Siapakah tokoh yang dapat membentuk Majelis Tarjih

Siapakah tokoh yang dapat membentuk Majelis Tarjih
Siapakah tokoh yang dapat membentuk Majelis Tarjih

suara muhammadiyah nomor 05 tahun 2014 (1-15 maret) halaman 26

MAJELIS TARJIH lahir dalam Kongres ke-16 Muhammadiyah tahun 1927 di Pekalongan. Sebab Kongres di Kota Batik itu, di masa KH Ibrahim menjadi Ketua PP Muhammadiyah (1923 – 1932), aklamasi menyetujui Muhammadiyah membentuk Majelis Tarjih. Kelahiran Majelis Tarjih, sebagai suatu lembaga yang menghimpun para ulama dari kalangan Muhammadiyah, atas usul inisiatif KH Mas Mansur. Ia seorang alim, luas ilmunya, masih muda, akrab dengan KH Ahmad Dahlan, dan waktu itu ia menjadi Konsul Muhammadiyah Surabaya. Ia orang pertama dari luar Yogyakarta yang menjadi Ketua PP Muhammadiyah (1937–1942).

Sehubungan dengan keputusan tersebut, Kongres membentuk sebuah komisi yang terdiri atas KH Mas Mansur, Buya AR Sutan Mansur, KH Mochtar, KH Abdul Mukti, Kartosudarmo, M Kusni dan M Yunus Anis. Komisi ditugasi menyiapkan konsep Qaidah Majelis Tarjih untuk disampaikan dalam Kongres tahun berikutnya. Kongres Muhammadiyah pada zaman sebelum kemerdekaan diselenggarakan tiap tahun. Setelah Indonesia merdeka, Muktamar sebagai pengganti istilah Kongres, mulai tahun 1950 diselenggarakan tiap tiga tahun. Setelah Muktamar ke-41 di Surakarta tahun 1985, Muktamar Muhammadiyah dilaksanakan tiap lima tahun sekali.

Pada tahun 1928 berlangsung Kongres ke-17 Muhammadiyah di Yogyakarta. Di antara agendanya membahas hasil kerja komisi pada Kongres sebelumnya yang ditugasi membuat konsep Qaidah Majelis Tarjih. Kongres mengesahkan Qaidah Majelis Tarjih dan membentuk Pengurus Majelis Tarjih Muhammadiyah pertama sbb: KH Mas Mansur sebagai Ketua, Wakil Ketuanya KRH Hadjid. Sekretaris KH Aslam Zainuddin dan Wakilnya KH Jazari Hisyam. Anggota antara lain KH Ahmad Badawi, KH Hanad, KH Washil, dan KH Fadhil.

Majelis Tarjih baru lahir 15 tahun kemudian setelah Muhammadiyah berdiri tahun 1912. Ini tidak berarti sebelum Majelis Tarjih terbentuk dalam Muhammadiyah sepi dari aktivitas semacam ketarjihan. Sebagai misal, pada masa KH Ahmad Dahlan telah dilontarkan dan digerakkan pelurusan arah kiblat, penentuan awal dan akhir Ramadlan serta ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha (‘Idain) dengan hisab.

Ketika kepemimpinan Muhammadiyah di tangan KH Ibrahim, Muhammadiyah memutuskan shalat ‘Idain di tanah lapang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Shalat ‘Idain di lapangan pertama kali dilakukan oleh Muhammadiyah di lapangan ASRI Yogyakarta pada Hari Raya ‘Idul Fitri 1343 H/1925 M.

Peristiwa itu sangat menggemparkan. Karena berbeda dengan kebiasaan. Muhammadiyah tidak surut terhadap reaksi. Bahkan Keputusan Kongres ke-15 di Surabaya tahun 1926, Kongres Muhammadiyah pertama di luar Yogyakarta memerintahkan Muhammadiyah di mana pun agar mengadakan shalat ‘Idain di tanah lapang.

Sedangkan Kongres ke-16 yang melahirkan Majelis Tarjih antara lain memutuskan agar khutbah Jum’at disampaikan dengan bahasa yang dimengerti oleh jamaah.

Nama Majelis Tarjih (kata tarjih secara bahasa berarti menguatkan) dipilih tentu punya arti penting tersendiri. KH Ahmad Azhar Basyir, MA, Ketua PP Muhammadiyah (1990–1994) dan sebelumnya menjadi Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, dalam salah satu tulisannya antara lain menjelaskan, “Dipilih nama Majelis Tarjih, untuk menunjuk spesifikasi bidang kerjanya, yaitu mengadakan penelitian dan kajian terhadap landasan-landasan yang lebih kuat untuk menjadi pedoman pengamalan ajaran Islam, baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun mu’amalat.

Tarjih bukan berarti penelitian dan kajian terhadap pendapat para ulama terdahulu. Tarjih langsung meneliti dan mengkaji Al-Qur’an dan Sunnah Rasul untuk memperoleh pedoman pengamalan ajaran Islam. Pendapat dan pemahaman para ulama terdahulu terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dapat diperhatikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dan penunjuk jalan yang tidak mengikat”.

Sejak Kongres ke-18 di Solo tahun 1929, Majelis Tarjih tiap tahun pada waktu dan di kota yang sama tempat berlangsungnya Kongres melakukan sidang-sidang khususi tarjih. Demikian sampai Muktamar ke-32 di Purwokerto tahun 1953. Kemudian 29 Desember 1954 – 3 Januari 1955, Majelis Tarjih mengadakan sidang khususi tarjih di Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta di luar Muktamar. Antara lain hadir Said Ramadlan, tokoh Islam dari Mesir, sebagai peninjau. Tetapi pada tahun 1956, Majelis Tarjih kembali lagi mengadakan sidang khusus tarjih bersamaan dengan Muktamar ke-33 di Palembang.

Majelis Tarjih bermuktamar di Pekalongan tahun 1960 secara terpisah dari Muktamar Muhammadiyah. Delapan tahun kemudian Muktamar Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 dan berikutnya tahun 1972 kembali Muktamar Tarjih di Pekalongan lagi. Kemudian menyusul Muktamar Tarjih di Garut tahun 1976 dan Muktamar Tarjih tahun 1980 di Klaten. Setelah itu, istilah Muktamar Tarjih diganti menjadi Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih. Sejak tahun 1929, dengan berbagai nama, telah 28 kali dilaksanakan Munas Tarjih.

Majelis Tarjih setelah Muktamar ke-43 Muhammadiyah, namanya menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Setelah Muktamar ke-44, menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid sampai sekarang. Ada sembilan orang putera Muhammadiyah terbaik pada zamannya menjadi Ketua Majelis Tarjih, yaitu : KH Mas Mansur (1928–1936), Ki Bagus Hadikusumo (1936–1942), KH Ahmad Badawi (1942–1950), KRH Hadjid (1950–1959), KRTH Moh. Wardan Dipaningrat (1959–1985), KH Ahmad Azhar Basyir, MA (1985–1990), Prof Drs H Asjmuni Abdurrahman (1990–1995), Prof Dr H Amin Abdullah (1995–2000), dan Prof Dr H Syamsul Anwar, MA (2000–sekarang).

Demikianlah sejarah singkat Majelis Tarjih. Ditulis untuk menyambut Munas Tarjih Muhammadiyah ke-28 di Palembang tanggal 27 Februari – 1 Maret 2014 M Semoga bermanfaat.

Suara Muhammadiyah nomor 05 tahun 2014

MUHAMMADIYAH.OR.ID, MALANG—Majelis Tarjih berdiri pada tahun 1927 sebagai hasil dari keputusan Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan. Pada saat itu, Hoofdbestuur Muhammadiyah dipegang oleh KH. Ibrahim menggantikan KH. Ahmad Dahlan. Dosen Universitas Muhammadiyah Malang Pradana Boy mengatakan bahwa ide pembentukan lembaga fatwa keagamaan Muhammadiyah lahir dari KH. Mas Mansur.

“Ide gagasan pelembagaan fatwa atau ijtihad keagamaan berasal dari KH. Mas Mansur. Sehingga tidak salah bila menyebut gagasan tentang Majelis Tarjih itu memang berasal dari KH. Mas Mansur,” ujar Pradana Boy dalam Santri Cendekia Forum yang diselenggarakan Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan pada Selasa (11/01).

Pradana Boy menyebut dua faktor berdirinya Majelis Tarjih, yaitu pertama internal. Seiring dengan perluasan organisasi yang menyedot banyak anggota itu, aktivitas sosial dan amal usaha Muhammadiyah juga meningkat secara hebat dan berhasil, terutama di bidang pendidikan, penyantunan dan pelayanan sosial, dakwah dan lainlain aktivitas. Pembentukan Majelis Tarjih dipandang tepat karena menjadi lembaga yang dirancang untuk mengakomodasi konflik dan perbedaan pendapat.

Inilah yang menjadi alasan mengapa dinamai Majelis “Tarjih” bukan Majelis “Tasyri’”. Padahal, awal mula nama majelis yang diusulkan dalam Kongres Muhammadiyah di Pekalongan itu adalah Majelis Tasyri’. Pradana Boy menjelaskan bahwa istilah “Tasyri’” terlalu tinggi seakan menyamai hakikat fungsi Allah dan Rasul-Nya, sehingga dipilihlah kata “Tarjih” karena sesuai dengan spiritnya yaitu mengakomodir perbedaan pendapat.

“Karena Muhammadiyah berkembang semakin luas, massanya semakin banyak, terdapat aneka ragam anggota Muhammadiyah, mau tidak mau, timbul keanekaragaman pemikiran keagamaan di tubuh persyarikatan. Karenanya, berdirinya Majelis Tarjih berperan sebagai pengakomodir perbedaan pendapat,” terang anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini.

Kedua, faktor eksternal. Keberadaan Majelis Tarjih tidak bisa dilepaskan dari faktor keberadaan Ahmadiyah. Awal perkembangan Ahmadiyah di Indonesia justru mendapat respons positif dari Muhammadiyah, sebab keduanya memiliki perjuangan yang sama, yaitu: memurnikan iman dan memodernkan Islam. Bahkan salah satu tokoh Ahmadiyah yaitu Ali Ahmad Baig pernah menjadi pembicara dalam diskusi internal Muhammadiyah.

Pada 5 Juli 1928, Hoofdbestuur Muhammadiyah ketika itu kemudian mengeluarkan deklarasi resmi yang dikirim ke semua cabangnya. Salah satu pesannya adalah larangan menyebarkan pengetahuan atau pandangan apa pun dari Ahmadiyah. Dengan tegas surat itu berisi agar menolak ajaran Ahmadiyah, atau jika tidak, maka harus meninggalkan organisasi Muhammadiyah.

“Salah satu lahirnya Majelis Tarjih adalah adanya penetrasi Ahmadiyah ke dalam Muhammadiyah. Oleh para peneliti ini dijadikan faktor eksternal dari kelahiran Majelis Tarjih,” tutur Asisten Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini.