Jelaskan mengenai konsep dari Kearifan Lokal subak dari Bali

Oleh:

I Made Geria, Surjono H, Widiatmaka, dan Rachman Kuriawan

Institut Pertanian Bogor, Bogor

Subak adalah sistem tata kelola irigasi tradisional yang menjadi pilar kebudayaan masyarakat Bali. Situs warisan dunia yang telah diakui UNESCO ini kini mulai mengalami permasalahan. Padahal subak adalah benteng peradaban Bali, yang merupakan sarana pembelajaran masyarakat Bali dalam menghargai dan menjaga lingkungannya. Penelitian ini mencoba meninjau permasalahan yang terjadi serta melihat eksistensi peradaban subak dalam masyarakat Bali saat ini.

Budaya subak yang erat kaitannya dengan ritual sangat melekat dengan konsep Tri Hita Karana (THK). Konsep dasar THK yang bersumber dari agama Hindu ini berkaitan dengan peradaban Bali sangat mempengaruhi perilaku subak dan aktivitas anggotanya dalam pembangunan pertanian di lahan sawah. Dalam tataran ritual dan kepercayaan budaya subak yang erat dengan konsep THK masih sangat efektif, namun muncul permasalahan yaitu degradasi alam yang berpotensi melemahkan harmonisasi antara masyarakat dan lingkungan di sejumlah subak. Degradasi alam yang terjadi di subak akibat konversi lahan, alih profesi, ekonomi yang lemah dan kurangnya ketertarikan dari generasi muda untuk melanjutkan keberadaan subak.

Menurut Windia dan Dewi (2011), THK yang merupakan landasan utama subak mengandung pengertian tiga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan yang Maha Esa (parhyangan), hubungan antarmanusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan alam (palemahan). THK juga memiliki aspek budaya dengan nilai-nilai tradisional yang dianut dalam budaya subak. Nilai tradisional yang meliputi kepercayaan dengan beragam ritual yang bersumber dari agama Hindu, nilai gotong royong, nilai musyawarah mufakat, nilai awig-awig atau instrumen hukum adat yang berlaku dan nilai budaya lainnya.

Selain aspek budaya, peradaban subak juga terkait dengan aspek sosial. Menurut Sanderson (2000), ada tiga elemen dasar dalam sistem sosio-kultural, yaitu superstruktur, struktur sosial, dan infrastruktur material. Superstruktur meliputi cara-cara yang telah terpolakan, yang dengan cara tersebut para anggota masyarakat berpikir, melakukan konseptualisasi, menilai dan merasakan sesuatu, di dalamnya tercakup beberapa unsur di antaranya unsur umum, agama, ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusastraan.

Sedangkan struktur sosial merupakan perilaku aktual manusia yang muncul dalam hubungan antarmanusia maupun dalam hubungan mereka dengan lingkungan alam (biofisik) yang meliputi beberapa unsur yaitu stratifikasi sosial, stratifikasi rasial dan etnik, kepolitikan, pembagian kerja secara seksual dan ketidaksamaan secara seksual, keluarga, dan kekerabatan, serta pendidikan. Terakhir, infrastruktur material yang berisi bahan baku dan bentuk sosial yang berkaitan dengan upaya manusia mempertahankan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Infrastruktur material terdiri atas empat unsur, yaitu teknologi, ekonomi, ekologi, dan demografi.

Ketiga elemen ini merupakah konsep yang sama secara filosofi dengan konsep THK, misalnya superstruktur sama dengan parahyangan, struktur sosial sama dengan pawongan, dan infrastruktur material sama dengan palemahan. Kedua konsep yang saling berkaitan ini digunakan dalam penelitian untuk melihat keberadaan budaya subak dalam masyarakat Bali saat ini. Penelitian ini juga membahas strategi kebijakan pengembangan peran subak sebagai destinasi wisata peradaban ekologi untuk menjaga keberlanjutan subak yang sesuai dengan konsep triple bottom line yang meliputi planet, people, dan profit.

Subak Bali merupakan banteng peradaban Bali yang menjadi sarana pembelajaran masyarakat Bali dalam menghargai dan menjaga lingkungan sangat erat kaitannya dengan konsep Tri Hita Karana.

Kawasan subak Sarbagita Bali yang terdiri dari wilayah Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan dipilih sebagai obyek penelitian karena merupakan kawasan yang menjadi daerah tujuan wisata dan pembangunannya berkembang pesat.

Masyarakat di Kawasan Sarbagita secara superstruktur saat ini tetap melaksanakan pelestarian lingkungan dengan sangat efektif dan memiliki eksistensi yang kuat. Hal ini terlihat dari aktivitas subak berupa pemujaan dan ritual di pura subak dengan tujuan pemuliaan alam. Upacara dan ritual seperti  adalah upacara magpag toya menjemput air secara ritual, adanya bangunan pemujaan atau pelinggih penyawangan di sawah untuk memuja keberadaan pura di tamblingan sebagai pusat sumber air, serta melakukan upacara saat akan memulai tanam padi, tetap perlu dipertahankan.

Organisasi subak adalah struktur sosial yang terbentuk dalam peradaban subak Bali. Organisasi subak bersifat otonom namun tidak mempunyai kaitan perintah dan tanggung jawab langsung kepada Lembaga lain di tingkat desa maupun kecamatan. Organisasi subak di Kawasan Sarbagita cukup efektif menjalankan komponen-komponen subak. Walau demikian, secara struktur sosial masyarakat di Kawasan ini mengalami pelemahan karena perubahan fungsi lahan yang semakin luas dan alih profesi masyarakat yang semakin meningkat.

Permasalahan yang timbul akibat degradasi lahan dan alih profesi masyarakat setempat mengancam eksistensi subak Bali. Oleh karena itu eco-cultural tourism dapat dijadikan solusi yang menyinergikan bidang pertanian dan pariwisata di peradaban subak.

Pada infrastruktur material, komponen yang utama adalah jaringan irigasi subak. Melalui sistem subak inilah para petani mendapatkan air sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan secara musyawarah oleh masyarakat. Namun, akibat alih fungsi lahan, lahan sawah yang terus berkurang terutama pada daerah perkotaan menjadi masalah utama. Sehingga sebagian masyarakat khawatir tidak sanggup memenuhi kebutuhan mereka yang menyebabkan alih profesi dan generasi muda semakin tidak mau lagi bersubak.

Komitmen masyarakat dalam menjaga lingkungan dan budaya subak menjadi permasalahan utama. Oleh karena itu, eco-cultural tourism dapat menjadi salah satu solusi untuk menangani permasalahan ini. Eco-cultural tourism adalah konsep di mana aspek ekologis dan budaya suatu wilayah digabungkan bersama-sama dan menciptakan surge wisata alam.

Konsep ini merupakan tujuan wisata di mana anugerah budaya dan alam menjadi daya tarik utama sehingga dianggap sebagai strategi potensial untuk mendukung konservasi habitat alam bersamaan dengan meningkatkan perekonomian bagi masyarakat setempat. Untuk meningkatkan peradaban subak Bali sebagai eco-cultural tourism, memerlukan strategi prioritas yaitu memanfaatkan kekuatan kearifan budaya subak untuk pengembangan dan peningkatan peran masyarakat Bali.

Memanfaatkan sistem religi yang kuat dipegang oleh masyarakat Bali masih menjadi bagian terpenting terutama dalam bidang konservasi lingkungan. Namun, bidang ekonomi juga perlu mendapatkan perhatian khusus, karena alih profesi masyarakat dari pertanian ke pariwisata dapat mengancam konservasi lingkungan subak. Dengan demikian, solusi subak Bali sebagai eco-cultural tourism dapat diimplementasikan untuk menyinergikan pertanian dan pariwisata. (INT)

Ditulis ulang dari penelitian yang diterbitkan dalam Amerta, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Volume 37 Nomor 1 Tahun 2019. Untuk mengakses penelitian lebih lengkap dapat mengunjungi laman berikut:  https://jurnalarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/amerta/article/view/520/395

Admin buleleng | 16 Maret 2021 | 55616 kali

Jelaskan mengenai konsep dari Kearifan Lokal subak dari Bali

Subak adalah sebuah organisasi yang dimiliki oleh masyarakat petani di Bali yang khusus mengatur tentang manajemen atau sistem pengairan/irigasi sawah secara tradisional, keberadaan Subak merupakan manifestasi dari filosofi/konsep Tri Hita Karana.

