Mengapa keanekaragaman hayati di Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan negara negara lain?

Cibinong, Humas LIPI. Indonesia adalah negara dengan kekayaan biodiversitas terrestrial tertinggi kedua di dunia. Jika digabungkan dengan keanekaragaman hayati di laut, maka Indonesia menjadi yang pertama. Menurut Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, keanekaragaman hayati adalah aset jangka panjang yang perlu terus dipelajari, dikaji, dan diteliti. Upaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah melakukan pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk bioproduk melalui bioprospeksi dalam bentuk herbal immunomodulator untuk Covid-19 dan bioekonomi melalui produk berbahan dasar material hayati perlu terus dikembangkan.

“Pengarusutamaan keanekaragaman hayati merupakan upaya kolektif untuk mengintegrasikan tindakan terkait korservasi dan keberlanjutan keanekaragaman hayati pada setiap tahapan kebijakan, rencana, program dan siklus proyek,” ujar Bambang dalam International Webinar on Indonesian Biodiversity “Mainstreaming biodiversity conservation, bioprospection, and bioeconomy for sustainable livelihood” dalam rangka memperingati HUT LIPI ke 53 dan 25 tahun Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (HARTEKNAS) pada Rabu (16/9).


 

Dalam kesempatan yang sama, Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko, pentingnya meningkatkan kesadaran dan mengarusutamakan konservasi keanekaragaman hayati, bioprospeksi, dan bioekonomi di setiap sektor yang memungkinkan. Misi LIPI untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berguna untuk konservasi dan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, sejalan dengan program Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Target Aichi 2050.

“LIPI sebagai koordinator program penelitian nasional keanekaragaman hayati, terus berupaya melakukan eksplorasi untuk mengungkap keanekaragaman hayati Indonesia,” jelasnya.
 

Rosichon Ubaidillah, Peneliti Zoologi pada Pusat Penelitian Biologi LIPI, memaparkan Bahwa status dan tren keanekaragaman hayati Indonesia menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat agro biodiversitas dunia dengan 10% spesies dari total spesies tumbuhan dunia.
 

“Flora dan fauna di tujuh pulau utama Indonesia, yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Lesser Sunda, Mollucas dan Papua sangat mendominasi. Jawa masih menjadi pulau tertinggi diversitas floranya. Hal ini karena eksplorasi banyak dilakukan di pulau Jawa,” ungkap Rosichon.
 

Rosichon menambahkan, untuk keanekaragaman fauna, sekitar 12% mamalia dunia (773 spesies) ada di Indonesia. Spesies terbanyak terdapat di Kalimantan dan jenis spesies endemik tertinggi terdapat di Papua dan Sulawesi. Namun status dan tren keberagaman fauna terus berpacu dengan laju kepunahan.
 

“Saat ini terdapat 191 spesies mamalia, 33 spesies burung, 33 spesies amphibi, 30 spesies reptil, 231 spesies ikan, 63 spesies moluska, dan 26 spesies kupu-kupu yang terancam keberadaannya. Termasuk tujuh spesies lebah madu dunia yang ditemukan Indonesia, dua jenis di antaranya endemik dan saat berstatus akan punah dan terancam. Tindakan harus segera diambil dalam rangka menyelamatkan biodiversitas tersebut,” tutur Rosichon.
 

Dede Heri Yuli Yanto peneliti dari Pusat Penelitian Biomaterial LIPI, mengungkapkan berdasarkan data kehati Indonesia 2019, terdapat 2.273 spesies fungi yang telah diidentifikasi di Indonesia. Jumlah ini terhitung masih sangat sedikit. Sekitar 1.9% dari fungi yang ada di dunia. Indonesia diperkirakan memiliki 86.000 spesies fungi dari 1,5 juta–3 juta fungi dunia. Saat ini baru 120.000 spesies teridentifikasi.
 

Dirinya menjelaskan, salah satu jamur yang diteliti LIPI yaitu White Root Fungi (WRF) memiliki potensi bioprospeksi sebagai bioproduk. WRF memiliki kemampuan mendegradasi lignin menggunakan ligninolitik enzim dan dapat menghasilkan enzim selulase dan xilanase. WRF yang telah diidentifikasi sangat potensial untuk menghasilkan enzim lakase dalam jumlah yang sangat tinggi sehingga mampu mendegradasi pewarna pada limbah tekstil, selain itu Strain NG007 dari WRF mampu mendegradasi minyak mentah sehingga dapat mengatasi tumpahan atau cemaran minyak di laut.
 

“Saat ini yang perlu menjadi perhatian melakukan riset terpadu untuk mengungkap keanekaragaman hayati yang belum teridentifikasi. Kehilangan terus terjadi baik aktifitas manusia dan bencana alam seperti kebakaran hutan, penebangan liar dan eksploitasi hutan,” jelas Dede
 

Di sisi lain Masteria Yunovilsa Putra, Kepala kelompok Pusat Penemuan dan Pengembangan Obat, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, memandang, bagi peneliti keanekaragaman hayati tumbuhan dan organisme laut Indonesia seperti perpustakaan besar untuk penemuan obat baru. “Sekitar 70% wilayah lautan Indonesia merupakan sumber daya yang belum optimal dimanfaatkan. Lebih dari 100 senyawa laut telah diisolasi dari organisme laut, seperti spons, soft coral, tunicate, dan algae,” tuturnya. 
 

“Selama beberapa dekade terakhir, para peneliti berfokus pada penemuan obat dari herbal atau sumber tumbuhan, misalnya kandidat immunomodulator Covid-19 yang sudah diuji klinis dan dilaporkan ke BPOM. Butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat agen terapeutik yang bisa dipasarkan. Dari 10.000 hingga 20.000 kandidat obat kemungkinan hanya dapat menghasilkan satu obat yang bisa dipasarkan,” ungkap Masteria.
 

Masteria mengungkapkan, sebagian besar kajian hasil alam laut Indonesia masih dilakukan oleh peneliti asing atau bekerja sama dengan peneliti Indonesia. Oleh karena itu, dukungan pemerintah, investasi oleh industry farmakologi, dan keahlian keilmuan riset sangat penting untuk penemuan produk alam laut baru oleh peneliti Indonesia. “Tanpa mengetahui jumlah dan jenis organisme laut maupun darat, tidak ada cara untuk mengetahui apa yang berubah atau hilang dari perspektif keanekaragaman hayati,” pungkasnya. (sa/ed:sr)

Sivitas Terkait : Dr. Laksana Tri Handoko M.Sc.

Negara megabiodiversitas (megabiodiversity) merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati lebih banyak dibandingkan negara-negara lain, baik bersifat endemis maupun hayati asli. Melansir dari Media Indonesia, biodiversitas diartikan sebagai keseluruhan gen, spesies, dan ekosistem yang ada di suatu kawasan, termasuk keanekaragaman genetik dan ekosistem.

Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wulansih Dwi Astuti menjelaskan, bahwa suatu negara dikatakan sebagai megabiodiversity jika memiliki paling sedikit 5.000 spesies tumbuhan endemis dan memiliki marine ecosystem pada wilayahnya. Beberapa negara menampung sebagian besar keanekaragaman hayati yang ada di bumi ini. Maka dari itu, terdapat beberapa negara yang disebut sebagai negara megabiodiversitas.

Negara megabiodiversitas

Berdasarkan data dari Mongabay, Brasil menempati urutan teratas sebagai negara megabiodiversitas terbesar dengan skor 0,772. Mengutip dari Indonesia.go.id, Hutan Amazon sebagai hutan tropis terluas di dunia menjadi latar belakang tingginya tingkat keanekaragaman hayati di Brasil.

Kemudian, posisi kedua diduduki oleh Indonesia dengan skor 0,614. Tak heran, jika Indonesia masuk dalam jajaran negara megabiodiversitas. Indonesia adalah negara kepulauan dengan bentang alam yang sangat luas, di mana terdapat flora dan fauna yang beragam.

Selanjutnya, terdapat Kolombia dengan skor 0,567. Mengutip dari Colombia.co, salah satu negara Amerika Selatan ini terletak di daerah tropis khatulistiwa, sehingga memiliki topografi yang beragam dengan berbagai iklim dan ekosistem yang meningkatkan keanekaragaman hayatinya. Saat ini, Kolombia mencakup 10 persen flora dan fauna di bumi. Salah satu wilayah yang tinggi akan ekosistem keragaman hayatinya adalah wilayah Andes.

Posisi keempat terdapat China dengan skor 0,543. China memiliki hampir 10 persen spesies tumbuhan dan 14 persen hewan di bumi. Keanekaragaman hayati ini membantu dalam rangka menjaga produktivitas ekosistem, ketahanan pangan, serta menyediakan sumber daya penting, terutama obat-obatan.

Kelima diduduki oleh Peru dengan skor 0,509. Peru menjadi tempat hidup dari berbagai spesies burung, amfibi, mamalia, dan tumbuhan. Kemudian lima negara lainnya sebagai megabiodiversitas terdapat Meksiko, Australia, Ekuador, India, dan Amerika Serikat.

Indonesia sebagai negara megabiodiversitas ke-2

Mengutip dari ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund), Indonesia memiliki 25 persen spesies ikan di dunia, mencakup 3.429 jenis ikan hidup di air laut dan 39 persen jenis ikan karang. Sebagian dari jenis ikan tersebut, sebanyak 120 jenis tercatat sebagai ikan endemis.

Mengapa keanekaragaman hayati di Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan negara negara lain?
Keanekaragaman hayati di Indonesia | Goodstats

Kemudian, terumbu karang Indonesia meliputi 14 persen terumbu karang dunia yang terdiri atas 596 jenis karang. Dilansir dari Kompas.id, selain 25 persen spesies ikan di dunia ada di perairan Indonesia, terdapat pula 17 persen keragaman spesies burung, 16 persen amfibi dan reptil, 15 persen serangga, 12 persen mamalia, dan 10 persen tanaman berbunga di dunia ada di Indonesia.

Melansir dari Indonesiabaik, angka ini juga memengaruhi terhadap peringkat spesies milik Indonesia di dunia. Indonesia meraih peringkat satu spesies mamalia terbanyak, peringkat dua spesies ikan, peringkat empat spesies burung, reptil, dan tumbuhan. Kemudian, peringkat lima spesies krustasea dan peringkat sembilan spesies amfibi di dunia.

Kurang mendapatkan sentuhan riset

Namun, dibalik keragaman hayati yang besar ini dinilai masih minim akan riset dan pengembangan budidayanya. Melansir dari Kompas.id, Ahli Konservasi dan Biodiversitas Indonesia dari Universitas Indonesia, Jatna Supriatna mengatakan keanekaragaman hayati dan beragamnya spesies jika mendapatkan sentuhan riset dan pengembangan memadai dan terpadu akan mencukupkan kehidupan masyarakat secara berkelanjutan.

Jika dikembangkan secara tepat, Indonesia seharusnya tak perlu bergantung pada impor berbagai jenis pangan. Banyak sumber pangan lokal yang dapat dikonsumsi. Jatna mencontohkan masyarakat Mentawai yang menjadikan 150 jenis serangga sebagai sumber pangan lokal.

Kemudian, ikan berbobot besar di Kalimantan dan Sumatra juga kurang dalam pengembangan budidaya dan riset yang dilakukan. Alhasil, kekayaan ini sulit dipastikan keberlanjutannya. Selain itu, Indonesia juga punya anoa dan rusa tapi hanya diburu tanpa dikembangkan atau dibudidayakan.

Jika hal ini terus dibiarkan, tak menutup kemungkinan akan terjadi kepunahan di alam tanpa disadari. Maka dari itu, kita tak boleh hanya berhenti sampai pemanfaatan atau menghabiskan saja. Perlindungan, pelestarian, dan pengembangan keanekaragaman hayati juga harus dilakukan agar keberlanjutannya tetap dapat dirasakan.