Sebuah pemerintahan di Mesir yang berdiri setelah Dinasti Ayyubiyah berkuasa adalah

Dinasti Islam datang silih berganti sebagai bagian dari sunnatullah

albumislam.com

Dinasti Islam datang silih berganti sebagai bagian dari sunnatullah. Kota Damaskus, Suriah, pusat kekuasaan Dinasti Umayyah.

Rep: Umar Mukhtar Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Banyak negara Arab yang diperintah kalangan keluarga yang biasa disebut pemerintahan dinasti. Keluarga inilah yang kemudian mengubah wajah sejarah peradaban Islam dan mengendalikan berbagai urusan, bahkan sampai saat ini.

Baca Juga

Berikut ini adalah 10 dinasti penguasa terpanjang dalam sejarah Arab dan Islam sebagaimana dilansir dari Arabic Post: 

1. Dinasti Umayyah (288 tahun)

Muawiyah bin Abi Sufyan mendirikan Dinasti Umayyah pada 662 M setelah era Khulafaur Rasyidin. Di era Khalifah Umayyah ke-10, yaitu Hisham Ibn Abd al-Malik, negara Islam mencapai perluasan maksimumnya dari pinggiran Tiongkok di timur hingga Prancis selatan di barat. 

Pada 750 M negara Umayyah runtuh di tangan Abbasiyah, dan sebagian besar keluarga penguasa melarikan diri karena takut dibunuh. Salah satunya adalah Abd al-Rahman bin Muawiyah, yang secara historis dikenal sebagai Abd al-Rahman yang mampu menghidupkan kembali kekuasaan Bani Umayyah di negara-negara Islam setelah dia mengungsi ke Andalusia, Spanyol kini.

2. Dinasti Bani Al-Abbas/Abbasiyah (508 tahun)

Dinasti ini adalah penguasa kedua dalam sejarah Islam dan kekhalifahan Islam ketiga dalam sejarah. Mereka adalah keturunan dari paman termuda Nabi, Abbas bin Abdul Muttalib. Pengganti mereka yang pertama adalah Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad.

Mereka mampu menggeser Dinasti Umayyah dan memisahkan diri dengan kekhalifahan pada 750 M. Pemerintahannya berlangsung selama lima abad, hingga jatuh ke tangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu, cucu Genghis Khan.

3. Dinasti Fatimiyah (262 tahun)

Negara tersebut didirikan Ubayd Allah al-Mahdi Billah, yang mendirikan negaranya di kota Mahdia di sebuah negara Afrika pada 909, dan menjadikannya ibu kota negara berkembang mereka.

Keadaan mereka mulai menurun setelah mereka berhasil mencaplok Mesir. Keluarga Fatimiyah adalah salah satu negara Kekhalifahan Islam, dan satu-satunya di antara negara-negara Khilafah yang mengadopsi sekte Syiah sebagai doktrin resmi.

4. Dinasti Khwarizmian (143 tahun)

Khwarazmian adalah dinasti Turki Muslim Sunni yang menguasai sebagian besar Asia Tengah dan Iran barat dari 1077 hingga 1220. Kekuasaan dinasti Khawarizmian berakhir dengan kematian sultan terakhir negara ini, Sultan Jalal al-Din al-Khwarizmi, setelah perang sengit dengan bangsa Mongol yang menginvasi Levant pada saat itu. 

5. Dinasti Ayyubiyah (168 tahun)

Negara Ayyubiyah didirikan Sultan Salahuddin al-Ayyubi di Mesir. Ayyubiyah adalah keluarga Muslim yang menguasai sebagian besar Arab Timur selama abad ke-12 dan ke-13. Tetapi setelah kematian Salahuddin, kerajaannya terbagi antara lima anaknya dan saudara laki-lakinya yang adil menjadi beberapa kerajaan dan emirat, dan banyak wilayah Islam dikuasai di Mesir, Damaskus, Aleppo dan Hama, sampai akhir kekuasaan terakhir dari raja-raja Ayyubiyah pada 1342.  

