Jelaskan mengenai faktor pribadi yang mempengaruhi tahap pertumbuhan kewirausahaan

Tahap-tahap Kewirausahaan Secara umum tahap-tahap melakukan wirausaha :

  1. a] Tahap memulai, tahap di mana seseorang yang berniat untuk melakukan usaha mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, diawali dengan melihat peluang usaha baru yang mungkin apakah membuka usaha baru, melakukan akuisisi, atau melakukanfranchising. Juga memilih jenis usaha yang akan dilakukan apakah di bidang pertanian, industri / manufaktur / produksi atau jasa.
  2. b] Tahap melaksanakan usaha atau diringkas dengan tahap “jalan”, tahap ini seorang wirausahawan mengelola berbagai aspek yang terkait dengan usahanya, mencakup aspek-aspek : pembiayaan, SDM, kepemilikan, organisasi, kepemimpinan yang meliputi bagaimana mengambil resiko dan mengambil keputusan, pemasaran, dan melakukan evaluasi.
  3. c] Mempertahankan usaha, tahap di mana wirausahawan berdasarkan hasil yang telah dicapai melakukan analisis perkembangan yang dicapai untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kondisi yang dihadapi
  4. d] Mengembangkan usaha, tahap di mana jika hasil yang diperoleh tergolong positif atau mengalami perkembangan atau dapat bertahan maka perluasan usaha menjadi salah satu pilihan yang mungkin diambil.

Menurut Carol Noore yang dikutip oleh Bygrave [1996 : 3], proses kewirausahaan diawali dengan adanya inovasi. Inovasi tersebut dipengeruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari pribadi maupun di luar pribadi, seperti pendidikan, sosiologi, organisasi, kebudayaan dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut membentuk locus of control, kreativitas, keinovasian, implementasi, dan pertumbuhan yang kemudian berkembangan menjadi wirausaha yang besar. Secara internal, keinovasian dipengaruhi oleh faktor yang bersal dari individu, seperti locus of control, toleransi, nilai-nilai, pendidikan, pengalaman. Sedangkan faktor yang berasal dari lingkungan yang mempengaruhi diantaranya model peran, aktivitas, dan peluang. Oleh karena itu, inovasi berkembangan menajdi kewirausahaan melalui proses yang dipengrauhi lingkungan, organisasi dan keluarga [Suryana, 2001 : 34]. Secara ringkas, model proses kewirausahaan mencakup tahap-tahap berikut [Alma, 2007 : 10 – 12] :

  1. proses inovasi
  2. proses pemicu
  3. proses pelaksanaan
  4. proses pertumbuhan

Berdasarkan analisis pustaka terkait kewirausahaan, diketahui bahwa aspek-aspek yang

perlu diperhatikan dalam melakukan wirausaha adalah :

  1. mencari peluang usaha baru : lama usaha dilakukan, dan jenis usaha yang pernah dilakukan
  2. pembiayaan : pendanaan – jumlah dan sumber-sumber dana
  3. SDM : tenaga kerja yang dipergunakan
  4. kepemilikan : peran-peran dalam pelaksanaan usaha
  5. organisasi : pembagian kerja diantara tenaga kerja yang dimiliki
  6. kepemimpinan : kejujuran, agama, tujuan jangka panjang, proses manajerial [POAC]
  7. Pemasaran : lokasi dan tempat usaha

Published at : 04 July 2019

FAKTOR PRIBADI, LINGKUNGAN, DAN SOSIOLOGI PADA TAHAP INISIASI PROSES KEWIRAUSAHAAN IKAN HIAS DI KOTA BEKASI Haris Budiyono Universitas Islam 45 [UNISMA] Bekasi [] Rianti Setyawasih Universitas Islam 45 [UNISMA] Bekasi [; ] Abstract This study aim to find out and analyzed the personal factors, environmental, and sociological influences the initiation stage [triggering event] of the entrepreneurial process of ornamental fish in Bekasi. This research refers to a model developed by Moore [1986] which describes how the process of entrepreneurship that is formed in a model that consists of four factors [i.e. factors of personal, family, environmental and social organizations] to four stages [i.e. the stage of innovation, initiation, implementation, and growth]. This model is used to examine the presence of entrepreneurial process in Bekasi as the largest exporter of ornamental fish town in Indonesia. Primary data of this research is obtained through the survey/interview using a questionnaire to a number of entrepreneurial ornamental fish in the town of Bekasi and descriptive quantitative research methods, with the analysis of Structural Equation Modelling using SmartPLS software. The results showed that the personal and environmental factors doesn t effect on the performance of significant entrepreneurial ornamental fish at the stage of initiation, while the influential sociological factors positively and significantly to the performance of entrepreneurial. Indicator role models is set on internal factors of sociology. The performance of entrepreneurial ornamental fish in Bekasi at the stage of initiation is very determined to success if at the time started his business supported by the availability of adequate standard and means of financial support of others. Keywords: faktor pribadi, faktor lingkungan, faktor sosiologi, tahap inisiasi [triggering event], proses kewirausahaan, ikan hias PENDAHULUAN Pengembangan kewirausahaan sangat penting bagi kemajuan sebuah bangsa, dengan pertimbangan bahwa kewirausahaan diharapkan dapat menjadi lokomotif penggerak perekonomian sebuah bangsa. Sementara itu kondisi kewirausahaan Indonesia saat ini digambarkan sebagai berikut: 1. Pertama, jumlah wirausaha yang masih sedikit di Indonesia. Badan Pusat Statistik [BPS] menunjukkan bahwa pada Februari 2013 jumlah wirausaha malah turun 4,4 juta, yaitu dari 46,92 juta orang atau 0,42 persen [Februari 2012] menjadi 42,55 juta orang atau 0,373 persen [Februari 2013]. Asumsi terhadap peran wirausaha bagi kemajuan sebuah negara adalah bahwa suatu negara dapat maju dengan memiliki jumlah wirausaha minimal 2 [dua] persen dari jumlah penduduknya. Tampak bahwa data jumlah wirausaha Indonesia Tahun 2013 [0,373 %] tidak sebanding dengan jumlah wirausaha di negara-negara maju, antara lain: Amerika [sekitar 12 %], Jepang [10 %], dan Singapura [7 %]. Hal ini menguatkan tesis fenomenolog, psikolog, dan budayawan kondang 101

M.A.W. Brouwer pada tahun 1980an, yang menyebutkan bahwa Indonesia Negara Pegawai; dijelaskan pula kondisi negara lainnya sebagai perbandingan bahwa Prusia negara militer, Amerika negara wiraswasta, Tiongkok Mao negara buruh, dan Iran negara ulama; 2. Kedua, hingga Tahun 2012 Indonesia belum menjadi bagian objek riset The Global Entrepreneurship Monitor [GEM]. GEM dibentuk sejak Tahun 1997, konsorsium ini memiliki kepedulian terhadap kepentingan perkembangan kewirausahaan di sebuah negara bagi perekonomian negaranya dan dunia. Hal ini menunjukkan bahwa potret kewirausahaan di Indonesia masih belum menjadi ukuran dan potensi bagi GEM untuk diharapkan memberikan kontribusi bagi perekonomian dunia; 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda, serta Penyediaan Prasarana dan Sarana Kepemudaan, Pasal 2 menyebutkan bahwa pengembangan kewirausahaan merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah, pemda provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Sebagaimana di kabupaten/kota lainnya, termasuk di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi, sejumlah program dan kegiatan telah dirumuskan, dianggarkan, dan dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan jumlah wirausaha baru, terutama melalui pelatihan, fasilitasi pendanaan, dan bentuk kegiatan lainnya. Namun demikian informasi tentang bagaimana proses kewirausahaan itu sendiri tejadi [di sebuah wilayah kabupaten/kota] belum dikaji secara khusus. Khusus untuk Kota Bekasi, ada 4 [empat] alasan kuat yang menimbulkan kepentingan untuk meneliti dan mengkaji keberadaan proses kewirausahaan di Kota Bekasi, yaitu : 1. Kota Bekasi sebagai wilayah perkotaan baru terbentuk Tahun 1996, berkembang sebagai salah satu pusat pertumbuhan jasa dan perdagangan di Indonesia, yang menjadi magnet pembentukan wirausaha baru. 2. Hasil analisis terhadap pertambahan jumlah penduduk Kota Bekasi yang semakin meningkat karena 4 [empat] hal, yakni: pertumbuhan alami, migrasi [karena daya tarik urbanisasi], penduduk pasangan muda, dan angka harapan hidup semakin tinggi. Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 diketahui Laju Pertumbuhan Penduduk [LPP] Kota Bekasi =3,48 % per tahun. Pertambahan penduduk yang cepat ini memberikan insentif terhadap pasar berupa peningkatan dan keragaan demand, yang dapat menstimulasi pembentukan wirausaha baru; 3. Kota Bekasi sebagai wilayah permukiman bagi penduduk yang bekerja di wilayah sekitarnya [DKI Jakarta, Tangerang, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Karawang] dalam beragam profesi, keahlian, dan talenta kreativitas, merupakan potensi sumber daya insani yang sebagian siap [bahkan sebagian lagi sudah] mengembangkan diri sebagai wirausaha baru. 4. Di Kota Bekasi terdapat 3 [tiga] kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah [UMKM] unggulan yaitu : UMKM Pengrajin Boneka, UMKM Peternak Ikan Hias, dan UMKM Pengolah Limbah Plastik, yang merupakan hasil kompetisi Program Pendanaan Kompetisi-Indeks Pembangunan Manusia [PPK-IPM] Indek Daya Beli Sektor Pengembangan UMKM Kota Bekasi Tahun 2007 dan Tahun 2008. Para pelaku usaha [wirausaha] ikan hias ini telah berkembang di Kota Bekasi. Kota Bekasi disebut-sebut sebagai kota eksportir ikan hias terbesar di Indonesia, berdasarkan data Asosiasi Ikan Hias Bekasi, diperkirakan ada 500 pelaku usaha ikan hias di Kota Bekasi dengan produksi 8,12 juta ekor dan perolehan Rp 8,9 milyar per tahun. 102

5. Para pelaku usaha [wirausaha] ikan hias telah berkembang di Kota Bekasi, bahkan Kota Bekasi disebut-sebut sebagai kota eksportir ikan hias terbesar di Indonesia, berdasarkan data Asosiasi Ikan Hias Bekasi, diperkirakan ada 500 pelaku usaha ikan hias di Kota Bekasi dengan produksi 8,12 juta ekor dan perolehan Rp 8,9 milyar per tahun Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengkaji aspek finansial bisnis ikan hias baik pada usaha kecil maupun pada usaha menengah. Sementara itu aspek kewirausahaan pada bisnis ikan hias ini belum diteliti. Aspek kewirausahaan dimaksud adalah bagaimana para pelaku bisnis ikan hias [yang sudah ada] di Kota Bekasi itu menjalani proses kewirausahaannya, mulai dari tahap memperoleh gagasan, tahap yang mendorong seseorang pertama kali memulai usaha, tahap menjalankan dan mempertahankan usahanya dalam kurun waktu beberapa hari/minggu/bulan bahkan tahun, sebelum memasuki tahap menumbuhkan dan mengembangkan usahanya. Model proses kewirausahaan telah dikembangkan oleh Moore [1986], dalam artikel berjudul Understanding Entrepreneurial Behavior dalam J. A. Pearce II and R. B. Robinson, Jr., eds., Academy of Management Best Papers Proceedings, 46 th Annual Meeting of the Academy of Management, Chicago, 1986, yang menggambarkan bagaimana proses kewirausahaan itu terbentuk. Model proses kewirausahaan tersebut memuat faktor dan tahapan, yakni 4 [empat] faktor: [a] pribadi; [b] sosial keluarga; [c] lingkungan; dan [d] organisasi, terhadap 4 [empat] tahapan: [1] inovasi; [2] inisiasi; [3] implementasi; dan [4] pertumbuhan. Sejumlah peneliti telah sepakat bahwa proses kewirausahaan melibatkan serangkaian variabel yang kompleks antar dimensi. Masih sedikit riset yang mengkaji atau dapat menjelaskan bagaimana sejumlah faktor dan tahapan pada proses kewirausahaan berinteraksi satu sama lainnya. Penelitian yang sudah dikembangkan terdahulu tidak mengeksplorasi keragaan antar wirausaha berdasarkan demografinya. Keputusan yang diambil oleh seseorang untuk berwirausaha perlu memasukkan 2 [dua] faktor sekaligus, yakni faktor endogen yang berkaitan dengan pribadi wirausahanya maupun faktor eksogen yang berkaitan dengan lingkungan dan situasi perekonomian yang dihadapinya saat itu [Dunn, 2006]. Penelitian terhadap proses kewirausahaan menarik untuk dikembangkan lebih lanjut terutama menyangkut aspek kewilayahan [daerah urban vs pedesaan] dan aspek sektor [agribisnis, manufaktur, dan jasa]. Tujuan dan Manfaat Penelitian Kementerian Kelautan dan Perikanan menitikberatkan pada upaya membangun dan menciptakan iklim usaha yang baik kepada daerah yang memiliki potensi ikan hias, yakni dengan pendekatan penguatan sistem akuabisnis secara terpadu dari mulai hulu [teknologi produksi, sarana dan prasarana] hingga hilir [pemasaran] termasuk pola-pola kemitraan yang sehat antara pengusaha/swasta dan masyarakat [pembudidaya ikan, pemasar, hobbies, dan eksportir]. Bisnis ikan hias dinilai prospektif di masa depan, secara nasional keragaan spesies ikan hias meliputi 700 spesies ikan hias air laut [marine ornamental fish] dan 450 spesies ikan hias air tawar [freshwater ornamental fish] dari 1.100 spesies. Perkembangan produksi budidaya ikan hias Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan sangat siginifikan. Bahkan target tahun 2012 yang dipatok Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP] sebesar 850 juta ekor. Catatan sementara mencapai 978 juta ekor atau 115,16 % dari target semula. Sampai dengan tahun 2011, Indonesia menduduki ranking ke-5 ekportir ikan hias dunia setelah Rep. Ceko, Thailand, Jepang dan Singapura. Potensi ekspor ikan hias Indonesia sendiri diperkirakan mencapai US $ 60 juta sampai dengan US$ 65 juta. [//www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/9 008/ Ayo-Berbisnis-Ikan-Hias-Potensi 103

