Abdur Rauf As-Singkili diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat). Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah: Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin. Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin Mawa'iz al-Badî', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak. Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, memuat penjelasan tentang konsep wahdatul wujud Daqâiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi. Dengan demikian, sepanjang hayatnya, Syekh Abdur Rauf telah menghasilkan puluhan karya tulis, empat diantaranya antara lain yaitu: Tarjuman al-Mustafid, Syarh Hadits Arba’in Imam An-Nawawi, Mawa’iz al-Badi dan Tanbih al-Masyi. Teungku Syiah KualaGelarTeungku Syiah KualaNamaAminuddin Abdul RaufNisbahas-Singkili Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal.[1] Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatra dan Nusantara pada umumnya.[2] Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala). Masa mudaNama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili.[3] Menurut riwayat masyarakat, keluarganya diduga berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Namun hal itu belum dapat dipastikan karena minimnya catatan sejarah keluarganya, serta tidak didukung nama keluarga yang mencirikan keturunan Arab ataupun Persia. Beberapa ahli berpendapat bahwa ia merupakan putra asli pribumi beretnis Minang Pesisir di Singkil yang telah menganut agama Islam pada masa itu. Pendapat lain mengatakan dari etnis Batak Singkil beregama Islam yang tidak diketahui lagi marganya. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam. Tarekat SyattariyahMenurut Syed Muhammad Naquib al-Attas,[4] syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya.[5] Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.[6] Dakwah dan karyaIa diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatra Barat), Syeikh Nur Qodim Al Baharuddin (dari Djagat Besemah Libagh-Semende Panjang/Sumatera Selatan) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat). Azyumardi Azra menyatakan[7] bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:[8]
WafatAbdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh. Referensi
Pranala luar
Terjemah Alquran bahasa Melayu belum banyak ditulis ketika itu. REPUBLIKA.CO.ID, Upaya penerjemahan Alquran ke berbagai bahasa telah dilakukan para ulama dengan ragam kontroversi yang menyertainya. Di antara tokoh yang bergelut dalam penerjemahan sekaligus penafsiran Alquran ke dalam bahaya Melayu adalah Syekh Abdurrauf as-Singkili. Namanya didapuk sebagai penerjemah Alquran pertama ke dalam bahasa Melayu di bumi Nusantara. Syekh Abdurrauf menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Melayu yang tertuang dalam kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid. Ulama asal Aceh tersebut memang dikenal sebagai sastrawan, sufi, sekaligus guru agama. Pria yang lahir pada 1615 masehi atau 1035 Hijriyah itu bernama lengkap Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Singkili. Ayahnya seorang ulama dari Arab Saudi sedangkan ibunya dari kota kecil di pantai barat Sumatra bernama Fansur atau Barus. Ketika masih kecil, Syekh Abdurrauf mempelajari ilmu agama serta bahasa Arab dari ayahnya sendiri. Kemudian setelah remaja, ia pergi ke Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikannya. Saat itu Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Seperti diketahui, dibawah kepemimpinannya, Aceh mengalami masa keemasan sekaligus puncak kekuasaan. Sultan Iskandar Muda juga sangat mendukung penyebaran Islam. Dengan begitu, agama ini turut berkembang pesat pada masa pemerintahannya. Tidak berhenti di satu daerah, selanjutnya sekitar 1642, Syekh Abdurrauf berangkat ke Arab Saudi. Selain untuk menunaikan ibadah haji, ia juga berencana memperdalam keilmuannya. Dirinya lalu pergi ke Yaman untuk menuntut ilmu di dua lembaga pendidikan bergengsi kala itu yakni Bait al-Faqih dan Zabid. Di Bait Al Faqih, Syekh Abdurrauf belajar dengan ahli fikih dan hadis seperti Ibrahim bin Abdullah bin Ja’man serta Ishak bin Muhammad bin Ja’man. Syekh Abdurrauf sempat pula menimba ilmu di Madinah. Di negeri tersebut dia bahkan mendapat gelar khalifa tarekat Syatariah dan Qadiriyah, yaitu gelar yang menandakan pelajarannya selesai. Di Makkah atau Madinah, Syekh Abdurrauf pernah menjadi guru yang mengajar banyak murid dari berbagai negara selama kurang lebih 19 tahun. Sembari mengajar, dirinya juga memanfaatkan waktu untuk menulis berbagai kitab. Sampai akhirnya, dia memutuskan kembali ke tanah kelahirannya pada 1661. Setibanya di Aceh, dirinya bertekad mengembangkan dunia pendidikan sekaligus Islam di sana. Pada 1693 m atau 1105 Hijriyah, sang ulama besar itu menghembuskan nafas terakhirnya di usia 73 tahun. Dirinya kemudian dimakamkan di dekat muara sungai Aceh yang terletak sekitar 15 kilometer dari Banda Aceh. Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ... |