Perumusan teks proklamasi dilakukan di rumah Laksamana Maeda yang pada saat itu menjabat sebagai

Diorama di Museum Perumusan Naskah Proklamasi memperlihatkan tiga serangkai Bung Karno, Bung Hatta dan Achmad Subardjo sedang menyusun teks proklamasi kemerdekaan RI. Sebelum dirumuskan, di rumah laksamana Maeda, tiga serangkai ini sempat diamankan dulu di Rengasdengklok.
(Foto: Hendra Wiradi/Uzone.id)

Generasi sekarang meskipun sudah banyak memegang ponsel pintar Android atau iOS untuk membantu aktivitas sehari-hari, mungkin sama sekali belum pernah mencari tahu rumah tempat Presiden RI pertama Soekarno menyusun teks proklamasi.

Kalau kamu mencari tahu melalui mbah Google, ketik frase ‘rumah proklamasi’ maka yang muncul adalah nama Djiaw Kie Siong, salah satu personel pasukan Pembela Tanah Air (Peta).

Kemudian, klik nama tersebut, kemudian internet akan membuka laman yang membahas rumah Djiaw Kie Siong, pria keturunan Tionghoa, kelahiran Pisangsambo, Tirtajaya, Karawang, Jawa Barat, sebagai pemilik rumah tempat menginap Soekarno, Muhammad Hatta saat ‘diculik’ oleh para pemuda termasuk Adam Malik, Chaerul Saleh dan Sukarni.

Rumah itu juga ditinggali Yusuf Kunto, dr. Sutjipto, Ibu Fatmawati, Guntur Soekarnoputra, dan lainnya selama tiga hari, pada 14 - 16 Agustus 1945.

Perumusan teks proklamasi dilakukan di rumah Laksamana Maeda yang pada saat itu menjabat sebagai

Naskah Proklamasi dipampang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Naskah inilah yang menjadi penanda kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Dibacakan pada 17 Agustus 1945.
(Foto: Hendra Wiradi/ Uzone.id)

Para pemuda itu menuntut para pemimpin Indonesia itu agar kemerdekaan segera diproklamasikan. Di rumah ini pula naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dipersiapkan dan ditulis.

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong itu.

Bendera Merah Putih pun sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka.

Ketika naskah proklamasi akan dibacakan, tiba-tiba pada Kamis sore datanglah Ahmad Subardjo. Dia pun mengundang Bung Karno dan lainnya untuk berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.

Melansir BBC Indonesia, rumah Djiauw Kie Siong semula berada di pinggiran Sungai Citarum dipindahkan di lokasi yang berjarak sekitar 150 meter dari tempat asli di Kampung Bojong, Rengasdengklok, pada 1957.

Djiauw Kim Moy, cucu dari Djiauw Kie Siong, menjelaskan bahwa bangunan rumah dan bagian ruang tamu masih asli. Begitu juga lantai ubin warna terakota yang biasa digunakan untuk rumah keturunan Tionghoa.

Selain itu, sisi bangunan yang dipertahankan aslinya adalah dua kamar yang sempat digunakan Soekarno dan Hatta. Ranjang tua dari kayu jati pun masih ada di kamar yang sempat digunakan Hatta untuk beristirahat.

Namun, kata Kim Moy, ranjang di kamar Soekarno sudah bukan asli karena yang asli sudah dibawa ke museum di Bandung.

Rumah Djiauw Kie Siong jadi tempat singgah para pemuda saat ‘menculik’ Soekarno dan Hatta karena dekat dengan markas Peta, yang saat ini sudah dijadikan Monumen Kebulatan Tekad.

Alasan lainnya para pemuda membawa para pemimpin Indonesia ke Rengasdengklok karena jaraknya sekitar 81 km dari Jakarta bisa menghindari pengawasan tentara Jepang.

Rengasdengklok juga berjarak sekitar 15 km dari jalan utama, yang termasuk bagian dari jalur pantura. Bahkan saat ini pun perjalanan ke rumah Djiauw Kie Siong pun masih terasa jauh dan agak terpencil, BBC Indonesia melaporkan.

Sesampainya di Jakarta, Sukarno dan Hatta yang masih didampingi tokoh pemuda Sukarni menuju beberapa tempat dan akhirnya sampai di rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol, yang sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Teks proklamasi yang dirumuskan pada 17 Agustus 1945 dini hari itu kemudian dibacakan oleh Sukarno, didampingi Bung Hatta di Jakarta.

Memang tak banyak yang tahu soal sosok Djiauw Kie Siong. Dia merupakan seorang petani kecil keturunan Tionghoa.

Dia merelakan rumahnya ditinggali para tokoh pergerakan Indonesia. Sampai sekarang, rumah bersejarah tersebut masih dihuni oleh keturunannya.

Djiaw pun pernah berwasiat, bagi keluarga yang menempati rumah bersejarah itu harus bersabar. Tak dibolehkan merengek minta-minta sesuatu kepada pihak mana pun. Bahkan, harus rela setiap hari menunggu rumah mereka demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu yang ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa.

Djiaw diketahui meninggal dunia pada tahun 1964. Namanya seperti terhapus oleh catatan sejarah. Namun, Mayjen Ibrahim Adjie pada saat masih menjabat sebagai Pangdam Siliwangi, pernah memberikan penghargaan kepada Djiaw dalam bentuk selembar piagam nomor 08/TP/DS/tahun 1961.

