Tokoh yang mediator antara golongan muda dan tua bernama

Perang penting Achmad Soebardjo dalam Peristiwa Rengasdengklok menjelang proklamasi kemerdekaan yaitu… .

A. menjadi perwakilan golongan muda yang mendesak Soekarno-Hatta untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan.

B. menjadi perantara yang memberikan jaminan kepada para pemuda bahwa proklamasi akan dilaksanakan secepatnya.

C. tokoh golongan tua yang mengambil inisiatif untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

D. menjadi penghubung antara pihak Jepang dengan pihak Sekutu pasca penyerahan tanpa syarat.

E. tokoh yang mencetuskan pertama kali ide proklamasi kemerdekaan di rumah Laksamana Muda Tadeshi Maeda

Pembahasan:

Peristiwa Rengasdengklok merupakan peristiwa dimana Soekarno-Hatta dibawa oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945. Latar belakang terjadinya Peristiwa Rengasdengklok adalah adanya perbedaan pendapat antara golongan muda dengan golongan tua mengenai waktu dan cara pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Menanggapi peristiwa tersebut, Ahmad Soebardjo kemudian menemui perwakilan golongan tua dengan memberikan janji proklamasi akan dilaksanakan secepatnya dengan syarat Soekarno-Hatta harus dikembalikan ke Jakarta. Ahmad Soebardjo juga berperan dalam perumusan teks proklamasi.

Untuk materi lebih lanjut mengenai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan materi sejarah lainnya bisa mengunjungi youtube berikut ini. Jangan lupa untuk suscribe like, komen, dan share. Terimakasih

Kunci jawaban

Perang penting Achmad Soebardjo dalam Peristiwa Rengasdengklok menjelang proklamasi kemerdekaan yaitu… . B. menjadi perantara yang memberikan jaminan kepada para pemuda bahwa proklamasi akan dilaksanakan secepatnya.

Tokoh yang mediator antara golongan muda dan tua bernama

Mari berlomba lomba dalam kebaikan. Semoga isi dari blog ini membawa manfaat bagi para pengunjung blog. Terimakasih

Merdeka.com - Peristiwa Rengasdengklok tak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan bangsa ini. Peristiwa 'penculikan' terhadap dua proklamator itu menjadi salah satu momen penting jelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, keinginan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan semakin menggelora di bangsa Indonesia. Namun, saat itu terdapat perbedaan pendapat yang tajam antara golongan muda dengan golongan tua soal pelaksanaan proklamasi.

Kaum tua yang dimotori Bung Karno dan Hatta saat itu lebih kepada perhitungan politiknya. Mereka berpandangan untuk memproklamasikan kemerdekaan diperlukan revolusi yang terorganisir dengan baik. Karenanya, kerjasama dengan Jepang masih diperlukan agar tidak terjadi pertumpahan darah.

Soekarno dan Hatta kemudian bermaksud membahas pelaksanaan proklamasi dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebab, dengan demikian pelaksanaan proklamasi tidak akan menyimpang dari ketentuan Jepang.

Hal itu sontak mendapat penolakan keras dari golongan muda, yang saat itu dimotori Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana. Mereka menilai PPKI adalah buatan Jepang, sementara mereka menginginkan proklamasi kemerdekaan Indonesia tanpa ada embel-embel negara Sakura itu.

Pertemuan antara golongan muda dengan golongan tua kemudian digelar di kediaman Bung Karno, Jl Pegangsaan Timur No 56, Jakarta, pada Rabu, 15 Agustus 1945, sekitar pukul 22.00 WIB. Saat itu, terjadi perdebatan 'panas' antara golongan muda dengan Bung Karno mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Perdebatan panas tersebut dimuat di dalam buku "Lahirnya Republik Indonesia." Jakarta: Kinta. 1978, karya Ahmad Soebardjo (1978) dan "Samudera Merah Putih 19 September 1945." Jilid 1. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984, karya Lasmidjah Hardi.

Dalam perdebatan itu, golongan muda tetap bersikeras pelaksanaan proklamasi kemerdekaan harus segera dilakukan, jika perlu saat itu juga. Mereka bahkan mengaku siap melawan tentara Jepang jika terjadi pertumpahan darah. Namun, Bung Karno saat itu berpandangan kekuatan para pejuang belum cukup untuk melawan kekuatan bersenjata tentara Jepang.

Setelah tak juga mendapatkan titik temu, Bung Karno akhirnya berunding kepada sejumlah tokoh dari golongan tua, di antaranya Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Namun, hasil perundingan itu ternyata tak sesuai dengan keinginan golongan muda.

Saat itu, Hatta mengatakan, hasil keputusan yang didapat tidak menyetujui keinginan golongan muda. Sebab dinilai kurang perhitungan dan dapat menimbulkan banyak korban jiwa. Tak terima dengan keputusan itu, golongan muda kemudian 'menculik' Bung Karno dan Bung Hatta, pada Kamis 16 Agustus 1945 sekitar pukul 04.00 WIB.

Meski kecewa dan marah atas 'penculikan' itu, Bung Karno dan Bung Hatta tetap mengikuti keinginan para pemuda untuk menghindari adanya keributan. Saat itu, Bung Karno mengikutsertakan sang istri, Fatmawati dan anaknya, Guntut, yang masih balita.

Keduanya kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong, di sebuah kota kecil di dekat karawang yakni Rengasdengklok. Letak Rengasdengklok yang terpencil menjadi salah satu alasan para pemuda memilih tempat itu agar mudah mendeteksi pergerakan tentara Jepang jika menuju tempat itu.

Meski di lokasi itu para pemuda mendesak keduanya untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dua proklamator itu tak juga tunduk pada keinginan para pemuda itu.

Kemudian, pada siang harinya, perdebatan panas terjadi antara Bung Karno dengan para pemuda. Bung Karno yang terus ditekan agar segera memproklamasikan kemerdekaan berkukuh akan melakukan hal itu pada 17 Agustus 1945.

Sejumlah alasan disampaikan oleh Bung Karno soal pemilihan 17 Agustus 1945. Sementara itu, kesepakatan terjadi di Jakarta antara golongan tua yang diwakili Ahmad Soebardjo dengan golongan muda yang diwakili Wikana. Saat itu keduanya sepakat proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan di Jakarta.

Berbekal kesepakatan itu, Bung Karno dan Bung Hatta kemudian dijemput Ahmad Soebardjo untuk kembali ke Jakarta. Saat itu, Ahmad Soebardjo menjanjikan kepada para pemuda yang berada di Rengasdengklok bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan pada 17 Agustus 1945 p[aling lambat pukul 12.00 WIB.

Atas jaminan itu, kedua proklamator itu kemudian diizinkan kembali ke Jakarta. Singkat cerita, proklamasi kemerdekaan Indonesia akhirnya diproklamirkan Bung Karno dengan didampingi Hatta pada Jumat 17 Agustus 1945.

tirto.id - Ketika Sukarno-Hatta diculik oleh para pemuda pada tanggal 16 Agustus 1945, seseorang bernama Sudiro segera melaporkannya kepada Mr Achmad Subardjo. Tuntutan para pemuda adalah agar dwitunggal itu segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka tidak memberitahu tempat keduanya disembunyikan.

Subardjo khawatir jika Sukarno-Hatta jatuh ke tangan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Jika itu terjadi, maka ia berharap kepada koneksi utamanya selama pendudukan Jepang, yakni Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun). Oleh karena itu, Laksamana Muda Tadashi Maeda pun diberitahu soal hilangnya kedua tokoh penting tersebut.

Menurut Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1994), Maeda beserta para stafnya punya visi yang tidak sekolot Angkatan Darat Jepang dalam politik pendudukan atas Pulau Jawa.

Sementara Subardjo adalah orang kepercayaan Maeda dan pernah ditawari membentuk kantor penelitian di Jalan Prapatan Nomor 60. Ia mengaku pernah tinggal di Jepang. Dan di akhir masa pendudukan Jepang, ia dikenal sebagai pengelola Asrama Indonesia Merdeka yang memiliki hubungan dengan para pemuda Indonesia terpelajar dan militan.

Selain Subardjo, ada juga Wikana yang berjejaring dengan Tan Malaka. Selain mereka—meski ogah-ogahan berurusan dengan orang-orang Jepang—Sutan Sjahrir pun pernah mengajar di asrama tersebut. Tempat itu cocok bagi para pemuda Indonesia yang tidak suka dengan Angkatan Darat Jepang yang kaku.

Baca juga: Sejarah Peristiwa Rengasdengklok Versi Sukarno dan Hatta

“Mayor Boleh Tembak Mati Saya!"

Soebardjo kemudian mendapat kabar dari seorang anggota PETA yang bernama Jusuf Kunto, bahwa Sukarno-Hatta diamankan oleh para pemuda dari Angkatan Darat Jepang, dan dibawa ke luar Jakarta.

Sekitar pukul empat sore, Subardjo, Sudiro, Jusuf Kunto, dan seorang supir, segera pergi ke luar kota mencari keberadaan Sukarno-Hatta. Mereka mengendarai mobil Skoda tua milik Subardjo yang bannya nyaris gundul.

Mereka belum tahu pasti di mana kedua tokoh itu disembunyikan. Mulanya Subardjo menduga Sukarno-Hatta disembunyikan di Selabintana, Sukabumi. Namun, setelah melewati Jatinegara, mobil mereka malah melaju ke arah Purwakarta. Sepanjang perjalanan, mobil mereka tak mendapat adangan apapun selain ban sempat bocor ketika mendekati Rengasdengklok, karawang.

Ketika tiba di Rengasdengklok, mereka diarahkan untuk menunggu di rumah wedana. Seorang pemuda revolusioner bernama Sukarni menghampiri mereka. Subardjo kemudian dibawa untuk menemui komandan kompi bernama Mayor Subeno di tangsi PETA yang tidak jauh dari rumah tersebut.

“Kami datang ke sini untuk menjemput Bung Karno dan Bung Hatta serta membawa mereka kembali ke Jakarta untuk mempercepat Proklamasi Kemerdekaan," kata Subardjo seperti ia tulis dalam autobiografinya bertajuk Kesadaran Nasional (1978:320).

Perwira didikan Jepang itu bertanya kepada Subardjo, apakah ia bisa mendesak Sukarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum tengah malam. Subardjo menjawab bahwa hal itu tidak mungkin, dan Sukarno-Hatta juga harus kembali dulu untuk rapat kilat dengan panitia persiapan lainnya di Jakarta.

“Bagaimana kalau pukul 06.00 pagi besok," tanya Subeno.

“Saya akan berusaha sedapat-dapatnya, kami mungkin [baru] bisa selesai [rapat] pukul 06.00, tetapi menjelang tengah hari besok kami pasti telah siap [untuk memproklamasikan]."

“Jika tidak bagaimana?" tanya Subeno.

“Mayor, jika segala sesuatunya gagal, sayalah yang memikul tanggungjawabnya, dan Mayor boleh tembak mati saya," jawab Subardjo.

Subeno merasa puas atas jawaban tersebut. Maka ia pun mengizinkan Subardjo untuk menemui Sukarno-Hatta yang ternyata ditempatkan di sebuah rumah milik seorang Tionghoa, tidak jauh dari tangsi PETA.

Subardjo dan rombongannya segera membawa Sukarno-Hatta ke Jakarta dan langsung rapat di rumah Laksamana Maeda. Esoknya, tanggal 17 Agustus 1945, menjelang siang, Proklamasi Kemerdekaan dibacakan.

