Jelaskan apa saja instrumen kebijakan makroprudensial?

20 Sep 2014, 21:05 WIB - Oleh: Farodlilah Muqoddam

Bank Indonesia.

Bisnis.com, JAKARTA – Salah satu tugas utama Bank Indonesia (BI) adalah menjaga stabilitas makroprudensial. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kebijakan makroprudensial?

Mengutip penjelasan dalam buletin Gerai Info yang diterbitkan oleh BI, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kebijakan makroprudensial yang menjadi tugas utama BI adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Apapun bentuknya.

Di Indonesia, ketika risiko instabilitas sistem keuangan berasal dari tekanan inflasi dan volatilitas nilai tukar rupiah, maka kebijakan makroprudensial yang diambil oleh BI akan selalu mengarah kepada usaha untuk menuntaskan kedua masalah tersebut. Sebut saja, misalnya, pengetatan moneter melalui penaikan suku bunga acuan.

Ketika suku bunga acuan naik, maka secara otomatis akan mengerek bunga kredit perbankan. Akibatnya bisa ditebak, yakni permintaan kredit akan melambat. BI sengaja mengambil kebijakan ini untuk menjaga pertumbuhan kredit agar tidak terlalu tinggi, terutama kredit konsumsi yang ditopang oleh kredit perumahan dan kendaraan. BI tak mau ada pertumbuhan yang terlampau cepat karena dapat mengancam stabilitas jika mendadak terjadi krisis keuangan.

Di sisi lain, BI juga senantiasa menjaga nilai tukar rupiah agar selalu stabil. Stabil, bukan selalu berarti rendah, namun disesuaikan dengan kebutuhan.

Kebijakan makroprudensial dimulai sejak tahap awal yakni pemetaan dan pemantauan risiko, hingga berlanjut ke tahap pemilihan instrumen kebijakan yang diperlukan beirkut implementasinya. Tahap terakhir adalah evaluasi untuk mengetahui efektivitas tindakan yang diambil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Bukan saatnya lagi berdebat tentang kata "belum" dan "sudah", resesi itu telah nyata, setelah ekonomi menurun (kontraksi) secara beruntun dalam dua kuartal terakhir (-5,32% dan -3,49%), demikian menurut data. Pandemi Covid-19 telah banyak mengubah arsitektur ekonomi dunia, termasuk ekonomi Indonesia.Resesi, sebuah kata yang cukup disegani banyak negara selama 2020 ini. Mengapa? Karena resesi menunjukkan penurunan kinerja ekonomi nasional, yang berarti juga penurunan kesejahteraan. Iya, penurunan kesejahteraan yang begitu cepat, padahal mendakinya begitu lambat. Penurunan yang signifikan, yang menyasar produk domestik bruto (PDB) Indonesia, begitu kira-kira istilah teknisnya.PDB sendiri berbicara tentang jumlah produksi barang dan jasa akhir di wilayah Indonesia selama satu periode tertentu (kuartal atau tahun). Apa relevansinya? Penurunan PDB berkaitan dengan stabilitas makro Indonesia. Luaran nasional yang menyusut mengindikasi terjadinya penurunan produksi (barang dan jasa) akibat daya beli yang menurun, baik di pasar domestik maupun luar negeri (ekspor). Penutupan pusat-pusat perekonomian (lockdown) dan arus transportasi di berbagai negara selama pandemi Covid-19 telah menyebabkan kinerja ekspor mundur.Industri pariwisata, penerbangan, hingga hotel dan restoran menghadapi pukulan berat. Hal ini semakin terasa ketika pasar China yang selama ini menjadi sasaran ekspor komoditas kita juga mengalami kemunduran selama 2020 ini.Ketidakpastian global tersebut memicu perusahan-perusahaan mengencangkan ikat pinggang, berharap paling tidak bisa bertahan hingga pandemi selesai. Pemotongan gaji dan upah hingga pemutusan hubungan kerja terus dilakukan korporasi untuk efisiensi.Kondisi ini turut memperburuk kinerja makro ekonomi Indonesia hingga kuartal ke tiga ini, di tengah data penderita Covid-19 yang semakin meningkat. Ibarat buah simalakama, antara sisi kesehatan dan sisi ekonomi. Pemerintah menghadapi pilihan yang sulit, pembukaan aktivitas-aktivitas ekonomi berpotensi memperburuk sisi kesehatan (pasien Covid-19 berpotensi meningkat), sementara penutupan ekonomi berpotensi mendorong ekonomi Indonesia ke titik depresi (resesi berkepanjangan).Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akhirnya dipilih sebagai jalan tengah untuk menyeimbangkan sisi kesehatan dan sisi ekonomi. Inilah pilihan paling bijak dalam protokol manajemen krisis tahun ini.Pemulihan ekonomi selanjutnya menjadi fokus pemerintah untuk mengembalikan atau paling tidak menahan agar penurunan ekonomi tidak semakin mendalam. Berbagai kebijakan melalui otoritas-otoritas terkait selanjutnya diupayakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi tersebut.Artikel ini menelaah upaya pemulihan ekonomi melalui sisi makroprudensial, sebuah kebijakan yang jarang diulas secara sederhana dan perinci dalam literatur ekonomi di sekolah.

Kebijakan Makroprudensial

Krisis ekonomi 2020 mengajari kita bahwa krisis dapat bersumber dari mana saja, tidak harus berasal dari sisi keuangan semata, seperti yang terjadi pada krisis Asia 1998, krisis hipotik subprima Amerika Serikat 2008, hingga krisis global 2018.Faktor nonkeuangan seperti masalah geopolitik dan keamanan serta pandemi juga mampu memporak-porandakan stabilitas ekonomi dunia sehingga memerlukan mitigasi risiko yang cepat dan tepat. Kebijakan mirkroprudensial dan kebijakan moneter yang selama ini sering dipraktikan untuk memitigasi krisis ternyata tidak cukup dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan mencegah perluasan risiko sistemik (risiko yang dapat berdampak pada satu perekonomian secara menyeluruh).Makroprudensial sendiri dapat diartikan sebagai kebijakan bank sentral dalam memelihara stabilitas sistem keuangan (SSK) melalui pencegahan risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan.Selain itu, kebijakan ini juga ditujukan untuk mendukung stabilitas moneter dan sistem pembayaran, termasuk meminimalisir biaya penanganan krisis sistemik. Dengan demikian, makroprudensial mencakup upaya pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga di sektor jasa keuangan (yang bersifat makro), dan berfokus pada pencegahan risiko sistemik guna mendorong SSK Indonesia.Pengalaman dari berbagai krisis ekonomi dunia dan penanggulangannya mengajari kita bahwa biaya penanganan krisis begitu mahal dan membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama. Oleh karena itu, upaya memitigasi risiko sistemik melalui kebijakan makroprudensial menjadi penting dalam tahap ini. Kebijakan makroprudensial diambil sebagai upaya preventif yang terukur dalam menjaga SSK dan memastikan keberlanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi.Bank Indonesia (BI) menjadi otoritas yang berwenang dalam melakukan pengaturan dan pengawasan kebijakan makroprudensial di Indonesia. Kebijakan ini mencakup sistem keuangan secara menyeluruh sehingga tidak terbatas hanya pada sektor perbankan saja.Institusi keuangan nonbank, infrastruktur keuangan, korporasi, rumah tangga, dan pasar keuangan juga menjadi elemen-elemen yang diperhatikan dalam kebijakan tersebut. Luasan lingkup kebijakan ini dikarenakan sumber risiko sistemik bukan hanya berasal dari bank saja, tetapi dapat juga bersumber dari elemen sistem keuangan lainnya. Selain itu, efek penularan akibat keterkaitan antar elemen dalam sistem keuangan tersebut juga berpotensi mengganggu satu perekonomian secara menyeluruh (dampak sistemik).Secara umum, makroprudensial menjaga SSK Indonesia dari dua dimensi (cross-section dan time series). Dimensi cross-section menjelaskan bahwa karakteristik sistem keuangan berpotensi memicu terjadinya risiko sistemik. Setidaknya terdapat tiga karakteristik dalam sistem keuangan yang perlu mendapat perhatian.Pertama, antar elemen dalam sistem keuangan saling berkaitan (interconnectedness); kedua, too big to fail (korporasi yang terlalu besar dan kemudian gagal, akan menimbulkan risiko yang sangat fatal); dan ketiga, faktor risiko umum lainnya (common risk factor).Dimensi time series membahas isu yang berbeda. Dalam dimensi ini, kebijakan makroprudensial lebih ditekankan pada perilaku institusi keuangan yang cenderung bersifat prosiklikalitas (procyclicality). Perilaku ini mengarah pada siklus pengambilan risiko (risk-taking cycle) yang merujuk pada perilaku optimisme yang berlebihan ketika siklus ekonomi membaik (boom atau ekspansi), dan sebaliknya perilaku pesimisme yang berlebihan ketika siklus ekonomi memburuk (bust atau kontraksi).Kebijakan makroprudensial dalam dimensi time-series harus mampu menyeimbangkan perilaku prosiklikalitas ini, yaitu dengan cara mewajibkan perbankan memupuk modal untuk mengerem ekspansi yang berlebihan pada saat kondisi ekonomi membaik.Sementara itu, pada saat kondisi ekonomi memburuk, BI memberi kelonggaran kepada perbankan untuk menggunakan modal sehingga mengurangi kontraksi kredit. Kebijakan ini memang bukan merupakan kebijakan yang populer tetapi sangat penting dalam rangka pencegahan risiko sistemik.