6. Dinasti Ottoman (623 tahun)

Ini adalah keluarga kerajaan yang berkuasa dari negara-negara kekhalifahan Islam keempat dan terakhir. Kerajaan ini didirikan pada 1299 oleh pendirinya, Osman I ibn Artagul, dari suku Qabi Turki. Jumlah sultannya ada 36 orang, dan yang terakhir adalah Sultan Muhammad VI.

Dinasti Turki Utsmani ini berlangsung selama 623 tahun untuk memerintah sebagian besar Eropa dan sebagian besar negara di Timur Tengah, sampai kekhalifahan jatuh pada 1922, dan Turki modern didasarkan pada reruntuhan mereka. 

7. Dinasti Alawi Mesir (147 tahun)

Didirikan Muhammad Ali Pasha pada 1805, setelah kampanye Prancis meninggalkan Mesir. Keluarga Alawit adalah keluarga Mesir asal Albania yang memerintah Mesir di bawah otoritas nominal Ottoman. Namun, dengan kecerdasannya, dan setelah perang panjang melawan Kekaisaran Ottoman, dia mampu memerintah Mesir sendirian. Keturunannya terus memerintah Mesir hingga 1952, ketika "Revolusi Juli" menggulingkan monarki Mesir.

8. Dinasti Alawi Maroko (352 tahun)

Dinasti ini kembali ke kakek buyutnya Ali bin Abi Thalib. Pendiri pertama negara ini adalah Mulay al-Syarif pada  1664, dan pemerintahan keluarga monarki Maroko berlanjut hingga sekarang.

9. Dinasti Hasyimiyah (dari 1921 hingga sekarang)

Setelah "Pemberontakan Arab" pada 1916, keluarga Hashim menguasai Yordania dan raja pertama mereka adalah Raja Abdullah I pada 1921. Keluarga tersebut masih memerintah Yordania hingga sekarang pada masa pemerintahan Raja Abdullah II bin Al Hussein.

Garis keturunan keluarga Hasyimiyah ini kembali Hasyim, yaitu kakek buyut Nabi Muhammad SAW dari suku Bani Kenana. Keluarga Hasyimiyah terus menguasai sebagian wilayah Hijaz di Jazirah Arab dari 976 hingga 1925 M tanpa gangguan.

10. Dinasti Al Saud (dari 1932 hingga sekarang)

Itu adalah keluarga yang berkuasa di Arab Saudi hingga hari ini, dan Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud dianggap sebagai penguasa pertama dalam bentuk modern. Hal ini setelah penyatuan wilayahnya di bawah nama Kerajaan Arab Saudi pada 1932.  

Sumber: arabicpost

Sebuah pemerintahan di Mesir yang berdiri setelah Dinasti Ayyubiyah berkuasa adalah

OLEH HASANUL RIZQA

Dalam sejarah Islam, kaum mantan budak (mamalik) pernah berkuasa. Mereka mendirikan sebuah dinasti di Mesir. Mamluk bagaikan benteng yang tak dapat ditembus tentara Mongol dan Salibis.

Ketika Mantan ‘Budak’ Berkuasa

Dalam sejarah Islam, para pemegang kekuasaan tidak hanya berasal dari kaum bangsawan. Keturunan rakyat biasa juga tercatat pernah memimpin beberapa daulah. Bahkan, ada sebuah dinasti Muslim yang bermula dari sepak terjang kalangan bekas budak belian.

Dinasti yang dimaksud adalah Mamluk. Ahmad al-Usairy dalam Sejarah Islam menjelaskan, kata mamluk berarti ‘budak yang dibeli dengan uang'. Istilah tersebut dalam bahasa Arab agak berbeda dengan ’abd.

Yang pertama itu adalah hamba sahaya yang berasal dari kedua orang tua berstatus merdeka, tetapi pada masa anak-anak mereka dirampas dari bapak-ibunya dan akhirnya diperjualbelikan sebagai budak. Adapun yang kedua berarti hamba sahaya yang dilahirkan oleh kedua orang tua yang juga berstatus budak.

