tindakan praktis penjualan yang menghubungkan dengan gereja, hanyalah persoalan teknis yang tidak dapat membatalkan esensi janji sebelumnya dengan para leluhur.
Menyimak paparan di atas, para keluarga yang terus melaksanakan tradisi penjualan anak perlu mempertanyakan, “Apakah tradisi ini benar-benar mengikatkan sang anak dan
keluarga kepada Allah yang benar di dalam Yesus Kristus sebagai sumber keselamatan, atau tradisi ini semakin meneguhkan ikatan perjanjian yang pernah diadakan orang tua
terdahulu dengan roh-roh nenek moyang atau leluhur yang telah meninggal?”. Jika mengamati penegasan Yesaya 8:19, secara esensi, di dalam dimensi spirit, sesungguhnya
nyawa sang anak tidak diserahkan atau ditukarkan kepada Allah yang benar di dalam Yesus Kristus tetapi dijual dan diserahkan kepada roh-roh leluhur berdasarkan
persetujuan terdahulu dengan nenek moyang.”
3. Pandangan Iman Kristen tentang Budaya, Adat dan Tradisi
Tradisi penjualan anak telah menjadi adat atau kebiasaan yang diterima baik dan membudaya dalam masyarakat. Untuk melihat pandangan iman Kristen terhadap tradisi
ini, maka perlu melihat pandangan Firman Allah tentang kebudayaan, atau bagaimana Alkitab menyikapi kebudayaan. Allah sendiri menciptakan manusia yang hidup dalam
adat kebiasaan dan budaya untuk kemuliaan-Nya. Manusia hidup dalam adat istiadat dan budaya; tetapi dalam dunia yang dikuasai dosa, banyak bentuk adat istiadat dan budaya
telah dicemari dosa. Kata adat berasal dari kata Arab “ada” artinya kebiasaan, cara yang lazim, kelakuan
yang telah biasa, atau aturan-aturan yang lazim. Adat-istiadat ialah kumpulan peraturan- peraturan dan norma-norma hidup yang berlaku di dalam persekutuan suku tertentu.
Menurut Verkuyl, latar belakang kepercayaan kepada adat-istiadat terletak pada perasaan-hidup yang naturalistis-panteistis dan hal itu terlihat dalam agama-agama suku,
di mana yang menjadi pikiran inti adalah adanya suatu tata tertib kosmos alam semesta yang mengatur segala sesuatu di dalam kosmos dan yang mengatur sifat dan kelakuan
tumbuh-tumbuhan, binatang, sungai-sungai, suku-suku dan lain-lain. Adat-istiadat suku ialah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang harus memelihara dan melindungi
hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Adat-istiadat itu dianggap sebagai “pedoman hidup” yang mengatakan kepada manusia bagaimana harus bertindak, agar
tata tertib kosmos jangan sampai tersinggung atau terlanggar. Oleh karena itu adat- istiadat melingkupi suatu persekutuan suku tertentu dengan segala larangan-larangan
pantang dan tabu yang bermaksud melindungi masyarakat terhadap pelanggaran batas- batas dan pelanggaran tata tertib. Dapatkah adat-istiadat menjadi sumber pengetahuan
yang sesungguhnya tentang baik dan jahat? Verkuyl mengatakan,
“Dipandang dari sudut iman Kriten, maka jawab pertanyaan itu ialah : tidak ... karena di dalam kompleks adat-istiadat kuno itu tidak tampak
batas-batas antara Tuhan dan kosmos. Segala agama suku adalah naturalistis. Di dalam agama-agama itu yang dikenal dan dimuliakan
bukanlah Tuhan yang hidup, tetapi makhluklah yang dimuliakan : alam, bapa suku, kepala-kepala suku, tradisi suku, roh-roh orang yang
mendirikan kampung itu dsb”
3
Bagaimanakah orang Kristen menyikapi dan hidup dalam adat istiadat dan kebudayaan untuk kemuliaan Allah? Ada lima cara orang Kristen menyikapi
kebudayaan, yakni : 1 Sikap antagonis atau menentang adalah sikap menolak dan menghindari kebudayaan dengan semua bentuk pengungkapannya. 2 Sikap akomodasi
dan kapitulasi adalah sikap menyesuaikan diri dengan kebudayaan. 3 Sikap dominasi, yang dimaksud adalah gereja mendominasi kebudayaan yang ada 4 Sikap dualistis
adalah sikap menduakan, 5 Sikap pengudusan usaha kebudayaan adalah sikap
3
Verkuyl, J. Etika Kristen, Jilid I Bagian Umum Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, 71-73
penyucian usaha dalam kebudayaan sesuai Firman Tuhan sehingga adat dan budaya tidak menentang kehendak Tuhan.
4
Menurut Verkuyl, Perjanjian Lama mengungkapkan teguran para nabi Tuhan jika bangsa Israel bergaul dan membuka diri terhadap bangsa-bangsa kafir, seperti Moab dan
Edom dengan segala adat-istiadatnya yang memuja kehormatan, kemegahan, kekuasaan suku dan negeri sendiri serta memuja dan tunduk bukan kepada Pencipta langit dan bumi.
Pada hakekatnya itulah yang terdapat di dalam kompleks adat-istiadat itu. Di sini yang terdengar menggema bukanlah suara Allah yang hidup, tetapi suara darah, suara alam,
suara nenek moyang dan lain-lain.
“Adat-istiadat itu tidak dapat menjadi sumber pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, karena adat-istiadat itu penuh takhyul dan guna-guna...
Oleh sebab itu adat-istiadat adalah suatu sumber yang keruh, dan dari sumber itu kita tidak dapat tahu apa yang baik dan apa yang jahat itu”
5
Dalam konteks adat-istiadat dan budaya seperti ini, di mana menyangkal hakekat Pencipta langit dan bumi dan mengarahkan kepada pemujaan alam, bapa suku, kepala-
kepala suku, tradisi suku, roh-roh orang yang sudah meninggal; maka orang Kristen harus bersikap antagonis atau menolak adat-istiadat tersebut dalam segala bentuk
pengungkapannya. Ada juga adat-istiadat dan budaya yang telah dipengaruhi Hukum Taurat dan Injil.
Norma-norma Hukum Taurat dan Injil telah mengadakan banyak perubahan di dalam adat-istiadat kuno, adat-istiadat itu diperbaharui, sebagian dihapuskan dan sebagian
diganti. “Air anggur yang baru Injil dan Hukum Taurat telah dikenal dan orang telah mendapatkan “kantong kulit yang baru” bentuk-bentuk adat yang baru, sebagai
4
Ibid, Etika Kristen dan Kebudayaan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979, 37-52 Verkuyl, J. Etika Kristen, Jilid I Bagian Umum Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, 71-73
pengganti kantong kulit yang lama adat-istiadat yang lama bandingkan Mat.9:17, Mrk 2:22; Luk.5:37
6
Dalam praktek pelaksanaan tradisi penjualan anak zaman sekarang, memang orang yang melaksanakannya tidak lagi melakukan ritual kuburan, juga mengawali dan
mengakhiri pelaksanaannya dengan doa, dan uang pembelian dipakai sebagai nazar ke gereja. Jika dicermati dengan mendalam, pelaksanaan tradisi ini sudah “dikemas” dalam
cara Kristen, dengan kata lain, “kantong kulitnya telah diperbarui” tetapi esensinya adalah esensi yang lama, atau “air anggurnya masih tetap air anggur yang lama”. Inti dari
pelaksanaan tradisi ini adalah menyerahkan sang anak kepada perjanjian dengan para leluhur untuk mendapatkan keselamatan, kesehatan dan perubahan karakter. Ini adalah
“air anggur yang lama”, yang dilaksanakan dengan cara-cara Kristen atau “kantong kulit yang baru.” Yesus berkata bahwa anggur yang baru hendaklah diisikan dalam kantong
kulit yang baru agar kedua-duanya terpelihara Matius 9:17. Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang Farisi karena
melanggar perintah Allah demi adat-istiadat nenek moyang. Dalam Matius 15:4-6, Yesus memberi salah satu contoh bahwa orang-orang Yahudi, ahli-ahli Taurat dan orang Farisi
melanggar perintah Allah dalam hal menghormati orang tua dengan jalan menggunakan materi atau uang yang seharusnya dipakai untuk pemeliharaan orang tua, tetapi
digunakan untuk persembahan kepada Allah, sesuai adat-istiadat nenek moyang Israel. Menurut Yesus, tindakan mereka yang mengutamakan persembahan kepada Allah
menurut adat-istiadat nenek moyang menyebabkan perintah Allah untuk menghormati orang tua bukan lagi menjadi satu kewajiban. “Orang itu tidak wajib lagi menghormati
bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri” Matius 15:6. Bandingkan juga teguran Yesus yang serupa
6
Ibid, 75
dalam Markus 7:9,13, Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri”. “Dengan demikian firman Allah kamu
nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu”. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah memberikan manusia hidup
dan berkembang dalam adat-istiadat dan budaya, tetapi perintah Allah haruslah menjadi dasar utama dari kehidupan manusia. Esensi dari setiap perintah dan aturan-aturan adat
seharusnya bukan pada setiap pantangan dan larangan-larangan yang lahiriah atau ketaatan kepada leluhur dan nenek moyang, tetapi pada ketaatan akan perintah dan
kehendak Allah, serta pemujaan dan penghormatan akan Allah. Verkuyl berpendapat bahwa di daerah-daerah yang telah mendengar Injil sekalipun, adat istiadat belum
merupakan sumber yang murni buat pengetahuan tentang kehendak Tuhan. Tiap-tiap bentuk adat harus diuji dengan perintah-perintah Tuhan, dan manusia harus belajar
mengambil keputusan di hadirat Tuhan. “... kita sama sekali tak boleh berpendirian bahwa kehendak Tuhan dapat kita ketahui dari adat-istiadat. Kehendak Tuhan itupun
tidak dapat kita ketahui dari adat-istiadat kuno sebelum agama Kristen”
7
Jika dikaitkan dengan tradisi penjualan anak di Timor, beberapa pertanyaan yang perlu direnungkan adalah : apakah adat-istiadat ini mengarahkan sang anak dan keluarga
pada pemujaan atau penyembahan kepada Allah yang benar di dalam Yesus Kristus atau mengarahkan pada pemujaan dan penundukan diri pada roh-roh leluhur yang sudah
meninggal? Apakah tradisi penjualan anak adalah salah satu bentuk ketaatan kepada perintah Allah atau bentuk ketaatan kepada adat-istiadat dan tradisi turun-temurun yang
telah berlaku dalam keluarga yang orang tuanya telah melakukan tradisi ini sebelumnya? Jika mencermati dengan mendalam, esensi tradisi penjualan atau penyingkiran anak
yang dilakukan masyarakat Timor dengan cara menyingkirkan atau memisahkan anak
7
Ibid, 164
dari keluarganya walaupun sekarang dikatakan dipisahkan hanya dalam pengertian pisah secara adat, dapatlah dikatakan bahwa tradisi ini lebih mengutamakan adat-istiadat
nenek moyang dari pada perintah Allah, karena Firman Allah tidak pernah memerintahkan orang tua untuk melepaskan atau menyingkirkan anaknya sendiri demi
mendapatkan kesehatan, keselamatan dan perubahan karakter. Firman Allah memerintahkan agar anak-anak dibawa kepada Tuhan untuk diberkati dan mendapatkan
keselamatan dari Tuhan sendiri. 4.
Pandangan Iman Kristen tentang Makna Anak dan Kondisi Psikologis Anak yang Dipisahkan atau Disingkirkan
Setiap manusia yang terlahir di dunia mempunyai sebuah kebutuhan dasar yang sama yaitu kebutuhan untuk dicintai dan memberikan cinta, diinginkan dan
menginginkan, dimiliki dan memiliki, diterima dan menerima. Abraham Maslow mendaftarkan kebutuhan cinta, penerimaan dan memiliki sebagai salah satu kebutuhan
dasar, being needs B-needs dalam hierarki kebutuhannya.
8
Being needs berkaitan
dengan kebutuhan seseorang untuk membentuk diri seseorang menjadi manusia seutuhnya. Setiap anak yang terlahir dan bertumbuh dalam satu keluarga sangat
membutuhkan keyakinan bahwa dirinya diinginkan, dinanti-nantikan dan diterima di tengah-tengah keluarga. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi atau sang anak merasa bahwa
dirinya tidak diinginkan, tidak diterima oleh orang-orang yang dikenalnya sebagai keluarga, maka akan berdampak kekosongan dalam jiwanya. Kesadaran sang anak
bahwa dirinya tidak diinginkan dan disingkirkan dari tengah-tengah keluarga karena ada hal-hal dalam dirinya yang dapat mendatangkan malapetaka bagi salah satu orang tua
yang mirip dengannya, akan menimbulkan luka secara psikologis dalam diri sang anak.
8
Jarvis, M. Teori-teori Psikologi- pendekatan modern untuk memahami perilaku, perasaan dan pikiran manusia Bandung: Penerbit Nusa Media, 2009
Ketika seorang anak lahir dan bertumbuh, sangat penting baginya untuk merasakan kenyamanan secara fisik dan perlindungan secara psikologis untuk pembentukan konsep
dirinya. Ia akan mengalami proses attachement atau kelekatan dengan orang-orang dekat di sekelilingnya. Kelekatan dengan orang-orang yang mengasihinya akan membentuk
konsep diri yang kuat dalam diri sang anak. Anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang merasa nyaman secure dengan dirinya sendiri karena mengetahui bahwa dirinya
diinginkan dan dikasihi. Sebaliknya perasaan tidak diinginkan dan penolakan akan menanamkan konsep diri yang salah, menguatkan pembentukan pribadi yang tidak
nyaman, anak akan membenci diri sendiri dan bertumbuh menjadi pribadi yang hidup dalam rasa tertolak dan terluka.
Seorang anak yang lahir sangat membutuhkan ada di tengah-tengah keluarganya, karena keluarga adalah suatu sistem, suatu kesatuan yang dibentuk oleh bagian-bagian
yang saling berhubungan dan berinteraksi. Hubungan yang tidak hanya berlangsung satu arah, tetapi suatu hubungan timbal balik yang berlangsung dua arah di mana orang tua
berinteraksi dengan anak dan sebaliknya anak berinteraksi dengan orang tua,.
9
Interaksi dan hubungan timbal balik antara anak dan orang tua karena kasih, akan membentuk
pribadi anak menjadi seorang dengan konsep diri dan kepribadian yang stabil dalam emosi, pemikiran dan spirit. Pola pengasuhan dan penerimaan seperti ini sejalan dengan
ajaran Tuhan Yesus untuk menerima dan menyambut seorang anak kecil dengan penuh kasih, memberkati anak-anak, bukan menyesatkan mereka.
Alkitabmemberi penghargaan istimewa kepada anak-anak, sebagaimana ditemui dalam beberapa bagian kitab Mazmur dan contoh-contoh dalam Perjanjian Baru. Mazmur
127:3-5 mengatakan, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan
9
John W. Santrock, Perkembangan Anak, Jilid 2, Edisi ke-11 Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002.
pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu,
apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang”
10
Dalam Perjanjian Baru, Yesus memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap anak-anak, memeluk dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati
mereka. Yesus mengatakan bahwa siapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya kepada-Nya, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada
lehernya lalu ditenggelamkan ke dalam laut. “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Matius 18:5. Ayat-ayat dalam pasal
ini menunjukkan perintah Allah tentang bagaimana seharusnya memperlakukan seorang anak, yakni tidak menyesatkannya tetapi menyelamatkannya dengan jalan membawanya
kepada Tuhan. Yesus mengajarkan agar tidak memandang rendah dan menyesatkan seorang anak kecil, karena anak-anak mempunyai malaikat mereka di Sorga yang selalu
memandang wajah Allah Bapa. Yesus menyatakan isi hati Allah tentang anak-anak dalam pernyataan-Nya, “Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki
supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang. Matius 18: 14.
11
Pernyataan ini menunjukkan bahwa anak-anak kecil mempunyai makna yang berharga di mata Tuhan. Allah menghendaki keselamatan setiap anak.
12
. Allah memperhatikan kebutuhan dasar dari sang anak, yakni penerimaan, penyambutan, penghargaan, cinta
kasih dan keselamatan. Allah tidak saja memperhatikan kebutuhan jasmani yakni sandang, pangan dan papan bagi sang anak, tetapi memperhatikan kebutuhan psikologis,
dan keselamatan jiwa dan roh sang anak. Yesus sendiri berkata, “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang
yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” Lukas 18:16, Matius 19:14.
10
Alkitab Terjemahan Baru , LAI, Jakarta: 2000, Mazmur 127:3-5
11
Alkitab Terjemahan Baru , Jakarta: LAI,2000,Matius 18:5,14
12
Alkitab Terjemahan Baru , LAI, Jakarta: 2000, Mazmur 18:1-14
Tradisi penjualan anak mengatakan bahwa ada anak yang memiliki kemiripan yang identik dengan orang tuanya yang bisa mendatangkan masalah, percekcokan, sakit
penyakit dan kematian di tengah keluarga, sehingga harus disingkirkan, dan dijual atau diserahkan kepada orang lain, tetapi Firman Allah mengatakan bahwa setiap anak adalah
suatu upah atau reward, milik pusaka Tuhan, yang harus diterima, disambut, dikasihi, dihargai dan dibawa kepada Tuhan, sumber keselamatannya.
Dilihat dari motif dan tujuannya, benar bahwa menjual atau menyingkirkan anak didasari semata-mata oleh tujuan untuk keselamatan sang anak, tetapi jika melihat esensi
yang lebih mendalam dari tradisi ini, sesungguhnya orang tua sedang menyerahkan jiwa dan roh sang anak dalam pengasuhan para leluhur yang ikatan perjanjian telah disepakati
sebelumnya oleh para leluhur terdahulu. Dalam tradisi penjualan atau penyingkiran anak, orang tua bermaksud menunjukkan kasih dan tanggung jawab terhadap anak, tetapi tidak
menyadari konsekuensi terdalam bagi jiwa dan roh sang anak. Sebuah pertanyaan yang penting untuk dipikirkan adalah apakah tradisi penjualan
atau penyingkiran anak pada hakekatnya menyelamatkan jiwa sang anak atau menanamkan luka secara psikologis dalam jiwa sang anak? Jika mencermati motif dan
tujuan tradisi ini nampaknya dimotivasi oleh rasa kasih terhadap sang anak dengan tujuan menyelamatkannya dari sakit penyakit, tetapi sebuah konsekuensi lain yang mungkin
tidak disadari oleh orang tua adalah luka psikologis yang dialami sang anak ketika mengetahui bahwa dirinya adalah seorang anak yang tidak diinginkan, seorang anak yang
membawa malapetaka bagi salah satu orang tuanya, atau seorang anak yang menjadi penyebab terjadinya ketidakcocokan hubungan dengan salah satu orang tuanya. Dengan
demikian orang tua menyelamatkannya dari kesakitan fisiknya tetapi menanamkan luka dalam psikis sang anak, apalagi kalau sang anak benar-benar disingkirkan dari tengah-
tengah keluarga sebagaimana budaya orang Meto Timor, sang anak dapat membawa
luka seumur hidup dalam jiwanya karena mengetahui bahwa dirinya adalah pembawa sial dan mendatangkan malapetaka atau kutukan di tengah-tengah keluarga. Luka secara
psikologis karena tidak diinginkan, penolakan dan penyingkiran dari keluarga lebih berkuasa mematikan masa depan sang anak dari pada sakit fisik yang dialami.
Mengacu dari paparan di atas tentang pandangan Alkitab tentang makna anak kondisi psikologis anak yang disingkirkan, dapat disimpulkan bahwa tradisi penjualan
dan penyingkiran anak dengan segala motif dan alasannya, bukanlah sebuah cara yang tepat untuk menunjukkan kasih kepada sang anak.
B. Implikasi Etis-Teologis dalam Jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor
Video yang berhubungan