Ekspornya-Capai-US-65-juta, 22 April 2013]. Sekitar 480 spesies dari keragaan spesies ikan hias air laut yang baru dikenali dan 200 spesies sudah dapat diperdagangkan [Kementerian Perdagangan RI, 2010]. Adanya aktivitas kewirausahaan dapat dikenali pada budidaya ikan di Jawa Tengah. Karakteristik kewirausahaan pada budidaya ikan dimaksud berupa inovasi yang dikembangkan para pelakunya mengemas produk baru dalam menjual hasil panen ikan, selain dalam bentuk ikan segar, juga sudah ada produk dalam bentuk produk yang dibekukan, dikeringkan, diasapkan, dan difermentasi [Heruwati 2002]. Elfitasari [2010] lebih lanjut telah meneliti bagaimana aktivitas kewirausahaan dijalani para pelaku usaha kecil budidaya ikan sebagai kiat dan upaya mereka meningkatkan pendapatan dan keberlanjutan pemasaran produknya, di Jawa Tengah. Sejumlah penelitian juga telah dilakukan untuk mengkaji aspek finansial bisnis ikan hias baik pada usaha kecil maupun pada usaha menengah. Sementara itu aspek kewirausahaan pada bisnis ikan hias ini belum diteliti. Aspek kewirausahaan dimaksud adalah bagaimana para pelaku bisnis ikan hias [yang sudah ada] di Kota Bekasi itu menjalani proses kewirausahaannya, mulai dari tahap memperoleh gagasan, tahap yang mendorong seseorang pertama kali memulai usaha, tahap menjalankan dan mempertahankan usahanya dalam kurun waktu beberapa hari/minggu/bulan bahkan tahun, sebelum memasuki tahap menumbuhkan dan mengembangkan usahanya. Pada penelitian ini secara khusus ditujukan untuk mengamati dan menganalisis faktor-faktor pribadi, lingkungan, dan sosiologi pada tahap inisiasi [triggering event] yang dipersepsikan oleh wirausaha ikan hias di Kota Bekasi. Penelitian ini ditujukan untuk: 1. Mengetahui sejauhmana faktor pribadi berpengaruh terhadap proses kewirausahaan pada tahap inisiasi [triggering event] wirausaha ikan hias di Kota Bekasi. 2. Mengetahui sejauhmana faktor lingkungan berpengaruh terhadap proses kewirausahaan pada tahap inisiasi [triggering event] wirausaha ikan hias di Kota Bekasi. 3. Mengetahui sejauhmana faktor sosiologi berpengaruh terhadap proses kewirausahaan pada tahap inisiasi [triggering event] wirausaha ikan hias di Kota Bekasi. 4. Mengetahui bagaimana keberhasilan tahap inisiasi [triggering event] wirausaha ikan hias di Kota Bekasi. Sedangkan pertanyaan penelitian ini adalah: Faktor manakah yang paling dominan dari faktor pribadi, lingkungan, dan sosiologi yang memengaruhi proses kewirausahaan pada tahap inisiasi [triggering event] wirausaha ikan hias di Kota Bekasi? Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai masukan kepada Pemerintah Kota Bekasi untuk memformulasikan kebijakan yang relevan untuk pengembangan wirausaha ikan hias di Kota Bekasi selanjutnya. 2. Sebagai informasi dan pengetahuan bagi wirausaha ikan hias di Kota Bekasi dalam memahami proses kewirausahaan yang telah dijalaninya dan dijadikan pertimbangan dalam mengelola dan mengembangkan usaha selanjuntnya. 3. Sebagai tambahan referensi akademik bagi pihak sivitas akademika di UNISMA Bekasi khususnya dan tambahan referensi bagi peneliti selanjutnya. TINJAUAN LITERATUR Wirausaha, Aktivitas Wirausaha, dan Kewirausahaan Pengertian Wirausaha, Aktivitas Wirausaha, dan Kewirausahaan menurut konsep The Organisation for Economic 104

Co-operation and Development atau disingkat OECD [Ahmad and Hoffmann, 2007], yaitu bahwa Entrepreneurs [wirausaha] adalah orang-orang [pemilik bisnis] yang mampu menciptakan nilai tambah, melalui kreasi atau ekspansi terhadap aktivitas ekonomi, dengan mengeksploitasi pemunculan produk baru, proses, atau pasar. Entrepreneurial activity [aktivitas wirausaha] adalah mewirausahakan tindakan/kerja manusia yang diarahkan untuk penciptaan nilai tambah. Entrepreneurship [kewirausahaan] adalah segala sesuatu keadaan atau peristiwa yang berkaitan aktivitas wirausaha. Sementara itu, Bygrave [2004] menambahkan unsur lain pada diri seorang wirausaha, yakni kemampuannya dalam mempersepsikan adanya peluang [usaha], ia juga menambahkan pengertian Entrepreneurial process [proses kewirausahaan] sebagai proses yang meliputi semua fungsi, aktivitas, dan aksi yang dilakukan untuk meraih peluang yang telah dipersepsikan dimaksud. Istilah, kepentingan, konsep, pengetahuan, dan teori kewirausahaan telah lama dikembangkan. Richard Cantillon [1680 1734], Jean-Baptiste Say [1767-1832], Alfred Marshall [1842 1924], Joseph Schumpeter [1883 1950], dan Frank Knight [1885 1972] merupakan narasumber yang telah memberikan kontribusi nyata terhadap pengembangan awal teori kewirausahaan. Berikut ini disajikan uraian perkembangan teori klasik kewirausahaan dari kelima tokoh tersebut [Praag, 1999]: 1. Richard Cantillon [1680 1734] Cantilon pertama kali menjelaskan konsep wirausaha dan yang pertama kali menjelaskan adanya fungsi kewirausahaan dalam sistem ekonomi. Dalam teori ekonomi, wirausaha merupakan kontributor nilai terhadap perekonomian sebuah masyarakat/bangsa. Cantillon mengenali adanya 3 [tiga] agen dalam sitem ekonomi : [1] Pemilik Tanah [modal] berlaku sebagai kapitalis; [2] Wirausaha berlaku sebagai penengah/ penghubung/ penggerak/ penghela; [3] Pekerja sebagai penerima sewa; Wirausaha berperan utama dalam sistem ekonomi, dengan kinerjanya menghasilkan proses pertukaran dan sirkulasi dalam ekonomi; Wirausaha menjalankan usahanya sendiri; Wirausaha bisa juga berprofesi sebagai petani, pengolah, pengrajin, pengangkut, penjamin/pemberi modal [bankir], atau penjual. Faktor motivasi yang paling utama dalam kegiatan ekonomi adalah memperoleh potensi laba dari kegiatan beli pada harga tertentu, jual pada harga yang tidak pasti, dalam hal ini Cantillon mengenali sosok wirausaha sebagai orang yang mau bekerja pada situasi ketidakpastian. 2. Jean-Baptiste Say [1767-1832] Dalam kegiatan usahanya, seorang wirausaha mampu menjalankan peran sebagai pemimpin [leader] dan manager [manager]. Dalam kegiatan manusia ada 3 [tiga] jenis operasional yang dilakukan : [1] theoretical knowledge construction; [2] the application of knowledge; [3] execution. Wirausaha bekerja pada wilayah the application of knowledge to the creation of a product for human consumption. Wirausaha untuk mencapai keberhasilan dalam usahanya memerlukan kualitas [diri] dan pengalaman [mengenali usahanya]. 3. Alfred Marshall [1842 1924] Marshal menatakan bahwa dalam kegiatan usahanya, wirausaha bersiap untuk memikul tanggung jawab [risiko] dan mengerjakan semua hal untuk dapat mengendalikannya. Wirausaha mengarahkan kegiatan produksi, mengambil risiko atas peluang bisnis, mengkoordinasikan modal dan pekerja, dan berperan sebagai manajer sekaligus majikan. Wirausaha secara terus menerus mencari peluang untuk meminimasi biaya dalam mencapai hasil tertentu. 4. Joseph Schumpeter [1883 1950] Menurut Schumpeter, wirausaha berlaku sebagai pemimpin dalam kegiatan usahanya, berlaku sebagai innovator 105

sehingga usaha yang dijalankannya berstatus sebagai prime mover dalam sistem ekonomi; Wirausaha muncul dengan memperkenalkan new combinations atau innovations. Inovasi didudukkan oleh Schumpeter sebagai faktor endogen utama yang menyebabkan perubahan dalam pengembangan usaha. Kombinasi baru yang diperkenalkan oleh wirausaha akan menghancurkan keseimbangan ekonomi yang statis dalam aliran sirkulasinya. Sebutan wirausaha bukan hanya untuk peran direktur dan pemilik usaha saja, sebutan itu berlaku bagi seseorang yang mampu membuat kombinasi baru apapun posisinya dalam sebuah usaha. Wirausaha baru bisa tampil dengan membuka usaha baru yang mengenalkan kombinasi baru, akan menggantikan usaha yang ada sebelumnya bila usaha tersebut tidak segera membuat kombinasi yang baru pula. Kombinasi baru itu meliputi pengenalan produk atau jasa baru, metode baru dalam berproduksi, membuka peluang pasar yang baru, menemukan sumber baru pasokan bahan baku, atau implementasi model pengorganisasian yang baru.konsep wirausaha lebih luas dibandingkan konsep konvensional sebelumnya, sebutan wirausaha tidak hanya bagi seseorang yang menjalankan usahanya sendiri, juga sebaliknya menjadi lebih sempit dibandingkan konsep sebelumnya, yakni tidak semua orang yang memiliki dan memimpin usahanya sendiri dapat disebut wirausaha, 5. Frank Knight [1885 1972] Knight menambahkan istilah lain yang berbeda dengan istilah uncertainity [ketidakpastian] sebagaimana dikemukakan oleh Cantillon yaitu risk [risiko], karena dalam hal ini ketidakpastian masih memberikan kemungkinan diperolehnya laba. Knight mengartikan seorang wirausaha sebagai seseorang yang memiliki kemauan untuk menghadapi ketidakpastian dan kemampuan melakukan judgmental decision maker [pengambilan keputusan berdasarkan estimasi dan akurasi atas estimasi yang dilakukannya terhadap sebuah nilai yang diharapkan]. Proses Kewirausahaan Kontribusi penting lainnya terhadap teori kewirausahaan diberikan oleh Moore [1986], berupa model proses kewirausahaan, yang dipaparkan dalam Understanding Entrepreneurial Behavior, dalam J. A. Pearce II and R. B. Robinson, Jr., eds., Academy of Management Best Papers Proceedings, 46 th Annual Meeting of the Academy of Management, Chicago, 1986. Secara umum model ini menggambarkan bahwa proses kewirausahaan memuat 4 [empat] faktor : [a] pribadi; [b] sosial keluarga; [c] lingkungan; dan [d] organisasi, terhadap 4 [empat] tahapan: [1] inovasi; [2] inisiasi; [3] implementasi; dan [4] pertumbuhan. Pada Gambar 1 berikut ini, disajikan Model Proses Kewirausahaan. Dollinger [1995] telah mengenalkan istilah lain untuk pengertian trigerring event dengan istilah impetus for entrepreneurship. Sebagai catatan, tahapan pada model Moore trigerring event digunakan istilah inisiasi. Tahap Inovasi dipengaruhi oleh Faktor Pribadi dan Faktor Lingkungan. Faktor Pribadi meliputi : pencapaian, locus of control, kemampuan untuk melihat peluang, toleransi, pengambilan risiko, nilai-nilai pribadi, pendidikan, dan pengalaman. Faktor Lingkungan meliputi: peluang, model peran, dan kreativitas. Tahap Inisiasi dipengaruhi oleh Faktor Pribadi, Faktor Sosiologis [keluarga/pertemanan], dan Faktor Lingkungan. Faktor Pribadi meliputi : pengambilan risiko, ketidakpuasan kerja, kehilangan pekerjaan, pendidikan, usia, dan komitmen. Faktor Sosiologis [keluarga/pertemanan] meliputi: jaringan, berkelompok [bantuan, kerjasama, tim], orang tua, keluarga, dan model peran. Faktor Lingkungan meliputi : kompetisi, sumberdaya, inkubator, dan kebijakan pemerintah. Tahap Implementasi dipengaruhi oleh Faktor Pribadi, Faktor Sosiologis 106

[keluarga/pertemanan], dan Faktor Lingkungan. Faktor Pribadi meliputi : wirausahawan, pemimpin, manajer komitmen, dan visi. Faktor Sosiologis [keluarga/pertemanan] meliputi : jaringan, berkelompok [bantuan, kerjasama, tim], orang tua, keluarga, dan model peran. Faktor Lingkungan meliputi : pesaing, pelanggan, pemasok, investor, banking, sumberdaya, dan kebijakan pemerintah. Tahap Pertumbuhan dipengaruhi oleh Faktor Pribadi, Faktor Organisasi, dan Faktor Lingkungan. Faktor Pribadi meliputi : wirausahawan, pemimpin, manajer komitmen, dan visi. Faktor Organisasi meliputi : kelompok, strategi, struktur, budaya, dan produk. Faktor Lingkungan meliputi : pesaing, pelanggan, pemasok, investor, banking, sumberdaya, dan kebijakan pemerintah. Gambar 1. Model Proses Kewirausahaan Di lingkungan UNISMA Bekasi Model Proses Kewirausahaan Carol Moore ini merupakan kerangka proses yang diajarkan pada Bagian Kompetensi Karakter Matakuliah Kewirausahaan yang diposisikan sebagai Mata Kuliah Umum [MKU] universitas, bersama dengan 3 MKU lainnya, yakni Pendidikan Agama Islam, Komputerisasi, dan Bahasa Inggris. Sementara itu di Fakultas Pertanian UNISMA Bekasi, mata kuliah ini dikelompokkan sebagai Matakuliah Pengembangan Kepribadian [MPK]. Dalam perkembangannya, Model Proses Kewirausahaan Carol Moore masih menjadi esensi Model Proses Kewirausahaan yang dikembangkan oleh Global Entrepreneuship Monitoring [GEM] Report Tahun 2011. Bygrave [2004] lebih lanjut menjelaskan bahwa sesungguhnya ada 3 [tiga] faktor yang membuka jalan bagi seseorang untuk memulai atau membuka usaha [menjadi seorang wirausaha], yaitu pribadi, sosiologis [keluarga], dan lingkungan. Faktor lainnya, yaitu organisasi, merupakan faktor pendukung setelah usaha itu berjalan. Seseorang yang memulai dengan munculnya idea [gagasan] dengan cara mencari atau muncul seketika dengan datangnya chance [peluang]. Dalam hal ini apakah dia meneruskan atau tidak meneruskan 107

gagasannya bergantung pada alternatif pertimbangan lainnya, berupa prospek karir yang sedang dijalaninya, keluarga, teman, model peran yang menjadi panutannya, situasi ekonomi yang dihadapi saat itu, dan keberadaan sumber daya yang dapat diakses di sekitarnya. Setelah tahapan inovasi [menggagas] dilalui dan gagasan yang terbentuk berniat untuk diteruskan, selanjutnya seseorang memasuki tahapan triggering event [peristiwa yang mendorong] untuk membuka usaha. Peristiwa yang mendorong ini bersifat impulsif, sehingga dapat menguatkan atau membulatkan tekad untuk memulai usaha di hari pertama [inisiasi]. Sejumlah peristiwa yang mendorong dapat beragam dan berupa situasi berikut ini : seseorang yang merasakan tidak lagi memiliki karir [bekerja] yang prospektif, kecewa karena tidak mendapatkan promosi di tempat kerjanya, berulangkali terkena pemutusan hubungan kerja [PHK], dan adanya peluang usaha yang dapat dieksplotasi baik dari lingkungan kerjanya atau keluarganya. Bagi yang lainnya peristiwa yang mendorong untuk membuka usaha bisa saja karena hal itu sudah merupakan pilihan karir. Pada beberapa kasus yang menjadi trigerring event adalah keinginan untuk mengembangkan konsep, pengetahuan, keterampilan, impian, harapan, dan penguasaan yang ia miliki di tempat kerjanya, tidak bisa diterapkan di tempat kerjanya, dan hanya bisa dengan membuka tempat kerja [usaha] baru. Bygrave [2004] menyimpulkan bahwa niat, kiat, dan talenta berwirausaha bisa dibentuk oleh 2 [dua] faktor utama yaitu : personal attributes [atribut kepribadian] and environment [lingkungan]. Schaper dan Volery [2004] menguatkan bahwa faktor penyentak [trigger] saat memulai usaha meliputi 3 [tiga] hal, yaitu material rewards, creativity, dan desire for autonomy. Sementara itu Hisrich, Peters, dan Shepard [2013] menyatakan bahwa kepribadian yang dilandasi komitmen untuk segera beraksi atas potensi peluang usaha merupakan bagian penting bagi seseorang dalam memulai usahanya. Riset Terdahulu tentang Proses Kewirausahaan Kepedulian terhadap kepentingan kewirausahaan bagi perkeonomian bangsa dan dunia, telah melahirkan sebuah konsorsium yang disebut The Global Entrepreneurship Monitor [GEM]. GEM dibentuk pada Bulan September 1997 sebagai inisiatif kerjasama penelitan Babson College and London Business School. Program GEM diikuti oleh 10 negara [Kanada, Pernacis, Jerman, Itali, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat, diikuti selanjutnya oleh Denmark, Finland, dan Israel], bertambah menjadi 20 [2000], 28 [2001], 37 [2002], dan 69 [2012]. Riset GEM menggambarkan dan menganalisis proses kewirausahaan pada sejumlah negara, sehingga menjadikan GEM sebagai organisasi yang berfokus pada pengembangan kewirausahaan sebagai salah satu faktor penggerak pertumbuhan ekonomi sebuah negara, yang kurang diminati dan diperhatikan baik oleh banyak peneliti maupun para pengambil keputusan, karena kelemahan akurasi data, sehingga data secara komparatif tidak dapat dibandingkan berlaku internasional [Xavier, Kelley, Kew, Herrington, and Vorderwülbecke, 2012]. Sampai dengan Tahun 2012, Indonesia belum menjadi bagian objek riset GEM. Berikut ini disajikan diagram proses kewirausahaan dan definisi operasional yang dibuat The Global Entrepreneurship Monitor [GEM]. Pada Gambar 2. tampak ada 5 [lima] status dalam proses kewirausahaan, yaitu: 1. Potential Entrepreneur: Opportunities, Knowledge and Skills: Wirausaha potensial yang memiliki peluang, pengetahuan, dan keahlian; 2. Nascent Entrepreneur: Involved in Setting Up a Business: Wirausaha yang sedang dalam memulai usaha; 3. Owner-Manager of a New Business [up to 3.5 years old]: Pemilikpengelola usaha baru, yang sedang berjalan sampai dengan 3,5 tahun; 108

Gambar 2. Proses Kewirausahaan dan Definisi Operasional GEM [GEM Report, 2010] 4. Owner-Manager of an Established Business [more than 3.5 years old]: Pemilik-pengelola usaha yang sedang berjalan lebih dari 3,5 tahun; dan 5. Discontinuation of Business: Usaha yang tidak berlanjut. Kelima status itu melalui 3 [tiga] fase, yaitu Phase Conception atau fase konsepsi, Firm Birth atau fase kelahiran usaha, dan Persistence atau fase berlanjutnya usaha. Menurut Shane [2002], riset terhadap kewirausahaan umumnya menyangkut 3 [tiga] dimensi penting, yaitu : dimensi internal pribadi wirausahanya, atmosfir kewirausahaan di lingkungannya, dan interaksi antar keduanya. Pemikiran akademis yang telah dilakukan dan menghasilkan kerangka teori kewirausahaan masih berada pada tahapan awal. Sejumlah peneliti telah berupaya untuk mengenali dimensi internal pribadi wirausahanya dengan melakukan kajian terhadap bakat, kepribadian, kegemaran, dan perilaku [Kihlstrom dan Laffont, 1979; McClelland, 1961; Shaver dan Scott, 1991], dengan penyimpulan bahwa mereka yang bergerak menjadi wirausaha dimotivasi oleh faktor perolehan insentif ekonomi dan faktor psikologis. Peneliti lainnya mengungkapkan bagaimana faktor lingkungan mempengaruhi keputusan individu mengembangkan usaha baru dengan melihat peluang atau daya tarik pasar, perubahan yang terjadi pada pekerjaan, dan perubaban struktur organisasi tempat mereka bekerja [Arrow, 1962; Casson, 1982; Audretsch, 1997]. Dollinger [1995] menyatakan bahwa adanya faktor positive pull berupa segala sesuatu yang menarik sehingga seseorang tergerak menjadi seorang wirausaha [misalnya karena adanya orang lain yang mau bermitra, orang tua, pelanggan, dan lainnya] dan positive push yang mendorong sehingga seseorang tergerak menjadi seorang wirausaha [misalnya karena ada situasi atau peristiwa pahit dihadapi atau dirasakan orang tersebut dan lainnya]. Selain itu ada situasi yang disebut dengan istilah negative displacement dan between things yang menjadi faktor mempengaruhi seseorang untuk memulai kegiatan wirausaha; negative displacement merujuk pada situasi seseorang yang merasa dirinya termarjinalkan oleh masyarakatnya, misalnya karena dipecat dari pekerjaan atau tidak puas dengan situasi pekerjaan saat ini, dan peristiwa lainnya, sedangkan between things merujuk pada situasi peralihan tahapan hidup yang dialami seseorang, misalnya karena ditinggal pasangan hidup, kematian orang tua, dan situasi lain yang serupa. Keputusan yang diambil oleh seseorang untuk berwirausaha perlu memasukkan 2 [dua] faktor sekaligus, yakni faktor endogen yang berkaitan dengan pribadi wirausahanya maupun faktor eksogen yang berkaitan dengan lingkungan dan situasi perekonomian yang dihadapinya saat itu [Dunn, 2006]. Sementara itu Praag [1999] telah merangkum sejumlah hasil studi empiris 109

tentang sejumlah faktor yang mempengaruhi proses kewirausahaan dibandingkan dengan teori klasik kewirausahaan. Data yang ditampilkan memuat sejumlah sampel wirausaha di Amerika Serikat dan Belanda, dalam 2 [dua] status yaitu saat memulai usaha dan meraih sukses usaha, yang digambarkan pada tabel 2. Faktor Pribadi, Sosiologi, dan Lingkungan dalam Memulai Usaha Faktor Pribadi Menurut Moore [1986] yang termasuk faktor pribadi yang mempengaruhi seseorang untuk memulai usaha adalah : a. Knowledge [Pengetahuan] b. Experience [Pengalaman] c. Personal value [Nilai, Persepsi, Hobi] d. Achievement [Pencapaian] e. Risk Taking [Pertimbangan risiko] f. Job loss [Pengangguran] g. Job dissatisfaction [Ketidakpuasan kerja] h. Age [Umur] Commitment [Komitmen] Pendidikan memberikan pengaruh yang besar terhadap keputusan seseorang untuk terjun ke dunia usaha dan berusaha mandiri [Morris dan Lewis, 1995; Rees dan Shah, 1986; Robinson dan Sexton, 1994] karena pendidikan memberikan bekal keterampilan yang diperlukan bagi seorang wirausaha untuk menghadapi situasi tertentu yang tidak diharapkan dalam menjalankan usaha. Wirausaha yang terdidik memiliki tingkat percaya diri dan efikasi yang lebih tinggi, kedua hal itu akan lebih meningkatkan kemampuannya untuk mengamati dan mengejar peluang [Robinson dan Sexton, 1994]. Orang yang berpendidikan lebih tinggi juga memiliki kemampuan untuk mencari informasi tentang peluang usaha yang diminatinya. Bandura [1977: 2] mendefinisikan efikasi diri sebagai kepercayaan seseorang atas kemampuan dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, kondisi motivasi seseorang yang lebih didasarkan pada apa yang mereka percaya daripada apa yang secara objektif benar. Persepsi pribadi seperti ini memegang peranan penting dalam pengembangan intensi seseorang. Senada dengan hal tersebut, Cromie [2000] menjelaskan bahwa efikasi diri mempengaruhi kepercayaan seseorang pada tercapai atau tidaknya tujuan yang sudah ditetapkan. Intensi kewirausahaan dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan suatu usaha [Katz dan Gartner, 1988]. Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki Tabel 2. Perbandingan Hasil Studi Empiris dengan Teori Klasik Kewirausahaan tentang Faktor yang Mempengaruhi Proses Kewirausahaan Determinan Sampel di Belanda Memulai Sampel di AS Meraih Sukses Sampel di Belanda Sampel di AS Kesediaan/Keberanian Menghadapi Risiko Ketidakpastian t.s. t.s. t.s. Memiliki modal t.s. + t.s. 0 I.Q. + t.s. 0 t.s. Ayahnya berusaha sendiri + t.s. 0 t.s. Variabel latar belakang keluarga lainnya *] 0 0 0 0 Usia t.s. 0 - + Pendidikan + - + 0 Pengalaman bekerja sendiri t.s. + t.s. 0 Pengalaman dalam industri usaha sejenis t.s. t.s. t.s. + Pengalaman dalam pekerjaan t.s. t.s. t.s. + Memulai saat menganggur t.s. t.s. t.s. - Termotivasi karena ada tantangan t.s. t.s. + t.s. Kehormatan diri t.s. 0 t.s. 0 Keterangan : + menunjukkan pengaruh positif yang nyata; - menunjukkan pengaruh negatif yang nyata; 0 menunjukkan pengaruh tidak nyata; t.s. variabel tidak tersedia pada sampel yang diamati atau tidak dapat dihitung atau tidak diketahui saat memasuki proses kewirausahaan; *] Variables yang menunjukkan apakah ada faktor determinan orang tua dalam keluarga, menyangkut pendidikan, status sosial rumah tangga, dan daerah. 110

kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha. Seperti yang dinyatakan oleh Krueger dan Carsrud [1993], intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itu, intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami siapasiapa yang akan menjadi wirausaha [Choo dan Wong, 2006]. Latar belakang pendidikan seseorang terutama yang terkait dengan bidang usaha, seperti bisnis dan manajemen atau ekonomi dipercaya akan mempengaruhi keinginan dan minatnya untuk memulai usaha baru di masa mendatang. Sebuah studi dari India membuktikan bahwa latar belakang pendidikan menjadi salah satu penentu penting intensi kewirausahaan dan kesuksesan usaha yang dijalankan [Sinha, 1996]. Penelitian lain, Lee [1997] yang mengkaji perempuan wirausaha menemukan bahwa perempuan berpendidikan universitas mempunyai kebutuhan akan prestasi yang tinggi untuk menjadi wirausaha. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinha [1996] di India, menunjukkan bahwa hampir sebagian besar wirausaha yang sukses adalah mereka yang berusia relatif muda. Hal ini senada dengan Reynolds et al., [2000] yang menyatakan bahwa seseorang berusia 25-44 tahun adalah usia-usia paling aktif untuk berwirausaha di negara-negara barat. Hasil penelitian terbaru terhadap wirausaha warnet di Indonesia membuktikan bahwa usia wirausaha berkorelasi signifikan terhadap kesuksesan usaha yang dijalankan [Kristiansen et al., 2003]. Senada dengan hal itu, Dalton dan Holloway [1989] membuktikan bahwa banyak calon wirausaha yang telah mendapat tanggung jawab besar pada saat berusia muda, bahkan layaknya seperti menjalankan usaha baru. Kolvereid [1996] menemukan bahwa seseorang yang memiliki pengalaman bekerja mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah bekerja sebelumnya. Sebaliknya, secara lebih spesifik, penelitian yang dilakukan oleh Mazzarol et al., [1999] membuktikan bahwa seseorang yang pernah bekerja di sektor pemerintahan cenderung kurang sukses untuk memulai usaha. Namun, Mazzarol et al., [1999] tidak menganalisis hubungan antara pengalaman kerja di sektor swasta terhadap intensi kewirausahaan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pengalaman bekerja juga berdampak pada akitivitas kewirausahaan. Banyak orang yang merasakan tidak puas dengan pengalaman kerjanya akan mendorong mereka memasuki dunia usaha [Amit dan Muller, 1995]. Alasan-alasan tertentu sehingga seseorang menganggur [misalnya karena meninggalkan pekerjaan atau sedang berusaha mencari pekerjaan baru yang lebih cocok] atau ketidakpuasan terhadap tempat kerjanya pada akhirnya akan mendorong seseorang untuk mengambil keputusan mendirikan usaha secara mandiri. Morris dan Lewis [1995] mengamati bahwa mayoritas wirausaha [59%] sedang mengalami situasi yang tidak menyenangkan dalam hidupnya saat mereka memulai usaha, walaupun sebelumnya mereka tidak tahu produk apa yang akan dibuat atau dijual, atau jasa apa yang akan diusahakan. Meskipun dampak ketidakpuasan selama bekerja itu negatif, Brockhaus [1980] mendapatkan kesimpulan bahwa semakin besar pengalaman ketidakpuasan seseorang dalam bekerja akan meningkatkan daya juang untuk mencapai keberhasilan sebagai seorang wirausaha. McClelland [1961, 1971] telah memperkenalkan konsep kebutuhan berprestasi sebagai salah satu motif psikologis. Kebutuhan berprestasi dapat diartikan sebagai suatu kesatuan watak yang memotivasi seseorang untuk menghadapi tantangan mencapai kesuksesan dan keunggulan [Lee, 1997: 103]. Lebih lanjut, McClelland [1976] menegaskan bahwa kebutuhan berprestasi sebagai salah satu karakteristik kepribadian seseorang yang akan mendorong seseorang untuk memiliki intensi kewirausahaan. Menurutnya, ada 3 [tiga] atribut yang melekat pada seseorang yang mempunyai 111

kebutuhan berprestasi yang tinggi, yaitu [a] menyukai tanggung jawab pribadi dalam mengambil keputusan, [b] mau mengambil resiko sesuai dengan kemampuannya, dan [c] memiliki minat untuk selalu belajar dari keputusan yang telah diambil. Hasil penelitian Scapinello [1989] menunjukkan bahwa seseorang dengan tingkat kebutuhan berprestasi yang tinggi kurang dapat menerima kegagalan daripada mereka dengan kebutuhan prestasi rendah. Dengan kata lain, kebutuhan berprestasi berpengaruh pada atribut kesuksesan dan kegagalan. Sejalan dengan hal tersebut, Sengupta dan Debnath [1994] dalam penelitiannya di India menemukan bahwa kebutuhan berprestasi berpengaruh besar dalam tingkat kesuksesan seorang wirausaha. Lebih spesifik, kebutuhan berprestasi juga dapat mendorong kemampuan pengambilan keputusan dan kecenderungan untuk mengambil risiko seorang wirausaha. Semakin tinggi kebutuhan berprestasi seorang wirausaha, semakin banyak keputusan tepat yang dapat diambil. Wirausaha dengan kebutuhan berprestasi tinggi adalah pengambil risiko yang moderat dan menyukai hal-hal yang menyediakan balikan yang tepat dan cepat. Faktor Sosiologi Menurut Moore [1986] yang termasuk sosiologi yang mempengaruhi seseorang untuk memulai usaha adalah : a. Networks [Jaringan] b. Teams [Tim] c. Parents [Orang tua] d. Family [Keluarga] e. Role models internal [Model internal] Scott dan Twomey [1988] meneliti beberapa faktor seperti pengaruh orang tua dan pengalaman kerja yang akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu usaha dan sikap orang tersebut terhadap keinginannya untuk menjadi karyawan atau wirausaha. Lebih lanjut, mereka menyebutkan bahwa jika kondisi lingkungan sosial seseorang pada saat dia berusia muda kondusif untuk kewirausahaan dan seseorang tersebut memiliki pengalaman yang positif terhadap sebuah usaha, maka dapat dipastikan orang tersebut mempunyai gambaran yang baik tentang kewirausahaan. Sejumlah peneliti telah mengamati dan menemukan bahwa pengaruh keluarga bersifat positif dalam membentuk kewirausahaan dalam diri seseorang [Matthews dan Moser, 1996; Morris dan Lewis, 1995]. Para wirausaha dengan latar belakang keluarga yang telah menekuni dunia usaha akan lebih siap menghadapi situasi yang tidak diharapkan dalam berusaha karena mereka dalam kehidupan sehari-harinya telah terbiasa dihadapkan pada risiko-risiko usaha dan mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang konsekuensi yang harus dihadapi dalam menjalankan usaha. Para wirausaha yang berlatarbelakang keluarga pengusaha umumnya lebih siaga dan siap menghadapi risiko situasi jika harus berakhir dengan penutupan usaha. Selanjutnya, keluarga pengusaha yang berhasil akan mempengaruhi keputusan seseorang [di lingkungan keluarganya] untuk menjadi seorang wirausaha [Scott dan Twomey, 1988; Wang dan Wong, 2004]. Pengalaman keluarga mengelola usaha yang dilakukan secara turun temurun akan mendorong hasrat anakanak di lingkungan keluarganya untuk membuka usahanya sendiri kelak di kemudian hari [Brown, 1990]. Faktor Lingkungan Menurut Moore [1986] yang termasuk lingkungan yang mempengaruhi seseorang untuk memulai usaha adalah : a. Opportunities [Peluang] b. Role models external [Model eksternal] c. Creativity [Kreativitas] d. Competition [Bersaing] e. Resources [Sumber daya input] f. Incubator [Inkubator] g. Government policy [Kebijakan pemerintah] Akses kepada modal merupakan hambatan klasik terutama dalam memulai usaha-usaha baru, setidaknya terjadi di negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga penyedia 112

keuangan yang tidak begitu kuat [Indarti, 2004]. Studi empiris terdahulu menyebutkan bahwa kesulitan dalam mendapatkan akses modal, skim kredit, dan kendala sistem keuangan dipandang sebagai hambatan utama dalam kesuksesan usaha menurut calon-calon wirausaha di negara-negara berkembang [Marsden, 1992; Meier dan Pilgrim, 1994; Steel, 1994]. Di negara-negara maju di mana infrastruktur keuangan sangat efisien, akses kepada modal juga dipersepsikan sebagai hambatan untuk menjadi pilihan wirausaha karena tingginya hambatan masuk untuk mendapatkan modal yang besar terhadap rasio tenaga kerja pada banyak industri yang ada. Penelitian relatif baru menyebutkan bahwa akses kepada modal menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu usaha [Kristiansen et al., 2003; Indarti, 2004]. Ketersediaan informasi usaha merupakan faktor penting yang mendorong keinginan seseorang untuk membuka usaha baru [Indarti, 2004] dan faktor kritikal bagi pertumbuhan dan keberlangsungan usaha [Duh, 2003; Kristiansen, 2002b; Mead dan Liedholm, 1998; Swierczek dan Ha, 2003]. Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Krishna [1994] di India membuktikan bahwa keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi adalah salah satu karakter utama seorang wirausaha. Pencarian informasi mengacu pada frekuensi kontak yang dibuat oleh seseorang dengan berbagai sumber informasi. Hasil dari aktivitas tersebut sering tergantung pada ketersediaan informasi, baik melalui usaha sendiri atau sebagai bagian dari sumber daya sosial dan jaringan. Ketersediaan informasi baru akan tergantung pada karakteristik seseorang, seperti tingkat pendidikan dan kualitas infrastruktur, meliputi cakupan media dan sistem telekomunikasi [Kristiansen, 2002b]. Mazzarol et al. [1999] menyebutkan bahwa jaringan sosial mempengaruhi intensi kewirausahaan. Jaringan sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua orang yang mencakup a] komunikasi atau penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak lain; b] pertukaran barang dan jasa dari dua belah pihak; dan c] muatan normatif atau ekspektasi yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain karena karakter-karakter atau atribut khusus yang ada. Bagi wirausaha, jaringan merupakan alat mengurangi resiko dan biaya transaksi serta memperbaiki akses terhadap ide-ide bisnis, informasi dan modal [Aldrich dan Zimmer, 1986]. Hal senada diungkap oleh Kristiansen [2003] yang menjelaskan bahwa jaringan sosial terdiri dari hubungan formal dan informal antara pelaku utama dan pendukung dalam satu lingkaran terkait dan menggambarkan jalur bagi wirausaha untuk mendapatkan akses kepada sumber daya yang diperlukan dalam pendirian, perkembangan dan kesuksesan usaha. Adanya aktivitas kewirausahaan dapat dikenali pada budidaya ikan di Jawa Tengah. Karakteristik kewirausahaan pada budidaya ikan dimaksud berupa inovasi yang dikembangkan para pelakunya mengemas produk baru dalam menjual hasil panen ikan, selain dalam bentuk ikan segar, juga sudah ada produk dalam bentuk produk yang dibekukan, dikeringkan, diasapkan, dan difermentasi [Heruwati 2002]. Elfitasari [2010] lebih lanjut telah meneliti bagaimana aktivitas kewirausahaan dijalani para pelaku usaha kecil budidaya ikan sebagai kiat dan upaya mereka meningkatkan pendapatan dan keberlanjutan pemasaran produknya, di Jawa Tengah. METODE PENELITIAN Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah wirausaha ikan hias. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh wirausaha ikan hias yang berdomisili dan melakukan usahanya di Kota Bekasi. Berdasarkan data Asosiasi Ikan Hias Bekasi, diperkirakan ada 500 pelaku usaha ikan hias di Kota Bekasi. Namun hasil pengamatan saat survey pendahuluan, tercatat hanya sekitar 375 saja yang menjalankan usahanya secara mandiri. 113

Singarimbun dan Effendi [2006] mengungkapkan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari 5% dari populasi yang ada, dengan kriteria ini maka sampel penelitian yang sesuai adalah 18,75 atau 19 [dibulatkan]. Sedangkan bila sampel dihitung dengan menggunakan rumus Slovin dalam Sekaran [2003] sebagai berikut: ; n adalah sampel, N populasi, dan e adalah presisi yang digunakan. Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 375 orang. Presisi yang diambil sekitar 10 hingga 20%. Namun dalam penelitian ini presisi pengambilan sampel 20%. Sehingga diperoleh: Untuk meyesuaikan dengan normatif Structural Equation Modeling [SEM], sampel penelitian ditambah sehingga menjadi 30 wirausaha. Sampel ditentukan dengan menggunakan metode non probability sampling yaitu teknik convenience sampling yang dilakukan dengan cara memilih unit-unit analisis yang dianggap sesuai, berdasarkan pertimbangan sebaran sampel dan kesediaan sampel untuk diteliti. Kriteria seleksi sampel adalah sebagai berikut: 1. Wirausaha ikan hias yang beroperasi - berdomisili dan melakukan usahanyadi Kota Bekasi: 2. Wirausaha yang telah memulai dan menjalankan usaha atau sedang menjalankan usaha ikan hias di Kota Bekasi lebih dari 3,5 tahun. Data Data yang digunakan adalah data sekunder dari Pemerintah Kota Bekasi, BPS dan sumber lainnya. Sedangkan data primer yang diperoleh dari hasil survey dengan menggunakan kuesioner. Variabel, Indikator Variabel, dan Pengukurannya Variabel, indikator variabel, dan pengukurannya dalam penelitian ini disajikan pada tabel di bawah Model Penelitian Model penelitian dan pengujian hipotesis menggunakan Multivariate Structural Equation Modeling [SEM]. SEM dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan software Smart Partial Least Square [SmartPLS] dengan alasan metode analisis ini powerfull, tidak didasarkan pada banyak asumsi [Wold [1985] dalam Ghozali [2006]] dan memiliki kelebihan lain, seperti: data tidak harus terdistribusi normal; jumlah sampel boleh sedikit [tidak harus besar]; dapat digunakan untuk mengkonfirmasi teori; dapat digunakan untuk menjelaskan ada tidaknya hubungan antar variabel laten; dan dapat menganalisis konstruk yang dibentuk dengan indikator reflektif dan formatif. Pengaruh faktor pribadi, lingkungan, dan sosiologi pada tahap inisiasi [triggering event] proses kewirausahaan menggunakan model Carol Moore dalam Pearce dan Robinson [1986]. Hubungan dan pengaruh faktor-faktor tersebut digambarkan pada Gambar 4. Metode Analisis Pengujian Reliabilitas dan Validitas Instrumen Untuk mengukur sah atau valid tidaknya kuesioner [reliabilitas instrumen] dalam penelitian ini menggunakan uji Cronbach Alpha. Dikatakan valin jika nila Cronbach Alpha > 0,5. Sedangkan untuk menilai valid [sah] tidaknya suatu kuesioner [validitas instrumen] digunakan Confirmatory Factor Analysis [CFA]. Apabila semua loading dari konstruk laten menunjukkan hasil yang signifikan maka masing-masing indikator pertanyaan adalah valid. Uji validitas dapat juga dengan melakukan Korelasi Bivariate antar masing-masing skor indikator total kunstruk. Apabila korelasi total konstruk menunjukkan hasil yang signifikan, maka masing-masing indikator dinyatakan valid. 114

Tabel 3. Variabel, Indikator Variabel, dan Pengukurannya No Variabel Laten Indikator Variabel Pengukuran 1 Faktor Pribadi [variabel bebas] 2 Faktor Lingkungan [variabel bebas] 3 Sosiologi [variabel bebas] 4 Tahap Inisiasi atau triggering event Proses Kewirausahaan [variabel terikat] 1. Konowledge [Pengetahuan] 2. Experience [Pengalaman] 3. Personal value [Nilai, persepsi, hobi] 4. Achievement [Pencapaian] 5. Risk Taking [Pertimbangan Risiko] 6. Jobb Loss [Pengangguran] 7. Job Dissatisfaction [Ketidakpuasan Kerja] 8. Age [Umur] 9. Commitment [Komitmen]. 1. Opportunities [Peluang] 2. Role Models External [Model Eksternal] 3. Creativity [Kreativitas] 4. Competition [Bersaing] 5. Resources [Sumberdaya input] 6. Incubator [Inkubator] 7. Government Policy [Kebijakan Pemerintah] 1. Networks [Jaringan] 2. Teams [Tim] 3. Parents [Orang Tua] 4. Family [Keluarga] 5. Role Models Internal [Model Internal] 1. Memulai secara terencana 2. Memulai dengan ketersediaan/ kelengkapan sarana standar. 3. Memulai dengan dukungan modal orang lain 4. Memulai dengan pertimbangan/perhitungan risiko 5. Memulai dengan potensi pasar. [Skala Likert] Pengukuran untuk semua variabel bebas sebagai berikut: SS= Sangat Setuju = skor 4; S= Setuju = skor 3; CS= Cukup Setuju= skor 2; TS= Tidak Setuju = skor 1. Pengukuran untuk variabel terikat: Pernyataan 1=SB [Sangat Baik] = skor 4; Pernyataan 2= B [Baik] = skor 3; Pernyataan3= CB [Cukup Baik]= skor 2; Pernyataan 4=TB [Tidak Baik]= skor 1. Gambar 4. Model Persamaan Struktural Faktor Pribadi, Lingkungan, dan Sosiologi pada Tahap Inisiasi [Triggering Event] Proses Kewirausahaan 115

Statistik Deskriptif Analisis stastistik deskriptif ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai demografi dan memperjelas deskripsi responden. Gambaran tersebut meliputi ukuran kecenderungan sentral seperti ratarata, median, modus, dan standar deviasi. Pengujian Hipotesis Hipotesis diuji dengan menggunakan software Smart Partial Least Square [SmartPLS]. PLS adalah model persamaan struktural [Structural Equation Modeling, SEM] yang berbasis komponen atau varian dan lebih bersifat predictive model. Hal ini berbeda dengan SEM yang berbasis kovarian untuk menguji kausalitas atau teori [Ghozali, 2006]. Dalam PLS ada dua penilaian model, yaitu penilaian model pengukuran dan penilaian model struktural, sebagai berikut: 1. Penilaian Model Pengukuran [Measurement Model atau Outer Model] Terdapat tiga kriteria untuk menilai model pengukuran atau measurement model atau outer model yaitu: Convergent Validity, Discriminant Validity, dan Composite Reliability. Secara rinci kriteria dimaksud dapat dijelaskan pada bagian di bawah ini: a] Convergent Validity dari model pengukuran dengan refleksif indikator dinilai berdasarkan korelasi antara item score/componen score yang dihitung dengan PLS. Ukuran refleksif individual dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0,70 dengan konstruk yang diukur. b] Discriminant Validity dari model pengukuran dengan refleksif indikator dinilai berdasarkan Cross Loading pengukuran dengan konstruk. Cara lain menilai Discriminant Validity adalah dengan membandingkan nilai Average Variance Extracted [AVE] setiap konstruk dengan korelasi antara konstruk yang satu dengan konstruk lainnya dalam model. Menghitung AVE dengan rumus sbb.: dimana: AVE= Average Variance Extracted = component loading indicator = error indicator = 1- Jika nilai AVE setiap konstruk lebih besar daripada nilai korelasi antara konstruk yang satu dengan konstruk lainnya dalam model, maka dikatakan memiliki nilai Discriminant Validity yang baik [Fornell dan Larcker, 1981 dalam Ghozali 2006]. c] Composite Reliability blok indikator yang mengukur suatu konstruk. Untuk menilai reliabilitas gabungan [composite reliability] untuk tiap-tiap variabel laten [sering disebut construct reliability], dapat digunakan rumus composite reliability berikut: dimana: = composite reliability = [component] loading indicator = error indicator = 1- Menurut Bagozzi dan Yi [1988] dalam Ghozali dan Fuad [2008] tingkat cut-off untuk dapat mengatakan composite reliability cukup bagus adalah 0.6, dimana indikator variabel memberikan ukuran yang reliabel untuk variabel latennya. 2. Penilaian Model Struktural [Structural Model atau Inner Model] Pengujian model struktural atau structural model atau inner model dilakukan untuk melihat hubungan antara konstruk, nilai signifikansi, dan dari model penelitian. Menilai model struktural dengan PLS dimulai dengan melihat untuk setiap variabel laten dependen. Perubahan nilai dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel laten bebas tertentu terhadap variabel laten tak bebas. 116

Video yang berhubungan