Tri Hita Karana berasal dari kata "Tri" yang artinya tiga, "Hita" yang berarti kebahagiaan/kesejahteraan dan "Karana" yang artinya penyebab. Maka dapat disimpulkan bahwa Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan”. Penerapannya didalam sistem subak yaitu:

  • Parahyanganyaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan.
  • Pawonganyaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya.
  • Palemahanyakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya.

Kata "Subak" merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Bali, kata tersebut pertama kali dilihat di dalam prasasti Pandak Bandung yang memiliki angka tahun 1072 M. Kata subak tersebut mengacu kepada sebuah lembaga sosial dan keagamaan yang unik, memiliki pengaturan tersendiri, asosiasi-asosiasi yang demokratis dari petani dalam menetapkan penggunaan air irigasi untuk pertumbuhan padi.

Subak bagi masyarakat Bali tidak hanya sekedar sistem irigasi, tetapi juga merupakan konsep kehidupan bagi rakyat Bali itu sendiri. Dalam pandangan rakyat Bali, Subak adalah gambaran langsung dari filosofi Tri Hita Karana tersebut.

Sebagai suatu metode penataan hidup bersama, Subak mampu bertahan selama lebih dari satu abad karena masyarakatnya taat kepada tradisi leluhur. Pembagian air dilakukan secara adil dan merata, segala masalah dibicarakan dan dipecahkan bersama, bahkan penetapan waktu menanam dan penentuan jenis padi yang ditanam pun dilakukan bersama.

Sanksi terhadap berbagai bentuk pelanggaran akan ditentukan sendiri oleh warga melalui upacara atau ritual yang dilaksanakan di pura. Harmonisasi kehidupan seperti inilah yang menjadi kunci utama lestarinya budaya Subak di pulau dewata.

Struktur Organisasi Subak

Anggota subak atau juga biasa disebut dengan krama subak adalah para petani yang memiliki garapan sawah dan mendapatkan bagian air pada sawahnya. Didalam anggota subak juga terdapat beberapa kelompok yang disebut dengan Sekaa, Krama subak digolongkan menjadi 3, yaitu:

  1. Krama aktifadalah anggota yang aktif seperti krama pekaseh, sekaa yeh atau sekaa subak.
  2. Krama pasifyaitu anggota yang mengganti kewajibannya dengan uang atau natura karena beberapa penyebab yang biasa disebut dengan Pengampel atau Pengohot.
  3. Krama luputyaitu anggota (krama) yang tidak aktif didalam segala macam kegiatan subak karena tugasnya seperti kepala desa atau Bendesa Adat.

Pengurus (Prajuru) Subak terdiri dari:

  1. Pekaseh/Kelian adalah bertugas sebagai kepala subak.
  2.  Pangliman/Petajuh bertugas menjadi wakil kepala subak.
  3. Peyarikan/Juru tulis adalah sebagai sekretaris.
  4. Petengen/Juru raksa adalah memiliki tugas sebagai bendahara.
  5. Saya/juru arah/juru uduh/juru tibak/kasinoman mempunyai tugas dalam urusan pemberitahuan atau pengumuman.
  6. Pemangku adalah bertugas khusus dalam urusan ritual/keagamaan.

Kelompok (Sekaa) di dalam subak dibagi menjadi:

  1. Sekaa Numbeg, yaitu sebuah kelompok yang mengatur hal pengolahan tanah.
  2. Sekaa Jelinjingan, kelompok yang bertugas untuk mengatur pengolahan air.
  3. Sekaa Sambang, yaitu kelompok yg memiliki tugas dalam hal pengawasan air dari pencurian, penangkap atau penghalau binatang perusak tanaman seperti burung maupun tikus.
  4. Sekaa Memulih/Nandur, yaitu kelompok yang bertugas dalam hal penanaman bibit padi.
  5. Sekaa Mejukut yaitu kelompok yang bertugas menyiangi padi.
  6. Sekaa Manyi adalah kelompok yang bertugas menuai/memotong/mengetam padi.
  7. Sekaa Bleseng yaitu kelompok yang memiliki tugas mengangkut ikatan padi yang telah diketam dari sawah ke lumbung.

Sebagai organisasi yang bersifat otonom dalam mengurus organisasinya sendiri, subak dapat menetapkan peraturan yang dikenal dengan sebutan awig awig, sima, perarem. Di dalam awig awig tersebut dimuat hal-hal dan ketentuan pokok, isi pokok dalam awig awig adalah mengatur mengenai hal parahyangan, pawongan dan pelemahan sedangkan ketentuan dan hal yang lebih detail dimuat di dalam pararem sebagai pelaksanaan awig awig subak. Awig awig subak memuat tentang hak dan kewajiban dari warga subak serta memuat tentang sanksi atas pelanggaran hak dan kewajiban tersebut.

Jaringan Irigasi Subak

Para ahli juga menyebutkan bahwa Subak juga sebagai sistem teknologi yang sudah menjadi budaya di Bali. Subak sebagai metode teknologi dari budaya asli petani Bali. Fasilitas yang utama dari irigasi subak (palemahan) untuk setiap petani anggota subak adalah berupa pengalapan (bendungan air), jelinjing(parit), dan sebuah cakangan (satu tempat/alat untuk memasukkan air ke bidang sawah garapan).

Jika di suatu lokasi bidang sawah terdapat dua atau lebih cakangan yang saling berdekatan maka ketinggian cakangan-cakangan tersebut adalah sama (kemudahan dan kelancaran air mengalir masuk ke sawah masing-masing petani sama), tetapi perbedaan lebar lubang cakangan masih dapat ditoleransi yang disesuaikan dengan perbedaan luas bidang sawah garapan petani. Pembuatan, pemeliharaan, serta pengelolaan dari penggunaan fasilitas irigasi subak dilakukan bersama oleh anggota (krama) subak.

Jaringan sistem pengairan dalam subak jika diurut dari sumber air terdiri dari:

  1. Empelan/empangan sebagai sumber aliran air/bendungan.
  2. Bungas/Buka adalah sebagai pemasukan (in take).
  3. Aungan adalah saluran air yang tertutup atau terowongan.
  4. Telabah aya (gede), adalah saluran utama.
  5. Tembuku aya (gede), adalah bangunan untuk pembagian air utama.
  6. Telabah tempek (munduk/dahanan/kanca), adalah sebagai saluran air cabang.
  7. Telabah cerik, sebagai saluran air ranting.
  8. Telabah panyacah (tali kunda), dibeberapa tempat dikenal dengan istilah Penasan (untuk 10 bagian), Panca (untuk 5 orang), dan Pamijian (untuk sendiri/1 orang).

Melalui sistem Subak inilah, para petani medapatkan bagian air sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh musyawarah dari warga/krama subak dan tetap dilandasi oleh filosofi Tri Hita Karana. Maka dari itu, kegiatan dalam organisasi/perkumpulan Subak tidak hanya meliputi masalah pertanian atau bercocok tanam saja, tetapi juga meliputi masalah ritual dan peribadatan untuk memohon rejeki dan kesuburan.

Sawah, tanaman padi, dan air mempunyai peranan penting dalam sistem irigasi subak bahkan dikaitkan dengan segi religius. Ketiganya berhubungan dengan kekuasaan Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kemakmuran). Oleh karena itu subak tidak semata hanya mengatur masalah teknis pengaturan dan pembagian air semata, tetapi juga aspek sosial dan religius (agama).

