Salah satu aktualisasi gerakan jihad yang dilakukan Muhammadiyah adalah

BENGKULU, KRJOGJA.com – Jihad dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik dan permusuhan. Dalam gerakan pencerahan, Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasikan jihad  sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemamuan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang maju, adil,  makmur, berdaulat dan bermartabat. 

Hal itu dikatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir lewat Pidato Iftitah di Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB), Jumat (15/2/2019) petang. Pidato dilanjutklan laporan PWM/ortom serta tanggapan atas laporan PP Muhammadiyah. Hingga Sabtu (16/2/2019) hari ini, Tanwir akan diisi sidang-sidang tertutup. 

Dijelaskan, dalam gerakan pencerahan, Muhammadiyah memaknai dan Jihad dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik, dan permusuhan. Karena Umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks disebutnya dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li-al-muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama.

Sementara dalam kehidupan kebangsaan, Muhammadiyah mengagendakan revitalisasi visi dan karakter bangsa. Serta semakin mendorong gerakan mencerdaskan kehidupan bangsa yang lebih luas sebagimana cita-cita kemerdekaan.  “Dalam menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi dengan bangsa-bangsa lain dan demi masa depan Indonesia yang lebih maju maka diperlukan transformasi mentalitas bangsa ke arah pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter kuat,” kata Haedar. 

Manusia yang berkarakter kuat disebut Haedar dicirikan  kapasitas mental yang membedakan dari orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat khusus lainnya yang melekat dalam dirinya. Menurutnya,  nilai-nilai kebangsaan lainnya yang harus terus dikembangkan adalah nilai-nilai spiritualitas, solidaritas, kedisiplinan, kemandirian, kemajuan, dan keunggulan. (Fsy)

Author : | Thursday, December 01, 2016

Oleh: Subhan Setowara

PADA 18 November lalu Muhammadiyah baru saja memperingati miladnya yang ke-104. Terhitung lebih dari satu abad, sebelum merdekanya bangsa ini yaitu pada 1912 Muhammadiyah telah menahbiskan diri sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) yang mengabdi pada bangsa.

Melalui brand “Indonesia Berkemajuan”, kiprah Muhammadiyah terlihat jelas dalam merespons persoalan pendidikan, kemiskinan, dan kesehatan. Dalam wujud amal usaha, pendidikan ditandai banyaknya sekolah dan universitas, kesehatan dalam bentuk rumah sakit dan kemiskinan melalui panti asuhan.

Berdasarkan data di laman resmi Muhammadiyah, organisasi ini memiliki 10.452 lembaga pendidikan (mulai pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi), 457 lembaga kesehatan, 454 panti sosial, 11.198 rumah ibadah serta tanah seluas 20.945.504 M². Banyaknya amal usaha tersebut menunjukkan bahwa aktivitas para pegiat amal usaha Muhammadiyah memiliki implikasi yang sangat signifikan bagi kemajuan bangsa.

Selain dalam bentuk amal usaha, peran kebangsaan Muhammadiyah juga tampak pada dakwah politik yang dilakukan, bahkan sebelum diproklamirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada babak berikutnya, arus besar gerakan ini semakin terlihat ketika mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais berhasil menghimpun gerakan perlawanan rakyat melawan rezim Orde Baru. Ciri dakwah politik Muhammadiyah bukanlah pemuasan syahwat politik melalui bagi-bagi kekuasaan, melainkan tampilnya politik adiluhung (high politics) yang bersandar pada nilai-nilai moral, atau yang dikenal dengan fatsoen politik.

Deklarasi politik Muhammadiyah melalui jihad konstitusi adalah contoh ideal dari aktualisasi tersebut. Jihad konstitusi yaitu gerakan pembaruan di bidang hukum melalui pengajuan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sejumlah undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Salah satu hasil jihad konstitusi yaitu saat MK membatalkan seluruh pasal tentang kedudukan, fungsi, dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

Contoh lain yaitu ijtihad Muhammadiyah dalam mengusut tragedi Siyono hingga akar-akarnya sebagai bentuk penegakan HAM. Saat melakukan sejumlah ijtihad politik tersebut, Muhammadiyah siap berhadapan dengan para penghadang yang memiliki opini berbeda. Namun, itulah jalan keadaban yang dipilih Muhammadiyah.

Tantangan Ideologis Terkini

Di tengah upaya persyarikatan dalam mewujudkan Indonesia berkemajuan tersebut, Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan yang tidak sedikit. Salah satu tantangan yang paling intens dihadapi warga Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia beberapa terakhir ini yaitu tantangan ideologis.

