Satu keluarga terdiri dari Ayah Ibu dan 5 orang anak

Top 1: Dalam sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu,... - Roboguru.

Top 1: Dalam sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu,... - Roboguru

Pengarang: roboguru.ruangguru.com - Peringkat 184

Ringkasan: Dalam sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan 5 orang anaknya akan makan bersama duduk mengelilingi meja bundar. Jika Ayah dan Ibu duduknya selalu berdampingan, maka banyak cara mereka duduk mengelilingi meja bundar tersebut adalah ...  . Mau dijawab kurang dari 3 menit? Coba roboguru plus!

Hasil pencarian yang cocok: Dalam sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan 5 orang anaknya akan makan bersama duduk mengelilingi meja bundar. Jika Ayah dan Ibu duduknya ... ...

Top 2: Soal Sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan 5 orang anak ...

Pengarang: zenius.net - Peringkat 129

Hasil pencarian yang cocok: Jawaban paling sesuai dengan pertanyaan Sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan 5 orang anak akan makan bersama duduk meng. ...

Top 3: dalam sebuah keluarga yang terdiri ayah,ibu,dan 5 orang anaknya ...

Pengarang: brainly.co.id - Peringkat 102

Ringkasan: . 2 × 5y - 7x + 10y - 7 + 8Pakai Cara yaaaNote : [email protected] banget yaaa hari ini T^T​ . ubahlah bentuk pecahan berikut menjadi pecahan biasa,langkah"nya seperti bagi"an menurun ya dan jawabannya tolong ya yang bisa a.23/4 b.31/6 c.45/7​ . suhu es batu -8⁰C setelah di keluarkan dari kulkas dan di letakan di teko. Es tersebut mencair dan suhunya menjadu 50c. Berapakah kenaikan tersebut?​ . buktikan identitas trigonometri berikut​ aku mi

Hasil pencarian yang cocok: Dalam sebuah keluarga yang terdiri ayah,ibu,dan 5 orang anaknya akan makan bersama duduk mengelilingi meja bundar.jika ayah dan ibu duduknya selalu ... ...

Top 4: Sebuah keluarga terdiri ayah, ibu dan 5 orang anak akan makan bersama ...

Pengarang: m.youtube.com - Peringkat 114

Hasil pencarian yang cocok: 10 Jun 2020 — Dalam sebuah keluarga yang terdiri Ayah, Ibu, dan 5 orang anaknya akan makan bersama duduk mengelilingi meja bundar. Jika Ayah dan Ibu ... ...

Top 5: Dalam sebuah keluarga yang terdiri Ayah, Ibu, dan 5 orang anaknya ...

Pengarang: masdayat.net - Peringkat 150

Ringkasan: . Home. / Matematika. / Soal . Dalam sebuah keluarga yang terdiri Ayah, Ibu, dan 5 orang anaknya akan makan bersama duduk mengelilingi meja bundar. Jika Ayah dan Ibu duduknya selalu berdampingan, maka banyak cara mereka duduk mengelilingi meja bundar adalah ... Banyak cara mereka duduk mengelilingi meja bundar jika Ayah dan Ibu duduknya berdampingan adalah: . ----------------#---------------- . Jangan lupa koment

Hasil pencarian yang cocok: Sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan 5 orang anak akan makan bersama duduk mengelilingi meja bundar. Jika Ayah dan Ibu duduknya selalu berdampingan, ... ...

Top 6: Latihan PAS Ganjil Matematika Wajib XII IPA Quiz - Quizizz

Pengarang: quizizz.com - Peringkat 157

Hasil pencarian yang cocok: Ringkasan: Dalam sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan 5 orang anaknya akan makan bersama duduk mengelilingi meja bundar. Jika Ayah dan Ibu ... ...

Top 7: Top 10 sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan 5 orang anak akan ...

Pengarang: dimanakahletak.com - Peringkat 210

Ringkasan: Top 1: Dalam sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu,... - RoboguruPengarang: roboguru.ruangguru.com - Peringkat184Ringkasan: Dalam sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan 5 orang anaknya akan makan bersama duduk mengelilingi meja bundar. Jika Ayah dan Ibu duduknya selalu berdampingan, maka banyak cara mereka duduk mengelilingi meja bundar tersebut adalah ...  .Hasil pencarian yang cocok:Dalam sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan 5 orang anaknya akan makan ber

Hasil pencarian yang cocok: Sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan 5 orang anak akan makan bersama duduk mengelilingi meja bundar. Jika Ayah dan Ibu duduknya selalu ... ...

Top 8: Sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan 5 orang anak akan ...

Pengarang: op.dhafi.link - Peringkat 319

Ringkasan: OP Dhafi QuizFind Answers To Your Multiple Choice Questions (MCQ) Easily at op.dhafi.link. with Accurate Answer. >> . Ini adalah Daftar Pilihan Jawaban yang Tersedia : . Jawaban terbaik adalah B. 240.. Dilansir dari guru Pembuat kuis di seluruh dunia. Jawaban yang benar untuk Pertanyaan ❝Sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan 5 orang anak akan makan bersama duduk mengelilingi meja bundar. Jika Ayah dan Ibu duduknya selalu berdampingan, maka banyaknya cara mereka duduk mengel

Hasil pencarian yang cocok: Home / Matematika / Soal Dalam sebuah keluarga yang terdiri Ayah, Ibu, dan 5 orang anaknya akan makan bersama duduk mengelilingi meja ... ...

