Relevansi bebas aktif dalam hubungan Indonesia Tiongkok

AFP/JIM WATSON

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani tindakan CARES, paket penyelamatan 2 triliun dollar untuk memberikan bantuan ekonomi di tengah wabah Covid-19, di Kantor Oval Gedung Putih, Washington DC, pada 27 Maret 2020.

JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki peluang yang terbuka luas untuk menjalin kerja sama dengan Amerika Serikat, terutama di bidang ekonomi, setelah Joe Biden terpilih sebagai presiden AS.

Prinsip politik luar negeri bebas aktif yang selama ini dipraktikkan oleh Indonesia memungkinkan Indonesia bisa menjalin kerja sama dengan siapa saja, termasuk dengan AS dan China yang saat ini tengah berselisih paham.

Share the publication

Save the publication to a stack

Like to get better recommendations

The publisher does not have the license to enable download

Yogya (RE) - Pemilihan Presiden AS selalu mendapatkan perhatian dunia, sebab pengaruh yang dimunculkan pada dunia berkaitan dengan siapa pemimpin negara tersebut. Kemenangan Donald Trump pada Pemilu 2016 diproyeksikan akan memberikan warna berbeda terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat, khususnya dalam aspek hubungan ekonomi dan politik internasional. Sementara, masyarakat dunia terus mengikuti proses administrasi transisi kepimpinan AS dan mencoba memprediksi dampak kebijakan Trump, termasuk di bidang politik luar negeri, ekonomi, dan sosial, terhadap stabilitas domestik AS dan situasi global.

Dalam kaitan tersebut, bagi Indonesia, perlu dikaji tren kebijakan yang akan diterapkan oleh AS di bawah kepemimpinan Presiden Trump.

“Ada dua hal yang menjadi dasar kebijakan Trump untuk  pendekatan politik luar negeri mereka. Pertama, Donald Trump menganut Ekonomi Realisme, dimana semua hubungan adalah Zero Sum. Adanya kompetisi dan Trump meyakini AS harus menang dalam kompetisi. Kedua, Trump meyakini bahwa politik internasional is about the great power politics. Maksudnya, politik internasional adalah milik negara-negara besar. Maka Trump akan mendekatkan AS pada negara-negara besar dan mengesampingkan negara kecil,” ungkap Dr. Philip J. Vermonte, Head of the Department of Politics and International Relations, The Centre for Strategic and International Studies (CSIS), dalam Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri yang bertajuk “Pemerintahan Baru Amerika Serikat: Presiden Trump dan Proyeksi Kebijakan Luar Negeri AS”, di Pasca Sarjana UMY, Senin (27/2).

Menurut Philip, politik luar negeri bebas aktif bagi Indonesia di masa sekarang ini sudah tidak relevan lagi, sebab hal tersebut sudah tidak sinkron dengan keadaan Indonesia saat ini. Sejak tahun 1948, Bung Hatta mengarahkan ke politik luar negeri yang pragmatis, bukan yang non blok. Saat ini ada salah persepsi tentang politik luar negeri bebas aktif. Ini menjadi belenggu seolah politik luar negeri bebas aktif itu non-blok.

Di bidang ekonomi, Trump pada masa kampanye juga mengesankan kecenderungan untuk meninjau berbagai kesepakatan perdagangan bebas seperti North American Free Trade Agreement (NAFTA) dan Trans Pasific Partnership (TPP), yang dinilai merugikan AS dan menyebabkan peningkatan defisit perdagangan serta mengalihkan lapangan kerja ke luar negeri yang merugikan tenaga kerja AS.

“Di sisi lain, perhatian Trump di bidang perdagangan juga banyak tertuju pada Tiongkok sebagai salah satu pesaing utama AS. Trump berencana mengenakan bea masuk yang tinggi atas impor Tiongkok dan menghentikan subsidi ekspor Tiongkok. Tiongkok merupakan negara paling defisit nomor 1, sementara Indonesia di nomor 12,“ jelas Ir. Sri Nastiti Budianti, M.Si, Kepala Pusat Pengkajian Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan.

Sementara itu, Prof. Bambang Cipto, M. A, Mantan Rektor UMY yang juga menjadi pembicara mengatakan, tujuan utama politik luar negeri Trump ini tidak lepas dari slogan kampanyenya, yakni Make America Great Again.

“Dalam hal politik, Trump mempunyai tujuan untuk mengalahkan teroris dan radikalisme Islam. Bahkan dia menyatakan dengan jelas tidak segan mengerahkan militer untuk menghilangkannya. Sementara tujuan ekonominya, dengan latar belakang bussinesman tentu saja untuk memperkuat perdagangan internasional,“ paparnya. (Ken Fitriani/Radio Edukasi/BPMRPK Kemdikbud)

Di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan Indo-Pasifik, kebijakan luar negeri Indonesia sebagai negara yang terletak di jantung Samudra Hindia dan Pasifik dipertanyakan. Pengamat menilai Jakarta masih berpegang pada taktik lama mereka yang pasif dan memilih menjadi “penyeimbang” antara dua kekuatan besar, namun apakah strategi ini masih relevan?

