Pondok pesantren yang didirikan oleh raden paku adalah

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di daerah Gresik, Jawa Timur sekitar masa zaman ke-15 mencapai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan mencapai menyebar ke daerah Keliruku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang anggota Walisongo tahun 1487. Suatu saat dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya untuk mendirikan suatu pondok pesantren di daerah Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pemimpin bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Walaupun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru untuk bebas dari kekuasaan Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit memang semakin susut semenjak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang masih setia, adalah Sengguruh, untuk menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri dari para santri tentu saja merasakan kekalahan. Pemimpinnya, adalah Sunan Dalem mencapai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton merasakan puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Saat itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki daya politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Ia juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap benar raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Luhur menghendaki supaya Giri Kedaton tunduk sbg daerah bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Agaknya mereka masih takut akan kekeramatan Walisongo walaupun dewan tersebut sudah tidak benar lagi.

Sultan Luhur pun menunjuk iparnya, adalah Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya untuk menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram bangung sebab Pangeran Pekik adalah keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang hasilnya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa dipersilakan untuk tetap memimpin Giri dengan syarat harus tunduk kepada Mataram.

Semenjak saat itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat saat memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kesudahan mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan untuk memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram merasakan keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan tingkah laku yang dibuat pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo belakang tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan sangat belakang adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, anggota keluarganya juga dibasmi. Semenjak saat itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pemimpin Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Sisa dari pembakaran Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Mencapai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium mencapai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 2

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di daerah Gresik, Jawa Timur sekitar masa zaman ke-15 mencapai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan mencapai menyebar ke daerah Keliruku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang anggota Walisongo tahun 1487. Suatu saat dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya untuk mendirikan suatu pondok pesantren di daerah Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pemimpin bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Walaupun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru untuk bebas dari kekuasaan Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit memang semakin susut semenjak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang masih setia, adalah Sengguruh, untuk menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri dari para santri tentu saja merasakan kekalahan. Pemimpinnya, adalah Sunan Dalem mencapai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton merasakan puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Saat itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki daya politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Ia juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap benar raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Luhur menghendaki supaya Giri Kedaton tunduk sbg daerah bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Agaknya mereka masih takut akan kekeramatan Walisongo walaupun dewan tersebut sudah tidak benar lagi.

Sultan Luhur pun menunjuk iparnya, adalah Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya untuk menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram bentuk sebab Pangeran Pekik adalah keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang hasilnya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa dipersilakan untuk tetap memimpin Giri dengan syarat harus tunduk kepada Mataram.

Semenjak saat itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat saat memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kesudahan mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan untuk memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram merasakan keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan tingkah laku yang dibuat pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo kesudahan tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan sangat kesudahan adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, anggota keluarganya juga dibasmi. Semenjak saat itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pemimpin Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Sisa dari pembakaran Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Mencapai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium mencapai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 3

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di daerah Gresik, Jawa Timur sekitar masa zaman ke-15 mencapai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan mencapai menyebar ke daerah Keliruku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang anggota Walisongo tahun 1487. Suatu saat dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya untuk mendirikan suatu pondok pesantren di daerah Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pemimpin bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Walaupun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru untuk bebas dari kekuasaan Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit memang semakin susut semenjak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang masih setia, adalah Sengguruh, untuk menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri dari para santri tentu saja merasakan kekalahan. Pemimpinnya, adalah Sunan Dalem mencapai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton merasakan puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Saat itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki daya politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Ia juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap benar raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Luhur menghendaki supaya Giri Kedaton tunduk sbg daerah bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Agaknya mereka masih takut akan kekeramatan Walisongo walaupun dewan tersebut sudah tidak benar lagi.

Sultan Luhur pun menunjuk iparnya, adalah Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya untuk menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram bentuk sebab Pangeran Pekik adalah keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang hasilnya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa dipersilakan untuk tetap memimpin Giri dengan syarat harus tunduk kepada Mataram.

Semenjak saat itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat saat memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kesudahan mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan untuk memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram merasakan keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan tingkah laku yang dibuat pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo kesudahan tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan sangat kesudahan adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, anggota keluarganya juga dibasmi. Semenjak saat itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pemimpin Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Sisa dari pembakaran Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Mencapai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium mencapai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 4

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di daerah Gresik, Jawa Timur sekitar masa zaman ke-15 mencapai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan mencapai menyebar ke daerah Keliruku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang anggota Walisongo tahun 1487. Suatu saat dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya untuk mendirikan suatu pondok pesantren di daerah Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pemimpin bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Walaupun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru untuk bebas dari kekuasaan Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit memang semakin susut semenjak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang masih setia, adalah Sengguruh, untuk menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri dari para santri tentu saja merasakan kekalahan. Pemimpinnya, adalah Sunan Dalem mencapai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton merasakan puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Saat itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki daya politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Ia juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap benar raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Luhur menghendaki supaya Giri Kedaton tunduk sbg daerah bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Agaknya mereka masih takut akan kekeramatan Walisongo walaupun dewan tersebut sudah tidak benar lagi.

Sultan Luhur pun menunjuk iparnya, adalah Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya untuk menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram bentuk sebab Pangeran Pekik adalah keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang hasilnya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa dipersilakan untuk tetap memimpin Giri dengan syarat harus tunduk kepada Mataram.

Semenjak saat itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat saat memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kesudahan mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan untuk memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram merasakan keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan tingkah laku yang dibuat pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo kesudahan tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan sangat kesudahan adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, anggota keluarganya juga dibasmi. Semenjak saat itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pemimpin Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Sisa dari pembakaran Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Mencapai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium mencapai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 5

Giri Suseno Hadihardjono (kelahiran di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) adalah mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya ia menjabat bagi Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, bertambah kurang pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno tutup usia akibat metastase kanker prostat ke paru-paru. Ia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Tamat Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Tamat SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Tamat SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Pengetahuan Pengetahuan Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Bagian Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier bagi Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Perlintasan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan sejak 1973 hingga 1976. Ia adalah pencetus pemikiran transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 ia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karir politiknya, ia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat bagi Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 hingga 2006, ia dinaikkan bagi Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap bagi Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah bekerja bagi Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 hingga 2002.[3]

Rujukan


edunitas.com


Page 6

Giri Suseno Hadihardjono (kelahiran di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) adalah mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya ia menjabat bagi Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, bertambah kurang pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno tutup usia akhir suatu peristiwa metastase kanker prostat ke paru-paru. Ia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Tamat Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Tamat SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Tamat SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Pengetahuan Pengetahuan Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Bagian Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier bagi Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Perlintasan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan sejak 1973 hingga 1976. Ia adalah pencetus pemikiran transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 ia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karir politiknya, ia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat bagi Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 hingga 2006, ia dinaikkan bagi Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap bagi Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah bekerja bagi Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 hingga 2002.[3]

Rujukan


edunitas.com


Page 7

Giri Suseno Hadihardjono (kelahiran di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) adalah mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya ia menjabat bagi Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, bertambah kurang pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno tutup usia akhir suatu peristiwa metastase kanker prostat ke paru-paru. Ia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Tamat Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Tamat SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Tamat SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Pengetahuan Pengetahuan Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Bagian Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier bagi Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Perlintasan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan sejak 1973 hingga 1976. Ia adalah pencetus pemikiran transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 ia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karir politiknya, ia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat bagi Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 hingga 2006, ia dinaikkan bagi Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap bagi Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah bekerja bagi Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 hingga 2002.[3]

Rujukan


edunitas.com


Page 8

Giri Suseno Hadihardjono (kelahiran di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) adalah mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya ia menjabat bagi Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, bertambah kurang pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno tutup usia akibat metastase kanker prostat ke paru-paru. Ia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Tamat Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Tamat SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Tamat SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Pengetahuan Pengetahuan Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Bagian Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier bagi Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Perlintasan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan sejak 1973 hingga 1976. Ia adalah pencetus pemikiran transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 ia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karir politiknya, ia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat bagi Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 hingga 2006, ia dinaikkan bagi Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap bagi Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah bekerja bagi Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 hingga 2002.[3]

Rujukan


edunitas.com


Page 9

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di kawasan Gresik, Jawa Timur sekitar 100 tahun ke-15 sampai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan sampai menyebar ke kawasan Maluku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang bagian Walisongo tahun 1487. Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya sebagai membangun suatu pondok pesantren di kawasan Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pimpinan bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Walaupun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru sebagai lepas sama sekali dari kekuasaan Majapahit. Kawasan kekuasaan Majapahit memang semakin menjadi kurang sejak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang sedang setia, yaitu Sengguruh, sebagai menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri atas para santri tentu saja mengalami kekalahan. Pemimpinnya, yaitu Sunan Dalem sampai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton mengalami puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Masa itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki kekuatan politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Beliau juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap hadir raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Akbar menghendaki agar Giri Kedaton tunduk sbg kawasan bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Lebih kurangnya mereka sedang takut akan kekeramatan Walisongo walaupun dewan tersebut sudah tidak hadir lagi.

Sultan Akbar pun menunjuk iparnya, yaitu Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya sebagai menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram susunan karena Pangeran Pekik merupakan keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang kemudiannya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa diminta sebagai tetap memimpin Giri dengan syarat mesti tunduk untuk Mataram.

Sejak masa itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat ketika memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan sebagai memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan gerakan pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo belakang tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan sangat belakang adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, bagian keluarganya juga diberantas. Sejak masa itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pimpinan Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Debu Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 10

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di kawasan Gresik, Jawa Timur sekitar 100 tahun ke-15 sampai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan sampai menyebar ke kawasan Maluku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang bagian Walisongo tahun 1487. Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya sebagai membangun suatu pondok pesantren di kawasan Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pimpinan bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Walaupun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru sebagai lepas sama sekali dari kekuasaan Majapahit. Kawasan kekuasaan Majapahit memang semakin menjadi kurang sejak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang sedang setia, yaitu Sengguruh, sebagai menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri atas para santri tentu saja mengalami kekalahan. Pemimpinnya, yaitu Sunan Dalem sampai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton mengalami puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Masa itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki kekuatan politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Beliau juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap hadir raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Akbar menghendaki agar Giri Kedaton tunduk sbg kawasan bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Lebih kurangnya mereka sedang takut akan kekeramatan Walisongo walaupun dewan tersebut sudah tidak hadir lagi.

Sultan Akbar pun menunjuk iparnya, yaitu Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya sebagai menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram susunan karena Pangeran Pekik merupakan keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang kemudiannya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa diminta sebagai tetap memimpin Giri dengan syarat mesti tunduk untuk Mataram.

Sejak masa itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat ketika memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan sebagai memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan gerakan pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo belakang tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan sangat belakang adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, bagian keluarganya juga diberantas. Sejak masa itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pimpinan Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Debu Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 11

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di kawasan Gresik, Jawa Timur sekitar 100 tahun ke-15 sampai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan sampai menyebar ke kawasan Maluku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang bagian Walisongo tahun 1487. Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya sebagai membangun suatu pondok pesantren di kawasan Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pimpinan bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Walaupun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru sebagai lepas sama sekali dari kekuasaan Majapahit. Kawasan kekuasaan Majapahit memang semakin menjadi kurang sejak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang sedang setia, yaitu Sengguruh, sebagai menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri atas para santri tentu saja mengalami kekalahan. Pemimpinnya, yaitu Sunan Dalem sampai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton mengalami puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Masa itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki kekuatan politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Beliau juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap hadir raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Akbar menghendaki agar Giri Kedaton tunduk sbg kawasan bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Lebih kurangnya mereka sedang takut akan kekeramatan Walisongo walaupun dewan tersebut sudah tidak hadir lagi.

Sultan Akbar pun menunjuk iparnya, yaitu Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya sebagai menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram susunan karena Pangeran Pekik merupakan keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang kemudiannya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa diminta sebagai tetap memimpin Giri dengan syarat mesti tunduk untuk Mataram.

Sejak masa itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat ketika memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan sebagai memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan gerakan pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo belakang tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan sangat belakang adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, bagian keluarganya juga diberantas. Sejak masa itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pimpinan Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Debu Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 12

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di kawasan Gresik, Jawa Timur sekitar 100 tahun ke-15 sampai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan sampai menyebar ke kawasan Maluku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang bagian Walisongo tahun 1487. Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya sebagai membangun suatu pondok pesantren di kawasan Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pimpinan bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Walaupun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru sebagai lepas sama sekali dari kekuasaan Majapahit. Kawasan kekuasaan Majapahit memang semakin menjadi kurang sejak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang sedang setia, yaitu Sengguruh, sebagai menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri atas para santri tentu saja mengalami kekalahan. Pemimpinnya, yaitu Sunan Dalem sampai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton mengalami puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Masa itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki kekuatan politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Beliau juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap hadir raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Akbar menghendaki agar Giri Kedaton tunduk sbg kawasan bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Lebih kurangnya mereka sedang takut akan kekeramatan Walisongo walaupun dewan tersebut sudah tidak hadir lagi.

Sultan Akbar pun menunjuk iparnya, yaitu Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya sebagai menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram susunan karena Pangeran Pekik merupakan keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang kemudiannya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa diminta sebagai tetap memimpin Giri dengan syarat mesti tunduk untuk Mataram.

Sejak masa itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat ketika memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan sebagai memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan gerakan pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo belakang tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan sangat belakang adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, bagian keluarganya juga diberantas. Sejak masa itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pimpinan Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Debu Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 13

Giri Suseno Hadihardjono (kelahiran di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) adalah mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya ia menjabat bagi Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, bertambah kurang pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno tutup usia akhir suatu peristiwa metastase kanker prostat ke paru-paru. Ia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Tamat Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Tamat SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Tamat SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Pengetahuan Pengetahuan Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Bagian Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier bagi Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Perlintasan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan sejak 1973 hingga 1976. Ia adalah pencetus pemikiran transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 ia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karir politiknya, ia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat bagi Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 hingga 2006, ia dinaikkan bagi Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap bagi Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah bekerja bagi Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 hingga 2002.[3]

Rujukan


edunitas.com


Page 14

Giri Suseno Hadihardjono (lahir di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) adalah mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya ia menjabat bagi Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, bertambah kurang pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno tutup usia akibat metastase kanker prostat ke paru-paru. Ia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Tamat Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Tamat SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Tamat SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Pengetahuan Pengetahuan Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Bagian Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier bagi Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Perlintasan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan sejak 1973 hingga 1976. Ia adalah pencetus pemikiran transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 ia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karir politiknya, ia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat bagi Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 hingga 2006, ia dinaikkan bagi Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap bagi Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah bekerja bagi Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 hingga 2002.[3]

Rujukan


edunitas.com


Page 15

Giri Suseno Hadihardjono (lahir di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) adalah mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya ia menjabat bagi Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, bertambah kurang pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno tutup usia akibat metastase kanker prostat ke paru-paru. Ia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Tamat Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Tamat SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Tamat SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Pengetahuan Pengetahuan Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Bagian Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier bagi Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Perlintasan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan sejak 1973 hingga 1976. Ia adalah pencetus pemikiran transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 ia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karir politiknya, ia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat bagi Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 hingga 2006, ia dinaikkan bagi Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap bagi Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah bekerja bagi Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 hingga 2002.[3]

Rujukan


edunitas.com


Page 16

Giri Suseno Hadihardjono (kelahiran di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) adalah mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya ia menjabat bagi Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, bertambah kurang pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno tutup usia akhir suatu peristiwa metastase kanker prostat ke paru-paru. Ia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Tamat Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Tamat SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Tamat SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Pengetahuan Pengetahuan Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Bagian Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier bagi Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Perlintasan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan sejak 1973 hingga 1976. Ia adalah pencetus pemikiran transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 ia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karir politiknya, ia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat bagi Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 hingga 2006, ia dinaikkan bagi Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap bagi Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah bekerja bagi Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 hingga 2002.[3]

Rujukan


edunitas.com


Page 17

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di kawasan Gresik, Jawa Timur sekitar 100 tahun ke-15 sampai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan sampai menyebar ke kawasan Maluku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang bagian Walisongo tahun 1487. Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya sebagai membangun suatu pondok pesantren di kawasan Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pimpinan bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Meskipun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru sebagai lepas sama sekali dari kekuasaan Majapahit. Kawasan kekuasaan Majapahit memang semakin menjadi kurang sejak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang sedang setia, yaitu Sengguruh, sebagai menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri atas para santri tentu saja mengalami kekalahan. Pemimpinnya, yaitu Sunan Dalem sampai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton mengalami puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Masa itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki kekuatan politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Beliau juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap hadir raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Akbar menghendaki agar Giri Kedaton tunduk sbg kawasan bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Lebih kurangnya mereka sedang takut akan kekeramatan Walisongo meskipun dewan tersebut sudah tidak hadir lagi.

Sultan Akbar pun menunjuk iparnya, yaitu Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya sebagai menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram susunan karena Pangeran Pekik merupakan keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang kemudiannya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa diminta sebagai tetap memimpin Giri dengan syarat harus tunduk kepada Mataram.

Sejak masa itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat ketika memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan sebagai memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan gerakan pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo belakang tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan paling belakang adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, bagian keluarganya juga diberantas. Sejak masa itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pimpinan Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Debu Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 18

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di kawasan Gresik, Jawa Timur sekitar 100 tahun ke-15 sampai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan sampai menyebar ke kawasan Maluku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang bagian Walisongo tahun 1487. Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya sebagai membangun suatu pondok pesantren di kawasan Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pimpinan bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Meskipun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru sebagai lepas sama sekali dari kekuasaan Majapahit. Kawasan kekuasaan Majapahit memang semakin menjadi kurang sejak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang sedang setia, yaitu Sengguruh, sebagai menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri atas para santri tentu saja mengalami kekalahan. Pemimpinnya, yaitu Sunan Dalem sampai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton mengalami puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Masa itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki kekuatan politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Beliau juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap hadir raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Akbar menghendaki agar Giri Kedaton tunduk sbg kawasan bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Lebih kurangnya mereka sedang takut akan kekeramatan Walisongo meskipun dewan tersebut sudah tidak hadir lagi.

Sultan Akbar pun menunjuk iparnya, yaitu Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya sebagai menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram susunan karena Pangeran Pekik merupakan keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang kemudiannya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa diminta sebagai tetap memimpin Giri dengan syarat harus tunduk kepada Mataram.

Sejak masa itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat ketika memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan sebagai memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan gerakan pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo belakang tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan paling belakang adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, bagian keluarganya juga diberantas. Sejak masa itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pimpinan Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Debu Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 19

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di kawasan Gresik, Jawa Timur sekitar 100 tahun ke-15 sampai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan sampai menyebar ke kawasan Maluku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang bagian Walisongo tahun 1487. Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya sebagai membangun suatu pondok pesantren di kawasan Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pimpinan bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Meskipun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru sebagai lepas sama sekali dari kekuasaan Majapahit. Kawasan kekuasaan Majapahit memang semakin menjadi kurang sejak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang sedang setia, yaitu Sengguruh, sebagai menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri atas para santri tentu saja mengalami kekalahan. Pemimpinnya, yaitu Sunan Dalem sampai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton mengalami puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Masa itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki kekuatan politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Beliau juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap hadir raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Akbar menghendaki agar Giri Kedaton tunduk sbg kawasan bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Lebih kurangnya mereka sedang takut akan kekeramatan Walisongo meskipun dewan tersebut sudah tidak hadir lagi.

Sultan Akbar pun menunjuk iparnya, yaitu Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya sebagai menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram susunan karena Pangeran Pekik merupakan keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang kemudiannya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa diminta sebagai tetap memimpin Giri dengan syarat harus tunduk kepada Mataram.

Sejak masa itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat ketika memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan sebagai memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan gerakan pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo belakang tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan paling belakang adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, bagian keluarganya juga diberantas. Sejak masa itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pimpinan Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Debu Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 20

Giri Kedaton adalah suatu “kerajaan” agama Islam di kawasan Gresik, Jawa Timur sekitar 100 tahun ke-15 sampai 17. Kerajaan ini pernah berjaya sbg pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan sampai menyebar ke kawasan Maluku.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang bagian Walisongo tahun 1487. Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya sebagai membangun suatu pondok pesantren di kawasan Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan suatu pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sbg pimpinan bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Meskipun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.

Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru sebagai lepas sama sekali dari kekuasaan Majapahit. Kawasan kekuasaan Majapahit memang semakin menjadi kurang sejak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406.

Dikisahkan pula, Majapahit menyuruh sekutunya yang sedang setia, yaitu Sengguruh, sebagai menyerang Giri. Pihak Giri yang hanya terdiri atas para santri tentu saja mengalami kekalahan. Pemimpinnya, yaitu Sunan Dalem sampai mengungsi ke desa Gumena.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton mengalami puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Masa itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki kekuatan politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Beliau juga menjadi mediator pertemuan selang Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sbg kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan selang Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap hadir raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Akbar menghendaki agar Giri Kedaton tunduk sbg kawasan bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Lebih kurangnya mereka sedang takut akan kekeramatan Walisongo meskipun dewan tersebut sudah tidak hadir lagi.

Sultan Akbar pun menunjuk iparnya, yaitu Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya sebagai menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram susunan karena Pangeran Pekik merupakan keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang kemudiannya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa diminta sebagai tetap memimpin Giri dengan syarat harus tunduk kepada Mataram.

Sejak masa itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.

Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat ketika memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan sebagai memperkuat barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan gerakan pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta sukses menghancurkan pemberontakan Trunojoyo belakang tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan paling belakang adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, bagian keluarganya juga diberantas. Sejak masa itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pimpinan Giri Kedaton.

  1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (1487–1506)
  2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (1487–1546)
  3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (1546–1548)
  4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (1548–1605)
  5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605–?)
  6. Panembahan Ageng Giri (?–1680)
  7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

Kepustakaan

  • Debu Khalid. Kisah Walisongo. Surabaya: Terbit Terang
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia

edunitas.com


Page 21

Giri Suseno Hadihardjono (kelahiran di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) adalah mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya dia menjabat sebagai Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, sekitar pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno berpulang dampak metastase kanker prostat ke paru-paru. Dia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Selesai Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Selesai SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Selesai SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Ilmu Ilmu Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Proses Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier sebagai Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Jalan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan sejak 1973 sampai 1976. Dia adalah pencetus pemikiran transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 dia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karier politiknya, dia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 sampai 2006, dia dinaikkan sebagai Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap sebagai Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah memainkan pekerjaan sebagai Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 sampai 2002.[3]

Referensi


edunitas.com


Page 22

Giri Suseno Hadihardjono (kelahiran di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) yaitu mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya dia menjabat sebagai Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, sekitar pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno berpulang dampak metastase kanker prostat ke paru-paru. Dia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Selesai Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Selesai SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Selesai SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Ilmu Ilmu Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Proses Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier sebagai Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Jalan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan semenjak 1973 sampai 1976. Dia yaitu pencetus konsep transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 dia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karier politiknya, dia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 sampai 2006, dia dinaikkan sebagai Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap sebagai Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah memainkan pekerjaan sebagai Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 sampai 2002.[3]

Referensi


edunitas.com


Page 23

Giri Suseno Hadihardjono (kelahiran di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) yaitu mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya dia menjabat sebagai Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, sekitar pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno berpulang dampak metastase kanker prostat ke paru-paru. Dia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Selesai Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Selesai SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Selesai SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Ilmu Ilmu Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Proses Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier sebagai Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Jalan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan semenjak 1973 sampai 1976. Dia yaitu pencetus konsep transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 dia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karier politiknya, dia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 sampai 2006, dia dinaikkan sebagai Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap sebagai Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah memainkan pekerjaan sebagai Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 sampai 2002.[3]

Referensi


edunitas.com


Page 24

Giri Suseno Hadihardjono (kelahiran di Solo, Jawa Tengah, 5 Januari 1941 – meninggal di Jakarta, 27 Juni 2012 pada umur 71 tahun) adalah mantan Menteri Perhubungan Indonesia pada era Kabinet Reformasi Pembangunan.[1] Sebelumnya dia menjabat sebagai Wakil Ketua BPIS. Pada hari Rabu, 27 Juni 2012, sekitar pukul 17.08 WIB di RS Premiere Ramsay, Jatinegara, Jakarta Timur, Giri Suseno berpulang dampak metastase kanker prostat ke paru-paru. Dia meninggalkan seorang isteri, Dra. Sri Saparini, dan tiga orang anak, yakni Ir. Laksmi Wijayanti, MCP, Ir. Budi Setiawan, MSMT, dan dr. Dian Nurcahyati, MSc.[2]

Pendidikan

  1. Selesai Sekolah Rakyat Siswo II, Solo tahun 1952.
  2. Selesai SMP Anggota B Negeri II, Solo tahun 1955.
  3. Selesai SMA Anggota B Negeri I, Solo tahun 1959.
  4. Sarjana Tehnik Anggota Mesin dari Institut Teknologi Bandung, 18 April tahun 1964.
  5. Master Of Science In Engineering dari The University Of Michigan, 13 April 1966.
  6. Doktor dalam Ilmu Ilmu Tehnik dari Institut Teknologi Bandung, 1 Juni 2005, dengan disertasi “Proses Pengambilan Keputusan Dalam Perencanaan Transportasi Pada Tataran Nasional Di Indonesia”.[3]

Karier

Giri Suseno Hadihardjono mengawali karier sebagai Kepala Dinas Teknik Direktorat Lalu Lintas Jalan Raya (DLLAJR), Departemen Perhubungan sejak 1973 sampai 1976. Dia adalah pencetus pemikiran transportasi umum Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu, mantan wakil ketua Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS) ini juga menggagas penyusunan masterplan angkutan umum Jabodetabek pada 1980. Pada periode 1984-1991 dia menjabat Dirjen Pehubungan Darat. Sepanjang karier politiknya, dia pernah menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan VII (1998- 1998), Menteri Perhubungan Kabinet Reformasi (21 Mei 1998-26 Oktober 1999), dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi (1999).[4]

Giri pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT. Mantili Wisata dimulai pada tahun 2000, Komisaris Utama di PT. Multimoda Transportindo Utama, Jakarta (2000 – 2003). Lalu pada tahun 2002 sampai 2006, dia dinaikkan sebagai Komisaris Utama PT. Jababeka, Tbk. Tidak hanya itu, Giri juga merangkap sebagai Penasehat Senior Direksi PT. MWEB, Jakarta Indonesia (2000-2003). Giri juga pernah memainkan pekerjaan sebagai Komisaris Utama di PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), Jakarta, pada tahun 1998 sampai 2002.[3]

Referensi


edunitas.com