Top 9: Sebuah keluarga terdiri dari Ayah Ibu dan 5 orang anak dengan 2 anak ...

Pengarang: adaberapa.com - Peringkat 173

Ringkasan: . Home. /Matematika. /Soal . Dalam sebuah keluarga yang terdiri Ayah, Ibu, dan 5 orang anaknya akan makan bersama duduk mengelilingi meja bundar. Jika Ayah dan Ibu duduknya selalu berdampingan, maka banyak cara mereka duduk mengelilingi meja bundar adalah ... Banyak cara mereka duduk mengelilingi meja bundar jika Ayah dan Ibu duduknya berdampingan adalah: . ----------------#---------------- . Jangan lupa komentar & sarannya . Email:. Kunjungi terus: masdayat.net OK

Hasil pencarian yang cocok: N/A ...

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Kelompok sosial terkecil yang ada di dalam masyarakat adalah keluarga. Idealnya suatu keluarga terdiri atas ayah, ibu dan juga anak-anak. Tetapi kenyataannya tidak semua keluarga dapat memiliki anggota keluarga yang lengkap. Hal tersebut berarti keluarga dengan anggota yang lengkap tidak selalu dapat dipertahankan dan diwujudkan. Banyak dari orang tua yang karena kondisi-kondisi tertentu harus mengasuh, membesarkan dan mendidik anaknya sendirian saja atau menjadi single-parent (Hurlock,1997). Mereka menjadi orang tua tunggal bisa saja disebabkan perceraian atau bisa juga ditinggal oleh sang kekasih yang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya maupun karena pasangannya meninggal (Deacon dan Firebaugh, 1988). Model keluarga single-parent kini sudah tidak asing lagi, di Barat sejak dasawarsa 60-an jumlah keluarga single-parent meningkat cukup tajam. Berdasarkan data, lebih dari 84% single-parent adalah kaum wanita. Mereka berperan sebagai kepala keluarga merangkap sebagai ibu rumah tangga, dengan kata lain wanita menjalankan peran ganda. Fakta tersebut akan menunjukkan hal sama pada negaranegara lain termasuk Indonesia (www.redaksikabarindonesia.com). Lembaga Statistik

1

Universitas Kristen Maranatha

2

Amerika Serikat juga melaporkan, jumlah keluarga single-parent di AS pada tahun 2000 mencapai lebih dari 12 juta keluarga. Sementara itu, jumlah janda di Amerika Serikat antara tahun 1970 hingga 2000 mengalami peningkatan serius dari 3 juta menjadi 10 juta janda. Dari sekian banyak single-parent, sebanyak 44% berstatus cerai atau berpisah, 33% tidak menikah, 22% menikah tapi ditinggalkan begitu saja dan 1% pasangannya meninggal. Sebanyak 37,7% single-parent berusia di atas 40 tahun. Data statistik di Eropa juga menunjukkan bahwa lebih dari 50% penduduk negara-negara Eropa pada dekade terakhir abad ke-20 hidup dalam keluarga singleparent. Tetapi sejauh ini data yang dapat diperoleh hanya sebatas di Amerika dan negara-negara lain saja karena belum ada data sedetil ini mengenai single-parent di Indonesia. Hal tersebut disebabkan belum ada lembaga riset yang mendatanya secara khusus (Merry Magdalena, 2010). Bila dilihat dari jenisnya, single-parent terbagi dua yaitu single-father dan single-mother. Keduanya memiliki kesulitan dan tantangan masing-masing. Berdasarkan penuturan KP, seorang single-mother di Jakarta, menjadi single-parent dan menjalankan peran ganda bukanlah hal mudah, terlebih bagi seorang wanita yang harus membesarkan dan memberikan nafkah bagi anaknya tanpa pendampingan dari pasangan (Komunitas “X”/ yahoogroups, 2009). Selain tantangan mengenai peran ganda tersebut, tidak dapat memungkiri terkadang ada anggapan-anggapan memojokkan yang muncul dari lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan belum semua masyarakat Indonesia dapat menerima fakta seorang ibu yang membesarkan anak

Universitas Kristen Maranatha

3

tanpa pasangan dan terkadang menimbulkan kasak-kusuk, cibiran ataupun gosip yang berujung pada diskriminasi (Merry Magdalena, 2010). Seorang single-mother di kota Jakarta menuturkan pengalamannya bahwa hal yang paling berat adalah saat harus membagi waktu antara pekerjaan, memperhatikan anak-anak dan pelayanan gerejawi. Sementara bagi seorang single-mother lainnya, sisi emosilah yang sering membuatnya terganggu, apalagi jika ibu dari dua putri berusia remaja ini melihat "pemandangan indah" dari keluarga lain yang utuh (bapak, ibu, dan anak-anak) dan terlihat bahagia. Lain halnya dengan seorang single-mother dari kota Surabaya yang tidak terlalu merasa kesulitan dalam menjalani kehidupannya sebagai orang tua tunggal karena merasa memiliki banyak dukungan dari orang-orang di sekelilingnya (http://gerejastanna.org). Sepenggal contoh di atas menunjukkan bahwa pengalaman yang serupa akan dihayati secara bervariasi oleh setiap individu dan akan dipengaruhi pula oleh berbagai faktor lainnya. Menurut Okvina dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK)-IPB dalam blog-nya, tanpa adanya pasangan seorang single-mother harus memenuhi kebutuhan psikologis anaknya (pemberian kasih sayang, perhatian, rasa aman) dan di sisi lain ia harus memenuhi semua kebutuhan fisik anaknya (kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain yang berkaitan dengan materi). Single-mother pun harus siap dan mampu untuk mengatur waktu, yaitu kapan harus menyediakan waktu untuk mengurus rumah tangga, kapan waktu bagi anak, kapan harus bekerja dan sebagainya. Tugas yang seharusnya dipikul berdua dengan

Universitas Kristen Maranatha

4

pasangan harus diemban sendiri dan mereka mau tidak mau harus mampu berperan sebagai ibu sekaligus ayah, sementara fungsi ayah dengan ibu berbeda di dalam keluarga. Ayah sebagai kepala keluarga biasanya menjadi figur otoritas yang memberi rasa aman dan perlindungan dalam keluarga, ayah juga sebagai pembuat keputusan dan sebagai tulang punggung keluarga yang memberi nafkah bagi anggota keluarganya. Ibu sebagai kepala rumah tangga bertugas mengurus pekerjaan rumah tangga, biasanya ibu sebagai figur yang penuh kasih sayang dan pengertian. Ibu juga bertugas untuk mendidik dan membesarkan anak-anak (Wanita Sebagai Singleparent dalam

Membentuk

Anak

yang

Berkualitas,

2008,

http://okvina.wordpress.com/page/10/). Adanya peran ganda yang harus diemban oleh seorang single-mother memunculkan salah satu tantangan terbesar yang seringkali menjadi kendala besar dalam menjalani kehidupannya, yaitu masalah ekonomi. Berdasarkan data biro sensus Beverly La Haye Institute, 2002, kemiskinan keluarga single-parent meningkat 8 kali lipat dibandingkan dengan peningkatan kemiskinan keluarga dengan orang tua lengkap (www.beverlylahayeinstitute.org). Sebanyak 79% ibu tunggal adalah pekerja dan kepala rumah tangga, 50% adalah pekerja penuh dan 29% pekerja paruh waktu. Dan dari sekitar 84% wanita single-parent, 27.7% di antaranya hidup dalam kemiskinan. Kesulitan ekonomi ini salah satunya dikarenakan tidak semua wanita bekerja atau memiliki penghasilan sendiri sebelum mereka menjadi seorang singlemother dan setelah adanya perubahan status tersebut mereka mau tidak mau harus

Universitas Kristen Maranatha

5

mencari penghidupan yang layak bagi anak-anak dan dirinya sendiri. Mencari pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari bukanlah hal yang sederhana karena tidak semua orang memiliki kualifikasi latar belakang pendidikan atau keterampilan yang memadai untuk memperoleh pekerjaan yang diharapkan. Meskipun demikian, status dan kondisi sebagai single-mother tidak selalu dimaknai sebagai situasi sulit dan tidak menyenangkan karena ternyata sebagian wanita yang menjadi single-mother menganggap situasi ini sebagai suatu tantangan dan kebanggaan tersendiri. Kebanggaan akan usaha dan kerja keras untuk menghadapi permasalahan rumah tangga tanpa pasangan hidup dan untuk menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya yang dapat memberikan kasih sayang dan juga penghidupan yang baik. Kebanggaan tersebut akan semakin besar apabila mereka berhasil membina dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Beberapa tahun terakhir ini, kaum single-parent di Indonesia mulai membentuk komunitas, forum, kelompok diskusi maupun konsultasi, seperti milist, blog hingga grup di situs-situs jejaring sosial. Perlahan mereka mulai berani untuk bercerita dan berkonsultasi satu sama lain seputar problem keseharian single-parent di forum maupun komunitas-komunitas tersebut. Kebanyakan dari penggiat forum adalah wanita yang merupakan single-mother. Banyak dari mereka kemudian bergabung dengan komunitas atau perkumpulan bagi single-parent agar memiliki teman untuk bertukar pikiran dan berbagi karena tidak memiliki tempat untuk

Universitas Kristen Maranatha

6

berbagi, berkeluh kesah dan bersandar yang seharusnya dapat dilakukan dengan pasangannya. Salah satu komunitas bagi para single-parent adalah Komunitas “X”. Komunitas ini adalah suatu perkumpulan yang berawal dari milist yang diminati hanya sekitar 40 orang saja. Proses publikasi milist ini pun awalnya melalui daftar kontak yang ada di e-mail masing-masing anggota. Setelah tiga tahun berdiri, anggota komunitas ini pun bertambah hingga kini telah mencapai sekitar 900 orang yang mayoritas dari anggotanya adalah wanita. Anggota komunitas ini bukan hanya dari Indonesia saja melainkan ada anggota-anggota yang berdomisili di Dubai, Jepang, Filipina sampai Yunani. Menurut moderator dari komunitas ini, tujuan awal Komunitas ”X” hanya berusaha menuangkan perhatian pada para single-parent lewat blog yang ditulisnya. Hal tersebut dilatarbelakangi keprihatinannya karena ada perilaku dari rekan-rekan single-parent yang dirasa mengkhawatirkan karena putus asa dengan keadaan, seperti hendak bunuh diri. Jalan tersebut sering kali dipilih sebagai solusi karena tiada teman untuk berbagi dan milist dirasa dapat menjadi wadah untuk saling menyemangati. Komunitas “X” ini dipilih oleh Peneliti karena berdasarkan yang tertera di blog resminya, komunitas ini merupakan forum bagi single-parent yang paling aktif serta memiliki anggota dengan jumlah paling banyak di Indonesia saat ini (http //:KOMUNITAS”X”//Bataviase.co.id.mht). Setiap individu akan mengevaluasi peristiwa hidup yang dialaminya. Hasil dari evaluasi individu tersebut, oleh Ryff, (1989) disebut dengan Psychological Well-

Universitas Kristen Maranatha

7

Being (PWB) atau kesejahteraan psikologis. PWB merupakan hasil penilaian individu terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya bahwa dirinya mampu melakukan penerimaan diri (Self-Acceptance), mampu menjalin relasi positif dengan orang lain (Positive Relation with Others), mandiri (Autonomy), menguasai lingkungan (Environmental Mastery), memiliki tujuan hidup (Purpose in Life) dan juga pertumbuhan pribadi (Personal Growth) (Ryff, 2000). PWB tidak berdiri sendiri melainkan dipengaruhi beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, status sosialekonomi, perubahan status marital dan kepribadian individu bersangkutan sehingga PWB individu tidak hanya bergantung pada status individu apakah dirinya adalah single-mother atau bukan. Berdasarkan survei awal melalui penyebaran kuesioner via e-mail kepada 20 orang anggota, sebesar 75% (15 orang) dari single-mother di Komunitas ”X” dapat menerima kebaikan dan keburukan yang ada di dalam dirinya, tidak mengeluh ataupun merasa tidak puas dengan kehidupannya meskipun memiliki pengalaman kurang menyenangkan, mereka tidak meratapi hal tersebut tetapi tetap menjalani hidupnya dan mencoba untuk selalu bersyukur (Self-Acceptance). Sedangkan 25% (5 orang) dari single-mother di Komunitas “X” merasa terkadang ada rasa marah dan tidak dapat menerima pengalaman tertentu di dalam hidupnya. Sebesar 80% (16 orang) single-mother di Komunitas merasa mampu membangun rasa percaya dalam menjalin relasi dengan orang lain seperti berbagi dengan rekan-rekan di milist ataupun keinginan membina rumah tangga lagi dengan

Universitas Kristen Maranatha

8

orang baru. Single-mother ini menilai keberadaan komunitas berdampak positif karena banyak yang merasa mendapat pengalaman dan pelajaran berharga berkat sharing dari sesama single-parent. Anggota yang tadinya merasa sedih dan putus asa berkepanjangan kembali bersemangat berkat rekan-rekan di komunitas yang selalu memberikan masukan dan juga support. Intinya keberadaan komunitas dimaknai positif sebagai sarana berbagi dan juga mengembangkan diri karena banyak informasi berguna yang dapat saling menguatkan antar anggota. Sedangkan 20% (4 orang) lainnya merasa enggan membuka diri untuk menjalin relasi yang hangat dengan orang lain, mereka hanya memiliki beberapa hubungan yang akrab dengan sedikit orang. Keikutsertaan di milist sejauh ini dirasa kurang memiliki pengaruh positif yang cukup signifikan karena komunikasi hanya sebatas via internet dan belum ada kegiatan yang secara nyata dilakukan untuk pengembangan diri para anggota. Hal tersebut menunjukkan gambaran Positive Relation with Others para single-mother di Komunitas ”X”. Pada usia dewasa, individu memiliki tuntutan untuk dapat bersikap mandiri dalam kehidupannya termasuk dalam pengambilan keputusan maupun kehidupannya secara umum (Autonomy). Sebesar 70% (14 orang) single-mother merasa dapat mengatur dirinya sendiri dan tidak bersikap konformis dengan lingkungannya, misalnya dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan pemikiran pribadinya meskipun hal itu berbeda dengan pemikiran atau saran dari orang-orang terdekat mereka seperti orang tua atau saudara atau teman. Sedangkan 30% (6 orang) sisanya

Universitas Kristen Maranatha

9

merasa belum cukup mampu untuk bersikap mandiri dalam pendirian maupun pengambilan keputusan dan sering dibantu oleh orang di sekitarnya seperti orang tua dan teman. Single-mother

yang

merasa

dirinya

mampu

mengatur

lingkungan

kehidupannya dengan memiliki pekerjaan yang baik serta cukup dapat memenuhi kebutuhan finansialnya (Environmental Mastery) sebanyak 55% (11 orang), sedangkan 45% (9 orang) lainnya merasa kesulitan dengan masalah ekonomi sehingga mereka harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan finansial dan ada pula yang kemudian memutuskan tinggal dengan orang tuanya. Mereka juga harus memenuhi tugas pengasuhan anak yang harus dibagi dengan masalah pekerjaan sehingga ada dari single-mother yang menitipkan anak mereka kepada orang tuanya dan hanya bertemu di akhir minggu atau waktu-waktu tertentu saja. Sebesar 85% (17 orang) single-mother merasa dirinya memiliki kejelasan tujuan hidup yang cenderung terfokus pada keinginan untuk membesarkan dan mendidik anak-anak mereka dengan baik, misalnya ingin anak mereka tegar, berprestasi dan taat beragama. Sebesar 10% (2 orang) lainnya memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai namun relatif tidak spesifik. Satu orang lainnya 5% memiliki tujuan yang berorientasi pada karir dan pengembangan hidupnya di masa mendatang. Gambaran tersebut menunjukkan Purpose in Life para single-mother di Komunitas ”X”. Purpose in Life membuat mereka memiliki sesuatu yang berarti bagi hidup

Universitas Kristen Maranatha

10

mereka dan memperjuangkan tujuan tersebut bagi diri mereka dalam menjalani kehidupannya. Single-mother di Komunitas “X” yang merasa dirinya terus ingin mengembangkan potensi diri misalnya dengan mengikuti kursus bahasa, banyak membaca dan terbuka pada pergaulan luas salah satunya dengan menjadi anggota milist yang dirasa banyak memberikan masukan dan pengetahuan baru untuk pengembangan diri maupun anak para single-mother (Personal Growth) sebesar 80% (16 orang). Sedangkan 20% (4 orang) sisanya merasa sudah cukup dengan keadaan dirinya saat ini, merasa kehidupannya sudah cukup disibukkan dengan berbagai kegiatan yang menyerap waktu dan tenaga sehingga tidak banyak yang dapat mereka lakukan. Berdasarkan pemaparan di atas, single-mothers memiliki gambaran yang bervariasi untuk setiap dimensi yang akan mempengaruhi PWB mereka. Oleh karena itu peneliti bermaksud untuk mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran PWB pada single-mothers di Komunitas “X”.

1.2. Identifikasi Masalah Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran PWB pada single-mothers di Komunitas “X”.

Universitas Kristen Maranatha

11

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Mengetahui PWB pada single-mothers di Komunitas “X”.

1.3.2 Tujuan Mengetahui PWB single-mothers di Komunitas “X” yang dikaitkan dengan faktorfaktor yang mempengaruhinya berdasarkan dimensi-dimensi PWB.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis 1.4.1.1 Memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan teori-teori Psikologi khususnya Psikologi Positif yang berkaitan dengan pengetahuan tentang PWB. 1.4.1.2 Memberikan sumbangan informasi bagi teori Psikologi Keluarga terkait dengan wanita yang menjadi single-mother di Komunitas “X”. 1.4.1.3 Memberikan masukan kepada peneliti lain yang memiliki minat melakukan penelitian lanjutan mengenai PWB dan single-mothers di Komunitas “X”.

1.4.2 Kegunaan Praktis 1.4.2.1 Memberikan informasi dan masukan pada single-mothers di Komunitas “X”, agar

mereka

dapat

mengetahui

gambaran secara

umum

mengenai

Universitas Kristen Maranatha

12

kesejahteraan psikologisnya dan dapat menjadi bahan evaluasi bagi mereka dalam rangka meningkatkan kesejahteraan psikologis. Pemberian informasi kepada single-mothers anggota komunitas dilakukan melalui moderator dan pemilik milis untuk kemudian di-posting ke forum. 1.4.2.2 Memberikan informasi mengenai PWB anggota Komunitas “X” yang menjadi responden dan memberikan masukan mengenai dimensi-dimensi yang perlu mendapat perhatian khusus (agar dapat ditingkatkan). Pemberian informasi tersebut dapat dilakukan apabila ada dari anggota milist yang secara khusus ingin mengetahui hasil dari pengukuran PWB-nya dan peneliti akan langsung mengadakan kontak

lewat

jalur

pribadi

(e-mail)

dengan

anggota

bersangkutan.

1.5 Kerangka Pemikiran Kehidupan keluarga seringkali menghadapi kondisi-kondisi tertentu sehingga banyak dari orang tua harus mengasuh, membesarkan dan mendidik anaknya sendirian saja atau menjadi single-parent (Hurlock,1997). Keluarga single-parent dapat didefinisikan sebagai suatu keluarga dimana orang tua hidup sendiri dengan anaknya, baik sendiri ataupun di dalam rumah tangga yang lebih besar tanpa adanya pasangan/partner (Single-Parent Families-Demographic Trends, Mother-only And Father-only Families, Challenges Of Single-parenting-Family, Family, Viewed,

Universitas Kristen Maranatha

13

Dependent, and Defined, 2002). Single-mother berarti seorang wanita yang menjadi orang tua (ibu) atas anaknya tanpa adanya pendamping/partner. Banyak faktor yang bisa menjadikan wanita sebagai single-mother, di antaranya perceraian, pasangannya meninggal, perpisahan atau hamil di luar pernikahan (Stephen A. Anderson, 2003). Berbagai hal akan dialami oleh seorang single-mother dan harus dilaluinya tanpa adanya pendampingan dari pasangan sehingga seringkali status single dikonotasikan sebagai sesuatu yang sulit dan penuh tantangan. Biasanya, kesulitan utama yang dialami oleh single-mother adalah adanya peningkatan kesulitan ekonomi yang akan menyebabkan stres dan menurunkan kemampuan orang tua dalam mengurus dan menentukan batasan yang efektif bagi anak. Kesulitan ekonomi bukanlah satu-satunya masalah karena single-mother memiliki dukungan sosial dan emosional yang lebih sedikit dibandingkan orang tua lengkap yang memperoleh dukungan dari pasangan. Setiap manusia memiliki kebutuhan untuk dapat berbagi cerita atau berkeluh kesah mengenai keseharian serta masalah mereka begitu juga dengan para single-mother. Bagi para single-mothers, mereka memperolehnya lewat orang-orang sekitar seperti sanak keluarga, teman, rekan kerja maupun lewat kelompok/forum perkumpulan khusus untuk single parent seperti milist. Salah satu milist yang banyak diminati oleh single-parent di Indonesia adalah Komunitas “X” yang anggotanya didominasi oleh wanita yang merupakan single-mother.

Universitas Kristen Maranatha

14

Berbagai kondisi yang mungkin dialami oleh seorang single-mother dapat mempengaruhi penilaian mereka terhadap kehidupan yang mereka jalani. Hal ini disebut Psychological Well-Being, yaitu penilaian seseorang terhadap pengalamanpengalaman hidupnya. Psychological Well-Being merupakan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu untuk mengarahkan tingkah laku sendiri, mampu mengatur lingkungannya, dan memiliki tujuan dalam hidup (Ryff, 1989). Individu dapat menilai diri dan pengalaman hidup mereka lewat enam dimensi yaitu penerimaan diri (Self Acceptance), pembentukan hubungan sosial (Positive Relation with Others), kemandirian dalam berpikir dan bertindak (Autonomy), kemampuan untuk mengelola lingkungan yang kompleks sesuai dengan kebutuhan pribadi (Environmental Mastery),

tujuan

hidup

(Purpose

in

Life)

dan yang terakhir adalah pertumbuhan dan perkembangan sebagai pribadi (Personal Growth). Self-Acceptance merupakan dimensi single-mothers di Komunitas “X” penilaian sejauh mana dirinya melakukan penerimaan diri yang baik, yaitu ditandai dengan single-mothers yang menerima diri apa adanya, menerima kelebihan dan kekurangan dirinya serta memiliki perasaan positif mengenai masa lalu (Ryff,1989a) maka kemampuan tersebut memungkinkan single-mothers di Komunitas “X” untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut

Universitas Kristen Maranatha

15

menurut Ryff (1989) menandakan nilai yang tinggi pada dimensi Self-Acceptance. Sedangkan single-mothers di Komunitas “X” dengan derajat Self Acceptance yang rendah, akan mengevaluasi dirinya tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa dengan masa lalu dan ingin menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini. Dimensi Positive Relation with Others, yaitu evaluasi single-mothers di Komunitas “X” mengenai penilaian terhadap kemampuannya untuk dapat saling percaya dan menjalin hubungan hangat dengan orang lain, selain itu juga menekankan adanya kemampuan untuk mencintai orang lain. Single-mothers di Komunitas “X” dengan derajat Positive Relation with Others yang tinggi, mengevaluasi dirinya berhasil menjalin relasi yang baik dan hangat, merasa puas, percaya untuk berhubungan dengan orang lain, memikirkan kesejahteraan orang lain, mampu berempati, merasakan afeksi dan intimasi dalam suatu hubungan serta dapat saling mengerti, memberi dan menerima. Sedangkan single-mothers di Komunitas “X” dengan derajat Positive Relation with Others yang rendah, mengevaluasi dirinya tidak nyaman bila berada dekat dengan orang lain, merasa terisolasi, frustrasi jika berhubungan dengan orang lain dan tidak dapat terikat dengan orang lain. Selain itu, di dalam kesejahteraan psikologis terdapat pula dimensi Autonomy, yaitu evaluasi single-mothers di Komunitas “X” terhadap kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Single mothers di Komunitas “X” yang mengevaluasi diri mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat

Universitas Kristen Maranatha

16

mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi, menandakan bahwa mereka memiliki derajat yang tinggi dalam dimensi Autonomy. Sebaliknya, single-mothers di Komunitas “X” dengan derajat Autonomy yang rendah akan mengevaluasi dirinya memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis. Dimensi Environmental Mastery merujuk pada evaluasi terhadap penilaian single-mothers di Komunitas “X” terhadap kemampuannya untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan yang kompleks, menekankan kemampuannya untuk maju di dunia dan mengubahnya secara kreatif melalui aktivitas fisik atau mental. Single mothers di Komunitas “X” dengan derajat Environmental Mastery yang tinggi akan mengevaluasi dirinya mampu mengatur lingkungan dan aktivitas luar, memanfaatkan kesempatan yang datang secara efektif, mampu memilih dan menciptakan konteks yang cocok dengan kebutuhan dan nilai personal. Sedangkan single-mothers di Komunitas “X” dengan derajat Environmental Mastery yang rendah, akan mengevaluasi dirinya mengalami kesulitan dalam mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau memperbaiki lingkungan, mengabaikan kesempatan yang hadir dan tidak dapat mengontrol pengaruh dari luar. Dimensi Purpose in Life, menjelaskan evaluasi individu terhadap kemampuan untuk mencapai tujuan dalam hidup. Single-mothers di Komunitas “X” dikatakan memiliki Purpose in Life dengan derajat yang tinggi jika mereka mengevaluasi dirinya mampu menetapkan tujuan hidup, menganggap masa kini dan masa lalu

Universitas Kristen Maranatha

17

berarti serta memiliki keyakinan hidup. Sedangkan single-mothers di Komunitas “X” dengan derajat Purpose in Life yang rendah mengevaluasi dirinya kurang memiliki keberartian hidup, kurang memiliki tujuan hidup, tidak menganggap tujuan hidupnya di masa lalu dan tidak memiliki keyakinan dalam hidup. Dimensi Personal Growth adalah evaluasi single-mothers di Komunitas “X” terhadap usahanya yang berkelanjutan untuk mengembangkan keterampilan dan talentanya (Ryff, 1989a). Single-mother di Komunitas “X” dengan derajat Personal Growth yang tinggi mengevaluasi dirinya selalu berkeinginan mengembangkan diri, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki serta selalu berusaha memperbaiki diri dan tingkah laku. Sedangkan single-mothers di Komunitas “X” dengan derajat Personal Growth yang rendah adalah yang mengevaluasi dirinya mengalami personal stagnation, yaitu keadaan ketika seseorang tidak dapat meningkatkan dan mengembangkan diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu usia, status sosial-ekonomi, perubahan status marital dan kepribadian individu. Faktor usia mempengaruhi dimensi Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life dan Personal Growth (Ryff 1989). Pertambahan usia yang dialami individu, cenderung membuat seseorang merasa dirinya lebih matang, mandiri dan mampu dalam mengendalikan lingkungannya sehingga dapat berpengaruh terhadap penilaian

Universitas Kristen Maranatha

18

individu tersebut mengenai kemampuannya dalam mengatur lingkungan dan aktivitas yang dilakukannya (Environmental Mastery) maupun dalam kemandirian individu (Autonomy). Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan single-mother di Komunitas “X” untuk menetapkan tujuan di dalam hidup (Purpose in Life) dan keinginan untuk mengembangkan diri, keterbukaan terhadap pengalaman baru (Personal Growth) mengalami penurunan khususnya dari mid-life ke old-age (Ryff, 1989b, 1991; Ryff and Keyes, 1995). Hal ini dapat dikarenakan semakin bertambahnya usia, single-mother di Komunitas “X” telah merasa nyaman dengan posisi/kehidupannya sehingga tidak terlalu terpacu lagi untuk menetapkan tujuan maupun mengembangkan dirinya. Faktor status sosial-ekonomi, terutama tingkat pendidikan mempengaruhi single-mothers di Komunitas “X” dalam penerimaan diri, termasuk kekurangan dan kelebihannya (dimensi Self-Acceptance) (Ryff, 1994). Status sosial seperti tingkat pendidikan maupun ekonomi berbicara mengenai kelas sosial seseorang di lingkungan/masyarakat. Status tersebut dapat membuat seorang single-mother di Komunitas “X” yang memiliki tingkat pendidikan maupun ekonomi dari kalangan menengah ke atas merasa bahwa ia memiliki sesuatu yang lebih dan hal tersebut membuatnya bangga akan dirinya. Mereka memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial lebih rendah. Single-mothers di Komunitas “X” yang memiliki tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki aspirasi tujuan hidup yang rendah pula. Status

Universitas Kristen Maranatha

19

sosial para single-mother sebagai seorang janda juga dapat mempengaruhi bagaimana penilaian mereka dalam menerima kondisi diri apa adanya. Faktor ini juga mempengaruhi keinginan individu untuk terus mengembangkan diri dan terbuka terhadap pengalaman baru di dalam hidup (Personal Growth), yaitu seseorang dengan status sosial yang relatif lebih tinggi biasanya cenderung memiliki kesempatan dan pemikiran yang lebih maju dalam usahanya mengembangkan diri karena memiliki kapasitas ataupun fasilitas yang relatif lebih mendukung. Kemampuan single-mothers di Komunitas “X” dalam menetapkan dan memiliki tujuan dalam hidup (Purpose in Life) juga dipengaruhi oleh faktor status sosio-ekonomi. Berdasarkan penelitian Bumpass dan Aquilino tahun 1995, ditemukan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki aspirasi tujuan hidup yang rendah pula. Mereka yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial lebih rendah. Single-mothers di Komunitas “X” yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi akan cenderung lebih yakin terhadap tujuan hidupnya dan juga perkembangan pribadinya karena golongan kelas ekonomi bawah cenderung lebih sering terkena penyakit fisik maupun mental dan juga tekanan hidup yang lebih besar (Adler et al., 1994; McLeod & Kessler, 1990). Perubahan pada status marital dapat mempengaruhi Psychological Well-Being seseorang. Perubahan tersebut dapat berupa pernikahan ataupun perceraian (Barchrach, 1975, Bloom, Asher dan White, 1978; Kitson dan Raschke, 1981;

Universitas Kristen Maranatha

20

Segraves, 1985). Pasangan menikah yang kemudian bercerai memiliki Psychological Well-Being yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pasangan yang pernikahannya bertahan (Jurnal Marital Disruption and Psychological Well-Being; A Panel Study, Doherty, dkk., 1989). Single-mothers di Komunitas “X” mengalami perubahan status marital, yaitu menikah dan menjadi single kembali karena berbagai penyebab baik itu bercerai ataupun ditinggalkan pasangan (pergi/meninggal). Sebagian dari single-mothers di Komunitas “X” bahkan tidak mengalami pernikahan, tetapi mereka berubah status menjadi seorang ibu karena hamil di luar nikah. Adanya perubahan status tersebut akan memberikan dampak yang berbeda-beda bagi setiap single-mother di Komunitas “X”. Perubahan status yang dialami single-mothers di Komunitas “X” akan berdampak pada berbagai bidang kehidupan mereka karena mereka harus melakukan berbagai penyesuaian dengan kondisi sebagai singlemothers. Schmute dan Ryff (1997) menemukan bahwa trait dari Big Five Personality (Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism dan Openness to Experience) memiliki hubungan dengan Psychological Well-Being individu. Faktor kepribadian adalah suatu predisposisi bawaan yang melekat pada diri individu sehingga akan berpengaruh pada bagaimana individu bereaksi dan menanggapi lingkungan serta pengalamannya. Single-mothers di Komunitas “X” yang Neurotic memiliki peluang untuk mengevaluasi dirinya secara negatif dibandingkan dengan orang Extraversion yang cenderung didominasi oleh perasaan positif, energik dan

Universitas Kristen Maranatha

21

dorongan untuk menjalin relasi dengan orang-orang di sekitarnya. Openness to Experience (sejalan dengan Extraversion) muncul sebagai prediktor yang kuat dalam dimensi Personal Growth, yaitu dengan keterbukaan pada pengalaman baru yang disertai nilai imajinasi, pemikiran luas dan apresiasi yang tinggi terhadap seni. Sedangkan individu yang Agreeableness biasanya akan ramah, pemaaf, penyayang, memiliki kepribadian selalu mengalah dan berkaitan dengan dimensi Positive Relations with Others. Autonomy, diprediksi dipengaruhi oleh bermacam-macam trait, tetapi yang paling kuat adalah Neuroticism. Orang yang Neuroticism biasanya akan menunjukkan self-esteem rendah, mudah cemas, mudah marah dan reaktif sehingga mempengaruhinya untuk mandiri dalam membuat keputusan (Keyes dan Shmotkin, 2002).

Universitas Kristen Maranatha

22

1.5.1 Bagan Kerangka Pikir

Tinggi Single-mothers di Komunitas “X”

Psychological Well-Being Rendah

a. usia b. status sosio-ekonomi c. perubahan status marital d. kepribadian

1. Self-Acceptance 2. Positive Relation with Others 3. Autonomy 4. Environmental Mastery 5. Purpose in Life 6. Personal Growth

1.1 Bagan Kerangka Pikir

Universitas Kristen Maranatha

23

1.6 Asumsi

 Psychological Well-Being pada single-mothers di Komunitas “X” berbedabeda, mereka dapat menunjukkan Psychological Well-Being yang tinggi ataupun rendah.

 Psychological Well-Being dapat ditentukan berdasarkan dimensi Self Acceptance, Positive Relation with Others, Autonomy, Environmenta Mastery, Purpose in Life dan Personal Growth.

 Derajat dimensi-dimensi Psychological Well-Being, yaitu Self-Acceptance, Positive Relations with Others, Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life dan Personal Growth pada setiap single-mothers dapat bervariasi.

 Dimensi-dimensi Psychological Well-Being single-mothers di Komunitas “X” dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu usia, status sosio-ekonomi, perubahan status marital dan kepribadian individu.

Universitas Kristen Maranatha