Jika keluar darah sedikit tapi bukan haid apakah boleh shalat

Banyak wanita mengeluh karena siklus haid yang kadang tidak teratur. Tak jarang ada yang mengalami haid beberapa hari, kemudian berhenti darahnya, lalu selang beberapa hari keluar lagi, padahal masih dalam satu fase haid dan di bulan yang sama.

Ada pula wanita yang sudah terbiasa haid teratur dan stabil tapi tiba-tiba berubah menjadi tidak teratur karena sebab tertentu, misalnya habis melahirkan, atau sedang memakai alat kontrasepsi.

Wanita Dengan Siklus Haid Teratur

Dalam ilmu Fiqih ada istilah Mu’taadah, artinya: Wanita yang punya kebiasaan haid yang stabil dan teratur. Patokannya bukan tiap tanggal berapa dia haid setiap bulannya, akan tetapi berapa hari lamanya mengalami haid setiap bulannya.

Setiap wanita Mu’tadah berbeda mengenai berapa lama kebiasaan haidnya, ada yang biasa mengalami haid 6 hari, ada yang terbiasa 7 hari, 8 hari, atau mungkin 10 hari di tiap bulannya. Biasanya, wanita akan tahu kebiasaannya apabila sudah mengalami 3 kali haid dan setiap haid itu durasinya selalu stabil dan teratur.

Seluruh ulama ahli Fiqih sepakat jika darah Mu’tadah sudah tidak keluar lagi sebelum kebiasaan masa haidnya berakhir, maka wanita ini sudah suci dan boleh menunaikan shalat. Jika wanita terbiasa mengalami haid selama 6 hari, sedangkan pada satu waktu haid darahnya sudah berhenti di hari ke-4 dan tidak keluar lagi, maka ia sudah masuk masa suci mulai sejak berhentinya darah.

Akan tetapi dalam kondisi demikian, para ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya jima’ dengan suami. Menurut jumhur (mayoritas) ulama fiqih dari madzhab Maliki, Syafi'i dan Hambali ia sudah boleh berjima dengan suaminya, karena memang sudah suci. Walaupun ulama dari kalangan madzhab Hanafi belum membolehkan itu sampai berlalu masa kebiasaan haidnya untuk ihtiyath atau berhati-hati. (lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, jilid 18, hal. 304)

Wanita Dengan Siklus Haid Tidak Teratur

Bagaimana dengan para wanita yang siklus haidnya tidak teratur? Bisa jadi teratur di satu fase, tapi bisa jadi di waktu-waktu berikutnya tidak teratur lagi. Banyak yang mengalami berhentinya darah di tengah-tengah waktu kebiasaan, kemudian setelah bersuci ternyata keluar lagi. Adapula yang darahnya masih keluar padahal sudah melewati jumlah hari kebiasaan haid.

Berikut ini Penulis akan jelaskan pendapat para ulama Fiqih mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas:

a. Madzhab Hanafi

Madzhab hanafi sangat menggaris bawahi istilah Mu’tadah dan bukan Mu’tadah dalam menentukan darah haid dan istihadhah. Menurut madzhab ini, Mu’tadah yang darahnya keluar melewati masa kebiasaan haidnya maka dihukumi istihadhah. Misalnya, bila ada wanita terbiasa haid 7 hari pada tiap bulannya, kemudian pada satu masa haid ternyata darahnya tetap mengalir di hari selanjutnya, maka darah yang keluar melewati 7 hari itu dianggap istihadhah.

Begitupula bila wanita terbiasa haid selama 6 hari, kalau tiba-tiba darahnya masih belum berhenti di hari ke-7 maka darah yang keluar di hari ke-7 dan selanjutnya itu dihukumi sebagai darah istihadhah.

Namun jika pada tiap bulannya ia terbiasa keluar haid melebihi 10 hari (misalnya terbiasa mengalami haid 11 hari atau 13 hari), maka yang dihukumi sebagai haid adalah 10 hari pertama, dan darah yang keluar melewati 10 hari dianggap istihadhah. Sebab  menurut madzhab ini masa maksimal keluarnya darah haid adalah 10 hari 10 malam. Maka darah yang keluar melewati batas 10 hari dihukumi istihadhah.

Bila darah terputus di tengah-tengah masa haid

Madzhab Hanafi berpendapat bahwa wanita yang mengalami terputusnya darah haid, lalu beberapa hari kemudian darahnya keluar lagi, maka darah kedua ini dianggap darah haid juga. Dengan syarat darah kedua ini keluar di dalam masa rentang 10 hari (masa maksimal haid menurut madzhab ini)

Saat darah teputus, apakah wanita boleh shalat atau tidak?

Madzhab Hanafi mewajibkan wanita untuk menunaikan shalat di saat darahnya sedang berhenti keluar. Misalnya, bila wanita haid di tanggal 1-4 lalu darahnya berhenti di tanggal 5-6, kemudian darah keluar lagi di tanggal 7-9. Pada kondisi ini, tanggal 1-4 dan tanggal 7-9 si wanita tidak boleh shalat karena sedang haid, sedangkan di tanggal 5-6 saat darah berhenti si wanita tetap wajib shalat.

 b. Madzhab Maliki

Apabila darah keluar di hari pertama, lalu terputus, kemudian keluar lagi. Maka darah yang pertama dan kedua dianggap satu fase darah haid. Dengan syarat bahwa darahnya tidak terputus atau tidak berhenti lebih dari 15 hari (yakni masa minimal suci menurut madzhab ini).

Pada masa terputusnya / berhentinya darah itu, ia wajib melaksanakan shalat krna ia dianggap suci. Dan saat darah haid keluar lagi (dalam rentang masa 15 hari tersebut), maka ia kembali dianggap haid dan tidak boleh menunaikan shalat.

Misalnya, bila seorang wanita keluar haid di tanggal 1-5, kemudian darahnya terputus atau berhenti di tanggal 6-8, kemudian ternyata keluar lagi darahnya di tanggal 9-10. Maka, tanggal 1-5 dan tanggal 9-10 ia berada dalam keadaan haid, sedangkan tanggal 6-8 dianggap suci dan wajib melaksanakan shalat.

Teori dari madzhab Hanafi dan Maliki mengenai terputusnya darah di tengah-tengah masa haid agaknya hampir sama, hanya saja dua madzhab ini berbeda dalam menetapkan masa minimal dan maksimal haid.

Menurut Madzhab Hanafi, masa minimal haid adalah 3 hari, sedangkan maksimalnya adalah 10 hari. Sedangkan menurut madzhab Maliki, masa minimal haid adalah beberapa tetes saja, sedangkan maksimalnya adalah 18 hari bagi Mu’tadah dan 15 hari bagi yang bukan Mu’tadah.

 c. Madzhab Syafi'i

 Ulama dari madzhab Syafi’i berpendapat bahwa darah yang berhenti kemudian keluar lagi dianggap seluruhnya satu 'paket' haid. Artinya, bahwa jika wanita haid mengalami masa terputusnya/berhentinya darah yang disusul keluarnya darah kedua, semua masa itu dianggap masa haid. Dengan syarat:

1. sejak pertama darah keluar hingga habisnya darah kedua itu tidak melebihi masa maksimal haid (15 hari).

2. darah yang berhenti itu ada di antara 2 masa keluarnya darah yang sempat terputus.

3. darah pertama yang belum sempat terputus sudah keluar minimal sehari semalam. (Mughni al-Muhtaj juz 1 hal. 119)

Misalnya: bila wanita mengalami haid pada tanggal 1-4, kemudian darah terputus dan tidak keluar di tanggal 5-7, lalu darah keluar lagi di tanggal 8-12, maka dari tanggal 1 hingga tanggal 12 dianggap seluruhnya dalam keadaan haid. Konsekwensinya, selama 12 hari itu ia dilarang menunaikan shalat.

Madzhab ini sepertinya lebih memudahkan para wanita untuk menghitung hari-hari haidnya. Apalagi bagi wanita yang siklus haidnya tidak teratur.

 d. Madzhab Hambali

Pendapat dar madzhab ini lebih sederhana, yakni apabila darah haid wanita berhenti, baik karena terputus atau tidak, maka ia dihukumi sebagaimana wanita yang suci. Dan jika darahnya keluar lagi pada rentang masa 'aadah atau kebiasaan haidnya, maka berarti ia kembali haid dan tidak boleh melaksanakan shalat. (al-Kaafi juz 1 hal. 186)

Demikian pendapat dari masing-masing madzhab muktamad. Mudah-mudahan dapat membantu para muslimah dalam menentukan haid dan tidaknya. Hal ini penting, sebab dengan mengetahuinya, para muslimah dapat mengerti kapan ia harus melaksanakan ibadah-ibadah tertentu seperti shalat dan puasa, dan kapan ia tidak boleh melaksanakannya.

Wallahu A’lam Bisshawab.

Darah istihadah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita di luar kebiasaan bulannya (haid) atau di luar waktu haid, serta bukan disebabkan karena melahirkan.[1] Pada umumnya, wanita mengalami haid selama 6 - 8 hari dan paling lama 15 hari.[2]

Seorang wanita yang mengalami istihadhah dilarang meninggalkan ibadahnya, seperti salat, puasa dan ibadah lainnya.[1]

Secara istilah, ada beberapa definisi di kalangan ulama.[3] Namun, mungkin bisa disimpulkan sebagai berikut: Istihadhah adalah darah yang berasal dari urat yang pecah/putus dan keluarnya bukan pada masa haid atau nifas (kebanyakan), tapi terkadang juga keluar pada masa adat haid dan saat nifas.[3] Karena dia adalah darah berupa penyakit, maka dia tidak akan berhenti mengalir sampai wanita itu sembuh darinya.[3] Karena itulah, darah istihadhah ini kadang tidak pernah berhenti keluar sama sekali dan kadang berhentinya hanya sehari atau dua hari dalam sebulan.[3]

Berbeda dengan darah haid, darah istihadhah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Warnanya merah, baunya seperti darah biasa, berasal dari urat yang pecah/putus dan ketika keluar langsung mengental.[3] Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah:[3]

  1. Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.[3]
  2. Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.[3]
  3. Kekentalannya. Darah haid kental sedangkan darah istihadlah sebaliknya.[3]
  4. Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.[4]

Imam empat mazhab berbeda pendapat mengenai perempuan yang mengeluarkan darah istihadhah. Menurut Mazhab Hanafi, perempuan dengan masa haid yang teratur harus mengikuti kebiasaan haidnya untuk menentukan masa awal istihadhah. Pada perempuan yang tidak memiliki kebiasaan haid yang teratur, maka perbedaan darah tidak dijadikan sebagai acuan. Pedoman yang digunakan adalah masa haid tersingkat.[5]

Mazhab Maliki menetapkan bahwa masa awal istihadhah harus berdasarkan kepada perbedaan darah dan bukan berdasarkan kebiasaan haid. Ini berlaku bagi perempuan yang mampu membedakan antara darah haid dan darah istihadhah. Bagi yang tidak bisa, maka hukum haid dianggap tidak terjadi dan ia dapat mengerjakan salat pada bulan kedua dan bulan ketiga sejak munculnya darah. Pada bulan pertama, lebih banyak pendapat dari pengikut Mazhab Maliki yang memilih masa haid terlama sebagai acuannya.[5]

Mazhab Syafi'i menetapkan pembedaan darah istihadhah dan darah haid sebagai acuan jika perempuan memiliki kebiasaan haid dan mampu membedakan darah haid dengan darah istihadhah. Jika tidak mampu membedakan, maka kebiasaan haid dijadikan sebagai pedoman. Jika perempuan tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak mampu membedakan kedua jenis darah tersebut, maka hukumnya sama seperti dengan perempuan yang mengalami masa awal haid.[5]

Mazhab Hambali berpendapat bahwa perempuan yang memiliki kebiasaan haid dan mampu membedakan kedua jenis darah tersebut, maka perbedaan darah yang dijadikan sebagai pedoman. Pada kondisi tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak mampu membedakan jenis darah, Mazhab Hambali memiliki dua pendapat. Pendapat pertama ialah menjadikan masa haid tersingkat sebagai pedoman. Sedangkan pendapat kedua adalah menjadikan kebiasaan haid dari perempuan lain sebagai pedoman. Kebiasaan ini umumnya antara enam sampai tujuh hari.[5]

Istihadhah merupakan peristiwa yang tidak menentu kesudahannya.[1] Hal ini bukan sebuah penghalang untuk wanita muslim menjalankan ibadahnya setiap hari.[1] Wanita yang mengalami istihadhah harus tetap menjalankan salat, puasa dan ibadah lainnya. Dalil hadits berikut:

Dari Aisyah ra. dia berkata: Fatimah binti Abi Hubaisy “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengalami istihadhah banyak sekali. Bagaimana menurutmu? Aku telah terhalang dengan sebab itu dari menuaikan salat dan puasa”. Dia berkata: “Aku akan tunjukkan padamu untuk mengetahuinya. Gunakan kapas untuk menutup kemaluanmu karena di akan menutup aliran darahmu” dia berkata: darah tersebut terlalu deras. Kemudian di hadist tersebut Nabi bersabda: “sesungguhnya darah tersebut tendangan – tendangan syaitan, maka massa haidmu enam atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah Ta’ala. Kemudian mandilah jika engkau melihat dirimu sudah bersih (dari haidmu) dan berpuasalah” (HR.Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan dia menshahihkannya. Di nukilkan bahwasannya Imam Ahmad menshahihkanya dan Al Bukhari menghasankannya)”.[6] Selain itu, ada penjelasan tentang hukum wanita yang istihadhah:[7]

a. Tetap Wajib Salat 5 Waktu

Seorang wanita yang keluar darah istihadhah dari kemaluannya tetap diwajibkan untuk mengerjakan salat 5 waktu.[7] Karena darah istihadhah bukan darah haid ataupun darah nifas, sehingga tidak ada larangan baginya untuk mengerjakan salat.[7]

b. Tetap Wajib Puasa Ramadhan

Demikian juga dengan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, tetap wajib dikerjakan, bila yang keluar hanya merupakan darah istihadhah.[7] Puasa Qadha’ atas hari-hari yang ditinggalkan di bulan Ramadhan, kalau memang ada hutang, juga wajib dikerjakan, kalau yang keluar hanya darah istihadhah.[7]

c. Boleh Tawaf dan Sa'i

Tawaf dan Sa’i mensyaratkan suci dari hadats kecil dan juga hadats besar, tetapi karena darah istihadhah tidak menyebabkan hadats besar.[7] Maka cukup bagi wanita yang sedang mendapat darah istihadhah untuk mencuci kemaluannya (istinja) untuk membersihkan darah yang keluar, lalu menyumpalnya dengan pembalut, kemudian berwudhu’ dan dipersilahkan mengerjakan tawaf dan sa’i.[7]

d. Boleh Menyentuh Mushaf

Seorang wanita yang mengalami keluar darah istihadhah diperbolehkan untuk menyentuh mushaf Al Quran, sebagaimana ditetapkan oleh mayoritas ulama.[7] Tentunya setelah berwudhu terlebih dahulu.[7]

e. Boleh Melafadzkan Al Quran

Dan melafazkan ayat-ayat Al Quran pun tidak menjadi larangan bagi wanita yang mendapat darah istihadhah.[7] Asalkan dia telah membersihkan dirinya dari noda darah yang sekiranya mengotori tubuhnya.[7]

f. Boleh Masuk Masjid

Wanita yang sedang istihadhah juga tetap diperbolehkan masuk ke dalam masjid. Tentu setelah membersihkan diri dan pakaiannya dari noda darah.[7] Sebab meski boleh masuk masjid, tetapi mengotori masjid dengan darah yang keluar dari tubuh tentu tetap merupakan larangan.[7] Sebab hukum dasarnya adalah bahwa masjid itu tempat suci, yang terlarang buat kita untuk membaca benda-benda najis ke dalamnya.[7]

g. Boleh Melakukan Hubungan Seksual

Suaminya boleh menyetubuhinya meski darah mengalir keluar.[7] Ini adalah pendapat ulama sebab tidak ada satu pun dalil yang mengharamkannya. Abdullah bin Abbas berkata:

“Kalau salat saja boleh apa lagi bersetubuh.” Selain itu ada riwayat bahwa Ikrimah binti Himnah disetubuhi oleh suaminya dalam kondisi istihadhah.[7]

h. Boleh Diceraikan

Berbeda dengan wanita yang sedang haid, wanita yang mendapat darah istihadhah tidak terlarang dan tidak berdosa bagai suaminya untuk menceraikannya.[7]

Golongan Wanita yang Mengalami Istihadhah

Wanita yang menderita istihadhah dapat digolongkan dalam empat keadaan:[8]

1. Mubtadi’ah Mumayyizah: Baru pertama kali keluar darah dari rahimnya, tetapi sudah pandai membedakan antara darah haid dan istihadhah.[9]

2. Mubtadi’ah Ghairu Mumayyizah: baru pertama kali keluar darah daripada rahimnya, tetapi tidak pandai membedakan antara darah haid dan istihadhah.[9]

3. Mu’tadah Mumayyizah: sudah pernah mengalami haid sebelumnya, lalu suci, dan tahu kadar haid yang keluar dan jumlah hari suci.[9]

4. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah: sudah pernah mengalami haid tetapi tidak mampu membedakan antara darah haid dan istihadhah. Oleh itu, hendaklah dia berpegang kepada kebiasaannya yang telah lalu.[9]

Beribadah saat Istihadhah

Ada beberapa hal yang harus dilakukan seorang wanita ketika akan beribadah saat istihadah, yaitu:[10]

1. Hendaklah berwudhu setiap akan melaksanakan salat.[10]

2. Sebelum berwudhu, ia harus membersihkan hal-hal yang menyangkut dengan kotoran darah (sisa-sisa darah) dan menahan keluarnya darah dengan cara menyumbatnya menggunakan pembalut atau kain.[10]

3. Boleh berhubungan seksual dengan suaminya.[1]

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.[10]

  1. ^ a b c d e Atiqah Hamid (2013). Buku Lengkap Fiqh Wanita. DIVA Press. hlm. 176.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Atiqah" didefinisikan berulang dengan isi berbeda Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Atiqah" didefinisikan berulang dengan isi berbeda Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Atiqah" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ https://www.muslimina.id/belajar-tentang-haid/
  3. ^ a b c d e f g h i "Mengenal Darah Istihadhah". Al-Atsyariah. 2009-06-08. Diakses tanggal 2014-04-23.  Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan) Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Abu" didefinisikan berulang dengan isi berbeda Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Abu" didefinisikan berulang dengan isi berbeda Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Abu" didefinisikan berulang dengan isi berbeda Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Abu" didefinisikan berulang dengan isi berbeda Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Abu" didefinisikan berulang dengan isi berbeda Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Abu" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  4. ^ "Hukum Seputar Darah Wanita: Istihadlah". Muslimah.or.id. 2008-03-26. Diakses tanggal 2014-04-23.  Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)
  5. ^ a b c d ad-Dimasyqi 2017, hlm. 41.
  6. ^ "Istihadhah dan Hukum-hukumnya". Salafy. 2012-10-24. Diakses tanggal 2014-04-23.  Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q "Istihadhah". Hasan Al Banna. 2013-06-17. Diakses tanggal 2014-04-23.  Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
  8. ^ Anshori Umar Sitanggal (1986). Fiqih Wanita. CV. Asy-Syifa'. hlm. 71. 
  9. ^ a b c d "Untuk kita-kita: Istihadhah". drhasanah.com. 2009-03-07. Diakses tanggal 2014-04-23.  Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
  10. ^ a b c d "Al Qur'an Online". Al Qur'an Online. Diakses tanggal 2014-04-23. 
  • Ad-Dimasyqi, Muhammad bin 'Abdurrahman (2017). Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi. ISBN 978-602-97157-3-6.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Istihadhah&oldid=20774650"