PinterPolitik.com

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan terletak di jantung Samudra Hindia dan Pasifik tampaknya telah ditakdirkan untuk menjadi titik tumpu strategis di era persaingan kekuatan besar antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.

Evan Laksmana dalam tulisannya yang berjudul Indonesia Unprepared  as Great Power Clash in Indo Pacific memaparkan dalam kasus persaingan antara dua kekuatan besar AS dan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia diyakini tidak akan memihak ke satu atau yang lain.

Lebih lanjut, Evan menjelaskan bahwa salah satu alasannya adalah ketidakpercayaan yang mendalam. Indonesia tidak percaya satu kekuatan besar secara inheren lebih unggul, baik secara ekonomi, militer, maupun moral.

Selain itu, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai mempunyai kekhawatiran jika terlibat ke dalam salah satu blok politik kekuatan besar dapat merusak agenda pembangunan domestiknya.

Seperti yang diketahui, pemerintah Indonesia akhir-akhir ini selalu berupaya untuk melibatkan kekuatan-kekuatan besar seperti AS dan Tiongkok secara merata melalui kerja sama di berbagai sektor sambil berhati-hati untuk tidak membiarkan yang satu menjadi terlalu dekat dengan mengorbankan yang lain.

Pada dasarnya, posisi tidak memihak ke dalam dua blok kekuatan besar adalah kebijakan yang berakar pada strategi “bebas aktif” Indonesia yang telah dirumuskan sejak tahun 1940-an dan diamanatkan dalam konstitusinya.

Namun, apakah kebijakan ini masih relevan saat ini?

Harus memihak

Besarnya potensi konflik di kawasan Indo-Pasifik tidak menutup kemungkinan akan adanya bentrokan yang dapat memaksa negara-negara untuk memihak. Pemerintah dinilai tidak bisa terus menerus “mendayung” di antara dua kekuatan besar di kawasan Indo-Pasifik.

Dengan strategi diplomasi Indonesia yang pasif dan cenderung menjadi penyeimbang di antara dua kekuatan besar di Indo-Pasifik justru dinilai akan menimbulkan kerentanan bagi Indonesia.

Baca Juga: Tiongkok dan Strategi “Lempar Tangan” Jokowi

Sebagai negara yang mempunyai wilayah yang strategis secara geopolitik di kawasan Indo-Pasifik sikap netral yang ditunjukan Indonesia ini justru sangat rentan untuk diserang oleh dua kubu, karena Indonesia sebagai negara penyeimbang tidak mempunyai kekuatan yang mumpuni secara militer.

Belajar dari Swiss, negara yang secara konsisten bersikap netral sejak perjanjian Paris 1815, suatu negara harus mempunyai strategi kebijakan pertahanan dan militer yang kuat jika ingin berhasil menjalankan posisi sebagai penyeimbang.

Secara realistis untuk saat ini Indonesia jelas belum mencapai level tersebut. Itulah kenapa Indonesia dirasa harus mengambil posisi yang tegas dalam konflik ini.

Baca juga :  Bikin Nuklir, Jokowi-Putin Tantang AS?

Lagi pula, secara teoritis tidak ada kewajiban bahwa pihak ketiga harus netral atau bebas kepentingan dalam berbagai aspek. Bahkan, pihak ketiga dimungkinkan untuk melakukan pemberdayaan terhadap salah satu pihak ketika terjadi defisiensi kekuatan.

Indonesia dapat menjalankan peran seperti apa yang disebut Bleddyn Bowen sebagai deterrence strategy, yaitu upaya persuasi untuk mencegah pihak musuh melakukan suatu tindakan tertentu yang dapat merugikan negara.

Dalam persaingan di kawasan Indo-Pasifik, berpihak kepada negara yang dinilai mempunyai kemampuan militer terkuat bisa dianggap sebagai sebagai salah satu bentuk deterrence strategy sekaligus langkah yang bijak untuk meminimalisir segala risiko terburuk yang terjadi.

Bebas Aktif, Penghambat?

Dengan meningkatnya keterlibatan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia diyakini tidak bisa terus menerus mendayung di antara dua kekuatan besar tersebut.

Mantan Menteri Pertahanan Australia Christoper Pyne memaparkan bahwa kemungkinan terjadinya “perang militer” di kawasan Indo-Pasifik saat ini lebih besar dibandingkan beberapa tahun terakhir dan Tiongkok dianggap sebagai aktor utama, serta ancaman militer bagi negara di kawasan.

Dalam laporan yang berjudul Regional Responses to U.S.-China Competition in the Indo-Pacific, lembaga think tank ternama AS Rand Corporation menyebut Tiongkok merupakan satu-satunya ancaman militer jangka pendek yang realistis bagi Indonesia, dengan potensi khusus untuk konfrontasi militer atas Kepulauan Natuna di dekat Laut Tiongkok Selatan (LTS).

Lebih lanjut, temuan ini menilai bahwa ketidakseimbangan kemampuan militer, pengaruh ekonomi Tiongkok yang sangat besar, serta strategi diplomasi yang abu-abu dinilai akan menambah kerentanan Indonesia atas meningkatnya keterlibatan Beijing di kawasan.

Pengamat Hubungan Internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nanto Sriyanto memaparkan bahwa dalam kondisi ini, Indonesia sangat membutuhkan peran AS sebagai pengontrol dan penyeimbang kekuatan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.

Temuan dari Rand Corporation memaparkan bahwa sebenarnya dalam kasus ini baik AS dan Indonesia memiliki keprihatinan yang sama tentang ambisi Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.

Baca Juga: Saatnya Jokowi Tinggalkan Bebas-Aktif?

Atas dasar hal tersebut kedua negara pun belakangan ini sepakat meningkatkan kemitraan strategis, namun lembaga think tank ini meyakini dalam praktiknya kemitraan ini akan menemui satu halangan besar yaitu kaku nya Indonesia dalam memaknai kebijakan prinsip bebas aktif negaranya.

Dual Policy Diplomacy

Beberapa saat terakhir, banyak perdebatan yang terjadi terkait prinsip “bebas aktif” yang dipegang oleh Indonesia dalam kerangka politik luar negerinya.

Direktur Eksekutif Center For Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte memaparkan politik luar negeri bebas aktif bagi Indonesia di masa sekarang ini patut dipertanyakan relevansinya.

Menurutnya prinsip bebas aktif sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Lebih lanjut Ia mencontohkan bahwa selama ini telah terjadi kesalahan persepsi tentang prinsip tersebut.

Baca juga :  Jokowi-Putin Bangun Poros Baru?

Banyak pihak selama ini termasuk para pemangku kebijakan mengartikan prinsip bebas aktif ini secara kaku dan mengharuskan implementasinya untuk bersikap non-blok pada berbagai bidang.

Padahal berdasarkan sejarah awal perumusan prinsip ini, Bung Hatta pada saat itu mengarahkan prinsip bebas aktif ke politik luar negeri yang pragmatis, bukan yang harus non-blok.

Akibatnya, selama ini prinsip bebas aktif dinilai membatasi tujuan Indonesia akan berkiblat ke mana dalam menentukan politik luar negeri, seperti yang terjadi dalam situasi Indo-Pasifik saat ini.

Dari beberapa pemaparan di atas, saat ini dinilai sudah saatnya Indonesia memiliki dual policy diplomacy atau model geopolitik dua arah.

Implementasinya adalah dalam bidang ekonomi dan perdagangan kita bisa tetap menerapkan prinsip bebas aktif dengan semua negara secara pragmatis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Sementara dalam bidang politik, militer, dan keamanan kita harus berkiblat kepada blok terkuat di bidang tersebut dalam hal ini misalnya Amerika Serikat.

Kebijakan dual policy ini dinilai telah berhasil diterapkan oleh beberapa negara seperti India dan Singapura.

Kedua negara tersebut diketahui menerapkan prinsip bebas aktif dalam hal perdagangan dengan semua negara untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya, sementara dalam hal politik dan keamanan mereka berpihak pada salah satu blok terkuat.

Kembali ke dalam konteks ini, dengan prediksi meningkatnya ketegangan antar dua kekuatan di kawasan Indo-Pasifik dan mempertimbangkan kondisi politik dalam negeri, Indonesia harus mengambil posisi yang tegas. Kita tidak bisa terus menerus mengayun pada dua kekuatan besar tersebut.

Belajar dari Swiss yang secara utuh menjalankan fungsi non-blok, Indonesia diyakini belum memiliki perencanaan kebijakan militer dan alutsista yang cukup sebagai syarat utama untuk menjadi negara penyeimbang.

Baca Juga: LTS, Jokowi Pilih AS Ketimbang Tiongkok?

Dari segi ekonomi juga kita tidak bisa terlalu pasif. Mengutip lembaga pemeringkat internasional Fitch Rating, diprediksi bahwa ekonomi Indonesia akan terus memburuk.

Sikap pemerintah akhir-akhir ini yang terlihat menggunakan berbagai cara untuk menggenjot penerimaan kas negara, seperti mengenakan pajak pada berbagai kebutuhan pokok hingga gencarnya memburu dan menyita berbagai aset dari para obligor BLBI semakin melegitimasi hal ini.

Oleh karena itu kita tidak bisa tetap berpegang pada taktik lama yang pasif dan menunggu apa yang mungkin ditawarkan oleh negara-negara besar.

Well, pada akhirnya dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa semestinya prinsip bebas aktif tidak mengharuskan Indonesia untuk selalu bersikap non-blok pada berbagai bidang.

Dalam beberapa bidang seperti di bidang militer, pertahanan, dan keamanan, kita diyakini harus meningkatkan hubungan dan berpihak dengan negara yang mempunyai kemampuan terbaik di bidang tersebut. (A72)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA