Jelaskan hal hal yang mendasar yang menyebabkan pendidikan Islam bisa maju

Baghdad menjadi masa emas pendidikan Islam.

wordpress.com

Masa Emas Dunia Pendidikan Islam. Foto: Praktik kedokteran Islam tempo dulu (ilustrasi).

Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Baghdad yang merupakan pusat kedaulatan Abbasiyah telah menguasai berbagai daerah. Islam mengalami kemajuan dalam berbagai bidang, terutama dalam dunia pendidikan.Sistem pendidikan di masa kejayaan Islam pada abad ke-8 mampu mendongkrak seluruh lini kehidupan masyarakat. Bahkan, mengilhami sistem pendidikan modern yang tak memperhatikan sistem hierarki sosial.Implikasi pendidikan yang dikemas secara formal terinspirasi dari pesan Rasulullah SAW agar mempelajari suatu ilmu dari semenjak terlahir di bumi hingga menjelang masuk liang lahat. Saat itulah terlahir sebutan bagi kaum terpelajar sebagai kaum adib, ada pula kaum fakir.Kegiatan mereka terpusat di masjid atau surau yang dikelola seorang khatib atau wâ’iz. Di sanalah terbentuk komunitas yang terdiri atas pujangga, orang suci, serta para sarjana. Mereka menghasilkan karya-karya antologi sastra, ensiklopedia, catatan sejarah, biografi, kamus, dan pelbagai karya tulis lainnya.Sistem pendidikan dan pembentukan kebudayaan Islam mempunyai nilai serta acuan tersendiri. Seperti yang diterapkan filsuf al-Farabi dan Miskawayh yang mempunyai teori pendidikan dari alam.Dalam teori lainnya milik al-Mawardi ditegaskan, pendidikan yang dimulai dari penguatan nilai agama. Sementara al-Ghazali dalam karyanya Hiyal’ alum al-din memformulasikan teori dasar pendidikan yang dipraktikkan dengan pelaksanaan syariat agama Muslim sejati.Seluruh teori tadi ternyata diterapkan kaum Graeco-Roma dalam sebentuk prinsip per se, yang mencakup seluruh bidang kajian pendidikan. Mereka bukan saja menitikberatkan pada lingkungan sekitar, tetapi juga menawarkan sistem yang dilengkapi petunjuk atas prestasi ataupun hukuman bagi yang tidak mengindahkan sistem. Mereka mencari minat dan bakat anak-anak sedari dini. Lalu, mengembangkannya dalam sebentuk hubungan antara pelajar dan pengajar.Setelah mengalami masa kejayaan, umat Islam mengalami masa kemunduran dalam berbagai bidang, termasuk di bidang pendidikan. Hal ini dimulai dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Baghdad dan di Cordova.Baghdad yang merupakan pusat kedaulatan Abbasiyah yang pertama kali dipimpin oleh Abu Abbas as-Saffah, telah menguasai berbagai daerah. Di bawah kekuasaan Daulah Abbasiyah Islam mengalami kemajuan dalam berbagai bidang, terutama dunia pendidikan. Saat itu, para pemimpin Daulah Abbasiyah lebih memikirkan bidang pendidikan daripada Daulah Umayyah sebelumnya yang lebih fokus pada bidang kemiliteran.Daulah Abbasiyah sangat menonjol dalam bidang pendidikan pada masa Kekha lifahan al-Makmun. Khalifah al-Makmun adalah seorang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan di atas segalanya dan dia juga selalu memikirkan agama Islam dengan ilmu penge tahuan tersebut. Dia berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan menerjemahkan buku-buku dari Yunani serta mengembangkan ilmuilmu dengan mendapatkan temuan baru.Filsafat Yunani yang bersifat rasional menjadikan Khalifah al-Makmun terpengaruh dan mengambil teologi Mu’tazilah menjadi teologi negara. Dalam masa itu, Islam menjadi negara yang tak tertandingi dalam bidang pendidikan serta banyak memberikan sumbangan ilmu pengetahuan terhadap dunia.Masa kehancuran Namun, setelah silih bergantinya khalifah, Islam mulai mengalami kemunduran terhadap bidang pendidikan. Hal ini juga berhubungan dengan keruntuhan Daulah Abbasiyah sebagai suatu kedaulatan yang besar serta terjadinya jurang pemisah antara kekhalifahan dan komunitas keagamaan terutama dalam hal “kemakhlukan Alquran”.Terjadilah perselisihan antara beberapa kelompok. Kelompok yang satu menga takan bahwa Alquran itu adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Sedangkan kelompok yang satu lagi menyatakan bahwa Alquran merupakan kalam Allah, bukan mSedangkan kemunduran di Cordova pada masa Daulah Umayyah II. Daulah Umayyah II yang dipimpin pertama kali oleh Abdurrahman ad-Dakhil yang merupakan pelarian dari penguasa Abbasiyah. Puncak ke kuasaan Daulah Umayyah II terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman III dan al-Hikam.Kemajuan pada masa itu terlihat dalam berbagai bidang, antara lain, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan intelektual. Di Cordova yang merupakan pusat Daulah Umayyah II telah berdiri suatu universitas yang tepercaya dan mampu menandingi dua universitas besar lainnya, yaitu universitas al-Azhar di Kairo dan Nizamiyah di Baghdad. Universitas ini menarik banyak mahasiswa, baik mahasiswa Kristen maupun mahasiswa dari negara Eropa lainya.Pertemuan antara peradaban Arab Islam dan peradaban masyarakat setempat menjadikan daerah itu pada masanya mempunyai kebudayaan Islam yang tinggi, sehingga Spanyol menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam di daerah Barat. Tetapi, kemajuan tersebut ditentukan oleh penguasa yang memiliki sikap kuat dan berwibawa yang mampu mempersatukan Islam.Hancurnya Islam pada Perang Salib yang terjadi dalam beberapa gelombang menjadi pemicunya. Belum lagi aksi tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan, yang menghancurkan Daulah Abbasiyah dan membakar seluruh buku ilmu pengetahuan yang ada di Baghdad Ironisnya, setelah mencapai kemajuan dalam berbagai bidang dan selama beberapa abad menjadi kiblat ilmu pengetahuan, akhirnya kehancuran total dialami kota-kota pendidikan dan kebudayaan Islam yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi pendidikan Islam dan melemahnya pemikiran.Salah satu penyebabnya kehidupan sufistik berkembang dengan cepat. Di setiap madrasah diajarkan tentang ajaran-ajaran sufisme. Dalam kurikulumnya pun hanya terdapat ilmu-ilmu agama sedang kan ilmu-ilmu lainnya tidak termasuk dalam pengajaran.

Berkurangnya kebebasan berpendapat dan memikirkan sesuatu menyebabkan para ahli di zaman kemunduran Islam hanya mengutip ijtihad para ahli sebelumnya. Mereka tidak menemukan pemecahan terbaru tentang permasalahan yang sedang berkembang dari hasil pemikiran mereka. Timbullah pernyataan yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya intelektualisme yang mengagumkan. 

Baca Juga

  • pendidikan islam
  • peradaban islam
  • baghdad
  • pusat peradaban islam

Jelaskan hal hal yang mendasar yang menyebabkan pendidikan Islam bisa maju

sumber : Pusat Data Republika

Oleh: Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.

Abstrak

                Idealnya, pendidikan Islam harus lebih unggul dibandingkan pendidikan  lainnya. Namun pada umumnya, pendidikan Islam masih jauh tertinggal dibandingkan pendidikan lainnya. Berbagai upaya untuk mewujudkan pendidikan Islam yang unggul telah dilakukan, namun hasilnya belum menggemberikan. Tentang sebab-sebab mengapa upaya mengunggulkan pendidikan Islam tersebut belum berhasil, antara lain karena upaya yang dilakukan itu masih bertumpu pada pemecahan yang belum mendasar dan bersifat parsial. Upaya yang mendasar dan integrated untuk mewujudkan pendidikan Islam yang unggul antara lain dengan membangun epistimologi pendidikan Islam yang unggul, yang hingga saat ini dianggap belum pernah dirumuskan, termasuk oleh para ulama dan ilmuwan Muslim di zaman kejayaannya di abad klasik. Melalui studi terhadap berbagai literatur yang relevan dan otoritatif dengan analisis kualitatif dan pendekatan filosofis, tulisan ini  menawarkan sebuah bangunan epistimologi pendidikan Islam dengan berbagai aspeknya yang terkait. Namun sebelum itu, tulisan ini menggambarkan kondisi objektif pendidikan Islam saat ini serta berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik internal maupun eksternal.

A.Kondisi Pendidikan Islam saat ini

                Idealnya, pendidikan Islam saat ini baik secara teoritis-konseptual, maupun empiri-praktikal lebih unggul dibandingkan dengan pendidikan Islam sebelumnya, maupun pendidikan lainnya. Hal ini didasarkan pada sejumlah alasan. Pertama, bahwa kitab suci al-Qur’an dan Hadis yang merupakan sumber utama ajaran Islam memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan. Ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan misalnya, adalah perintah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kegiatan pengajaran, pendidikan dan penelitian. Sementara itu, di antara Hadis Rasulullah SAW antara lain ada yang  berisi perintah belajar dan mengajar seumur hidup (long life education) dan pendidikan untuk  semua (education for all). Kedua, bahwa keadaan ummat Islam saat ini secara sosial maupun  ekonomi jauh lebih banyak dan lebih  kaya dibandingkan dengan ummat Islam di masa lalu. Modal sosial dan ekonomi yang demikian itu seharusnya memberi pengaruh yang lebih besar bagi peningkatan mutu pendidikan Islam. Ketiga, secara historis, umat Islam memiliki modal sejarah dan contoh yang sangat berharga bagi kemajuan pendidikannya, yaitu  kemajuan dalam bidang kebudayaan dan peradaban yang pernah dicapai umat Islam di zaman klasik dan menjadi model bagi kemajuan Eropa dan Barat.

Namun berbagai hal yang dapat menjadi modal bagi keunggulan pendidikan Islam tersebut belum sepenuhnya dipergunakan. Kondisi objektif  pendidikan Islam yang ada saat ini menunjukkan sebagian ada  yang sudah mencapai kemajuan, dan sebagian lainnya masih dalam ketertinggalan. Transformasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang dimulai sejak tahun 2002 misalnya dapat dilihat sebagai bukti adanya kemajuan pendidikan Islam.[1] Karena  melalui perubahan bentuk kelembagaan itu telah membawa implikasi pada perubahan ke arah kemajuan pada berbagai komponen pendidikan Islam. Visi, misi, tujuan, sasaran, kurikulum, sarana prasarana, sumber daya manusia, pembiayaan, manajemen pengelolaan dan lainnya mengalami perubahan ke arah yang lebih maju. Demikian pula beberapa hal yang digunakan sebagai indikator kemajuan pendidikan, juga sudah banyak yang dicapai oleh perguruan Islam tersebut. Adanya sejumlah program studi yang memperoleh rekognisi internasional, karya tulis kalangan akademisi yang dimuat pada jurnal internasional yang terakreditasi, hasil kajian dan temuan yang memperoleh hak paten dan hak kekayaan intelektual, meningkatnya kepercayaan (trusted) masyarakat tingkat internasional untuk belajar di perguruan tinggi Islam, serta sarana prasarana yang lengkap dan modern, serta pengelolaan manajemen yang berbasis IT (information technology) dan profesional, adalah merupakan bukti adanya kemajuan yang dicapai pendidikan Islam di Indonesia. Kemajuan pendidikan Islam juga dapat dilihat dari adanya sekolah-sekolah Islam  atau Madrasah unggulan, seperti Madrasah Aliyah Insan Cendekia (AIC) Serpong, Tangerang Selatan, Banten, SMU Madania, Parung, Bogor, SMU Al-Izhar, Kemang, Kebayoran Baru, dan SMU Muthahhari. Kemajuan pendidikan Islam juga dicapai oleh sejumlah pondok pesantren, seperti Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang, Pondok  Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, dan sebagainya.[2]

                Sementara itu kondisi objektif tentang ketertinggalan pendidikan Islam dibandingkan pendidikan Islam lainnya antara lain dikemukakan para pakar. Rachmat Assegaf misalnya mengatakan: Seharusnya dengan terjalinnya antara sumber akal dan wahyu dapat menghasilkan konsep dan pemikiran pendidikan Islam yang sempurna. Hal itu dibuktikan secara historis melalui upaya pengembangan konsep dan pemikiran pendidikan Islam yang telah berjalan sejak dahulu dengan banyaknya karya tulis para ulama tentang pendidikan yang sebagian masih bisa diakses hingga saat ini. Namun saat ini yang diidealkan ini belum merata. Sebagian ada yang sudah maju, sebagian lagi masih terbelakang. Filsafat Pendidikan Islam, Ilmu Pendidikan Islam, praktik dan teori pendidikan Islam masih kalah dengan teori dan praktik pendidikan Barat. Memudarnya masa kejayaan umat Islam ini bersifat sistemik, kompleks dan disebabkan olrh multi faktor.[3] Sementara itu, Abdullah Idi dan Toto Sumato, mengatakan: Mengapa kaum Muslimin tempo dahulu mampu mencapai keberhasilan di bidang kesarjanaan atau intelektualisme yang menjadi ciri utama masyarakat Muslim perkotaan, namun kini pendidikan Islam seolah mengalami stagnasi, berjalan di tempat.[4] Pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, dewasa ini dihadapkan pada problematika filosofis-epistimologis yang tak kunjung usai. Berbagai  wacana dan tawaran muncul, baik dari kalangan pendidik maupun dari pemerintah dan peneliti pendidikan Islam dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah krusial ini. Berbagai tawaran tentang proses, prosedur, metodologi, dan dpendekatan diajukan dan diwacanakan oleh para pakar guna membangun suatu kerangka epistimologi pendidikan Islam yang kokoh, dari yang normatif hingga yang historis. Namun semua wacana dan tawaran ini belum memadai, sehingga tetap menyisakan persoalan yang hingga kini belum jelas, apakah yang sebenarnya disebut pendidikan Islam.[5] Sementara itu Haidar Putra Daulay mengatakan, bahwa problematika pendidikan Islam antara lain terkait dengan peserta didik yang beragam latar belakangnya:pemahaman, pengamalan dan penghahayan agama Islam, pendekatan kognitif, pendekatan parsial, pendidikan agama yang hanya tanggung jawab guru agama, sarana dan fasilitas yang terbatas, dan sebagainya.[6] Secara nasional pendidikan Islam yang berada di bawah pengelolaan Kementerian Agama, mulai dari tingat Taman-kanak atau Raudhatul Athfaal, masih tertinggal dibandingkan dengan pendidikan umum yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk tingkat dasar dan menengah, dan tingkat Perguruan Tinggi yang berada di bawah Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi. Jumlah Sekolah Dasar Negeri (SDN) misalnya jauh lebih besar dibandingkan dengan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dengan perbandingan 95% (SDN):5% (MIN), Jumlah Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) dengan perbandingan 10% (SMPN):10 MTs; dan jumlah Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN/SMAN lebih banyak dibandingkan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dengan perbandingan SMUN/SMAN 85%:MAN 15%. Perbedaan status ini dapat dipastikan bahwa sumber daya manusia, sarana prasarana, pembiayaan dan lainnya yang dimiliki sekolah negeri akan lebih lengkap dibandingkan sekolah swasta. Keadaan ini juga berlaku pada jenjang pendidikan tinggi. Secara internasional, ketertinggalan pendidikan Islam, dapat dilihat dari belum adanya perguruan tinggi Islam yang menempati posisi top dunia. Laporan World Bank misalnya menempatkan Indonesia pada posisi 113, dari 147 negara di dunia dalam keunggulan di bidang pendidikan. Hal ini jauh tertinggal dibandingkan dengan Singapura yang menempati posisi 37 atau Malaysia yang menempati posisi ke 57.

                Pada tataran operasional, pendidikan Islam juga masih belum sepenuhnya mampu mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia:sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya, sehingga berbagai aspek kehidupan tersebut bernuansa Islami, yang pada gilirannya dapat meredam terjadinya penyimpangan moral dan etika yang terkait dengan kehidupan tersebut, seperti menurunnya angka korupsi, perusakan lingkungan, kriminalitas, dan berbagai pelanggaran lainnya. Dalam skala yang mikro, pendidikan Islam sebagaimana yang dilaksanakan di sekolah misalnya belum sepenuhnya dapat merubah budaya sekolah ke arah yang lebih baik, seperti budaya menyontek, buang sampah sembarangan, pemerasan, pergaulan bebas, dan tawuran pelajar. Selain itu, pendidikan Islam juga belum dapat berkontribusi dalam pemberantasan narkoba,  pencegahan lahirnya paham Islam yang fanatik, eksklusif, fundamentalis, ekstrim, radikalisme, peningkatan wawasan nasionalisme, patriotisme dan sebagainya. Pendidikan Islam juga belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan globalisasi yang diakibatkan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam mencegah terjadinya pergeseran nilai, seperti memudarnya nilai kesalihan, sakralisme, kepada nilai yang dianggap provan, pragmatisme, sekularisme, permessivisme dan sebagainya. Pendidikan Islam ditantang untuk mengatasi berbagai masalah tersebut di atas.

Problema pendidikan Islam secara lebih komprehensif antara lain dikemukakan Syamsul Affandi, S.S. Menurutnya, ada tujuh belas problematika yang sedang dihadapi pendidikan Islam saat ini, yaitu: Pertama, kurikulum yang tidak jelas orientasinya; kedua, implementasi pendidikan Islam masih memelihara warisan lama, sehingga ilmu yang dipelajari adalah ilmu klasik dan ilmu modern tidak tersentuh. Ketiga, umat Islam cenderung terbuai dengan romantisme masa lalu, sehingga mereka sulit dan enggan melakukan reformasi dan pembaharuan. Keempat, model pembelajaran pendidikan Islam masih menekankan dan mempertahankan pada pendekatan intelektual verbalistik dan menegasi interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru dan murid. Kelima, sempitnya pemahaman terhadap esensi ajaran Islam. Keenam, persoalan konseptual-teoritis ditandai dengan adanya paradigma dikhotomis dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal, dunia dan akhirat. Ketujuh, kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosio-kultural mereka. Kedelapan, realitas pola pendidikan Islam yang selama ini dipakai cenderung mematikan kreatifitas dan memenjarakan peserta didik. Kesembilan, interaksi guru dan murid seperti subjek dan objek. Kesepuluh, materi dan bahan ajar sudah tidak layak lagi diajarkan, karerna tidak sesuai lagi dengan literatur perkembangan zaman. Kesebelas, metode pembelajaran yang selama ini digunakan lebih menitik-beratkan pada sistem hafalan bukan proses berfikir logis. Keduabelas, adanya kesalahan perspektif kebanyakan guru dan umat muslim terhadap anak yang baik. Mereka menganggap anak yang baik adalah anak yang manis, patuh, pandai menyesuaikan diri dan memiliki disiplin yang kuat. Sementara anak yang suka mengkritik atau bandel dianggap anak yang nakal dan durhaka. Ketigabelas, tidak harmonismya akal dan wahyu. Keempat belas, rendahnya kualitas intelektual dan penguasaan terhadap teknologi serta profesionalitas tenaga pendidik. Kelima belas, bentuk kurikulum pendidikan Islam masih sekuler.Keenambelas, terjadinya proses imperialisme epistimologi Barat terhadap pemikiran Islam, dan ketujuhbelas, kajian keisalaman saat ini masih banyak pada dataran rasional, intelektual, etis, dan irfani, sedikit wilayah ilmu terapan, skill dan teknolog.[7] Di masa sekarang mungkin sebagian masalah pendidikan Islam tersebut sudah berhasil diatasi, seperi pada orientasi kurikulum yang integrated, pembelajaran yang kolaboratif, penggunaan bahan ajar yang aktual, dan guru yang profesional. Namun demikian, masalah pendidikan lainnya masih banyak yang belum terpecahkan, terutama sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi.

B. Faktor Penyebab

                Terdapat sejumlah masalah yang diduga oleh para pakar sebagai penyebab tertinggalnya pendidikan Islam dibandingkan pendidikan lainnya, atau sebagai penyebab pendidikan Islam belum dapat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Faktor penyebab tersebut antara lain dikemukakan para ahli sebagai berikut. Abd. Rachmat Assegaf, misalnya mengatakan:

                Memudarnya masa kejayaan umat Islam ini bersifat sistemik, kompleks dan disebabkan oleh multi faktor. Namun unsur politik sebagai faktor dominan, disusul penutupan pintu ijtihad, kejumudan berfikir, budaya taklid, alergi terhadap filsafat, sektarianisme dan dikhotomi ilmu dalam lembaga pendidikan Islam.[8] Sementara itu ada pula yang mengatakan, bahwa di antara penyebab terjadinya kemunduran pendidikan Islam adalah karena dikhotomi Ilmu, antara ilmu agama dan ilmu umum. Dikhotomi ini disebabkan karena berbagai faktor. Pertama, faktor perkembangan ilmu itu sendiri yang bergerak demikian pesat, sehingga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa kemunduran (1250-1800), dominasi fuqoha yang membagi ilmu ke dalam fardlu kifayah dan fardlu ‘ain, ilmu pendidikan dianggap ilmu fardlu kifayah yang apabila sudah diwakili kelompok lain sudah dianggap terwakili. Ketiga, faktor internal kelemabagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik , hukum, sosial, dan budaya yang dihadapi umat dan negara Islam.[9]

Selain adanya problematikan dikhotomik pendidikan Islam sebagaimana tersebut di atas, pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman, juga dipengaruhi oleh faktor hilangnya spirit melakukan riset ilmiah dan tradisi belajar. Menurutnya orang merasa berdosa kalau tidak melaksanakan shalat, namun tidak merasa berdosa kalau tidak melakukan kajian ilmiah dan penelitian, padahal kedua-duanya, yakni shalat dan mengembangkan ilmu juga wajib. Ummat Islam lebih suka meniru atau mengambil konsep atau teori pendidikan lainnya daripada merancanya sendiri. Mengkaji dan mengembangkan memang berat karena butuh kemampuan  ekonomi, metodologi, kemauan yang kuat, dan etos ilmiah yang kuat. Selain itu terdapat pula faktor yang sikap mental membeo, atau meniru atau membebek tanpa kritis. Demikian pula hilangnya tradisi ilmiah yang pernah dikembangkan dan dilaksanakan di zaman klasik, yakni selain membaca, menulis dan meneliti adalah tradisi berbeda pendapat, berdialog, berdebat, rihlah ilmiah, kritik, mendirikan perpustakaan, lembaga pendidikan, laboratoriuum dean lain sebagainya, merupakan sebab lain tertinggalnya pendidikan Islam. Selanjutnya  sikap project oriented, tambal sulam, kurang percaya diri, dan malas, merupakan sebab lain terjadinya ketertinggalan pendidikan Islam.

C. Epistimologi sebagai Solusi Mengatasi Problema Pendidikan Islam

                Selama ini telah banyak gagasan dan pemikiran yang ditawarkan para ahli untuk mengatasi kelemahan dan berbagai masalah pendidikan Islam sebagaimana tersebut. Namun berbagai upaya tersebut dipandang belum mendasar dan masih parsial. Upaya yang bersifat mendasar dan strategis untuk mengatasi masalah tersebut adalah melalui konsep epistimologis yang dibangun berdasaran ajaran Islam. Menurut Iqbal, sebagaimana dikutip Abdullah Idi dan Toto Sumarto, bahwa guna mengatasi pendidikan Islam perlu dilakukan dengan rekonstruksi  yang diberi landasan filosofis epistimologis.[10] Pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, dewasa ini, dihadapkan pada problematika filofis epistimologis yang tak kunjung usai. Epistimologi atau paradigma ilmu pendidikan Islam itu adalah suatu konstruksi pengetahuan yan memungkinkan kita memahami realitas ilmu pendidikan sebagai mana Islam memahaminya. Kontruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu dibentuklah praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam. Pada tarap ini, paradigma Islam epistimologi pendidikan Islam menuntut adanya disain besar tentang ontologi epistimologi dan aksiologi pendidikan Islam. Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka memahami realitas ilmu pendidikan Islam dengan ditopang oleh kontruk pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utaman6a, yang pada gilirannya terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.[11] Islam sebagai paradigma ilmu pendidika juga memiliki arti kontstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam, dengan berpijak pada tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya ditanamkan elemen-elemen pendidikan sebagai world view (Pandangan Keduniaan Islam) terhadap pendidikan.[12]  

Jika disepakati bahwa epistimologi pendidikan merupakan salah satu solusi yang paling fundamental dalam mengatasi pendidikan ini, maka sebelum dikemukakan tentang metode dan pendekatan epistimologi pendidikan Islam, maka terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian, peran dan fungsinya, sumbernya, langkah-langkah dan tokoh yang mengembangkannya sebagai berikut.

1.Pengertian Epistimologi Pendidikan Islam

Epistimologi adalah teori pengetahuan yang membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang dipikirkan.[13] Selain itu ada pula yang mengartikan epistimologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan pangandai-pengandaiannya.[14] Sedangkan pendidikan Islam adalah upaya sengaja untuk memberdayakan segenap potensi manusia sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Selain itu, pendidikan Islam juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang di dalamnya terdapat berbagai komponen yang saling berhubungan yang didasarkan pada ajaran Islam. Komponen pendidikan tersebut adalah:visi, misi, tujuan, sasaran, kurikulum, proses belajar mengajar, tenaga pendidik dan kependidikan, mutu lulusan, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan, lingkungan, dan evaluasi pendidikan.[15] Mujamil Qomari, mengatakan, bahwa epistimologi pendidikan Islam meliputi pembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam, mulai dari hakikat pendidikan Islam, asal usul pendidikan Islam, sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam, sasaran pendidikan Islam macam-macam pendidikan Islam dan sebagainya.  Epistimologi pendidikan Islam bukan hanya membahas metode dan pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang pendidikan Islam, melainkan mencakup banyak aspek.[16] Dengan demikian, epistimologi pendidikan Islam adalah kajian filsafat yang membahas tentang sumber pendidikan Islam, metode dan pendekatan dalam menggunakan dan mengolah sumber tersebut, serta nilai atau manfaat dari ilmu pendidikan Islam tersebut.

2.Objek,  Tujuan dan Karakter Epistimologi Pendidikan Islam

Objek epistimologi sebagaimana dikemukakan Jujun W. Suriasumantri adalah segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan, dan sekaligus mengantarkan pada tercapainya tujuan, yaitu bukan untuk menjawab pertanyaan apakah yang saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu. Tujuan epistimologi bukan untuk memperoleh pengetahuan, kendatipun hal ini tidak dapat dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dan tujuan epistimologi adalah ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan, yakni potensi untuk memperoleh pengetahuan tentang pendidikan Islam.[17]  Sejalan dengan itu, Mujammil Qomar mengatakan, bahwa epistimologi pendidikan Islam menuntut segera dibangun oleh para pemikir pendidikan Islam, karena berfungsi mengembangkan pendidikan Islam secara konseptual, kemudian secara aplikatif.[18]

3.Peran dan Fungsinya Epistimologi Pendidikan Islam

Melalui epistimologi, selain seseorang dapat mengetahui proses tersusunnya suatu ilmu, juga memiliki kemampuan untuk menemukan dan menyusun ilmu tersebut. Dengan epistimologi diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran bahwa jangan sampai seseorang puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, dan dengan cara demikian seseorang bukan hanya menjadi konsumen ilmu yang bersifat pasif, melainkan menjadi produsen ilmu yang aktif, kreatif dan dinamis, serta akan menjadi seorang pengikut, melainkan menjadi seorang penemu.[19]

Melalui epistimologi, seseorang tidak lagi disuguhi sebuah ilmu yang sudah jadi dan siap pakai, melainkan diberikan wawasan dan sekaligus pengalaman dalam mengkonstruksi sebuah ilmu. Untuk itu setiap disiplin ilmu harus memiliki epistimologi. Kekokohan sebuah ilmu selanjutnya ditentukan pula oleh kekohan epistimologinya. Jika dibandingkan dengan ilmu fiqh, maka epistimologi merupakan ushul fiqih dan qawa’id fiqhiyah-nya. Kekokohan ilmu fiqih ditentukan oleh ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyahnya.

Epistimologi pendidikan Islam menuntut segera dibangun oleh para pemikir pendidikan Islam, karena berfungsi mengembangkan pendidikan Islam secara konseptual, kemudian secara aplikatif. Dalam kajian Islam selama ini, pendidikan Islam belum dikembangkan atas kerangka epistimologinya yang jelas. Mujamil Qomari misalnya mengatakan:  Tidak terlalu berlebihan, jika dikatakan, bahwa hingga sekarang ini belum ada sebuah tawaran konseptual mengenai bangunan epistimologi pendidikan Islam sebagai sarana atau pendekatan dalam mengembangkan pendidikan Islam. Hal ini berbeda dengan hukum Islam (fiqh) di mana melalui ushul al-fiqh banyak dikemukakan tawaran-tawaran konseptual tentang pendekatan-pendekatan epistimologi fiqh seperti qiyas, maslahah mursalah, istihsan,  dan lain-lain.[20]

                Sejalan dengan itu, maka epistimologi pendidikan Islam memiliki fungsi sebagai pengeritik, pemberi solusi, penemu dan pengembang.[21] Dengan epistimologi dapat menyadarkan peserta didik, bahwa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan cara atau metode tertentu, sebab epistimologi menyajikan proses pengetahuan di hadapan peserta didik dibandingkan dengan hasilnya. Epistimologi dapat memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan, pasti akan mengetahui hasilnya. Sebalik orang yang tidak menguasai epistimologi, akan banyak mengetahui sesuatu, tetapi tidak mengetahui prosesnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, epistimologi memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang begitu besar,yaitu sebagai penentu atau penyebab timbulnya akibat-akibat daam pendidikan Islam. Oleh sebab itu, jika terjadi berbagai kelemahan dan kemunduran dalam pendidikan Islam, maka yang terlebih dahulu harus diperkuat adalah epistomologinya. Kekokohan bangunan epistimologi melahirkan ketahanan dan kekokohan pendidikan Islam dalam menghadapi pengaruh apapun. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa masa depan pendidikan Islam sebetulnya dapat dipertaruhkan dengan kondisi epistimologinya.

                Dibandingkan dengan epistimologi pendidikan Barat, sesungguhnya epistimologi pendidikan Islam jauh lebih kokoh. Namun, kemauan para pakar pendidikan Islam untuk membangun epistimologi pendidikan Islam yang kokoh belum nampak. Para pengelola pendidikan Islam saat ini pada umumnya belum melaksanakan pendidikan Islam berdasarkan bangunan epistimologi yang Islami. Mereka cenderung menerima, meniru, menjiplak dan menggunakan berbagai teori, konsep dan ilmu pendidikan  yang berasal dari Barat tanpa kritik. Dalam kaitan ini, Mujamil Qomari mengatakan, agaknya umat Islam, khususnya para pakar dan pemikir pendidikan Islam belum menyadari sepenuhnya terhadap keberadaan, fungsi, peran dan pengaruh epistimologi pendidikan Islam terhadap masa depan pendidikan Islam. Mereka belum memiliki upaya yang serius untuk menggarap epistimologi pendidikan Islam. Ini menunjukkan bahwa upaya mereka selama ini dalam mengembangkan pendidikan Islam tidak didasari proses, tahapan dan arah yang jelas. Tindakan demikian itu seperti seorang dokter yang mengobati pasiennya, namun dia tidak tahu penyakitnya, sehingga obat yang diberikan bukan saja salah, melainkan bisa membahayakan pasien itu sendiri. Semestinya, dia mengobati berdasaran penyakit yang diderita pasien. Dalam mengatasi problem pendidikan Islam, seharusnya ditempuh langkah seperti itu. Apa yang menjadi akar permasalahan itulah yang harus ditangani lebih dahulu. Sedangkan akar permasalahan itu sendiri adalah epistimologi pendidikan Islam. Sepanjang pengetahuan saya, demikian Mujamil Qomari mengatakan, bahwa epistimologi pendidikan Islam ini belum pernah menjadi perhatian serius para ilmuan dan pemikir Islam, sekalipun pada zaman kejayaannya. Lebih lanjut Mujamil Qomari mengatakan:  “Kita belum pernah menjumpai pendekatan-pendekatan epistimologi pendidikan Islam yang ditawarkan oleh para ulama atau pemikir Islam untuk menjadi sarana mengembangkan dan memajukan pendidikan Islam. Perhatian terhadap epistimologi justru terkalahkan oleh perhatian terhadap tata krama dalam belajar atau kode etik pelajar yang telah dituangkan dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim yang belakangan ini acapkali digugat. Kita mesti menyadari sepenuhnya bahwa epistimologi pendidikan Islam itu harus menjadi perhatian utama meskipun terlambat. Kita harus mentradisikan epistimologi itu menjadi bahasan utama dalam proses pendidikan kita.[22] Hal ini pula yang dianjurkan oleh Abdul Munir Mulkan dengan mengatakan, jika sasaran utama pendidikan Islam adalah diperolehnya sejumlah pengetahuan oleh peserta didik, maka proses belajar mengajar seharusnya menempatkan epistimologi sebagai pendekatan utama.[23]

Karena umat Islam belum memiliki epistimologi pendidikan Islam, maka secara terpaksa atau seenaknya menggunakan epistimologi pendidikan Barat. Berbagai akibat negatif dari penggunakan ilmu pendidikan Barat terhadap sikap, watak, kepribadian, karakter dan mental peserta didik lepas dari pertimbangannya. Dalam keadaan ini pendidikan Islam terperangkap dalam pepatah “minyak babi cap onta”, yakni mereknya unta yang menggambarkan lambang kehalalan dan Islami, sedangkan isinya babi yang melambangkan keharaman dan bertentangan dengan Islam (tauhid). Dalam kaitan ini Mujamil Qomari mengingatkan, bahwa pendidikan Barat yang diadaptasi oleh pendidikan Islam, meskipun mencapai kemajuan, tetapi tidak layak dijadikan sebagai sebuah model untuk memajukan peradaban Islam yang damai, anggun, dan ramah terhadap kehidupan manusia. Pendidikan Barat hanya maju secara lahiriyah, tetapi tidak membuahkan ketenangan rohani lantaran bersifat kuantitatif. Ukuran-ukuran hasil pendidikan lebih dilihat dari sudut seberapa jauh pengetahuan yang dapat diserap oleh peserta didik, tidak memperhatikan apakah tumbuh kesadaran dari peserta didik untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dikuasainya. Lebih lanjut Muhammad Mubarok, sebagaimana dikutip Amrullah Achmad dalam Mujamil Qomari, bahwa karakteristi sistem pendidikan Barat adalah sebagai refleksi pemikiran dan kebudayaan abad XVII-XIX yang ditandai dengan isolasi agama, sekularisme negara, materialisme, penyangkalan terhadap wahyu dan penghapusan nilai-nilai etika yang kemudian digantikan dengan pragmatisme. Dengan demikian, corak pendidikan Barat tersebut tidak terlepas dari pandangan Barat terhadap ilmu pengetahuan. Di Barat,  ilmu pengetahuan hanya berdasar pada akal dan indera, sehingga ilmu pengetahuan itu hanya mencakup hal-hal yang dapat diindera dan dinalar saja. Hal ini berbeda dengan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam Islam, yang selain berdasarkan panca indera dan akal, juga berdasarkan wahyu dan intuisi. Kata Islam yang terangkai dalam epistimologi pendidikan Islam tidak untuk formalitas, tetapi memiliki implikasi-implikasi yang jauh, di mana wahyu Allah, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah ditempatkan sebagai pemberi petunjuk ke arah mana proses pendidikan dugerakkan, apa bentuk tujuan yang ingin dicapai, dan lain-lain. Di samping itu, wahyu juga dijadikan sebagai alat pemantau perkembangan pendidikan Islam, apakah telah sesuai dengan petunjuk-petunjuknya atau telah menyimpang sama sekali dari petunjuk itu. Jadi, dalam epistimologi pendidikan Islam, wahyu diperankan secara aktif mendampingi akal.[24] Di dalam al-Qur’an surat al-Nahl, (16) atau 78 manusia dianjurkan menggunakan tiga potensi yang dimilikinya dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ayat tersebut selengkapnya berarti: “Dialah Allah yang mengeluarkan kamu sekalian dari perut ibumu dalam ketiadaan memiliki ilmu pengetahuan. Kemudian Allah menjadikan bagimu pendengaran (salah satu dari pancaindera), pemikiran (al-abshaara) dan hati nurani (al-af’idah) agar kamu bersyukur.” Selanjutnya dalam surat al-A’raf, (7) ayat 179 dinyatakan agar manusia tidak menjadi orang yang al-ghafilun (lalai dan lengah) dan disamakan dengan binatang ternak, yaitu yang panca indera, akal dan hatinya hanya dapat melihat hal-hal yang nampak, namun tidak mau melihat sesuatu di balik yang nampak, yaitu wilayah metafisis dan wilayah ghaib yang dapat dilihat dengan mata hati atau intuisi.

4.Sumber, Landasan dan Metode Epistimologi Pendidikan Islam

                Sebagai bagian dari cabang ilmu keislaman, pendidikan memiliki sumber yang berasal dari al-Qur’an, hadis, alam jagat raya, fenomena sosial, akal pikiran dan hati nurani, yang secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.

                a.Sumber dan Landasan Epistimologi Pendidikan Islam

                Dari kandungan surat al-Nisa (4) ayat 59 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan)” diperoleh  pengertian bahwa sumber pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan hadis yang bersifat primer, dan produk pemikiran yang dihasilkan para ulama atau umara sebagai sumber sekunder. Selanjutnya dari surat al-Baqarah, (2) ayat 129 yang artinya:  “Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka;” serta surat Ali Imran, (3) ayat 164, yang artinya:  “Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah)mengutus seorang rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata;” dapat diperoleh petunjuk, bahwa sumber pendidikan Islam selain al-Qu’an dan Hadis sebagai sumber primer, juga ayat-ayat Allah yang ada di alam jagat raya yang selanjutnya disebut ayat kauniyah, ayat-ayat Allah yang terdapat di dalam diri manusia, dan di dalam masyarakat sebagai sumber sekunder.  Di dalam berbagai ayat-Nya yang sudah sangat dimaklumi bahwa penciptaan langit dan bumi serta pergantian waktu siang dan malam adalah ayat-ayat Allah bagi ulul al-bab, yaitu orang yang dapat mengintegrasikan daya fikir dan daya dzikir untuk menemukan temuan ilmiah dan hikmah keagungan Allah. (Q.S.Ali Imran, 3:190, al-Maidah, 5:75, al-An’am, 6:16-26, al-Ra’d, 13:2) dan ayat lain. Demikian pula dari surat Fushilat (41) ayat 53 yang artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar”, dapat diketahui bahwa sumber ilmu ada pada ayat dalam alam jagat raya, dan ayat dalam diri manusia.

                Dari analisis terhadap beberapa ayat tersebut dapat diketahui sumber pendidikan Islam, yakni al-Qur’an, al-hadis, alam jagat raya, diri manusia dan fenomena sosial. Dari kajian terhadap  ayat-ayat al-Qu’an, dapat diketahui ideologi pendidikan Islam, yaitu humanisme teo-centred, orientasinya yang jangka panjang dan masa depan, pendekatannya yang memadukan antara teacher centred dan student centred, pengelolaannya yang memuaskan peserta didik dan profesional, mutunya yang unggul; muatan kurikulumnya yang komprehensif antara kecerdasan akal (head), kecerdasan hati nurani (heart), dan keterampilan (hand), serta prinsip-prinsip lainnya. Sedangkan kajian terhadap alam jagat raya dapat diperoleh informasi bahwa alam jagat raya merupakan sebuah kitab besar yang apabila dibaca akan menghasilkan ilmu pengetahuan dan bahan ajar berupa sains atau natural sciences. Kemudian kajian terhadap diri manusia akan  menghasilkan informasi  tentang bakat, minat, instink, fithrah, akal, hati nurani, amarah, syahwat, ruh, al-hawa, sirr, dzauq, dan berbagai potensi lainnya tentang potensi intelektual, jiwa dan batin manusia yang diperlukan sebagai dasar dalam melakukan komunikasi dan pendekatan dalam kegiatan belajar mengajar.  Selanjutnya pemahaman terhadap fenomena sosial dapat ditentukan kebutuhan dan harapan masyarakat terhadap pendidikan. Selanjutnya khusus terhadap kajian terhadap hati nurani akan dihasilkan ilmu yang langsung diberikan oleh Tuhan, yang disebut al-hikmah, al-ma’rifah,  al-mauhubah, al-laduni, al-isyraqiyah, al-faid, dan al-mukasyafah. [25]

                Dengan menggunakan seluruh sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an, hadis, alam jagat raya, diri mansia dan fenomena sosial secara komprehensif dan seimbang, maka berbagai hal baik yang berkaitan dengan  dasar, prinsip, sifat, watak, karakter pendidikan Islam dapat dirumuskan. Penggunaan sumber pendidikan Islam tersebut harus menggunakan landasan  yang menurut Syamsul Afandi, landasan tersebut adalah metode ilmiah. Dalam hubungan ini, ia mengatakan:

                Landasan epistimologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan ilmu pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan yang mapan jika memiliki landasan yang kokoh. Landasan epistimologi ilmu adalah metode ilmiah. Yaitu cara yang dilakukan ilmu dalm menyusun  pengetahuan yang benar. [26] Mujamil Qomari menyebutkan adanya lima metode epistimologi pendidikan Islam, yaitu metode rasional, intuitif, dialogis, komparatif dan kritik.[27] Menyebutkan dialogis atau mujadalah, kritik dan komparatif sebagai metode cukup tepat, karena banyak didukung para ahli. Namun penggunaan rasional dan  intuitif sebagai metode nampaknya kurang tepat. Rasional adalah sifat atau sesuatu yang bersifat akal, atau masuk akal. Sedangkan metodenya mujadalah, kritik, qiyas, dan istihsan. Demikian pula intuitif merupakan sifat yang bersifat batiniyah atau hati nurani. Sedangkan metodenya adalah irfani melalui tazkiyah al-nafs, atau melalui al-takhalli, al-tahalli dan al-tajalli. Sedangkan metode yang digunakan untuk menggali sumber dari al-Qur’an disebut metode bayani; meode yang digunakan untuk menggali sumber alam disebut metode ijbari, dan metode untuk menggali fenomena alam disebut metode burhani. Sementara itu Mulyadhi Kartanegara menyebutkan adanya lima macam metode ilmu pengetahuan, yaitu pengamatan indra (observasi), penyelidikan akal,pengalaman mistik atau “pengamatan” hati (intuisi), metode irfani, dan metode bayani.[28] Dalam pembagian metode ilmiah yang dikemukakan Mulyadhi Kartanegara ini ada kemiripan dengan yang dikemukakan Mujamil Qomari, yaitu pada metode rasional dan intuitif. Namun demikian, pada teori metodologi yang dikemukakan Mulyadhi ini ada kerancuan atau pengulangan antara pengalaman mistik atau pengamatan hati (intuisi) dengan metode Irfani. Sementara itu pada metode yang rasional atau penalaran rasional, Mulyadhi memasukan membaginya menjadi metode syi’ri (puitis) sebagai yang terbawah, diikuti dengan kithabi (rethorik), mughalithi (sofistik), dan jadali (dialektika), dan puncaknya burhani (demonstratif).[29] Sementara itu Adnin Armas, mengemukakan adanya dua pendekatan dalam memahami studi Islam, yaitu pendekatan ilmiah, sebagaimana yang dilakukan para orientalis modern, dan pendekatan teologis sebagaimana yang dilakukan dalam studi Islam dengan berbagai cabangnya,  yaitu metodologi yang berasal dari Hadis, Ushul Fiqh, dan Tafsir.[30] Pada tulisan Adnin Armas ini tidak disinggung tentang metode pengamatan, eksperimen, rasional dengan berbagai bagiannya, intuisi dan burhani, melainkan hanya difokuskan pada metode yang dapat dikategorikan sebagai metode bayani atu ijtihdi.

Dengan  melihat dan mengkaji pemikiran tersebut di atas, tulisan ini memilih pembagian metode pengembangan ilmu pendidikan Islam ini meliputi metode bayani, ijbari, burhani, jadali, dan irfani. Metode bayani diambil dari kajian ilmu agama Islam;  ijbari diambil dari kajian ilmu alam; burhani diambil dari kajian ilmu sosial, jadali diambil dari kajian filsafat, dan irfani diambil dari tasawuf, berbagai metode lainnya akan dimasukan ke dalam lima rumpun metode ini.  Kelima rumpun  metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

b.Metode Epistimologi Pendidikan Islam

1) Metode al-Bayani/al-Tabyin

Al-Bayani atau al-Tabyin berasal dari bahasa Arab, bayyana yang berarti menerangkan atau menjelaskan. Kosakata ini antara lain digunakan dalam ayat: “Dan Kami turunkan al-zikra (al-Qur’an) kepadamum agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” (Q.S. An-Nahl, 16:44). Dan juga dapat dipahami dari ayat: “Hai orang-orang yang beriman, Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”(Q.S. al-Hujurat, 49:6). Melalui proses tabayyun ini, Nabi Muhammad SAW menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mujmal (global), mutlaq, ‘aam (umum), mutaradif, dan yang  secara lahiriyah terkesan berlawanan, sehingga ajaran al-Qur’an tersebut secara teoritis, teknis dan praktis dapat dilaksanakan. Hasil penjelasan Nabi melalui metode tabayyun dituangkan dalam hadisnya baik yang bersifat ucapan, perbuatan maupun persetujuan.[31] Mulyadhi Kartanegara mengatakan, bahwa metode bayani telah ditempuh oleh para ahli tafsir dan ulama lainnya dalam rangka memahami kitab suci sebagai bahasa simbolis.[32] Dengan metode ini, para pakar pendidikan Islam dapat memahami, dan menghasilkan dasar-dasar, prinsip-prinsip, pedoman, orientasi, visi, misi dan tujuan tentang berbagai aspekb pendidikan. Upaya ini umumnya banyak dilakukan para pakar pendidikan dari Timur Tengah, seperti yang dilakukan oleh Anwar al-Bazz melalui kitabnya yang berjudul Tafsir al-Tarbawiy, sebanyak tiga jilid; Muhammad Quthb dengan bukunya Manhaj al-Tarbawy, Ali Khalil Abu al-Ainain: Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur’an; Salih Abdullah Shalih, Islamic Education:Qur’anic Outlook, Abuddin Nata, Tafsir al-Tarbawi, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, dan masih ada yang lainnya. Langkah-langkah yang ditempuh pada umumnya sama dengan langkah yang ditempuh para mufassir. Yaitu metode tahlili yang langkah-langkah dan urutannya mengikuti susunan surat dan ayat di dalam al-Qur’an, dimulai dari surat al-Fatihah diakhiri surat an-Naas, menjelaskan hubungan antar surat dan ayat, sebab turun ayat, makna mufradat, susunan kalimat dari segi nahwu sharaf, menggunakan ilmu bantu ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyah, hadis-hadis Nabi, ilmu yang relevan, analisis dan kesimpulan. Selain itu dapat pula digunakan cara muqarin:perbandingan pada ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksional; metode ijmali dengan mengambil makna yang umum, dan metode maudlui (tematik), misalnya bertema “Konsep Kurikulum dalam al-Qur’an,” dilanjutkan dengan menghimpun ayat sesuai tema, memilih hadis, menjelaskan hubungan ayat, menggunakan ilmu bantu, menganalisis dan menyimpulkan.[33] Catatan yang unik di sini adalah,  penggunaan istilah bayani sebagai metodologi untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an yang dalam prakteknya para ulama lebih suka menggunakan istilah tafsir atau ta’wil. Belum ada penjelasan tentang penggunaan istilah tafsir untuk kerja menjelaskan kandungan al-Qur’an. Sementara itu istilah tabayyun yang terdapat dalam surat a-Hujurat (49) ayat 6 sebagaimana tersebut di atas lebih dekat kepada metode kritik atau metode debat yang merupakan bagian dari metode jadali.

2) Metode Ijbari

Kosakata ijbari berasal dari bahasa Arab ajbara yujbiru ijbaaran yang berarti memaksa, menekan atau merusak.[34] Orang yang melakukannya disebut al-Mujbir, atau al-Jabbar. Salah satu sifat Tuhan adalah al-Jabbar. Sebagai sebuah metodologi al-Ijbari sama dengan eksperimen atau uji coba, yang langkah-langkahnya antara lain: (1)menyusun hipotesis atau daftar pertanyaan; (2)menyiapkan bahan atau objek yang akan diuji coba, seperti binatang kera, anjing atau gajah; tumbuh-tumbuhan, bahan makanan, minuman, dan sebagainya; (3)menyiapkan peralatan laboratorium yang akan digunakan; (4)melakukan langkah-langkah yang ditetapkan; (5)menganilisis dengan pendekatan komparasi, dan (6)menyimpulkan.[35] Metode ini digunakan untuk pengembangan sains atau ilmu terapan. Al-Razi, ahli kimia dan ahli kedokteran klinik dengan bukunya al-Hawiy; Ibn Sina, ahli kedokteran klinik dan medik dengan bukunya al-Qanun fi al-Thibb, adalah hasil penelitian eksperimen.[36] Penggunaan metode ijbari dalam ilmu pendidikan Islam, nampak masih belum banyak menarik minat dan perhatian sarjana Muslim dibandingkan dengan metode bayani, irfani atau jadali. Metode ijbari banyak menarik minat para peneliti pendidikan Barat yang menghasilkan model-model dan pendekatan dalam model pembelajaran, model evaluasi, disain kurikulum, teori-teori motivasi dengan menggunakan teori-teori dasar psikologi. Ke depan, para pakar pendidikan Islam perlu memperbanyak pengembangan ilmu pendidikan dengan menggunakan metode ijbari, sebagaimana yang telah dirintis oleh Mahmud Yunus dalam bukunya al-Thariqah al-Mubasyarah dengan pendekatan all in one atau three in one, yakni aspek bahasa: nahu, syaraf dan balaghah. Uji coba metode ini dilakukan di Sumatera Thawalib di Sumatera Barat, yang selanjutnya dikembangkan oleh salah seorang muridnya, Imam Zarkasyi, di Pondok Modern Darussalam, Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Kemudian disusul oleh H.D.Hidayat dengan bukunya al-Arabiyah bi Nawaziz.

3)      Metode Burhani

Kosakata burhan berasal dari  kata baraha, yabrohu, buhaanan, yang artinya keterangan, fakta atau data. Imam al-Zarqni misalnya menggunakan kata burhan untuk kitabnya yang berjudul al-Burhan fi Ulum al-Qur’an. Sebagai sebuah metodologi, al-Burhan dapat diartikan observasi atau pengamatan dengan menggunakan pancaindera. Dengan menggunakan pancaindera:penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pencicipan, dapat mengenal objek-objek yang ada di se keliling kita dari lima dimensinya:bentuk, bunyi, bau, raba dan rasanya. Selain itu dengan observasi juga dapat diperoleh informasi tentang bahaya atau manfaat dari benda-benda tersebut bagi diri kita penelitian jenis ini dianggap penelitian yang paling bisa diandalkan. Padahal hasil pengamatan indriawi tidaklah cukup untuk memberi atau mencerap objek-objek fisik itu sebagaimana adanya. Ibn Haitsan (w.1039) dalam bukunya al-Manazhir, telah dengan cermat menjelaskan ketidakmampuan mata untuk bisarmemersepsi objek-objeknya secara akurat, dengan menjelaskan beberapa sebabnya. Menurutnya, akurasi pengamatan mata bisa terganggu oleh bebrapa faktor: (1)jarak yang terlalu jauh; (2)ukuran yang terlalu kecil; (3)pencahayaan yang terlalu terang; (4)pencahayaan yang terlalu redup; (5)terlalu lama memandang; (6)kondisi mata yang tidak sehat, dan (7)transparansi.[37] Ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, sejarah, arkeologi, antropologi, fenomenologi, dan etnografi  misalnya adalah hasil penelitian dengan metode burhani. Namun demikian, ada pula yang memasukan metode burhani ini sebagai bagian dari metode jadali atau metode rasional an burhani diartikan demonstratif.[38] Riset dengan metode al-burhani banyak dilakukan oleh para sarjana Barat yang menghasilkan buku tentang sosiologi pendidikan, psikologi pendidikan, sejarah pendidikan, antropologi pendidikan, politik pendidikan dan lain sebagainya. Beberapa pakar pendidikan Islam yang meneliti pendidikan Islam dengan metode burhani ini jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan metode ijbari. Hasilnya antara lain: Sejarah Pendidikan Islam oleh Mahmud Yunus, yang dilanjutkan oleh Karel Steenbrink, Deliar Noer, Zamakhsyari Dhofier,  M.Maksum, Hanun Asrohah, Abuddin Nata, dan yang lainnya.

4)      Metode Jadali

Kosakata Jadali berasal dari bahasa Arab, al-jidal yang secara harfiah berarti perdebatan atau dialektik yang oleh Mulyadhi Kartanegara sebagaimana dikemukakan di atas, terdiri dari yang paling paling rendah pada yang tertinggi, yaitu: syi’ri (puitis), khitabi (retorik), mughalithi (sofistik), jadali (dialektik) dan burhani (demonstratif). Mujamil Qomari  memasukan metode jadali sebagai salah satu metode epistimologi pendidikan Islam.[39] yaitu upaya menggali pengetahuan pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan (tanya jawab) antara dua orang ahli atau lebih berdasaran argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Metode ini banyak ditujukan oleh al-Qur’an antara lain dengan kalimat “yas’aluunaka” (mereka bertanya kepamu), dan Qul yang berarti katakanlah. Misalnya tentang apa yang mereka nafkahkan (Q.S. al-Baqarah, 2:215), berperang di bulan Haram (Q.S.al-Baqarah, 2:217),  khamar dan judi, (Q.S.al-Baqarah, 2: 219) anak yatim (Q.S. al-Baqarah, 2:, 220), haid (Q.S.al-Baqarah, 2: 222), (Q.S. al-Maidah, 5:4, (Q.S. al-Anfaal, 8:1), (Q.S.al-Isra’, 17:85).

Dialog menimbulkan sikap saling terbuka, saling memberi dan menerima, memahami pola pikir orang lain yang diajak dialog, saling introspeksi diri, menghargai pandangan atau pendapat orang lain. Dialog ilmiah tidak mengenal kepentingan ideologi, politik dan sebagainya, melainkan hanya  kebenaran pengetahuan. Dialog ilmiah tersebut berperan dalam memperkaya peradaban, kebudayaan atau lebih spesifik lagi ilmu pengetahuan, serta dapat melahirkan pemahaman yang jernih, wawasan yang luas dankomprehensif serta pengetahuan yang baru sama sekali. Dari tradisi dialog ini dapat ditumbuhkan ketajaman analisis, ketajaman berfikir, ketajaman mengkritik dan ketajaman menjawab pertanyaan-pertanyaan yang duajukan. Melalui dialog dapat terjadi saling pengertian antara konsep teoritis-empiris dengan konsep normatif agama; apa yang dimaui oleh ilmu sosial dan apa yang dimaui oleh ilmu agama, yang bermuara pada kemauan yang sama, yakni kebahagiaan dan ketenteraman hidup manusia. Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar kita untuk memperoleh jawaban-jawaban yang signifikan daam mengembangkan pendidikan Islam tersebut. Dalam aplikasinya, metode dialog ini dapat dilakukan dengan pasangan dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog, atau dengan mengundang para pakar pendidikan Islam untuk berdialog. Langkah selanjutnya dengan mengidentifikasi tema-tema dialog yang berkaitan dengan persoalan-persoalan pendidikan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis yang selanjutnya akan ditemukan prinsip-prinsip dan inspirasi-inspirasi yang membutuhkan penafsiran dan penjelasan lebih lanjut. Riset  pendidikan Islam  dengan menggunakan metode jadali jadali antara lain dilakukan oleh Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, dengan bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Muzayyin Arifin dengan bukunya Filsafat Pendidikan Islam.

Metode jadali (kririk) adalah  sebagai usaha menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dengan cara mengoreksi kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai alternatif pemecahannya. Dengan demikian, dasar atau motif timbulnya kritik bukan karena adanya kebencian, melainkan karena adanya kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan yang harus diluruskan. Kritik diperlukan dalam rangka menguji validitas pengetahuan. Kritik lahir dari proses berfikir secara cermat, jernih dan mendalam, sehingga ditemukan celah-celah kelemahan dari konsep-konsep, teori-teori, pemikiran-pemikiran maupun praktek-praktek yang dikritik. Dengan demikian, melalui kritik ini sebuah konsep atau teori makin kokoh, karena hal-hal yang lemah dari teori dan konsep tersebut akan dapat disingkirkan. Selama ini bangunan ilmu pendidikan Islam masih terlihat rapuh, karena didasarkan pada tiruan-tiruan pendidikan Barat yang diterimanya tanpa kritik. Metode kritik dapat dimanfaatkan untuk menunjukan kelemahan-kelemahan dari bangunan ilmu  pendidikan Islam secara mendetail, kemudian memberikan dorongan untuk melakukan pembongkaran terhadap bangunan ilmu pendidikan Islam itu. Dengan cara demikian, bangunan ilmu pendidikan Islam akan kokoh.

5)      Metode irfani

Kosakata irfani berasal dari bahasa Arab berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, irfaanan, dan ma’rifah, yang secara harfiah berarti pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dengan menggunakan indera batin, hati nurani atau intuisi. Mulayadhi Kartanegara, mengatakan, metode irfani tidak didasarkan pada pengamatan indriawi atau intelektual (akal) tetapi lebih pada pengamatan intusi.[40] Di kalangan ulama atau sarjana Muslim pengunaan metode irfani yang berbasis intuisi sudah tidak mengalami penolakan, melainkan sudah menerimanya, dengan nama yang berbeda-beda. Al-Ghazali menyebutnya al-ma’rifah, Ibn Sina menyebutnya al-Faid (emanasi-limpahan), al-Syirbashy menyebutnya Ilmu Mauhubah, Syuhrawardi menyebutnya al-Isyraqiyah, ulama menyebutnya ilmu laduni.

Sementara itu metode intutitif adalah metode yang mendominasi kalangan ilmuwan Muslim; sedangkan bagi ilmuan Barat, metode intuisi tidak mendapat, dan karenanya mereka menolak keras dan meninggalkannya. Muhammad Iqbal misalnya menyebut intuisi dengan peristilahan cinta, pengalaman kalbu, sedangkan Ibn Arabi menamakannya sebagai pandangan, pukulan, lemparan atau detik, dan tingkatan metode, maka metode intuitif ini biasa disebut metode apriori. Yaitu adanya pengetahuan yang diperoleh sebelum didahului oleh pengalaman atau penelitian. Pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan intuitif itu adalah pengetahuan yang tiba-tiba dianugerahkan Tuhan dan tidak melalui pengalaman sama sekali.[41] Namun demikian, dalam pengalaman yang dilakukan para sufi sesungguhnya datangnya pengetahuan melalui intuisi ini ada bermacam-macam. Mulai dari yang tertinggi, sedang dan yang biasa. Ketika seseorang buang air, kemudian tiba-tiba datang ide, maka hal itu termasuk bagian dari ilmu melalui intuisi yang sedang; namun ketika seseorang mendapatkannya melalui shalat istikharah atau berdo’a, maka hal itu termasuk pengetahuan intusi dengan cara yang sedang. Dan jika menggunakan metode mujahadah, riyadhal, inabah, mu’aqabah, dan mukasyafah, maka hal itu termasuk dalam kategori berat, dan proses inilah yang selanjutnya dikenal dengan kegiatan persiapan (prefaration) atau ‘idadiyah. Tentang adanya metode intuitif ini dijelaskan lebih lanjut oleh Mulyadi Karthanegara sebagai berikut.

Kita masih membutuhkan sebuah pendekatan atau metode lain yang dalam khazanah epistimologi Islam bisa disebut metode irfani atau intuitif, ketika hati (intuisi) memegang peranan kunci. Ciri khas metode irfani ini adalah sifatnya yang langsung-tidak melalui perantara sehingga sering disebut mukasyafah (penyingkapan) langsung dari Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasia-rahasia dari realitas-realitas yang ada. Metode ini tidak dilakukan melalui pencerapan pancaindera atau penalaran akal, tetapi melalui ilmunasi yang diarahkan Tuhan pada mati manusia. Caranya bukan dengan mempertajam pengamatan indra, bukan pula misalnya dengan menggunakan alat yang semakin canggih, melainkan “mengasah” kepekaaan hati manusia dengan cara membersihkannya dari debu egoisme dan kotoran-kotoran dosa. Jadi tugas manusia di sini adalah menjaga kebersihan hati seseorang (tazkiyah al-nafs) yang biasanya telah diatur atau dirumuskan sedemikian rupa oleh seorang sufi.[42]

                                Sejalan dengan itu, Murthada Mutahhari mengatakan sebagai berikut.

                Al-Qur’an tak hanya satu, dua atau sepuluh ayat saja yang mengingatkan manusia agar memperhatikan alam, memperhatikan sejarah dan berbagai  sistem sosial, memperhatikan jiwa dan bagian dalam diri manusia yang merupakan salah sau dari alam ini, hal ini cukup jelas serta tidak perlu ada pembahasan lagi. Tetapi hal itu bukan berarti pengalihan dari berbagai bentuk maknawiah, segala yang ada di dalam dan yang batin. Al-Qur’an menaruh perhatian terhadap hal-hal yang lahir, dan tanpa menafikan hal-hal yang batin. Ungkapan bahwa al-Qur’an hanya menaruh perhatian pada hal-hal yang sifatnya lahir, inderawi adalah suatu ungkapan yang salah Hal itu, dikarenakan kita menganggap perhatian al-Qur’an terhadap alam dan sejarah merupakan suatu penafsiran atas pelbagai perkara yang sifatnya, metafisik, batin, gaib, dan maknawiah.[43]

                Tidak hanya dari kalangan ulama Islam saja yang menerima intuisi sebagai bagian dari metode epistimologi ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu pendidikan Islam pada khususnya. Karl R. Popper sebagaimana dikutip Mujamil Qomari misalnya mengakui hal itu. Lebih lanjut ia mengatakan:

Epistimologi tak berpretensi untuk mereka-reka resep. Epistimologi hanya dapat memberikan kerangka logis dan prosedur pengujiannya. Tak ada metode logis untuk menelorkan ide-ide baru. Setiap penemuan memuat “suatu elemen rasional” atau suatu “intuisi kreatif. Penegasan ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan,  bahwa teori-teori pengetahuan bisa terbentuk ternyata seringkali, karena sumbangan intuisi yang disebut dengan “intuisi kreatif’ yang menunjukkan bahwa intuisi ini tidak pasif, sebagaimana diduga sebagian orang, melainkan bisa digerakkan secara kreatf untuk menemukan sesuatu pengetahuan.[44]

Terdapat berbagai istilah atau nama yang ditujukan kepada ilmu yang dihasilkan melalui intuisi ini.  Ahmad Asy-Syirbashi dalam Tarikh al-Tafsir, menyebutnya sebagai ilmu al-mauhubah dan memasukannya sebagai salah satu syarat bagi seorang mufassir. Yaitu ilmu yang dikaruniakan Allah SWT langsung kepada orang yang mengamalkan ilmunya. Sehubungan dengan itu, sebuah hadis menyebutkan, Barangsiapa mengamalkan ilmunya, Allah akan mengaruniakan kepadanya pengetahuan tentang sesuatu yang belum diketahuinya.[45] Imam al-Syuhrawardi menyebutnya al-Isyraqiyah, al-Ghazali menyebutnya ma’rifah, Ibn Sina menyebut al-faid (limpahan atau iluminasion), orang pesantren menyebutnya ilmu laduni, orang jawa menyebutnya wangsit, dan seterusnya.

 Di kalangan sarjana Barat sebagian besar menolak metode intuitif, dan ada sebagian kecil yang meneimanya. Bagi yang menolak hal yang terjadi bukan hanya kemampuan intuisi yang dinafikan oleh filsafat modern, melainkan keberadaan intuisi itu sendiri. Perdebatan antara menerima dan menolak intuisi sebagai bagian dari epistimologi ilmu hingga saat ini belum berakhir, tidak ada  kata sepakat, bertolak belakang, dan terus berjalan tanpa bertegur sapa. Di kalangan filosof-filosof modern Barat, intuisi ini tidak diperhitungkan sama sekali. Mereka begitu kokoh dalam memegangi metode rasional dan metode empiris. Mereka sangat fanatik dengan metode empirik dan rasional. Mereka misalnya mengatakan: Jika metode rasional dapat diuji dengan akal pikiran dan metode empiris dapat diuji dengan bukti-bukti, maka bagaimana menguji metode intuisi. John Stuart Mill misalnya mengatakan, bahwa cara kerja dan keabsahan intuisi yang demikian akan jatuh di luar lingkup pengujian. Dengan kata lain, persepsi yang didasarkan pada intuisi langsung tidaklah dapat diuji. Di sinilah salah satu letak problem intuisi ketika dijadikan sebagai suatu metode atau pendekatan untuk menemukan pengetahuan.  Belum jelas, alat apa yang dapat dipakai untuk menguji kebenaran atau keabsahan pengetahuan yang dihasilkan dari intuisi. Di samping itu, kelemahan lain dari intuisi adalah bahwa manusia menjadi bersikap pasif sama sekali. Mestinya manusia harus dinamis atau progressif. Dalam berfikir intuitif ini memang manusia berada pada posisi yang lemah. Padahal yang dikehendaki oleh ilmu pengetahuan adalah hasil pemikiran berupa kesimpulan sebagai produk dari usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, bukan pengetahuan yang dianugerahkan. Oleh sebab itu, bisa dipahami bila Ayer menyangkal semua peranan yang bisa disebut sebagai intuisi intelektual. Demikian pula al-Razi. Baginya tidak ada tempat bagi wahyu atau intuisi mistik.[46] Namun demikian, terdapat pula filosof Barat yang mau menerima intuisi sebagai bagian dari metode epistimologi. Bergson, Bobbi DePorter  dan Mike Hernacki, sebagaimana dikemukakan Mujamil Qomari misalnya, termasuk yang menerima intuisi. Bergson misalnya menyadari bahwa baik dengan budi maupun dengan indera belaka kita tak mampu menyelami realitas sepenuhnya, ita harus menggunakan intuisi. Demikian juga Bobbi DePorter dan Mike Hernaci misalnya mengatakan, bahwa mungkin kecerdasan tertinggi-dan bentuk terbaik dari pikiran yang kreatif adalah intuisi. Intuisi adalah kemampuan untuk menerima atau menyadari informasi yang tidak dapat diterima oleh kelima indera kita. Intuisi mampu melengkapi kelemahan budi maupun indera sebagai pendekatan ilmiah. Intuisi memiliki kemampuan yang besar, terutama terhadap persoalan yang tidak terjangkau oleh akal dan indera. Dengan hanya mengandalkan akal dan indera, kita membiarkan adanya hal-hal yang tidak bisa dijangkau. Sedangkan dengan menggunakan intuisi kita berusaha secara nyata, paling tidak untuk mempersempit hal-hal yang tidak terjangkau. Pada dasarnya intuisi justru menjadi “penelamat metodologis”.[47]

Sebaliknya berbeda dengan filosof Barat yang hanya mengakui intuisi sebagai fakta psikologis semata, tetapi menolak digunakan sebagai metode ilmiah, filosof Islam tidak ragu-ragu menjadikannya sebagai metode di samping menggunakan metode metode lainnya. Tekanan metode yang dipakai para filosof Muslim adalah intuitif, kritis, fenomenologis, dan analisis bahasa. Keberadaan metode intuitif bukan hanya sebagai pelengkap (komplementer) dalam merumuskan teori-teori  maupun konsep filosofis, melainkan sebagai metode yang berdiri otonom dalam menemukan pengetahuan. Otonomi metode intuitif ini membuktikan, bahwa ia memiliki kemampuan yang terandalkan dalam kapasitasnya sebagai alat memperoleh pengetahuan. Lahirnya para ulma dalam bidang ilmu agama, dan para ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang sebagaimana ditunjukan dengan karya-karya monumentalnya dalam bentuk kitab-kitab yang berpuluh-puluh jilidnya, dan setiap ulama ada yang menulis lebih dari lima puluh judul buku, dan pendapat mereka itu masih tetap aktual dan dijadikan rujukan, sebagian besar adalah berdasarkan ilmu yang mereka peroleh melalui intuisi, di samping menggunakan pengamatan pancaindera dan penalaran akal pikiran. Dalam ilmu pengetahuan Islam-termasuk di dalamnya psikologi Islam-bukan hanya menggunakan indera dan akal dalam merumuskan suatu konsep, tetapi yang tak kalah strategisnya adalah menggunaan intuisi dan wahyu. Intuisi memberikan sumbangan yang signifikan terhadap bangunan ilmu pengetahuan Islam, karena intuisi dijadikan sebagai metode dalam memperoleh pengetahuan tersebut. Dengan begitu, tradisi ilmu pengetahuan Islam telah mengangkat intuisi dari sekadar fakta psikologis menjadi salah satu metode epistimologis. Bukti paling meyakinkan tentang masalah ini adalah ketika kita mengalami jalan buntu dalam memikirkan sesuatu berdasarkan indera dan akal, kemudian kita tiba-tiba mendapatkan pengetahuan dengan pencerahan batin/pikiran yang disebut intuisi. Sebagai sebuah metode epistimologi, dapat dilihat dari banyaknya orang yang menggunakannya, dapat diuji kemampuannya dalam memahami realitas secara 0bjektif, dan dapat dipelajari dan dikuasai oleh siapa pun dengan usaha-usaha yang intens dan terbimbing. Di kalangan pemikir Islam, intuisi tidak hanya disederajtkan dengan akal maupun indera, tetapi bahkan lebih diistimewakan daripada keduanya. Pengetahuan yang dihadirkan (bersifat intuitif) lebih unggul daripada pengetahuan yang dicapai (bersifat rasional), karena terbebas dari kesalahan dan keraguan sebagaimana yang bisa terjadi pada temuan pancaindera dan akal pikiran. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual. Hal ini misalnya dikemukakan oleh al-Ghazali yang mengatakan, bahwa al-zauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dapat dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenaranna. Sumber pengetahuan tersebut dinamakan juga al-buwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada mansia biasa berbentuk ilham. Pengetahuan intuitif ini dicapai oleh manusia melalui hati yang telah dibersihkan dari dosa, pengaruh hawa nafsu syahwat, hawa nafsu amarah, bujukan syaithan dan pengaruh duniawi lainnya. Untuk bisa mendapatkan kesucian, seseorang tidak perlu mengucilkan diri masyarakatnya, pergi ke bukit-bukit, selama empat puluh hari bersila, tidak berurusan dengan berbagai aktivitas masyarakat. Al-Qur’an tidak menganjurkan cara seperti itu.[48] Intuisi akan datang pada orang yang memelihara kesucian dirinya dan selalu membangun hubungan dengan Tuhan di manapun mereka berada. Tentang kemungkinan manusia yang demikian itu mendapatkan ilmu langsung dari Tuhan dapat dipahami dari firman Allah SWT yang artinya: “Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang-orang yang Dia kehendaki.” (Q.S. An-Nur, 24:35). Namun demikian perlu dikemukakan, bahwa intuisi yang berasal dari Allah itu pasti benar, tetapi bisa terjadi kesalahan pada pemahaman atau penafsiran orang yang menerimanya, bukan pada substansi itu sendiri. Kesalahan ini wajar terjadi, mengingat penafsiran atau pemahaman orang bisa macam-macam terhadap intuisi yang diterima. Lagi pula belum ada kaidah yang baku dalam memahamkan seseorang pada isi atau kandungan makna intusi yang dialaminya. Sejalan dengan itu, maka setidaknya terdapay tiga fungsi dari intuisi:intuisi sebagai dasar pengetahuan, intuisi sebagai sumber pengetahuan dan intuisi sebagai cara atau metode mendapatkan pengetahuan. Sebagai dasar dan sumber pengetahuan, intuisi bersifat pasif, akan tetapi sebagai metode pendapatkan pengetahuan, intuisi bersifat aktif. Oleh karena itu, intuisi bisa bersifat pasif dan aktif sekaligus, tinggal diposisikan sebagai dasar, sumber atau metode pengetahuan.[49] Sebagai catatan terakhir pada bagian ini secara objektif dan proporsional ada hal yang patut direnungkan dengan pikiran yang jernih. Pertama, adanya perbedaan antara pengetahuan yang dihasilkan panca indera, akal dan intuisi tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak salah satu di antara ketiganya, melainkan ketiganya itu harus diperlakukan secara seimbang, wajar dan tidak berlebihan. Perbedaan antara ketiganya terlihat pada hasil temuan pancaindera yang bersifat kuantitatif; temuan akal pikiran yang bersifat spekulatif dan rasional, dan temuan intuisi yang bersifat kualitatif. Namun ketiganya mengandung kebenran, yakni kebenaran inderawi, kebenaran akli, dan kebenaran intutif. Ketiga kebenaran tersebut dalam penggunaannya oleh manusia biasa saja keliru.  Kedua, bahwa setiap diri manusia, muslim atau non muslim memiliki potensi pancaindera, potensi akal dan potensi ruhaniah. Ketiga, bahwa dalam mengukur kebenaran intuitif, dengan kebenaran pancaindera dan kebenaran akal pikiran tidak bisa digunakan alat yang sama. Panca indera menggunakan metode eksperimen, akal pikiran menggunakan metode analisis, studi kritis, perbandingan dan sebagainya; sedangkan hati nurani dengan metode mukasyafah.

6)      Metode Perbandingan

Metode komparatif adalah metode yang membandingkan teori atau praktek pendidikan Isam dengan pendidikan lainnya. Metode ini ditempuh dengan mencari keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian atau pemahaman untuk mendapatkan ketegasan maksud dari permasalahan pendidikan. Metode komparatif sebagai salah satu metode epistimologi pendidikan Islam memiliki objek yang beragam untuk diperbandingkan, yaitu meliputi perbandingan antara ayat al-Qur’an tentang pendidikan, atau antara ayat al-Qur’an dengan hadis, atau antara sesama teori dari para pemikir pendidikan Islam, antara teori dari para pakar pendidika Islam dengan non Islam, antara sesama lembaga pendidikan, antara lembaga pendidikan Islam dan non Islam, dan seterusnya untuk mencari titik persamaan dan perbedaan, dalam hal keunggulan, dan saling menerima dan memberi serta memperkaya, sehingga terjadi proses saling belajar. Selain itu metode komparatif tersebut juga digunakan dalam metode bayani sebagaimana terlihat dalam tafsir.

D.Penutup

                Dari paparan dan analisa sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dikemukakan catatan penutup sebagai kesimpulan sebagai berikut.

                Pertama, bahwa secara umum pendidikan Islam baik pada dataran teoritis konseptual, maupun praktis empiris masih dihadapkan pada sejumlah masalah yang belum dapat dipecahkan. Akibat dari keadaan ini, maka sejumlah permasalahan yang memiliki pengaruh dan tujuan jangka panjang juga belum dapat dipecahkan, mengingat keberhasilan dalam memecahkan masalah pendidikan akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam memecahkan berbagai bidang kehidupan lainnya.

                Kedua, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan masalah pendidikan belum dapat dipecahkan, antara lain belum hilangnya sisa-sisa penyakit mental abad pertengahan (abad ke-13 sd 18) yang antara lain, pandangan dikotomis tentang ilmu agama dan ilmu umum, tertutupnya pintu ijtihad, hilangnya tradisi debat dan kritik, hilangnya tradisi membaca, meneliti, dan menulis, sikap dan pandangan yang sektarian, hilang tradisi ilmiah, dan lemahnya kemauan untuk meneliti, mengkaji untuk menemukan inovasi-inovasi baru.

                Ketiga, bahwa upaya yang dilakukan para pakar untuk  memecahkan permasalahan pendidikan Islam tersebut masih kurang mendasar dan kurang strategis, sehingga tidak efektif. Pemecahan masalah pendidikan Islam melalui epistimologi pendidikan Islam dinilai sebagai cara yang paling mendasar, manun belum banyak dilakukan. Epistimologi pendidikan Islam saat ini sudah ada yang menulis, namun belum dipraktekkan.

                Keempat, secara teoritis,   Islam memiliki bahan-bahan dan metodologi  bagi penyusunan epistimologi pendidikan yang lebih lengkap dibandingkan dengan bahan-bahan dan metodologi yang dimiliki Barat. Selain menggunakan sumber yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadis, Islam menggunakan sumber ayat kauniyah (alam jagat raya), ayat insaniyah (perilaku manusia dan perilaku masyarakat), akal pikiran dan hati nurani (intuisi). Selain menggunakan metode bayani untuk merumuskan ilmu pendidikan Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, juga dapat menggunakan metode ijbari untuk memahami ayat-ayat alam jaga raya:fauna, flora, hutan, , metode burhani untuk fakta-fakta sosial, metode irfani untuk memahami ayat-ayat yang berada dalam batin manusia.

                Kelima, sebagian besar pengembangan epistimologi pendidikan Islam didominasi oleh metode bayani dan irfani. Sedangkan metode yang ijbari, burhani dan jadali masih kurang. Sementara sebagian besar pengembangan epistimologi pendidikan umum didominasi oleh metode ijbari (eksperimen), metode burhani (observasi), dan metode jadali (logika filosofis). Untuk itu perlu adanya kolaborasi antara keduanya. Epistimologi pendidikan Islam dilengkapi dengan metode ijbari, burhani dan jadali. Sedangkan epistimologi pendidikan umum dilengkapi dengan metode bayani dan irfani.

Daftar Pustaka

Al-Ahwaniy, Ahmad Fu’ad, al-Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tp.th.)

Arifin, H.M., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1991), cet. I.

Asseegaf, Abd. Rachman, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, Hadharah, Keilmuan, Tokoh Klasik sampai Modern

Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta:Prenada Media, 2004), cet. I.

----------, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta:Rineka Cipta, 2009), cet cet. I. I.

Daradjat, Zakiah, Pendidikan Islam dalam Sekolah Keluarga dan Sekolah, (Jakarta:Ruhama, 1994), cet. I.

Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979), cet. I.

Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta:LP3ES, 2000), cet. V.

Jurnal Filsafat Islam dan Mistisisme, Mulla Shadra, Volume I, Nomor 4 2011.

Haryono, Ari Dwi, Pendidikan Dasar Islam, Kajian Filosofi, Konsep dan Aplikasi, (Malang:Bani Hasyim Press, 2010), cet. I.

Hidayat, Syarif, Teori dan Prinsip Pendikan, (Jakarta:Pustaka Mandiri, 2013), cet. I.

Husaini, Adian, (ee.), Filsafat Ilmu Perpektif, Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta:Gema Insani, 2013), cet.

Idi, Abdullah dan Toto Sumarto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), cet. I.

Al-Jumbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta:Rineka Cipta, 1994), cet. I.

Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik, (Jakarta:UIN Jakarta Press, dan Bandung:Arasy Mizan, 2005), cet. I.

Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban suatu Analisa Sosio-Psikologis, (Jakarta:Pustaka al-Husna, 1985), cet. III.

Lestari, S., Ngatini, Pendidikan Islam Kontekstual, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), cet. I.

Muhajirin, As’aril, Ilmu Pendidikan Islam Kontekstual, (Jakarta:Ar Ruzz Media, 2011), cet. I.

Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media, 2006), cet. I.

Muliawan, Jasa Ungguh, Pendidikan Islam Integrated, Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Islam dan Pendidikan Islam, (Jogjakarta:Pustaka Pelajar, 2005), cet. I.

Muthahhari, Murthada, Konsep Pendidikan Islam, (Jakarta:Iqra Kurnia Gemilang, 2005).

----------, Pengantar Epistimologi Islam, (JakartaLShadra Press, 2001), cet. I.

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), cet. I.

---------, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2005), cet. I.

Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media, 2010), cet. I.

----------, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:?)

----------, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada Media, 2011), Cet. I.

----------, Dirasat Islamiyah I (Al-Qur’an Hadis), (Jakarta:RajaGrafindo, 1994), cet. I.

Qomari, Mujamil, Epistimologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta:Erlangga,  2001), cet. I

Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat Press, 2005), cet.I.

Saridjo, Marwan, (ed.), Mereka Bicara Pendidikan Islam sebuah Bunga Rampai, (JakartaRajaGrafindo Persadam 2009), cet. I.

Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta:LP3ES, 1986).

Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), cet. V.

Al-Syaibani, Omar Mohammad al-Tomy, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.)  Hasan Langgulung, dari judul asli, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979), cet. I.

Usa, Muslih (ed), Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1991), cet. I.

                                                                                                                                Jakarta, 28 Februari, 2017

                                                                                                                                Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.


[1] Saat ini sudah terdapat tiga belas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sudah berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Dimulai dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012; dilanjutkan oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, UIN Alauddin Makasassar; UIN Sultan Syarif Qashim Pekanbaru Riau; UIN Ar-Raniri, Banda Aceh, UIN Sunan Gunung Jati Bandung, UIN Sunan Ampel, Surabaya; UIN Walisongo Semarang; UIN Sumatera Utara, Medan, dan UIN Imam Bonjol Padang, dan UIN Raden Intan Lampung.

[2] Berbagai kemajuan yang dicapai sejumlah lembaga pendidikan Islam dengan berbagai tingkatannya itu telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, namun belum tercatat secara lengkap dalam sebuah laporan, mengingat belum ada penelitian yang merekam tentang dinamika pendidikan Islam secara komprehensif dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir ini.

[3] Lihat Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, Hadlarah, Keilmuan, Tokoh Klasik Sampai Modern, hal. 1.

[4] Lihat Abdullah Idi & Toto Sumarto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2006), cet. I, hal. xi.

[5] Lihat Abdullah Idi & Toto Sumarto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2006), cet. I, hal. xi.

[6] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, (Jakarta:Prenada Media, 2004), cet. I, hal. 40-41.

[7] Syamsul Afandi, S.S., “Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam”, dalam  Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar Islam, (Malang;Bani Hasyim Press, 2010), hal. 65-69.

[8] Lihat  Abd. Rachman Assegaf, Aliran  Pemikiran Pendidikan Islam, op, cit, hal. xi.

[9] Lihat Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integrated, Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikhotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, (Jakarta:Pustaka Pelajar, 2005) cet. I, hal. viii-ix.

[10] Lihat Abdullah Idi & Toto Sumarto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2006), cet. I, hal. xi.

[11] Lihat Abdul Mujib dan Jusup Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media, 2006), cet. I, hal. 2

[12] Lihat Abdul Mujib dan Jusup Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media, 2006), cet. I, hal. 2

[13] Syamsul Afandi, S.S., Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam, dalam  Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar Islam,  (Malang;Bani Hasyim Press, 2010), hal. 70; lihat pula Mujamil Qomari, hal.

[14] Syamsul Afandi, S.S., “Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam,” dalam  Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar Islam, (Malang;Bani Hasyim Press, 2010), hal. 65-69.

[15] Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang diperbaharui dengan PP Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan.

[16] Mujamil Qomari, op, cit, hal. 251.

[17] Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:Sinar  Harapan,  1988), hal. 104. Syamsul Afandi, S.S., “Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam,” dalam  Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar Islam, (Malang;Bani Hasyim Press, 2010), 70-71.

[18] Mujamil Qomari, op, cit, hal. 207.

[19] Syamsul Afandi, S.S., ‘Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam,” dalam  Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar Islam, (Malang;Bani Hasyim Press, 2010), 70-71.

[20] Lihat  Mujamil Qomari, Epistimologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta:Erlangga, 2005), cet. I, hal. 207.

[21] Syamsul Afandi, S.S., “Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam,” dalam Ari Dwi Haryono dan Qurroti  A’yun, (ed), Pendidikan Dasar Islam, Kajian Filosofi, Konsep dan Apliasi, (Malang:Bani Hasyim, 2010), hal. 5.

[22] Mujamil Qomari, ibid, hal.  253.

[23] Lihat Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta:Sipres, 1993), hal. 56.

[24] Lihat Mujamil Qomari, ibid, hal. 222.

[25] Lihat Omar Mohammad al-Tomy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979), cet. I, hal. 55-259.

[26] Syamsul Afandi, S.S., Rekonstruksi Epistimologi Pendidikan Islam, dalam  Ari Dwi Haryono dan Qurroti A’yuni, Pendidikan Dasar Islam, (Malang;Bani Hasyim Press, 2010), 70-71.

[27] Mujamil Qomari, op. cit, hal. 270-350.

[28] Mullyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik, (Jakarta:UIN Jakarta Press, dan Bandung:Arasy Mizan, 2005), hal. 132-147.

[29] Mullyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik, (Jakarta:UIN Jakarta Press, dan Bandung:Arasy Mizan, 2005), hal. 138.

[30] Adnin, Armas, Metodologi Ilmiah dalam Islam, dalam Adian Husaini, (ed), Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta:Gema Insani, 2013), cet. I, hal.178-186.

[31] Lihat Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media, 2011), cet. I, hal. 37-42.

[32] Lihat Mulyadhi Kartanegara, op, cit, hal. 146.

[33] Lihat Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media, 2011), cet. I, hal. 207-224; Dirasat Islamiyah I (Al-Qur’an dan Hadis), (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1994), cet. I, hal. 41-42 (?); H.M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an, (Bandung:Mizan, 1998), cet. III, hal. 56-57 (?); al-Farmawiy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1982), hal. 70-71 (?)

[34] Lihat Kamus Bahasa Arab

[35] Lihat  Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2012), hal. 89-90.

[36] Lihat Mulyadhi Kartanegara, op, cit, hal. 136.

[37] Lihat Mulyadhi Kartanegara, op cit, hal.134; Ibn Haitsam, The Optics of Ibn Haytham (Kitab Manadzhir), terjer. A.I. Sabra, (London:The Warburg Institut University of London, 1989), hal. 277.

[38] [38] Lihat Mulyadhi Kartanegara, op, cit, hal. 138

[39] Lihat Mujamil Qomari, Epistimologi Pendidikan Islam, op, cit, hal. 328.

[40] Mulayadhi Kartanegara, op, cit, hal. 142.

[41]Lihat Mujamil Qomari, hal. 296.

[42] Lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung:Arasy Mizan, dan Jakarta: UIN Jakarta Press:Kerjasama, 1426 H/2005), cet. I, hal. 53-54.

[43] Ayatullah Murthada Muthahhari, Pengantar Epistimologi Islam, (Jakarta:Shadra Press, 2010), Hal 81

[44] Lihat Mujamil Qomari, Ibid, hal. 300.

[45] Lihat Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, (terj,) Pustaka Firdaus, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1985),  hal. 29

[46] Lihat Mujamil Qomari, Ibid, hal. 303.

[47] Lihat Mujamil Qomari, Ibid, hal. 306.

[48] Ayatullah Murthadla Muthahhari,  Pengantar Epistimologi Islam, op cit, hal. 85.

[49] Mujamil Qomari, op cit, hal. 309.