Jelaskan mengapa ideologi Pancasila tidak mau menerima ideologi komunis berikan contohya

BANGSA Indonesia tidak akan dapat menghindari dinamika globalisasi dengan pelbagai ancaman dan tantangan yang dihadapi. Oleh karena itu, diperlukan peran serta dari seluruh komponen bangsa untuk tetap memelihara sikap nasionalisme dan kesadaran bela negara dengan berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945.

Demikian pidato sambutan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada acara Konferensi Nasional Umat Katolik Indonesia bertajuk 'Revitalisasi Pancasila', di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Sabtu (12/8).

"Jika Pancasila tidak dijadikan falsafah dalam berbangsa dan bernegara, maka bangsa ini akan kehilangan roh dan jiwanya. Akibatnya, masyarakat dapat mudah disusupi oleh ideologi asing yang belum tentu sesuai dengan akar budaya bangsa Indonesia," ujarnya.

Contohnya, ada beberapa negara yang telah hancur karena simbol persatuannya telah dirusak oleh pengaruh ideologi lain, seperti Yugoslavia, Uni Soviet yang kini menjadi Rusia, serta sejumlah negara di kawasan Timur Tengah. Ryamizard berharap Indonesia dikemudian hari tidak mengalami keruntuhan dan perpecahan atas persoalan serupa.

Menurutnya, sebagai falsafah hidup bangsa, Pancasila sudah mengandung nilai-nilai filosofis khas bangsa Indonesia, yakni mencerminkan hakikat, asal, tujuan, nilai, serta arti dunia seisinya, khususnya manusia dan kehidupannya secara perorangan maupun sosial.

"Ini berarti bahwa wawasan dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila secara kultural seyogyanya harus tertanam dalam hati sanubari serta karakter dan kepribadian yang mewarnai kebiasaan, perilaku, dan kegiatan setiap bangsa Indonesia secara utuh."

Ia menambahkan, dinamika modernisasi dan interaksi global juga telah berimplikasi terhadap munculnya tantangan keamanan nasional, yaitu isu-isu keamanan baru berdimensi ancaman keamanan bersama lintas negara. Jenis ancaman nyata itu ialah terorisme dan radikalisme, separatisme dan pemberontakan bersenjata, bencana alam dan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian SDA, wabah penyakit, perang siber dan intelijen, serta peredaran dan penyalahgunaan narkoba.

Tidak hanya itu, perlu diwaspadai pula ancaman lain yang bersifat non fisik, yakni serangan ideologis dengan kekuatan 'soft power' yang berusaha merusak 'mindset' dan jati diri bangsa Indonesia melalui pengaruh kehidupan ideologi asing yang beraliran materialistis.

"Ideologi asing yang saya identifikasi berpotensi mengancam keutuhan ideologi negara Pancasila di sini adalah liberalisme, komunisme, sosialisme, dan radikal Islam. Serangan ideologis inilah yang sering saya sebut dengan istilah Perang Modern," terang dia.

Senada disampaikan Menteri ESDM Ignasius Jonan. Menurut dia, Pancasila merupakan jalan kehidupan yang menjadi satu cara atau landasan hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila tidak membedakan suku dan agama apa pun.

"Perbedaan karena suku, agama itu sebaiknya tidak dipertentangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Boleh saja orang itu punya perbedaan, ikut keyakinan tertentu dan kepercayaan tertentu, itu tidak masalah. Tetapi, dalam berbangsa dan bernegara itu satu, yaitu Pancasila," ujar Jonan.

Jonan yang hadir dalam kapasitas sebagai tokoh Katolik, mengaku tidak pernah merasa menjadi anak bangsa dari kalangan minoritas. Ia menilai bangsa Indonesia sangat majemuk dan telah ber-bhinneka sejak awal.

"Saya 100 persen Indonesia dan 100 persen Katolik. Saya juga tidak pernah merasa saya ini minoritas, memeluk agama Katolik dan enggak merasa perbedaan jadi halangan. Kalau saya satu-satunya anggota kabinet yang beragama Katolik, ya, itu kebetulan saja," katanya.

Masih di lokasi yang sama, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, menilai perbedaan sebagai sebuah anugerah. Semua pihak pun diimbau untuk tidak lagi mempertentangkan persoalan agama, namun harus menunjukan sikap untuk saling menghormati.

"Karena yang harus dicari itu bukan perbedaan, tapi persamaannya. Makin banyak kita menemukan persamaan, makin banyak pula kita bergerak berdasarkan persamaan itu, makin besar negara kita," tandasnya. (OL-2)

Oleh : itsqih | | Source : ITS Online

Monumen Pancasila Sakti sebagai wujud perjuangan Pahlawan Revolusi (Sumber: Okezone).

Kampus ITS, Opini – Peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) yang telah terjadi 56 tahun silam masih terus menjadi topik hangat di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, baru 20 tahun setelah masyarakat Indonesia berjuang mati-matian, DN Aidit dan pengikutnya yang tergabung dalam PKI melakukan pemberontakan. Hal ini dilakukan untuk merubah ideologi Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

Masyarakat Indonesia yang tidak terlibat kejadian itu hanya dapat mengandalkan film yang hampir setiap tahunnya ditayangkan. Namun, film yang dibuat pada masa pemerintahan orde baru tersebut dirasa belum cukup untuk menggambarkan semua kejadian sebenarnya. Bahkan ada yang melabeli film itu hanya sebagai bentuk propaganda dari pemerintahan saat itu untuk meluluhlantakkan ideologi komunis di Indonesia.

Berdasarkan film itu, Letnan Kolonel (Letkol) Untung yang merupakan anggota pasukan Cakrabirawa, memimpin pasukan yang dianggap loyal pada PKI untuk menculik perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) pada 1 Oktober 1965 dini hari. Salah satu perwira tinggi yang dijadikan target berhasil selamat karena ajudannya mengaku sebagai dirinya. Sayangnya, tiga dari tujuh perwira tinggi tewas di kediamannya, sedangkan sisanya diculik ke Lubang Buaya.

Setelah beberapa hari, tujuh korban tersebut berhasil ditemukan di Sumur Lubang Buaya yang memiliki diameter sangat kecil dalam kondisi mengenaskan. Kasus ini kemudian didalami dan mengarah pada PKI yang dituding sebagai dalang aksi pembantaian. Hal ini pun didapuk sebagai langkah awal dari pemberontakan. Sejak saat itu, masyarakat yang termasuk PKI, mendukung PKI, dan menyembunyikan informasi mengenai PKI akan dibunuh untuk membersihkan tanah Indonesia dari ideologi komunis.

Segelintir masyarakat menganggap film yang memiliki dampak besar ini terlalu mendramatisir sehingga PKI terlihat sangat kejam dan hal itu sangat disayangkan. Tidak hanya itu, aktor utama dibalik semua aksi tersebut masih misterius karena banyak versi yang tersebar luas di masyarakat. Namun satu hal yang tidak dapat dielakkan adalah PKI membunuh ketujuh Pahlawan Revolusi Indonesia yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi dan menanamkan ideologi Pancasila.

Terlepas dari banyaknya kabar yang masih simpang siur dan saling berlawanan, generasi muda harus sadar bahwa Pancasila yang lahir dari pemikiran para tokoh-tokoh hebat dan melalui proses yang sangat panjang tidak dapat digantikan. Oleh sebab, kita harus berbenah diri dan terus tanamkan ideologi Pancasila kepada anak cucu kita, sehingga sejarah kelam ini tidak akan terulang kembali di kemudian hari.

Ditulis oleh:

Faqih Ulumuddin

Mahasiswa Teknik Geofisika

Angkatan 2020

Reporter ITS Online

Hari Kesaktian Pancasila momentum jadikan Pancasila benteng dari ideologi luar

Republika/Putra M. Akbar

Hari Kesaktian Pancasila momentum jadikan Pancasila benteng dari ideologi luar. Monumen Pancasila Sakti

Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap Oktober, merupakan pengingat bahaya komunisme yang melakukan kudeta pada 30 September. 

Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam gerakan itu menculik tujuh jenderal dan beberapa lainnya. Gerakan itu, untuk mengganti ideologi Pancasila dengan komunisme.  

“Peristiwa tersebut tercatat jadi sejarah kelam Indonesia modern. Komunisme memang tak tampak lagi, namun sebagai ideologi ia tak kasat mata. Jadi, bangsa ini harus terus waspada,” ujar Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia, KH Chriswanto Santoso.  

Chriswanto juga mengingatkan, bukan hanya komunisme melainkan liberalisme bahkan gerakan fundamentalisme berbasis agama tertentu, bisa membahayakan ideologi negara tersebut. 

“Akibatnya, Pancasila memang masih jadi dasar negara, namun prilaku oknum pejabat publik dan oknum rakyatnya tak lagi Pancasilais,” ujar Chriswanto khawatir.  

Menurutnya beberapa waktu lalu, ida dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj bertemu dan bersepakat untuk membendung pengaruh liberalisme dan fundamentalisme, di lingkungan ormas masing-masing. 

“Ormas-ormas Islam berhadapan dengan dua kutub persoalan, yakni liberalisme yang di antaranya mendorong kebebasan individu, sementara di sisi lain terdapat fundamentalisme yang membuat seseorang tidak toleran terhadap perbedaan,” ujarnya.  

Liberalisme, menurut Chriswanto, pada banyak hal, memiliki kandungan positif. Seperti mendorong seseorang untuk memperoleh haknya dalam kesejahteraan dengan berkompetisi. Namun, bila tak diatur, liberalisme sangat memungkinkan yang kuat akan menggusur yang lemah dalam berbisnis. 

Selain itu, liberalisme mendorong sifat seperti konsumerisme, yang bila tak dikendalikan berbuah pemborosan dan melakukan segala cara untuk meraih barang yang diinginkan.  

“Artinya, komunisme, liberalisme, sosialisme, dan fundamentalisme bukanlah ideologi asli suku-suku di Indonesia. Ideologi-ideologi itu diimpor di sinilah Pancasila dan rakyat Indonesia diuji,” imbuhnya. 

Dia mengatakan, bila liberalisme membuat seseorang tak peduli sehingga semangat gotong-royong meluntur. Sementara fundamentalisme mendorong lunturnya sikap toleransi, menghargai, dan menghormati keyakinan lain. Akibatnya, kedamaian dan ketenteraman bisa terusik.  

Dia mengingatkan kembali peran ormas Islam untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan karakter bangsa, sebagaimana yang terdapat dalam butir-butir Pancasila.  

Pancasila dapat terus dikuatkan, bilamana ideologi tertentu tidak menggantikan Pancasila. Menurut Ketua DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia,  Singgih Tri Sulistiyono yang juga Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro (Undip), Pancasila jangan sampai berhenti pada tataran verbal, tetapi juga diamalkan.  

“Dalam kontruksi keindonesiaan, yang pertama adalah bahwa sila pertama dari Pancasila harus menjadi pondasi sekaligus mewarnai sila-sila yang lain. Lembaga Dakwah Islam Indonesia juga berpendapat sila pertama tidak dijadikan bingkai, tetapi sebagai pondasi,” ujarnya. 

Menempatkan sila pertama Pancasila sebagai bingkai atau wadah, sangat berisiko mendorong pihak-pihak yang memiliki ideologi tertentu, mengubah ideologi negara. 

Hal tersebut, bisa menjadi bibit konflik yang berkepanjangan karena kondisi bangsa dan negara yang plural, baik dari sisi agama maupun kepercayaan. “Maka agama harus ditempatkan sebagai fundamen bukan wadah,” ujar Singgih. 

Kedua, dengan memahami sifat dan jiwa yang tergali dalam sejarah lahirnya Pancasila, menurut Singgih yang patut untuk menjadi bingkai dari konstruksi keindonesiaan adalah sila Persatuan Indonesia.

Dengan demikian, kata dia, rumusannya adalah apapun agama yang dipeluk (sesuai Sila Pertama), apapun aktualisasi kemanusiaan yang dilakukan (Sila kedua), bentuk demokrasi apapun yang dijalankan (Sila keempat) dan model keadilan yang dibayangkan (Sila kelima) tetap dalam bingkai persatuan Indonesia atau NKRI (Sila ketiga). 

Jelaskan mengapa ideologi Pancasila tidak mau menerima ideologi komunis berikan contohya

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...