Dalam pengertian lain, mamluk (bentuk jamak: mamalik) merujuk pada golongan budak yang berkulit putih, sedangkan ’abd berkulit hitam. Sebagian mamluk datang dari kaum Persia, Turki, Kurdi, dan Kaukasus. Ada pula yang berasal dari Eropa atau Romawi Timur (Bizantium).

Menurut al-Usairy, riwayat Dinasti Mamluk terbagi ke dalam dua fase, yakni Mamluk Bahriyah (648-792 H/1250-1389 M) dan Mamluk Barjiyah (792-923 M/1389-1517 M). Secara keseluruhan, pemerintahan keduanya berlangsung dalam kurun waktu 275 tahun.

Dalam masa yang panjang itu, wangsa non-ningrat tersebut berperan besar dalam menjaga kedaulatan Islam. Kemenangan mereka dalam Perang Ain Jalut pada 25 Ramadhan 658 H/3 September 1260 M merupakan buktinya.

Pertempuran tersebut memperhadapkan antara Dinasti Mamluk Bahriyah dan Mongol. Beberapa tahun sebelumnya, bangsa Mongol telah mencaplok satu per satu negeri Islam di sekujur Asia tengah dan sebagian besar Asia Barat.

Sejak pertengahan abad ke-13 M, anak keturunan Temujin atau Jenghis Khan (1162-1227) mulai menjadi ancaman besar bagi umat. Puncaknya adalah kejatuhan Baghdad.

Pada Februari 1258, balatentara Hulagu Khan membumihanguskan pusat Kekhalifahan Abbasiyah itu. Ratusan ribu Muslimin dibantainya. Kota Seribu Satu Malam—yang telah berabad-abad lamanya menerangi peradaban dunia—seketika menjadi kota mati.

Seandainya pasukan Muslimin yang dipimpin Sultan Mamluk Bahriyah, Saifuddin Quthuz, tidak mampu menghalau balatentara Hulagu Khan, peradaban dunia tidak akan seperti yang dikenal saat ini. Ya, Ain Jalut menjadi titik balik sejarah.

Untuk pertama kalinya, Mongol menderita kekalahan telak sehingga tidak mampu membalas. Di lembah tersebut, mitos bahwa agresi yang dilakukan bangsa dari Asia Timur itu tidak terbendung seketika pupus.

Mamluk Bahriyah juga berperan penting dalam menggerakkan jihad untuk mengusir Tentara Salib. Pada 590 H/1291 M, pasukan yang dikomandoi Sultan Quthuz berhasil membebaskan Syam dari cengkeraman agresor tersebut.

Kerajaan Latin Yerusalem pun dapat dikuasainya. Sesudah itu, kawasan Mediterania timur kembali berada dalam kendali Muslim. Termasuk di dalamnya adalah Baitul Maqdis.

Intrik politik

Dinasti Mamluk Bahriyah berpusat di Mesir. Awal kelahirannya tidak terlepas dari senjakala Dinasti Ayyubiyah, yang melemah sesudah wafatnya Sultan Shalahuddin al-Ayyubi pada 1193. Memasuki abad ke-13, kekuasaan wangsa tersebut di Negeri Piramida diwarnai intrik politik yang kian gawat.

Antara tahun 1240 dan 1249, Sultan as-Shalih Ayyub menjadi penguasa Ayyubiyah. Semasa berkuasa, ia membina para budak (mamluk) dari Asia barat. Para hamba sahaya itu sejak masih berusia muda sudah dibinanya agar menjadi prajurit-prajurit tangguh di kemudian hari.

Mereka ditempatkan di sebuah pulau yang berada dekat muara Sungai Nil, yakni Pulau Raudhah. Di sana, sang raja membangun pusat-pusat pelatihan militer, ketangkasan, balai pendidikan, serta barak-barak sebagai tempat tinggal.

Dengan demikian, para mamluk yang direkrut as-Shalih Ayyub hidup terisolasi dari umumnya masyarakat lokal. Saat dewasa, walaupun statusnya sudah merdeka, mereka menjadi tentara yang sangat terlatih dan setia pada atasan.

Karena semasa kecil hingga remaja ditempatkan di sebuah pulau, mereka dikenal dengan sebutan “para budak lautan” atau al-mamalik al-bahriyyah. Dari situlah, nama Dinasti Mamluk Bahriyah berasal.

Banyak di antaranya yang diangkat menjadi panglima. Karena semasa kecil hingga remaja ditempatkan di sebuah pulau, kalangan tersebut juga dikenal dengan sebutan “para budak lautan” atau al-mamalik al-bahriyyah. Dari situlah, nama Dinasti Mamluk Bahriyah berasal.

Pada 1249, as-Shalih Ayyub gugur dalam sebuah perang melawan Tentara Salib di Dimyath. Untuk menjaga semangat juang pasukan Muslimin, istrinya yang bernama Syajar ad-Dur menyembunyikan berita tentang kematian sang suami.

Kemudian, wanita yang sesungguhnya berdarah non-ningrat itu mengangkat dirinya sendiri sebagai kepala pemerintahan de facto Ayyubiyah. Selama 80 hari, dinasti tersebut dipimpin oleh seorang ratu.

Meskipun terus dirahasiakan, kabar wafatnya as-Shalih Ayyub akhirnya bocor juga. Putra mahkota almarhum, Turansyah, lantas bertolak dari Syam —tempatnya bertugas sebagai gubernur— ke Mesir untuk mengambil haknya atas takhta. Namun, sesampainya di lembah Sungai Nil, anak tiri Syajar ad-Dur itu dibunuh sekelompok orang. Kuat dugaan, mereka adalah orang suruhan sang ratu.

Saat memimpin Mesir, Syajar ad-Dur melakukan berbagai kebijakan politik. Misalnya, menetapkan gelar Malikat al-Muslimin atau ratunya umat Islam untuk dirinya sendiri. Tidak ingin konfrontatif, ia masih memanfaatkan pamor suaminya yang berdarah biru untuk melegitimasi kekuasaan. Karena itu, dalam koin dinar yang diproduksi pada masanya masih tercantum nama as-Shalih Ayyub.

Kepemimpinan Syajar ad-Dur di Mesir mengundang kritik. Di Baghdad, khalifah Abbasiyah al-Musta’shim Billah sampai-sampai bersurat kepada masyarakat Mesir. Katanya, apakah tidak ada satu lelaki pun yang kompeten di Ayyubiyah sehingga mereka menjadikan seorang perempuan sebagai pemimpin?

Menanggapi surat tersebut, Syajar ad-Dur kemudian menjalankan taktik, yaitu menikah dengan seorang petinggi negeri. Pilihannya jatuh pada Izzuddin Aybak. Dalam rencananya, sang suami berperan sebagai raja, tetapi dengan kekuasaan simbolis belaka. Jalannya pemerintahan atas Negeri Ayyubiyah tetap berada di tangannya.

Sebelum “pernikahan politik” itu, Izzuddin Aybak sebenarnya telah memiliki seorang istri yang bernama Umm Ali dan seorang putra. Wanita itu kemudian diceraikannya sehingga terjadilah perkawinan dengan sang ratu Mesir.

Kepemimpinan Syajar ad-Dur di Mesir mengundang kritik. Di Baghdad, khalifah Abbasiyah al-Musta’shim Billah sampai-sampai bersurat kepada masyarakat Mesir.

Begitu menikah dengannya, Syajar ad-Dur terus memaksa Aybak untuk tidak lagi memikirkan Umm Ali dan anak kandungnya. Tidak ingin tunduk begitu saja, pria yang pernah menjadi komandan perang di Syam tersebut berencana menikah untuk kali ketiga. Bekas istri as-Shalih Ayyub itu lantas menganggap, keinginan itu isyarat ancaman untuk menggulingkan kekuasaannya.

Makin hari, pertentangan antara keduanya semakin tampak di hadapan publik. Karena tidak tahan lagi, Syajar ad-Dur kemudian berencana membunuh suaminya. Dan skenario pembunuhan itu berhasil.

Aybak tewas diserang orang suruhan Syajar ad-Dur saat sedang berada di kamar mandi. Kepada masyarakat umum, sang ratu lantas mengumumkan penyebab kematian Aybak adalah penyakit mendadak.

Izzuddin Aybak merupakan seorang komandan militer yang berdarah mamluk Turki. Tidak mengherankan apabila kematiannya membangkitkan dendam di kalangan prajurit mamluk terhadap Syajar ad-Dur. Beberapa hari kemudian, sang ratu Mesir tewas dibunuh oleh orang suruhan mereka.

Bukan ningrat

Menurut al-Usairy, di antara kekurangan Bani Mamluk ialah masih kuatnya perasaan rendah diri (inferiority complex) pada para tokohnya. Mereka menganggap diri bukan sebagai golongan ningrat. Identitas bekas budak masih membayanginya.

Dahulu, kebebasannya terenggut. Mereka saat masih belia bahkan diperjualbelikan layaknya barang. Walaupun sudah mengalami mobilitas sosial begitu mendewasa melalui pendidikan militer di Raudhah, tetap saja mereka merasa perlu untuk merangkul kalangan berdarah biru untuk memasuki lingkaran kekuasaan.

Sebagai contoh, kematian as-Shalih Ayyub sesungguhnya menandakan berakhirnya riwayat Dinasti Ayyubiyah. Lantas, istrinya yang berdarah mamluk, Syajar ad-Dur, naik sebagai pemimpin de facto.

Begitu menerima surat dari Abbasiyah, perempuan tersebut tidak kemudian bersikap konfrontatif, melainkan akomodatif terhadap kemauan sang khalifah. Maka menikahlah ia dengan seorang panglima mamluk.

Sebagai suami Syajar ad-Dur, Izzuddin Aybak tidak lantas memaklumkan dirinya sebagai raja simbolis maupun praktis. Ia justru mengangkat seorang bangsawan Ayyubiyah, Musa, sebagai sultan syar’i atau penguasa simbolis.

Barulah sesudah perpecahannya dengan Syajar ad-Dur kian melebar, Aybak seakan-akan gelap mata. Ambisinya semakin besar untuk memegang kendali total atas pemerintahan.

Maka dibunuhnya Musa sehingga benar-benar berakhirlah riwayat Daulah Ayyubiyah. Itulah alasannya, mantan suami Umm Ali ini tercatat dalam sejarah sebagai penguasa pertama Dinasti Mamluk Bahriyah.

Negeri yang beribu kota di Kairo tersebut mencapai masa yang damai di bawah pemerintahan Sultan al-Nasir Muhammad. Waktu itu, kaum Salibis dan Mongol semakin lemah karena kekalahan demi kekalahan yang dialami.

Terlebih lagi, masing-masing didera konflik internal. Pernah suatu ketika, pasukan Mongol yang dikomandoi Oljeitu merebut benteng-benteng Mamluk di Syam. Namun, mereka akhirnya pergi karena tidak kuat dengan cuaca panas ekstrem setempat pada 1313.

Selama 139 tahun, Mamluk Bahriyah berdiri. Hingga pada tahun 1377, sebuah huru-hara terjadi di Syam yang melibatkan beberapa petinggi negeri. Karena tak lekas dipadamkan, kerusuhan itu merambat sampai ke Mesir.

Kemudian pada 1389 kalangan militer mamluk, yang berkebangsaan Kaukasus utara, merebut kekuasaan. Itulah yang memunculkan Dinasti Mamluk Barjiyah.