Setiap Subak biasanya memiliki pura yang disebut Pura Ulun Carik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani untuk memuja Dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang tokoh adat dan juga merupakan petani yang disebut dengan Kelian (Klian) yang mempunyai tugas untuk mengawasi dan mengelola subak.

Untuk menjadi Kelian subak ini adalah sifatnya sosial, tidak mendapatkan gaji ataupun imbalan. Pembagian atau penyaluran air disesuaikan dengan keanggotaan petani di subak, ada anggota yang aktif dan pasif, keduanya mendapat pembagian air yang berbeda. Inilah dasar keadilan dimana distribusi air disesuaikan dengan kontribusi.

Subak telah dipelajari dan diteliti oleh Clifford Geertz, sedangkan J. Stephen Lansing telah menarik perhatian publik tentang pentingnya metode irigasi tradisional. Ia mempelajari dan meneliti banyak tempat suci (pura) di Bali, terutama tempat suci yang diperuntukkan bagi pertanian.

Pada tahun 1987, J. Stephen Lansing bekerja sama dengan para petani di Bali telah mengembangkan kembali sistem pengairan/irigasi Subak menjadi lebih efektif. Dengan cara itu ia dapat membuktikan bagaimana keefektifan serta pentingnya metode irigasi subak di Bali.

Subak - Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO

Organisasi pendidikan, Ilmu pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO - The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) akhirnya mengakui Subak di Bali sebagai Warisan Budaya dunia. Pengakuan tersebut dapat diwujudkan setelah perjuangan pemerintah republik Indonesia selama kurang lebih 12 tahun.

Pengusulan untuk kategori ini tidaklah mudah karena diperlukan penelitian yang mendalam dengan pendekatan melalui berbagai ilmu pengetahuan seperti arkeologi, antropologi, geografi, ilmu lingkungan, arsitektur lansekap, dan beberapa ilmu pengetahuan terkait lainnya.

Tepat pada tanggal 29 Juni 2012, Pengusulan Subak telah disetujui, diakui dan ditetapkan/disahkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO dalam sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di kota Saint Peterburg, Rusia.

Penetapan sebagai Warisan Budaya Dunia ini disambut baik oleh pemerintah dan masyarakat Bali. Sesuai dengan pengajuannya, Subak di Bali yang memiliki luas kurang lebih 20.000 ha yang terdiri atas beberapa subak yang berada di 5 kabupaten, yaitu kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, dan Tabanan.

Situs-situs di Bali yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia adalah:

  1. Pura Ulun Danu Batur di ujung danau Batur yang merupakan pura air utama (water temple) sebagai sumber dari setiap mata air dan sungai.
  2. Lanskap Subak dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, yang diketahui sebagai sistem irigasi yang tertua di Bali.
  3. Lanskap Subak dari Catur Angga Batukaru, objek wisata persawahan berundak-undak (terasering) Jatiluwih merupakan salah satu dari bagiannya.
  4. Pura Taman ayun, merupakan pura air yang paling besar dengan arsitektur nya paling terkenal, mencontohkan ekspansi penuh dari sistem subak di bawah pemerintahan kerajaan Bali pada abad ke-19.

Komponen-komponen subak adalah meliputi hutan yang melindungi pasokan air, lanskap sawah yang berundak-undak/bertingkat/terasering, sawah yang terhubung dengan sebuah sistem kanal, terowongan dan bendungan, desa, pura dengan berbagai ukuran yang menandakan pentingnya sumber air atau perjalanan air melalui pura menurun mengairi lahan subak.

Museum Subak

Untuk memperkenalkan dan melestarikan Subak yang merupakan warisan budaya leluhur maka didirikanlah Museum Subak yang terletak di kabupaten Tabanan yang bertujuan untuk memperkenalkan pada generasi muda ataupun wisatawan tentang sistem irigasi tradisional yang dimiliki dan masih digunakan sampai sekarang oleh masyarakat petani di pulau dewata Bali.