Instrumen Kebijakan Makroprudensial

Implementasi kebijakan makroprudensial dilakukan melalui beberapa instrumen. Countercyclical Buffer (CCB) merupakan salah satu instrumen yang sering diterapkan. Teknisnya dilakukan dengan memupuk ketahanan modal pada saat ekonomi sedang membaik dan memanfaatkan cadangan modal pada saat ekonomi menurun.Selain CCB, BI juga menggunakan instrumen Loan to Value atau Financing to Value (LTV/FTV). LTV digunakan untuk mencegah penyaluran kredit yang terlalu besar dan terkonsentrasi hanya pada satu sektor yang berisiko tinggi atau dengan kata lain mendorong penyaluran kredit ke sektor yang dinilai memiliki prospek baik dengan risiko yang terjaga.Instrumen lainnya dalam kebijakan makroprudensial dikenal dengan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). PLM digunakan untuk meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas Perbankan, sementara RIM digunakan untuk mendorong perbankan menyalurkan kredit sesuai kapasitasnya dan menyesuaikan dengan target pertumbuhan ekonomi.Terakhir, BI menggunakan instrumen Rasio Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam kebijakan makroprudensial. Instrumen ini digunakan untuk meningkatkan akses keuangan dan pembiayaan pada UMKM.

SSK Indonesia

Kebijakan makroprudensial hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kebijakan yang digunakan otoritas terkait dalam menjaga SSK Indonesia. Bauran kebijakan yang terintegrasi diharapkan mampu menjaga SSK Indonesia di era pandemi yang dipenuhi ketidakpastian ini.Integrasi dan sinkronisasi antara kebijakan fiskal, moneter, mikroprudensial, dan makroprudensial menjadi sangat penting. Selain sinkronisasi antar kebijakan, integrasi antarlembaga juga akan memainkan peran yang signifikan dalam menjaga SSK Indonesia di era pandemi ini. Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) merupakan penjaga gawang SSK Indonesia dalam masa-masa krisis ini. Sebuah pekerjaan yang sangat menguras energi.Akhirnya, kita berharap berbagai upaya yang akan, sedang, dan telah dilakukan pemerintah dan otoritas-otoritas terkait mampu mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia dan membawa pertumbuhan ekonomi kita keluar dari zona negatif di kuartal IV nanti. Melihat berbagai upaya konkrit yang terus dilakukan, kita optimis ekonomi Indonesia dapat segera pulih dan bangkit kembali di tengah terpaan pandemi.

(miq/dru)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA