Menjelaskan kebijakan politik yang dilakukan oleh daulah abbasiyah

Linda Wati, NIM.: 16120024 (2021) KEBIJAKAN POLITIK KHALIFAH ABU JA’FAR AL- MANSHUR PADA DINASTI ABBASIYAH TAHUN 754-775 M. Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.

Preview

Text (KEBIJAKAN POLITIK KHALIFAH ABU JA’FAR AL- MANSHUR PADA DINASTI ABBASIYAH TAHUN 754-775 M.)
16120024_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (3MB) | Preview
Menjelaskan kebijakan politik yang dilakukan oleh daulah abbasiyah
Text (KEBIJAKAN POLITIK KHALIFAH ABU JA’FAR AL- MANSHUR PADA DINASTI ABBASIYAH TAHUN 754-775 M.)
16120024_BAB-II_sampai_SEBELUM-BAB-TERAKHIR.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (3MB) | Request a copy

Abstract

Abu Ja’far al-Manshur merupakan khalifah kedua pada Dinasti Abbasiyah, yang mana ia menjabat selama 22 tahun (754-775 M). Pada masa pemerintahannya, al-Manshur menetapkan beberapa kebijakan pada Dinasti Abbasiyah, sehingga ia dapat membawa dinasti tersebut pada masa kejayaan. Namun, hal yang terpenting yakni kebijakan tentang perubahan sistem kekuasaan atas jabatan khalifah pada masa al-Manshur. Penelitian ini difokuskan pada kondisi Dinasti Abbasiyah pada masa al-Manshur, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh al-Manshur, dan pengaruh dari kebijakan tersebut terhadap Dinasti Abbasiyah. Peneliti menggunakan pendekatan politik serta teori kebijakan yang dikemukakan oleh Theodore Lowi. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang melalui empat tahap, yaitu: heuristik atau pengumpulan data, verifikasi yang merupakan kritik terhadap data yang sudah terkumpul, kemudian interpretasi atau penafsiran data, dan yang terakhir historiografi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan politik yang ditetapkan oleh al-Manshur dapat memajukan peradaban Dinasti Abbasiyah, hal ini ditunjukkan dengan sistem pemerintahan yang lebih tertata, semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, dan keamanan yang lebih diperketat, sehingga sebanyak apapun musuh menyerang, al- Manshur dapat menumbangkan mereka. Penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi penelitian selanjutnya serta dapat menambah pengetahuan untuk mahasiswa jurusan sejarah, selain itu juga dapat dijadikan salah satu bacaan untuk mengingat ulang tentang sejarah klasik.

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

Menjelaskan kebijakan politik yang dilakukan oleh daulah abbasiyah
View Item

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada zaman Abbasiyah, konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin dinasti Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (khalifah) adalah berasal dari Allah. Bukan berasal dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman Khulafaur Rasyidin. 

Hal ini dapat dilihat dengan perkataan al-Mansur "saya adalah sultan Tuhan diatas buminya". Pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan social, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi disetiap masa tersebut. Dinasti Abbasiyah dibagi menjadi 5 fase pemerintahan, dan sistem politik yang dijalankan oleh dinasti Abbasiyah I adalah :

  • Para khalifah tetap dari keturunan arab, sedang para Menteri, panglima, gubernur, dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
  • Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, social dan kebudayaan.
  • Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
  • Kebebasan berfikir sebagai hak asasi manusia yang diakui sepenuhnya.
  • Para Menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintahan.

Selanjutnya, dinasti Abbasiyah dalam periode II, III, dan IV mengalami penurunan terhadap politik nya terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian sudah tidak menghiraukan pemerintahan pusat, kecuali politik saja. Panglima didaerah sudah berkuasa didaerahnya, dan mereka mendirikan (membentuk) pemerintahan sendiri. Misalnya dinasti Umayyah yang muncul kembali di Andalusia (Spanyol) dan dinasti Fathimiyah. Pada awal masa berdirinya dinasti Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para khalifah guna mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan, yaitu tindak keras terhadap bani Umayyah dan pengutamaan orang-orang turunan Persia.

Dalam menjalankan pemerintahan, Abbasiyah dibantu oleh seorang wazir (perdana Menteri) dan jabatannya disebut dengan wizarat. Sedangkan wizarat terbagi menjadi 2 yaitu,

  • Wizarat tanfiz (sistem pemerintahan presidensial) yaitu wazir hanya sebagai pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah.
  • Wizarat tafwidl (parlemen cabinet) yang mana wazir memiliki kuasa penuh atas pemerintahan dan khalifah hanya sebatas formalitas lambang atau sebagai pengukuh dinasti lokal atau gubernurnya khalifah.

Untuk membantu khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitabah (secretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kitab (sekretaris negara), dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (Menteri departemen). Tata usaha negara bersifat sentral yang dinamakan an-Nidzamul Idary al-Markazy. Selain itu, dalam zaman daulah Abbasiyah juga didirikan Angkatan perang, Amirul umara, Baitul mal, organisasi kehakiman, dsb. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, ekonomi dan budaya.

masa 5 periode pemerintahan daulah bani Abbasiyah, antara lain :

  • Periode Pertama (750-847 M)

Pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah mencapai masa emasnya. Secara politik, khalifah merupakan tokoh sesungguhnya yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam.

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat. Yaitu dari tahun 750-754 M. karena itu, Pembina hakiki dari dinasti Abbasiyah adalah Abu Ja'far al-Mansur (754-775M). pada awal mula, ibu kota adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota baru yang dibangunnya, Baghdad, dekat ibu kota bekas Persia, Ctesiphon, Tahun 762 M. dengan demikian pusat  pemerintahan dinasti Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru tersebut, al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di Lembaga eksekutif dan yudikatif. Dibidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai coordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana Menteri dengan Menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada ditangan keluarga terpandang berasal dari Balkiah, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya Ja'far bin yahya menjadi gubernur Persia barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut, persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani oleh keluarga Persia itu. Masuknya keluarga non arab ini kedalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara dinasti Umayyah yang berorientasi ke bangsa arab.

Khalifah al-Mansur juga membentuk Lembaga protocol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi Angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad Ibn Abdul ar-Rahman sebagai hakim pada Lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak ,asa dinasti Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur jawatan pos digunakan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.

Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan didaerah perbatasan. Dipihak lain, dia berdamai dengan caisar Costantine V dan selama genjatan senjata 758-765M, Byzantium membayar upeti tahunan. Pada masa al-Mansur pengertian khalifah kembali berubah. konsep khilafah dalam pandangannya dan setelahnya merupakan mandate dari Allah bukan dari manusia,, bukan pula sebagai pelanjut nabi sebagaimana pada masa Khulafaur Rasyidin. Popularitas dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya dimasa Harun ar-Rasyid (786-809M) dan putranya al-Ma'mun (813-833 M). kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun ar-Rasyid untuk keperluan social, rumah sakit, Lembaga Pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud dimasa ini. Kesejahteraan social, kesehatan, Pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

Dengan demikian, telah terlihat bahwa pada masa Harun ar-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dibanding dengan perluasaan wilayah yang sejatinya sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya dengan dinasti Umayyah. Al-Ma'mun setelah ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bayt al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar, pada masa al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat peradaban, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-mu'tashim (833-842M) khalifah setelahnya memberikan peluang besar kepada orang Turki untuk masuk kedalam pemerintahan. Demikian ini dengan dilatar belakangi dengan adanya persaingan antara golongan arab dan Persia pada masa al-ma'mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tantara pengawal. Tak seperti masa dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah mengganti sistem ketentaraan. Praktek orang muslim mengikuti perang sudah berakhir. Tentara dibina khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer Abbasiyah menjadi sangat kuat.


Page 2

Pada zaman Abbasiyah, konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin dinasti Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (khalifah) adalah berasal dari Allah. Bukan berasal dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman Khulafaur Rasyidin. 

Hal ini dapat dilihat dengan perkataan al-Mansur "saya adalah sultan Tuhan diatas buminya". Pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan social, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi disetiap masa tersebut. Dinasti Abbasiyah dibagi menjadi 5 fase pemerintahan, dan sistem politik yang dijalankan oleh dinasti Abbasiyah I adalah :

  • Para khalifah tetap dari keturunan arab, sedang para Menteri, panglima, gubernur, dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
  • Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, social dan kebudayaan.
  • Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
  • Kebebasan berfikir sebagai hak asasi manusia yang diakui sepenuhnya.
  • Para Menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintahan.

Selanjutnya, dinasti Abbasiyah dalam periode II, III, dan IV mengalami penurunan terhadap politik nya terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian sudah tidak menghiraukan pemerintahan pusat, kecuali politik saja. Panglima didaerah sudah berkuasa didaerahnya, dan mereka mendirikan (membentuk) pemerintahan sendiri. Misalnya dinasti Umayyah yang muncul kembali di Andalusia (Spanyol) dan dinasti Fathimiyah. Pada awal masa berdirinya dinasti Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para khalifah guna mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan, yaitu tindak keras terhadap bani Umayyah dan pengutamaan orang-orang turunan Persia.

Dalam menjalankan pemerintahan, Abbasiyah dibantu oleh seorang wazir (perdana Menteri) dan jabatannya disebut dengan wizarat. Sedangkan wizarat terbagi menjadi 2 yaitu,

  • Wizarat tanfiz (sistem pemerintahan presidensial) yaitu wazir hanya sebagai pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah.
  • Wizarat tafwidl (parlemen cabinet) yang mana wazir memiliki kuasa penuh atas pemerintahan dan khalifah hanya sebatas formalitas lambang atau sebagai pengukuh dinasti lokal atau gubernurnya khalifah.

Untuk membantu khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitabah (secretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kitab (sekretaris negara), dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (Menteri departemen). Tata usaha negara bersifat sentral yang dinamakan an-Nidzamul Idary al-Markazy. Selain itu, dalam zaman daulah Abbasiyah juga didirikan Angkatan perang, Amirul umara, Baitul mal, organisasi kehakiman, dsb. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, ekonomi dan budaya.

masa 5 periode pemerintahan daulah bani Abbasiyah, antara lain :

  • Periode Pertama (750-847 M)

Pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah mencapai masa emasnya. Secara politik, khalifah merupakan tokoh sesungguhnya yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam.

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat. Yaitu dari tahun 750-754 M. karena itu, Pembina hakiki dari dinasti Abbasiyah adalah Abu Ja'far al-Mansur (754-775M). pada awal mula, ibu kota adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota baru yang dibangunnya, Baghdad, dekat ibu kota bekas Persia, Ctesiphon, Tahun 762 M. dengan demikian pusat  pemerintahan dinasti Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru tersebut, al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di Lembaga eksekutif dan yudikatif. Dibidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai coordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana Menteri dengan Menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada ditangan keluarga terpandang berasal dari Balkiah, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya Ja'far bin yahya menjadi gubernur Persia barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut, persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani oleh keluarga Persia itu. Masuknya keluarga non arab ini kedalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara dinasti Umayyah yang berorientasi ke bangsa arab.

Khalifah al-Mansur juga membentuk Lembaga protocol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi Angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad Ibn Abdul ar-Rahman sebagai hakim pada Lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak ,asa dinasti Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur jawatan pos digunakan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.

Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan didaerah perbatasan. Dipihak lain, dia berdamai dengan caisar Costantine V dan selama genjatan senjata 758-765M, Byzantium membayar upeti tahunan. Pada masa al-Mansur pengertian khalifah kembali berubah. konsep khilafah dalam pandangannya dan setelahnya merupakan mandate dari Allah bukan dari manusia,, bukan pula sebagai pelanjut nabi sebagaimana pada masa Khulafaur Rasyidin. Popularitas dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya dimasa Harun ar-Rasyid (786-809M) dan putranya al-Ma'mun (813-833 M). kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun ar-Rasyid untuk keperluan social, rumah sakit, Lembaga Pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud dimasa ini. Kesejahteraan social, kesehatan, Pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

Dengan demikian, telah terlihat bahwa pada masa Harun ar-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dibanding dengan perluasaan wilayah yang sejatinya sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya dengan dinasti Umayyah. Al-Ma'mun setelah ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bayt al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar, pada masa al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat peradaban, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-mu'tashim (833-842M) khalifah setelahnya memberikan peluang besar kepada orang Turki untuk masuk kedalam pemerintahan. Demikian ini dengan dilatar belakangi dengan adanya persaingan antara golongan arab dan Persia pada masa al-ma'mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tantara pengawal. Tak seperti masa dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah mengganti sistem ketentaraan. Praktek orang muslim mengikuti perang sudah berakhir. Tentara dibina khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer Abbasiyah menjadi sangat kuat.


Menjelaskan kebijakan politik yang dilakukan oleh daulah abbasiyah

Lihat Kebijakan Selengkapnya


Page 3

Pada zaman Abbasiyah, konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin dinasti Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (khalifah) adalah berasal dari Allah. Bukan berasal dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman Khulafaur Rasyidin. 

Hal ini dapat dilihat dengan perkataan al-Mansur "saya adalah sultan Tuhan diatas buminya". Pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan social, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi disetiap masa tersebut. Dinasti Abbasiyah dibagi menjadi 5 fase pemerintahan, dan sistem politik yang dijalankan oleh dinasti Abbasiyah I adalah :

  • Para khalifah tetap dari keturunan arab, sedang para Menteri, panglima, gubernur, dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
  • Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, social dan kebudayaan.
  • Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
  • Kebebasan berfikir sebagai hak asasi manusia yang diakui sepenuhnya.
  • Para Menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintahan.

Selanjutnya, dinasti Abbasiyah dalam periode II, III, dan IV mengalami penurunan terhadap politik nya terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian sudah tidak menghiraukan pemerintahan pusat, kecuali politik saja. Panglima didaerah sudah berkuasa didaerahnya, dan mereka mendirikan (membentuk) pemerintahan sendiri. Misalnya dinasti Umayyah yang muncul kembali di Andalusia (Spanyol) dan dinasti Fathimiyah. Pada awal masa berdirinya dinasti Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para khalifah guna mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan, yaitu tindak keras terhadap bani Umayyah dan pengutamaan orang-orang turunan Persia.

Dalam menjalankan pemerintahan, Abbasiyah dibantu oleh seorang wazir (perdana Menteri) dan jabatannya disebut dengan wizarat. Sedangkan wizarat terbagi menjadi 2 yaitu,

  • Wizarat tanfiz (sistem pemerintahan presidensial) yaitu wazir hanya sebagai pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah.
  • Wizarat tafwidl (parlemen cabinet) yang mana wazir memiliki kuasa penuh atas pemerintahan dan khalifah hanya sebatas formalitas lambang atau sebagai pengukuh dinasti lokal atau gubernurnya khalifah.

Untuk membantu khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitabah (secretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kitab (sekretaris negara), dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (Menteri departemen). Tata usaha negara bersifat sentral yang dinamakan an-Nidzamul Idary al-Markazy. Selain itu, dalam zaman daulah Abbasiyah juga didirikan Angkatan perang, Amirul umara, Baitul mal, organisasi kehakiman, dsb. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, ekonomi dan budaya.

masa 5 periode pemerintahan daulah bani Abbasiyah, antara lain :

  • Periode Pertama (750-847 M)

Pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah mencapai masa emasnya. Secara politik, khalifah merupakan tokoh sesungguhnya yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam.

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat. Yaitu dari tahun 750-754 M. karena itu, Pembina hakiki dari dinasti Abbasiyah adalah Abu Ja'far al-Mansur (754-775M). pada awal mula, ibu kota adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota baru yang dibangunnya, Baghdad, dekat ibu kota bekas Persia, Ctesiphon, Tahun 762 M. dengan demikian pusat  pemerintahan dinasti Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru tersebut, al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di Lembaga eksekutif dan yudikatif. Dibidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai coordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana Menteri dengan Menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada ditangan keluarga terpandang berasal dari Balkiah, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya Ja'far bin yahya menjadi gubernur Persia barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut, persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani oleh keluarga Persia itu. Masuknya keluarga non arab ini kedalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara dinasti Umayyah yang berorientasi ke bangsa arab.

Khalifah al-Mansur juga membentuk Lembaga protocol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi Angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad Ibn Abdul ar-Rahman sebagai hakim pada Lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak ,asa dinasti Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur jawatan pos digunakan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.

Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan didaerah perbatasan. Dipihak lain, dia berdamai dengan caisar Costantine V dan selama genjatan senjata 758-765M, Byzantium membayar upeti tahunan. Pada masa al-Mansur pengertian khalifah kembali berubah. konsep khilafah dalam pandangannya dan setelahnya merupakan mandate dari Allah bukan dari manusia,, bukan pula sebagai pelanjut nabi sebagaimana pada masa Khulafaur Rasyidin. Popularitas dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya dimasa Harun ar-Rasyid (786-809M) dan putranya al-Ma'mun (813-833 M). kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun ar-Rasyid untuk keperluan social, rumah sakit, Lembaga Pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud dimasa ini. Kesejahteraan social, kesehatan, Pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

Dengan demikian, telah terlihat bahwa pada masa Harun ar-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dibanding dengan perluasaan wilayah yang sejatinya sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya dengan dinasti Umayyah. Al-Ma'mun setelah ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bayt al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar, pada masa al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat peradaban, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-mu'tashim (833-842M) khalifah setelahnya memberikan peluang besar kepada orang Turki untuk masuk kedalam pemerintahan. Demikian ini dengan dilatar belakangi dengan adanya persaingan antara golongan arab dan Persia pada masa al-ma'mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tantara pengawal. Tak seperti masa dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah mengganti sistem ketentaraan. Praktek orang muslim mengikuti perang sudah berakhir. Tentara dibina khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer Abbasiyah menjadi sangat kuat.


Menjelaskan kebijakan politik yang dilakukan oleh daulah abbasiyah

Lihat Kebijakan Selengkapnya


Page 4

Pada zaman Abbasiyah, konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin dinasti Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (khalifah) adalah berasal dari Allah. Bukan berasal dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman Khulafaur Rasyidin. 

Hal ini dapat dilihat dengan perkataan al-Mansur "saya adalah sultan Tuhan diatas buminya". Pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan social, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi disetiap masa tersebut. Dinasti Abbasiyah dibagi menjadi 5 fase pemerintahan, dan sistem politik yang dijalankan oleh dinasti Abbasiyah I adalah :

  • Para khalifah tetap dari keturunan arab, sedang para Menteri, panglima, gubernur, dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
  • Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, social dan kebudayaan.
  • Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
  • Kebebasan berfikir sebagai hak asasi manusia yang diakui sepenuhnya.
  • Para Menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintahan.

Selanjutnya, dinasti Abbasiyah dalam periode II, III, dan IV mengalami penurunan terhadap politik nya terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian sudah tidak menghiraukan pemerintahan pusat, kecuali politik saja. Panglima didaerah sudah berkuasa didaerahnya, dan mereka mendirikan (membentuk) pemerintahan sendiri. Misalnya dinasti Umayyah yang muncul kembali di Andalusia (Spanyol) dan dinasti Fathimiyah. Pada awal masa berdirinya dinasti Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para khalifah guna mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan, yaitu tindak keras terhadap bani Umayyah dan pengutamaan orang-orang turunan Persia.

Dalam menjalankan pemerintahan, Abbasiyah dibantu oleh seorang wazir (perdana Menteri) dan jabatannya disebut dengan wizarat. Sedangkan wizarat terbagi menjadi 2 yaitu,

  • Wizarat tanfiz (sistem pemerintahan presidensial) yaitu wazir hanya sebagai pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah.
  • Wizarat tafwidl (parlemen cabinet) yang mana wazir memiliki kuasa penuh atas pemerintahan dan khalifah hanya sebatas formalitas lambang atau sebagai pengukuh dinasti lokal atau gubernurnya khalifah.

Untuk membantu khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitabah (secretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kitab (sekretaris negara), dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (Menteri departemen). Tata usaha negara bersifat sentral yang dinamakan an-Nidzamul Idary al-Markazy. Selain itu, dalam zaman daulah Abbasiyah juga didirikan Angkatan perang, Amirul umara, Baitul mal, organisasi kehakiman, dsb. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, ekonomi dan budaya.

masa 5 periode pemerintahan daulah bani Abbasiyah, antara lain :

  • Periode Pertama (750-847 M)

Pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah mencapai masa emasnya. Secara politik, khalifah merupakan tokoh sesungguhnya yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam.

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat. Yaitu dari tahun 750-754 M. karena itu, Pembina hakiki dari dinasti Abbasiyah adalah Abu Ja'far al-Mansur (754-775M). pada awal mula, ibu kota adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota baru yang dibangunnya, Baghdad, dekat ibu kota bekas Persia, Ctesiphon, Tahun 762 M. dengan demikian pusat  pemerintahan dinasti Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru tersebut, al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di Lembaga eksekutif dan yudikatif. Dibidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai coordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana Menteri dengan Menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada ditangan keluarga terpandang berasal dari Balkiah, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya Ja'far bin yahya menjadi gubernur Persia barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut, persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani oleh keluarga Persia itu. Masuknya keluarga non arab ini kedalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara dinasti Umayyah yang berorientasi ke bangsa arab.

Khalifah al-Mansur juga membentuk Lembaga protocol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi Angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad Ibn Abdul ar-Rahman sebagai hakim pada Lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak ,asa dinasti Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur jawatan pos digunakan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.

Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan didaerah perbatasan. Dipihak lain, dia berdamai dengan caisar Costantine V dan selama genjatan senjata 758-765M, Byzantium membayar upeti tahunan. Pada masa al-Mansur pengertian khalifah kembali berubah. konsep khilafah dalam pandangannya dan setelahnya merupakan mandate dari Allah bukan dari manusia,, bukan pula sebagai pelanjut nabi sebagaimana pada masa Khulafaur Rasyidin. Popularitas dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya dimasa Harun ar-Rasyid (786-809M) dan putranya al-Ma'mun (813-833 M). kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun ar-Rasyid untuk keperluan social, rumah sakit, Lembaga Pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud dimasa ini. Kesejahteraan social, kesehatan, Pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

Dengan demikian, telah terlihat bahwa pada masa Harun ar-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dibanding dengan perluasaan wilayah yang sejatinya sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya dengan dinasti Umayyah. Al-Ma'mun setelah ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bayt al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar, pada masa al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat peradaban, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-mu'tashim (833-842M) khalifah setelahnya memberikan peluang besar kepada orang Turki untuk masuk kedalam pemerintahan. Demikian ini dengan dilatar belakangi dengan adanya persaingan antara golongan arab dan Persia pada masa al-ma'mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tantara pengawal. Tak seperti masa dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah mengganti sistem ketentaraan. Praktek orang muslim mengikuti perang sudah berakhir. Tentara dibina khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer Abbasiyah menjadi sangat kuat.


Menjelaskan kebijakan politik yang dilakukan oleh daulah abbasiyah

Lihat Kebijakan Selengkapnya