Jika dipetakan, tantangan ideologis tersebut berada pada tiga wilayah dominan. Pertama, kekuatan Islam politik yang tampil dengan wajah yang kian warna-warni. Yang paling ekstrem, kekuatan itu terwujud melalui organisasi transnasional Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). Dalam konteks nasional, terdapat gerakan pro-khilafah yang praktis mempersoalan jatidiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kedua, tampil kembalinya isme-isme yang meresahkan sejumlah kalangan Muslim, mulai dari zionisme dalam konteks global hingga komunisme yang dalam konteks Indonesia sempat marak dengan banyak bermunculannya simbol-simbol Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara pada sisi yang lebih moderat terdapat tiga isme, yakni sekularisme, pluralisme dan liberalisme yang mendapat akronim sangat buruk atau pejoratif, yaitu sipilis.

Ketiga, belum hilangnya pergolakan tentang aliran sesat maupun aliran yang dianggap sesat dalam Islam. Dalam rilis Majelis Ulama Indonesia (MUI) awal tahun ini saja, disebut terdapat lebih dari 300 aliran sesat di Indonesia, sekalipun ditekankan kemudian bahwa ratusan aliran sesat tersebut biasa muncul dan menghilang sewaktu-waktu. Yang terakhir sempat ramai yaitu Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dinilai merupakan metamorfosis dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang sudah dilarang oleh Jaksa Agung pada 2007. Belum lagi soal Syiah dan Ahmadiyah yang menjadi perdebatan tidak tuntas, hingga kasus Dimas Kanjeng yang masih dalam proses hukum.

Berbagai fenomena itu telah melahirkan ragam reaksi di kalangan umat Islam Indonesia. Di antara warga Muhammadiyah pun, responsnya tak selalu seragam. Bagi warga Muhammadiyah yang cukup bijak menyikapi perbedaan, keragaman pendapat itu tak menjadi soal, namun tak sedikit pula yang ingin agar warga persyarikatan memiliki pandangan yang seirama.

Inilah yang menjadi tantangan Muhammadiyah. Respons terhadap berbagai persoalan itu tentu memiliki kaitan erat dengan karakter dan ideologi Muhammadiyah. Beberapa di antara respons tersebut merupakan putusan resmi karena dikeluarkan langsung oleh PPMuhammadiyah, namun ada pula yang bersifat kultural karena merupakan statemen pribadi dari sejumlah tokoh Muhammadiyah.

Yang paling terkini, yaitu fenomena Ahok terkait dugaan penistaan al-Quran, yang menjadi persoalan hangat di tengah kampanye Pilkada. Sekalipun MUI sudah memiliki putusan resmi, namun persilangan pendapat dalam tubuh Muhammadiyah tak terhindarkan. Tentu, sekali lagi, sebagian warga Muhammadiyah menganggap perbedaan pendapat itu sebagai hal lumrah, namun sebagian yang lain menilai bahwa semestinya Muhammadiyah satu suara dalam merespons persoalan tersebut.

Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi persyarikatan. Di tengah ikhtiar membangun Indonesia berkemajuan, Muhammadiyah tentu tak ingin fenomena ini menghambat derasnya arus gerakan Muhammadiyah dalam memajukan bangsa. Di saat ghirah kebangsaanMuhammadiyah begitu kuat, tentu kita ingin semangat itu berakar dari kekuatan ideologis yang kokoh. 

Pada miladnya yang ke-104 ini Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah mengeluarkan edaran yang disebar pada seluruh pimpinanMuhammadiyah dan amal usaha yang dinaunginya se-Indonesia, memuat dorongan untuk membangun karakter Indonesia berkemajuan melalui syiar yang dilakukan serempak se-Indonesia. Melalui cara ini, Muhammadiyah tampak ingin menegaskan, bahwa dedikasi pada bangsa harus digaungkan semangatnya oleh warga persyarikatan.

Dengan dorongan semangat itu, diharapkan kekokohan ideologi Muhammadiyah yang mengandung prinsip dan nilai-nilai Islam yang modern dan berkemajuan, bisa benar-benar diresapi sekaligus menjadi motivasi untuk berjuang demi bangsa atas nama Islam dan kemanusiaan. Semoga, bersama ormas lainnya, pemerintah, serta seluruh eleman bangsa dapat membuat bangsa ini lebih maju dan bermartabat. []

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA