Undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal

(1)

Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk tidak halal.

Pada zaman peradaban yang sudah berkembang saat ini, proses pengolahan makanan dan minuman, serta obat-obatan dan kosmetika telah melibatkan proses yang kompleks dan mengandung bahan pencampur yang beraneka ragam, sehingga hal ini menjadi hal yang tidak sederhana lagi dan tentunya sangat rawan. Pada produk pangan sendiri, terdapat berbagai macam jenis. Saat ini, banyaknya jenis pangan yang berupa pangan siap saji, maupun yang olahan yang diolah secara modern dan tradisional. Dalam produksi pengolahan pangan, banyak digunakan gelatin, enzim, lemak hewani, bahan baku berbasis daging, dan sebagainya. Bahan-bahan tersebut sangat rawan dari segi kehahalannya, karena bisa dibuat atau mengandung bahan yang diharamkan atau berasal dari hewan halal yang tidak disembelih sesuai syariat Islam, dan unsur haram lainnya. Misalnya saja pada produk yang dibuat atau diproduksi oleh Usaha Mikro, Kecil. Bahwa yang harus kita perhatikan adalah bagaimana produk itu diolah dan diproses tidak tercampur bahan non halal. Sejak awal dari proses produksi, kehalalan suatu produk harus diperhatikan.

Dinyatakan dalam dasar negara kita yaitu Pancasila, bahwa Indonesia adalah negara yang beragama. Di Indonesia terdapat berbagai macam agama serta keyakinan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 29 ayat (2) disebutkan : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Selain itu, peraturan perundang-undangan di Indonesia juga telah menjamin bahwa setiap konsumen memiliki hak untuk mendapatkan semua informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan produk. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi, dan jaminan barang dan atau jasa. Selain daripada konsumen, pelaku usaha pun memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan. Oleh karenanya, untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agama serta kepercayaannya, maka negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehahalan produk yang dikonsumsi dan digunakan oleh konsumen-konsumen yang beragama muslim. Salah satunya yaitu dituangkan dalam pengaturan mengenai penertiban sertifikasi halal.

Sertifikasi halal merupakan suatu kegiatan atau proses yang dilakukan untuk memenuhi atau mencapai standar tertentu. Tujuan akhir dari sertifikasi halal ini yaitu adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal. Setiap pelaku usaha yang akan mencantumkan label halal pada kemasannya harus mendapatkan sertifikat terlebih dahulu. Penentuan sertifikasi halal sangat diperlukan sebagaimana prinsip-prinsip agama Islam bahwa halal dan haram merupakan hal yang paling penting dalam syariat Islam, dan juga termasuk dalam substansi hukum Islam. Hal ini menuntut masyarakat untuk mengetahui kejelasan informasi tentang tingkat kehalalan pangan itu sendiri, sebagai bentuk jaminan keamanan kaum muslim. Disitulah pentingnya sertifikasi halal pada sebuah produk.

Selama ini sertifikat halal MUI masih belum sepenuhnya efektif dalam melindungi konsumen muslim, karena sesuai peraturan yang berlaku sebelumnya, permohonan sertifikasi halal produk oleh para pelaku usaha hanya bersifat sukarela.

Selama ini, kepedulian pelaku usaha terhadap sertifikasi halal, masih terbatas pada pelaku usaha yang berskala besar. Sedangkan pelaku usaha kecil dan menengah belum menjadikan sertifikasi halal sebagai hal yang utama. Bagi pelaku UMKM sendiri, masih ada beberapa produk pangan olahan, diantaranya olahan rumah tangga yang belum berlabel halal, dan hanya menggunakan nomor P-IRT (Pangan Industri Rumah Tangga) yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan. Baik itu yang dijual di toko kecil maupun warung hingga minimarket. Hanya dengan mencantumkan label P-IRT pada kemasan produk makanan sudah membuat konsumen merasa aman, karena bagi konsumen sudah ada label tersebut sudah memberikan rasa aman karena sudah melewati proses uji kesehatan.

Adapun kewajiban sertifikasi halal untuk semua produk makanan dan minuman ini dengan tegas dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang berbunyi “produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.” Artinya, jelas bahwa para pelaku usaha yang memproduksi dan memperdagangkan produk-produk pangan di Indonesia, wajib bersertifikat halal dan tertera logo halal pada kemasannya dan juga mutlak diperlukan sebagai payung hukum yang kuat bagi pemerintah yang berwenang untuk mengatur produk halal di Indonesia.

Sertifikasi halal adalah suatu fatwa tertulis yang dikeluarkan dari Majelis Ulama Indonesia. Sertifikat halal MUI adalah sertifikat yang menyatakan keterangan berupa pernyataan tertulis mengenai kehalalan produk yang disebutkan dalam sertifikat tersebut. Sertifikat halal ini termasuk dalam syarat bagi para pelaku usaha untuk mendapatkan ijin mencantumkan label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang. Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan : “Sertifikasi halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI”.

Seperti kita ketahui bersama, UMKM adalah sekumpulan pelaku usaha yang terutama pelaku usaha sebagian besar dalam melaksanakan proses produksinya hingga penjualannya dilakukan secara sederhana atau usaha dengan skala usaha perumahan terutama dalam pengolahan pangan. Penerapan aturan wajib sertifikasi halal berlaku untuk semua produk makanan dan minuman, termasuk yang diproduksi oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dalam Undang-undang ini hanya disebutkan secara umum yaitu pelaku usaha, tidak menyebutkan secara khusus mengenai pelaku usaha secara khusus, sedangkan kita ketahui bersama produk yang dihasilkan oleh UMKM adalah produk yang dibuat/diolah dengan skala industri rumah tangga (IRT)

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dimana dalam Pasal-Pasal yang diubah ada menyisipkan Pasal yang mewajibkan pelaku usaha mikro dan kecil untuk memiliki sertifikat halal bagi produk olahannya. Untuk memiliki/mencantumkan label halal pada produk olahan tentu harus adanya sertifikasi yang menyatakan bahwa suatu produk itu bisa dinyatakan halal. Dalam menerbitkan pengurusan sertifikat, berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pembiayaan sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha, sedangkan dalam hal pelaku usaha mikro dan kecil dapat difasilitasi oleh pemerintah maupun lembaga.

Kriteria usaha mikro dan kecil didasarkan pada ketentuan peraturan perundangan-undangan yang mengatur bidang usaha mikro dan kecil. Dalam hal pembebanan biaya bagi pelaku usaha dengan usaha yang besar tidak masalah dalam pengajuan permohonan sertifikat halal baik dari segi biaya maupun syarat yang harus dipenuhi.

Berbeda, bila dikaitkan dengan pelaku usaha mikro dan kecil. Hanya sebagian besar yang dapat mengajukan permohonan untuk membuat sertifikat halal tersebut. Hal tersebut disebabkan antara lain :

  • Beban biaya yang harus mereka bayar dalam pengurusan tersebut.
  • Syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan sertifikat halal tersebut.

Sehubungan dengan pembebanan biaya, dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bahwa, pada saat ini tidak menjadi masalah karena Pasal 44 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja “ Pasal 44 ayat (2) “Dalam hal permohonan Sertifikasi Halal yang diajukan oleh Pelaku usaha Mikro dan Kecil tidak dikenai biaya”. Dengan diterbitkannya Undang-Undang tersebut dalam hal pembebanan biaya tidak ada kendala lagi.

Hal yang harus diperhatikan lagi, ada persyaratan yang harus dipenuhi juga oleh pelaku usaha mikro dan kecil seperti yang diatur dalam dalam ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 ayat (1)” Pelaku usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPPH sebagaimana Pasal 21 ayat (1) dikenai sanksi administratif, dimana Pasal tersebut menyebutkan bahwa lokasi, tempat dan alat PPH, harus dijaga kebersihan dan higineisnya, bebas dari najis dan bebas dari barang yang tidak halal. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pelaku usaha mikro dan kecil dengan skala industri rumah tangga untuk lokasi, tempat dan alat PPH masih menjadi satu dengan rumah induk pelaku usaha.

Berkaitan dengan kedua hal diatas, bagaimana tujuan dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dapat tercapai dan penerapan sertifikasi halal pada produk makanan olahan pada pelaku usaha mikro dan kecil dapat bertambah banyak cakupannya dan berjalan sebagaimana mestinya, maka kewajiban semua pihak baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha dan masyarakat untuk melaksanakan ketentuan perundangan-undangan sesuai tugas dan fungsinya.