Baca juga: Meski Jepang Melarang, Proklamasi Tetap Tersebar lewat Surat Kabar

Bukan Pemanggul Bedil, Orde Baru Tak Menyukainya

Kepercayaan Laksamana Maeda dan para pemuda anti-Jepang kepada Achmad Subardjo, menunjukkan bahwa ia bukan orang baru dalam dunia pergerakan. Ketika kuliah hukum di Universitas Leiden, ia adalah bagian dari Perhimpunan Indonesia (PI) bersama Hatta dan Iwa Kusumasumantri.

Menurut Harry Poeze dan kawan-kawan dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008), Achmad Subardjo menjadi pengurus PI dari 1919 hingga 1921. Ia menjadi ketua organisasi tersebut atas dukungan Goenawan Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan, saat PI masih bernama Perhimpoenan Hindia

Ia sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, termasuk Rusia. Tahun 1927, ia menghadiri liga anti-imperialis di Brussel, Belgia. Lalu pada 1934, setahun setelah lulus kuliah hukum dan mendapat gelar Meester in Rechten, ia pulang ke Indonesia.

Sebagai ahli hukum junior, Subardjo sempat bekerja bersama Mr Iskaq Tjokrohadisurjo.Tahun 1935, ia mendirikan kantor pengacara di Malang.Pada tahun yang sama, ia berangkat ke Jepang dan baru kembali lagi ke Indonesia pada tahun berikutnya. Kunjungannya ke Jepang membuatnya dicurigai pejabat Belanda.

Dari tahun 1936 hingga 1939, Achmad Subardjo menjadi pengacara di Bandung dan sempat mengurangi kegiatan politiknya. Selain aktif sebagai pengacara, ia juga menulis untuk beberapa surat kabar.

Baca juga: Sejarah Peristiwa 3 Juli 1946, Kudeta Pertama di Indonesia

Tokoh yang mediator antara golongan muda dan tua bernama

Infografik Mozaik Achmad Soebardjo. tirto.id/Rangga

Setelah 1939, Subardjo sempat bekerja di Radio Ketimuran yang merupakan bagian dari NIROM. Ia bertugas membuat program bulanan untuk musik, wawancara, dan pengumuman resmi. Pekerjaan itu tumpas setelah Hindia Belanda runtuh oleh serbuan kilat balatentara Jepang.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia yang berdarah Aceh, Bugis, dan Jawa itu diangkat menjadi Menteri Luar Negeri pertama Indonesia. Ia sempat berseberangan dengan pemerintahan Sjahrir, sebab memilih merdeka 100 persen ketimbang ikut dalam diplomasi yang merugikan Indonesia.

Oleh karena itu, saat terjadi Peristiwa 3 Juli 1946 yang dianggap sebagai makar pertama di Republik Indonesia, Subardjo beserta para pengikut Tan Malaka lainnya harus berpindah dari penjara ke penjara.

Saat ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta diduduki Belanda, ia termasuk yang ikut ditawan. Tahun 1950, Subardjo kembali menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet yang dipimpin oleh Sukiman Suwirjo.

Ketika usianya semakin sepuh, yakni dari tahun 1961 hingga 1965, lelaki kelahiran Teluk Jambe, Karawang, 23 Maret 1896 itu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Sejak 1968 yakni ketika Orde Baru mulai berkuasa, Subardjo menjadi profesor bidang sejarah konstitusi dan diplomasi. Tanggal 15 Desember 1978, tepat hari ini 41 tahun lalu, Achmad Subardjo wafat.

Meski perannya penting dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, ia baru diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 2009, atau sebelas tahun setelah Orde Baru tumbang. Ya, narasi sejarah dan kepahlawanan Orde Baru memang sangat militeristis.

Sebagai seorang sipil dan jarang disebut dalam buku-buku pelajaran sejarah, nama Achmad Subardjo tersisihkan, padahal ia adalah orang yang menjaminkan dirinya ditembak mati demi Proklamasi Kemerdekaan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
(tirto.id - pet/irf)


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh

Subscribe for updates Unsubscribe from updates