing-masing memiliki fungsinya.[1]
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa institusi itu mengenai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaan yang terdiri atas tiga wujud, yaitu:
Koentjaraningrat mengatakan, bahwa seluruh total dari kelakuan manusia yang berpola tertentu bisa diperinci menurut fungsi-fungsi khasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam bermasyarakat.[1]
Maka pola pikir, pola tindak dan fungsi sistem sosial budaya Indonesia merupakan institusi sosial, yaitu suatu sistem yang menunjukkan bahwa peranan sosial dan norma-norma saling berkait, yang telah disusun guna memuaskan suatu kehendak atau fungsi sosial.
Komponen-komponen dari pranata social adalah: Sistem Norma, Manusia, dan Peralatan fisik.[1] Raymond firth mengemukakan bahwa konsep struktur sosial merupakan alat analisis yang diwujudkan untuk membantu pemahaman tentang tingkah laku manusia dalam kehidupan sosial.[3]
Dasar yang penting dalam struktur sosial ialah relasi-relasi sosial yang jelas penting dalam menentukan tingkah laku manusia, yang apabila relasi sosial itu tidak dilakukan, maka masyarakat itu tak terwujud lagi. Struktur sosial juga dapat ditinjau dari segi status, peranan, nilai-nilai, norma, dan institusi sosial dalam suatu relasi.[3]
Nilai adalah pembentukan mentaliatas yang dirumuskan dari tingkah laku manusia sehingga menjadi sejumlah anggapan yang hakiki, baik, dan perlu dihargai.[3]
Dari pendapat Raymond Firth dan Max Weber, sistem nilai yang harus diwujudkan atau diselenggarakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ditemukan dalam proses pertumbuhan pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi Negara.[3] Jadi, struktur system sosial budaya indonesia dapat merujuk pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang terdiri atas:
Kehidupan sosial tergantung pada persatuan dan kesatuan
Pola Pikir Sistem Sosial Budaya Indonesia
Pola Tindak Sistem Sosial Budaya Indonesia
- Tata nilai
Tata nilai ini meliputi:
- Nilai agama; * Nilai kebenaran; * Nilai moral; * Nilai vital; * Nilai material.[4]
- Tata sosial
NKRI adalah Negara hukum, semua orang adalah sama di mata hukum. Tata hukum di Indonesia adalah sistem pengayoman yang mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruhu rakyat Indonesia.[4]
- Tata laku
Dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka tata laku harus berpedoman pada norma-norma yang berlaku, yaitu: norma agama, norma kesusilaan/kesopanan, norma adat istiadat, norma hukum setempat, norma hukum Negara.[4]
Masyarakat mempunyai bentuk – bentuk struktural, yang dinamakan struktur sosial.[5] Struktur sosial ini bersifat statis dan bentuk dinamika masyarakat disebut proses sosial dan perubahan sosial. Masyarakat yang mempunyai bentuk – bentuk strukturalnya tentu mengalami pola – pola perilaku yang berbeda – beda juga tergantung dengan situasi yang dihadapi masyarakat tersebut.[5] Perubahan dan perkembangan masyarakat yang mengarah pada suatu dinamika sosial bermula dari masyarakat tersebut melakukan suatu komunikasi dengan masyarakat lain, mereka membina hubungan baik itu berupa perorangan atau kelompok sosial.[5] Tetapi sebelum suatu hubungan dapat terjadi perlu adanya suatu proses berkaitan dengan nilai – nilai sosial dan budaya dalam masyarakat.[5] Dengan suatu masyarakat yang mengetahui nilai sosial dan budaya masyarakat lain maka hubungan dapat terbentuk.[5] Maka dapat diartikan bahwa proses sosial adalah sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama.[5]
Proses sistem sosial budaya Indonesia sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari proses pembangunan nasional
Pengamalan Pancasila, yang pada hakikatnya pembangunan seluruh rakyat Indonesia. Maka pada dasarnya proses sistem sosial budaya Indonesia selalu berkaitan dengan pembangunan nasional di mana ia berlangsung beriringan dengan pebangunan nasional, bahkan kadang bisa mendahului pembangunan nasional agar masyarakat dapat menerima pembaharuan sebagai hasil pembangunan nasional.[1] Setelah menyiapkan masyarakat agar mampu menerima pembangunan, maka kemudian menyiapakan agar manusia dan masyarakat dapat berperan serta dalam proses pembangunan nasional tersebut dengan memiliki kualitas sebagai berikut:
- Beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Berbudi pekerti luhur
- Berkepribadian
- Bekerja keras
- Berdisiplin
- Tangguh
- Bertanggung jawab
- Mandiri
- Cerdas dan terampil
- Sehat jasmani dan rohani
- Cinta tanah air
- Memiliki sifat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial
- Percaya pada diri sendiri dan memiliki harga diri
- Inovatif dan kreatif
- Produktif dan berorientasi ke masa depan
Karena pembangunan nasional yang selalu beriringan dengan proses sistem sosial budaya Indonesia maka jika manusia atau masyarakat ikut serta dalam pembangunan nasional mereka juga ikut berperan serta dalam proses sistem sosial budaya Indonesia sehingga komunikasi akan terjadi di antara mereka yang kemudian suatu hubungan dapat terjalin.[1] Hal ini dapat menyebabkan dinamika sosial terjadi yang akan menuju pada perubahan dan perkembangan pada masyarakat tersebut yang ke arah lebih baik.[1]
Pembangunan nasional merupakan suatu upaya melakukan transformasi atau perubahan dalam masyarakat, yaitu transformasi budaya masyarakat agraris tradisional menuju budaya masyarakat industri modern dan masyarakat informasi yang tetap berkepribadian Indonesia. Namun sistem feodalisme yang masih bercokol dalam kehidupan masyarakat Indonesia membawa dampak negatif yakni berupa kelemahan mentalitas. Kelemahan mentalitas ini dapat menghambat pembangunan nasional.[1]
Menurut Koentjaraningrat terdapat 2 jenis mentalitas dalam masyarakat Indonesia
Mentalitas yang cocok dengan jiwa pembangunan
- Tidak berspekulasi tentang hakikat kehidupan, karya, dan hasil karya manusia, tetapi manusia itu bekerja keras untuk dapat makan.[1]
- Menghargai waktu, artinya selalu memperhitungkan tahapan-tahapan aktivitas dalam lingkaran waktu.[1]
- Tidak merasa tunduk pada alam, sebaliknya juga tidak merasa mampu menguasainya. Hidup harus selaras dengan alam sekelilingnya.[1]
- Memiliki rasa kehidupan bersama.[1]
- Pada hakikatnya manusia tidak berdiri sendiri melainkan selalu membutuhkan bantuan dari sesamanya. Hanya saja sisi negatifnya adalah jangan dengan sengaja berusaha menonjolkan diri di atas orang lain.[1]
Mentalitas yang tidak cocok dengan jiwa pembangunan
- Tidak bersumber kepada suatu nilai yang berorientasi terhadap hasil karya manusia itu sendiri, tetapi hanya terhadap amal dari karya ibarat orang sekolah, tidak mengejar pengetahuan dan ketrampilan, melainkan mengejar ijazahnya saja.[1]
- Masih terdapat rasa sentimen yang agak berlebihan terhadap benda-benda pusaka nenek moyang, mitologi dan banyak hal mengenai masa lampau.[1] Hal ini bukannya melemahkan mentalitas, hanya saja suatu orientasi yang terlampau banyak terarah ke zaman dulu akan melemahkan kemampuan seseorang untuk melihat masa depan.[1]
- Berspekulasi tentang masalah hubungan antarmanusia dengan alam, serta terlalu menggantungkan diri pada nasib. Dalam menghadapi kesulitan hidup cenderung berlari ke alam kebatinan (klenik).[1]
- Mentalitas yang orientasinya mengarah pada orang yang berpangkat tinggi, senior, dan orang-orang tua, sehingga hasrat untuk berdiri sendiri dan berusaha sendiri masih lemah.[1] Seperti rendahnya disiplin pribadi yang murni, orang cenderung taat jika ada pengawasan dari atas. Juga mentalitas yang selalu menunggu restu dari atasan.[1]
- Sifat -sifat kelemahan yang bersumber pada kehidupan keragu-raguan dan hidup tanpa orientasi yang tegas antara lain:
- Sifat mentalitas yang meremehkan mutu
- Sifat mentalitas yang suka mengambil jalan pintas
- Sifat kurang percaya diri
- Sifat tidak berdisiplin murni
- Sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh
Agar perubahan tata laku, tata sosial dan tata nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tetap mendukung keberhasilan pembangunan nasional, perlu diciptakan pranata-pranata sosial yang dapat mendukung proses transformasi system sosial budaya Indonesia
- Mewajibkan sebagai syarat suatu nilai budaya yang berorientasi ke masa depan
- Sifat hemat dan hasrat untuk bereksplorasi dan berinovasi
- Pandangan hidup yang menilai tinggi hasil karya
- Sikap lebih percaya kepada kemempuan sendiri
- Berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab sendiri
- Menghilangkan rasa, kepekaan terhadap mutu dan mentalitas mencari jalan pintas
- Mengatasi penyakit-penyakit sosial budaya yang parah, seperti krisis otoritas, krisis ekonomi yang berkepanjangan, kemacetan administrasi, dan korupsi secara menyeluruh yang sekarang masih mengganas dalam masyarakat
Cara mengubah mentalitas yang lemah
- Memberi contoh yang baik.[1] Asumsinya ialah karena banyak orang Indonesia mempunyai mentalitas beorientasi kearah pembesar-pembesar, maka asal saja orang-orang pembesar itu memberi contoh yang benar dari atas, itu dapat dikembangkan, misalnya sifat hemat dll.[1]
- Memberi perangsang yang cocok sebagai motivasi. Motivasi dapat untuk menggerakkan orang untuk bersikap.[1] Contoh, yaitu perangsang yang bisa mendorong orang menjadi lebih berhasrat untuk menabung uangnya di bank adalah tentu tidak hanya bunganya yang menarik misalnya, namun perlu ada perangsang lain, yaitu pelayanan yang baik.[1]
- Melaksanakan persuasif dan penerangan merupakan jalan lain yang sebenarnya harus di intensifkan oleh para ahali penerangan dan ahli media masa, karena meraka mempunyai imajinasia yang besar.[1]
- Menanamkan suatu mentalitas pembangunan yang baru.[1]
- Hal itu tentunya hanya mungkin pada generasi yang baru,yaitu anak-anak yang harus diasuh dan dibina dengan kesadaran yang tinggi agar 15 tahun lagi mereka akan menjadi manusia Indonesia baru yang bangga akan usaha dan kemampuannya sendiri, mempunyai hasil karya yang tinggi, mempunyai rasa disiplin, berani bertanggung jawab sendiri dan mempunyai perasaan yang peka terhadap mutu.[1]
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av Zainal Muttaqin. 2010. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Banten: Universitas Serang Raya. hal 15,16,17,18,19,20,21,22,23,24,25,26,27,28,29,30
- ^ a b c Paul B. Horton. 1987. "Sosiologi". Jakarta:Erlangga. Hal 246,247,248,249,250
- ^ a b c d George Ritzer. 2012. Teori Sosiologi. Yogyakarta:Pustaka Belajar. Hal 1031,1032,1033,1036,1037,1038
- ^ a b c Koentjaraninggrat. 2009. Ilmu Antropologi. Jakarta: Renaka Cipta. Hal 288,289
- ^ a b c d e f George Ritzer. 2012. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Hal 505, 506, 507, 508, 509, 550,558,559, 560
Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sistem_sosial_budaya_Indonesia&oldid=18653622"