Ilustrasi sejarah perumusan teks proklamasi. Sumber foto : www.pexels.com

Perumusan teks proklamasi terjadi setelah Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta dikembalikan ke Jakarta dari Rengasdengklok pada 16 Agustus. Seusai peristiwa tersebut, baik golongan muda maupun golongan tua sepakat agar proklamasi segera disusun dan diumumkan kemerdekaan Indonesia.

Mereka pun mencari tempat yang dirasa cukup aman untuk merumuskan naskah proklamasi. Rumah perwira tinggi Angkatan Laut Jepang di Indonesia Laksamana Tadashi Maeda, yang berada di Jalan Meiji Dori (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1), Jakarta Pusat, dipilih sebagai lokasi perumusan naskah teks proklamasi pada dini hari, 17 Agustus 1945.

Mengapa di kediaman Laksamana Tadashi Maeda?

Kisahnya, tokoh pergerakan saat itu, Achmad Soebardjo, memiliki kedekatan dengan Laksamana Maeda. Kedekatan ini membuat Maeda lebih lunak terhadap keinginan Indonesia untuk merdeka.

Setelah menjadi Atase di Den Haag dan Berlin, Maeda pindah tugas ke Indonesia, sebagai Kepala Penghubung Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Saat itu, Ia mempekerjakan Ahmad Soebardjo yang dikenalnya sejak lama di Belanda.

Rumah Laksamana Maeda Sebagai Saksi Sejarah Perumusan Teks Proklamasi

Dalam buku Kilas Balik Revolusi karya Abu Bakar Loebis, disebutkan Achmad Soebardjo menjemput Soekarno-Hatta dari Rengasdengklok setelah berhasil meyakinkan Sukarni untuk membawa kedua pemimpin tersebut ke Jakarta. Akhirnya, mereka berhenti di rumah Laksamana Maeda.

Selain karena alasan kedekatan Maeda dan Ahmad Soebardjo, rumah Laksamana Maeda dipilih karena rumah tersebut memiliki hak imunitas terhadap Angkatan Darat Jepang sehingga Soekarno dan Hatta bisa tetap aman.

Di ruang makan Laksamana Maeda itulah dimulai perumusan teks proklamasi kemerdekaan yang merupakan pemikiran tiga tokoh, yaitu Soekarno, M. Hatta, dan Achmad Soebardjo. Hatta dan Achmad Soebardjo menyampaikan pemikirannya secara lisan, sedangkan Bung Karno bertindak sebagai penulis konsep teks proklamasi tersebut. Proses penyusunan naskah ini juga disaksikan golongan muda yang diwakili oleh Sukarni, Sudiro, dan BM Diah. Sementara, dari pihak Jepang ada S. Miyoshi dan S. Nishijima.

Selanjutnya naskah diketik oleh Sayuti Melik. Setelah teks proklamasi selesai diketik segera dibawa kembali ke ruang pengesahan atau penandatanganan naskah proklamasi. Di ruang ini, naskah proklamasi ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Peristiwa ini berlangsung menjelang waktu subuh, hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan pada bulan suci Ramadan. Atas pertimbangan keamanan, Soekarno mengumumkan bahwa pembacaan teks proklamasi diadakan di halaman depan rumah kediamannya, Jalan Pengangsaan Timur no.56, pukul 10.00 WIB. Lokasi tersebut kini diabadikan sebagai Taman Proklamasi.

Beralih Fungsi Menjadi Museum

Sebelum menjadi rumah Laksamana Tadashi Maeda, bangunan tersebut dipakai sebagai kediaman resmi Konsulat Kerajaan Inggris. Rumah yang dibangun pada 1927 ini, adalah salah satu dari empat rumah tinggal besar di sekitar Taman Surapati. Rumah-rumah tersebut dirancang oleh arsitek yang sama, yaitu Johan Frederik Lodewijk Blankenberg. Saat pendudukan Jepang di Indonesia, rumah itu beralih fungsi menjadi kediaman Laksamana Tadashi Maeda sejak 1942 hingga 1945.

Beberapa tahun kemudian, rumah itu kembali ke fungsi awal sebagai rumah Duta Besar Inggris. Saat akhirnya kontrak Rumah Duta Besar Inggris akan berakhir, pada Desember 1981 diadakanlah Rapat Koordinasi yang melibatkan pihak Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Sekretariat Negara untuk membahas pengalihfungsian gedung ini.

Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto saat itu menyatakan bahwa rumah itu diusulkan menjadi museum. Selama proses kajian pendirian museum, gedung itu sementara digunakan sebagai kantor Perpustakaan Nasional sebelum gedung Perpustakaan Nasional yang baru di Jalan Salemba selesai dibangun.

Sebuah tim dibentuk pada Oktober 1984 untuk merealisasikan bangunan di Jalan Imam Bonjol Nomor 1 Jakarta menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Untuk memperkuat nuansa tampilan dan kondisi rumah sesuai dengan konteks peristiwa di 16 Agustus 1945, maka tim kajian menghubungi pihak Kedutaan Besar Jepang untuk mencari tahu keberadaan saksi pelaku yang pernah tinggal bersama Laksamana Tadashi Maeda. Sampai akhirnya pada 1985 Ibu Satsuki Mishima yang saat itu bertugas sebagai Sekretaris Urusan Rumah Tangga datang ke Jakarta.

Pada 26 Maret 1987, pengelolaan gedung ini diserahkan kepada Direktorat Permuseuman Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bekas rumah Laksamana Maeda yang terletak di Jalan Imam Bonjol Nomor 1 pun ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi. (DNR)