Salah satu perwira tinggi tni ad yang menjadi korban pemberontakan g30s pki yaitu

KOMPAS.com - Tanggal1 Oktober 1965 merupakan hari yang akan terus diingat dalam alur sejarah Indonesia, karena terjadi tragedi besar, yaitu peristiwa G30S.

G30S adalah operasi pembunuhan para jenderal angkatan darat yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dini hari.

Peristiwa G30S tidak hanya berlangsung di Jakarta saja, tetapi juga di Yogyakarta, yang mengakibatkan dua perwira TNI AD gugur.

Salah satu korban peristiwa G30S di Yogyakarta adalah Brigjen Katamso, yang ditemukan tewas pada 12 Oktober 1965.

Berikut kronologi peristiwa G30S di Yogyakarta.

Baca juga: G30S, G30S/PKI, Gestapu, Gestok, Apa Bedanya?

Pengkhianatan anak buah Brigjen Katamso

Pada 1 Oktober 1965, berita tentang peristiwa G30S sudah tersebar di Jakarta, yang menjadi lokasi utama dari tragedi ini.

Namun, tidak hanya di Jakarta, prajurit di kota lain, seperti Yogyakarta juga kebingungan dengan adanya berita tersebut.

Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro Katamso, yang belum mengetahui secara pasti kebenaran informasi yang beredar saat itu, masih bimbang untuk mengambil sikap.

Kebingungan kian bertambah ketika pukul 08.00, lewat siaran RRI, disampaikan bahwa Dewan Revolusi Daerah Jawa Tengah telah terbentuk.

Begitu mendengar berita ini, Katamso langsung melakukan rapat staf. Hasilnya, ia mengirim ajudannya berangkat ke Semarang untuk mencari informasi lebih lanjut.

Sedangkan Katamso sendiri sudah ada janji untuk menghadiri sebuah rapat penting bersama Pangdam Diponegoro, Brigjen Suryosumpeno, di Magelang.

Baca juga: Tewasnya Brigjen Katamso dalam Peristiwa G30S di Yogyakarta

Rupanya, kepergian Katamso ke Magelang sudah ditunggu-tunggu oleh salah satu anak buahnya, yaitu Kepala Seksi V Korem 072 Kodam VII/Diponegoro Mayor Mulyono, yang diduga berafiliasi dengan Komando Operasional G30S.

Begitu Katamso berangkat, Mulyono langsung melancarkan rencana jahatnya.

Mayor Mulyono, yang berperan sebagai pemimpin, dibantu oleh beberapa rekannya, seperti Mayor Kartawi, Mayor Daenuri, Kapten Kusdibyo, Kapten Wisnuaji, Sertu Alip Toyo, Peltu Sumardi, Pelda Kamil, Praka Anggara, Praka Sudarto, dan Praka Sugimin.

Pukul 14.00, Katamso kembali ke Yogyakarta, tetapi belum sadar bahwa Korem 72/Pamungkas sudah diambil alih oleh Mulyono dan anak buahnya yang lain.

Hal ini terjadi karena Katamso langsung pulang ke rumah dinasnya di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 48, Yogyakarta.

Baca juga: Cerita Jenderal AH Nasution Lolos dari Penculikan G30S

Penculikan Brigjen Katamso

Sore harinya, para prajurit yang mengkhianati Katamso merencanakan aksi pembunuhan.

Ada yang menyarankan agar Katamso langsung ditembak di tempat, ada juga yang ingin Katamso tewas dengan cara yang tragis.

Setelah berunding, upaya pembunuhan pun dilaksanakan tanggal 1 Oktober 1965 pukul 17.00.

Sebuah mobil Jeep Gaz masuk ke dalam pekarangan rumah Katamso. Di belakang mobil ini sudah ada dua truk yang dipenuhi para prajurit bersenjata lengkap.

Peltu Sumardi dan Peltu Kamil turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah Katamso.

Keduanya pun langsung menodongkan senjata ke arah Katamso dan memintanya untuk ikut bersama mereka.

Katamso, yang tidak ingin kondisi semakin ricuh, menuruti permintaan itu. Ia lantas dibawa ke Markas Komando Yon L di daerah Kentungan, utara Kota Yogyakarta.

Baca juga: Peran Sarwo Edhi Wibowo dalam Penumpasan G30S

Tewasnya Brigjen Katamso dan Letkol Sugijono

Setelah diculik, Brigjen Katamso ditahan di dalam ruang komandan batalion, sebelum akhirnya dibawa oleh Sertu Alip Toyo ke lokasi pembunuhan dalam keadaan mata tertutup dan tangan terikat.

Katamso kemudian dilepas begitu saja untuk berjalan sendiri. Namun, setelah baru beberapa langkah berjalan, kepalanya langsung dihantam menggunakan kunci montir seberat 2 kilogram oleh Toyo.

Katamso pun langsung terjatuh dan kepalanya sudah berlumuran darah.

Kendati begitu, Katamso masih hidup dan sempat mengucapkan kalimat terakhirnya, yang berbunyi bahwa ia mencintai Soekarno.

Maksud cinta di sini adalah Katamso merupakan pendukung Presidnen Soekarno, karena para jenderal yang dibunuh dalam peristiwa G30S di Jakarta diduga bagian dari Dewan Jenderal yang ingin mengkudeta Soekarno.

Baca juga: De-Soekarnoisasi, Upaya Soeharto Melemahkan Pengaruh Soekarno

Karena Katamso masih bernapas, ia dihantam pukulan untuk kedua kalinya. Katamso tercatat meninggal dunia pada 2 Oktober 1965 dini hari.

Selain Katamso, Kepala Staf Korem 072/Pamungkas Letkol Sugijono juga menjadi korban tragedi G30S di Yogyakarta.

Jasad Katamso dan Sugijono baru ditemukan sekitar 10 hari setelah kejadian, tepatnya pada tanggal 12 Oktober 1965.

Sementara penggalian kubur di Kentungan baru dilakukan delapan hari setelahnya.

Kolonel Katamso dan Letjen Sugijono kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara di Yogyakarta.

Keduanya kemudian dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia yang gugur dalam peristiwa G30S di Yogyakarta.

Referensi:

  • Roosa, John. (2008). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Salah satu perwira tinggi tni ad yang menjadi korban pemberontakan g30s pki yaitu
Brigjen Katamso. Wikipedia

TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa G30S tidak hanya soal penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira di Jakarta. Di Yogyakarta, dua perwira TNI AD menjadi korban peristiwa berdarah ini.

Brigjen Katamso Darmokusumo, Komandan Korem 072/Pamungkas menjadi korban Tragedi G30S 1965 di Yogyakarta. Pembunuhan terhadap Katamso terjadi ketika 7 perwira di Jakarta telah menjadi korban. Ketika Letkol Untung mendeklarasikan Dewan Revolusi di Jakarta, Katamso yang saat itu masih berpangkat kolonel mengalami belum mengambil sikap karena belum mendapatkan kepastian kabar dari pusat.

Kabar deklarasi Dewan Revolusi di Jakarta datang bersamaan dengan isu pembentukan Dewan Revolusi di Jawa Tengah. Ia pun menggelar rapat dan memutuskan untuk mengirim beberapa pasukan ke Semarang, sementara ia menghadiri rapat Pangdam Diponegoro, Brigjen Suryosumpeno, di Magelang pada saat itu juga.

Sepulangnya dari Magelang, upaya pembunuhan terhadap Katamso mulai tercium. Mengutip buku Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI 1965 di Yogyakarta dan Sekitarnya (2000) karya Sri Widyastuti dan Syamsul Arifin, rencana pemberontakan militer yang terafiliasi dengan Dewan Revolusi di Yogyakarta ternyata dikoordinasi oleh bawahan Katamso, yakni Mayor Mulyono.

Dalam buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, John Roosa mengisahkan bahwa Mayor Mulyono dan rekan-rekan militernya yang terafiliasi dengan Dewan Revolusi langsung mengunjungi Katamso di rumah dinasnya untuk melakukan penculikan. Mereka membawa Katamso bersama kepala stafnya, Letkol Sugiyono, ke Kentungan, sebuah daerah kecil di utara Yogyakarta. Di sanalah keduanya dihabisi dan dikubur dalam lubang yang sama.

Sementara itu, Ernawati Purwaningsih dalam sebuah dokumen militer resmi di laman bpda.jogjaprov.go.id, menjelaskan secara detail proses eksekusi Katamso. Selepas diturunkan dari mobil yang digunakan untuk menculik, Katamso digiring ke sebuah halaman kosong dengan lubang yang telah digali sebelumnya. Dengan posisi mata tertutup kain dan tangan terikat, Katamso menerima pukulan kunci mortir di kepalanya dari Sertu Alip Toyo, Komandan Regu Montir 8 Kompi Bantuan, yang bertugas menjadi eksekutor Brigjen Katamso. 

Brigjen Katamso langsung tersungkur dan kepalanya bersimbah darah setelah menerima pukulan tersebut. Beberapa versi cerita menyebutkan bahwa Sertu Alip Toyo memberikan pukulan kedua untuk menghabisi Pahlawan Revolusi tragedi G30S tersebut. Sementara itu, beberapa versi lain menyebutkan bahwa Brigjen Katamso menerima lemparan batu-batu besar di tubuhnya oleh para penculiknya hingga tewas. Kawasan pembunuhan Katamso kemudian dikenal sebagai “Lubang Buaya Jogja” atau Monumen Pahlawan Pancasila Kentungan.

NAOMY A. NUGRAHENI 

Baca: Tragedi G30S: KS Tubun, Bertarung Malam itu Sebelum Tembakan Menghentikannya

Halo, Sobat SMP! Tanggal 30 September 1965 menjadi kenangan kelam bagi bangsa Indonesia. Di tengah situasi politik yang sedang tidak stabil, Indonesia dihadapkan dengan sebuah pemberontakan. Peristiwa ini dikenal dengan Gerakan 30 September atau G30S, yaitu pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bertujuan untuk mengubah ideologi bangsa Indonesia.

Dalam peristiwa tersebut, pemberontakan memakan korban para petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat AD dan beberapa korban lainnya. Mereka ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi lewat beberapa Keputusan Presiden di tahun 1965.

Untuk mengenang para pahlawan tersebut, pada kesempatan kali ini kita akan melihat biografi singkat dari para Pahlawan Revolusi. Yuk, simak artikel ini sampai selesai untuk mengetahui informasi selengkapnya!

  • Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani

Ahmad Yani adalah seorang petinggi TNI AD di masa Orde Lama. Ia lahir di Jenar, Purworejo pada 19 Juni 1922. Ketika muda, Ahmad Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Setelah itu, karier Ahmad Yani berkutat di militer. Ia turut ikut dalam pemberantasan PKI Madiun 1948, Agresi Militer Belanda II, dan juga penumpasan DI/TII di Jawa Tengah.

Pada tahun 1958 ia diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang Sumatera Barat untuk menumpas pemberontakan PRRI. la diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tahun 1962. Namun, pada tahun 1965 Ahmad Yani mendapatkan fitnah ingin menjatuhkan Presiden Soekarno. Ia harus tewas ketika pemberontakan G30S pada 1 Oktober 1965.

  • Letjen (Anumerta) Suprapto

Suprapto lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920. Ia sempat mengikuti pendidikan di Akademi Militer Kerajaan Bandung, namun harus terhenti karena pendaratan Jepang di Indonesia. Pada awal kemerdekaan Indonesia Suprapto aktif dalam usaha merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Ia kemudian memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto dan ikut dalam pertempuran di Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Sudirman.

Kariernya terus melejit di militer. Namun ketika PKI mengajukan pembentukan angkatan perang kelima, Suprapto menolaknya. Ia pun menjadi korban pemberontakan G30S bersama para petinggi TNI AD lainnya. Jasadnya ditemukan di Lubang Buaya. Suprapto pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.

  • Letjen (Anumerta) S. Parman

Siswondo Parman atau yang lebih dikenal dengan S. Parman adalah salah satu petinggi TNI AD di masa Orde Lama. Ia dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918. Pendidikannya lebih berkutat di bidang intelijen. Ia pernah dikirim ke Jepang untuk memperdalam ilmu intelijen pada Kenpei Kasya Butai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia mengabdi kepada Indonesia untuk memperkuat militer Tanah Air. 

Pengalamannya di bidang intelijen sangat berguna bagi TNI kala itu. Ia mengetahui rencana-rencana PKI yang ingin membentuk angkatan kelima. Namun, pada 1 Oktober 1965 ia pun diculik dan dibunuh bersama para jenderal lainnya. S. Parman harus gugur dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.

  • Letjen (Anumerta) M.T. Haryono

Mas Tirtodarmo Haryono atau yang lebih dikenal dengan M. T. Haryono lahir pada 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur. Sebelum terjun ke dunia militer, M. T. Haryono pernah mengikuti Ika Dai Gaku (sekolah kedokteran) di Jakarta pada masa pendudukan Jepang. Barulah setelah kemerdekaan Indonesia M. T. Haryono bergabung bersama TKR dengan pangkat mayor.

Kepiawaiannya dalam berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman berguna bagi Indonesia ketika melakukan berbagai perundingan internasional. Ia kemudian berkutat di Kementerian Pertahanan. M. T. Haryono juga sempa menjabat sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. Ia kemudian menjadi Atase Militer RI untuk Negeri Belanda (1950) dan sebagai Direktur Intendans dan Deputy Ill Menteri/Panglima Angkatan Darat (1964). Nahas, di tahun 1965 M. T. Haryono gugur bersamaan dengan para petinggi TNI AD lain akibat pemberontakan G30S.

  • Mayjen (Anumerta) D. I. Panjaitan

Donald Ignatius Panjaitan atau D. I. Panjaitan lahir pada 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli. Pada masa pendudukan Jepang ia memasuki pendidikan militer Gyugun. Kemudian ia ditempatkan di Pekanbaru, Riau sampai saat proklamasi kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, D. I. Panjaitan ikut membentuk TKR. Ia pun memiliki karier yang cemerlang di bidang militer.

Menjelang akhir hayatnya, ia diangkat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat dan mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat. Jenderal dari Sumatra ini pun juga harus tewas ketika terjadi pemberontakan PKI 1965 bersama dengan para jenderal lainnya.

  • Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo

Sutoyo Siswomiharjo lahir 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang ia mendapat pendidikan pada Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta, dan kemudian menjadi pegawai negeri pada Kantor Kabupaten di Purworejo. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia memasuki TKR bagian Kepolisian, akhirnya menjadi anggota Korps Polisi Militer. Ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto dan kemudian menjadi Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo.

Kariernya terus melesat. Tahun 1961 ia diserahi tugas sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat. Akan tetapi, Sutoyo yang menentang pembentukan angkatan kelima harus ikut gugur dalam peristiwa G30S.

  • Brigjen (Anumerta) Katamso

Katamso dilahirkan pada 5 Februari 1923 di Sragen, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang ia mengikuti pendidikan militer pada PETA di Bogr. kemudian diangkat menjadi Shodanco Peta di Solo. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia masuk TKR yang kemudian menjadi TNI.

Ia terus berkiprah bersama militer Indonesia. Tahun 1958, Katamso dikirim ke Sumatra Barat untuk menumpas pemberontakan PRRl sebagai Komandan Batalion A Komando Operasi 17 Agustus. Setelah itu menjadi Kepala Staf Resimen Team Pertempuran (RIP) II Diponegoro di Bukittinggi. Katamso juga menjadi korban keganasan G30S. Ia harus gugur karena diculik dan dibunuh. Mayatnya ditemukan 22 Oktober 1965. Katamso dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

  • Kapten (Anumerta) Pierre Tendean

Piere Tendean lahir 21 Februari 1939 di Jakarta. Selesai mengikuti pendidikan di Akademi Militer Jurusan Teknik tahun 1962 ia menjabat Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan. Ia ikut bertugas menyusup ke daerah Malaysia ketika sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.

Pada bulan April 1965, perwira muda ini diangkat sebagai ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution. Ketika bertugas, Pierre Tendean tertangkap oleh kelompok G30S. Ia pun mengaku sebagai A. H. Nasution di mana sang jenderal berhasil melarikan diri. Namun, dirinya harus mengorbankan nyawa untuk melindungi Jenderal Nasution.

  • A.I.P. II (Anumerta) K. S. Tubun

Karel Satsuit Tubun dilahirkan di Tual. Maluku Tenggara pada 14 Oktober 1928. Tamat dari Sekolah Polisi Negara di Ambon ia diangkat sebagai Agen Polisi Tingkat II dan mendapat tugas dalam kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon. Kemudian ia ditempatkan pada kesatuan Brimob Dinas Kepolisian Negara di Jakarta. Tahun 1955 dipindahkan ke Medan Sumatera Utara dan tahun 1958 dipindahkan ke Sulawesi. 

Ketika meletus pemberontakan G30S, ia termasuk salah seorang korban keganasan pemberontakan tersebut. K. S. Tubun waktu itu sedang bertugas sebagai pengawal di kediaman Dr. Y. Leimena yang berdampingan dengan rumah Jenderal A. H. Nasution. Satsuit Tubun melawan dan terjadi pergulatan dan akhirnya K. S. Tubun ditembak hingga gugur. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.  

  • Kolonel (Anumerta) Sugiyono

Sugiyono lahir pada 12 Agustus 1926 di Desa Gendaran, daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang Sugiyono mendapat pendidikan militer pada Pembela Tanah Air (PETA). Kemudian ia diangkat menjadi Budanco di Wonosari. Kariernya terus berkecimpung di dunia militer, mengikuti beberapa penumpasan pemberontakan di Tanah Air.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sugiyono yang baru saja kembali dari Pekalongan ditangkap di Markas Korem 072 yang telah dikuasai gerombolan PKI. la telah dibunuh di Kentungan di sebelah Utara Yogyakarta dan jenazahnya ditemukan pada 22 Oktober 1965 kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Jadi, itulah tadi beberapa Pahlawan Revolusi yang gugur demi melindungi ideologi negara Indonesia. Mari sejenak kita tundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa serta mendoakan mereka yang telah gugur demi bangsa ini. Semoga Sobat SMP juga bisa mengikuti jejak para pahlawan yang dengan berani mempertaruhkan nyawa demi kemaslahatan NKRI.

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Referensi:

Modul PJJ IPS kelas 9 semester genap terbitan Direktorat SMP tahun 2020

http://repositori.kemdikbud.go.id/8315/1/ENSIKLOPEDIA%20PAHLAWAN%20NASIONAL.pdf