Jelaskan 3 saja mengapa ekonomi Indonesia memburuk sejak kembali ke NKRI

Bisnis.com, JAKARTA— Wabah Covid-19 berpotensi mengubah tatanan ekonomi dunia yang ditandai dengan berubahnya peta perdagangan dunia, selain mengakibatkan mandegnya berbagai bidang usaha.

Kinerja perdagangan global dipastikan akan terganggu akibat lambatnya perbaikan kinerja manufaktur, khususnya di China hingga menjelang semester pertama tahun ini.

Di tambah dengan jalur distribusi logistik yang juga terganggu, dampak negatif mau tak mau akan menerpa ekonomi Indonesia dalam beberapa waktu ke depan. Demikian kesimpulan dari Pusat Kajian Visi Teliti Saksama (VTS) melalui riset kajian berjudul Limbung Roda Terpasak Corona.

Menurut uji simulasi pandemi dengan model sistem dinamik oleh peneliti Visi Teliti Saksama, M. Widyar Rahman, pandemi corona di Indonesia diperkirakan reda pada awal Juni 2020. Lantas, jika wabah Covid-19 di Indonesia diperkirakan baru bisa mereda pada Juni 2020, bagaimana dengan pemulihan ekonomi Indonesia? 

“Tentunya proses pemulihan ekonomi akan membutuhkan waktu yang lebih panjang, setidaknya sampai akhir 2021,” kata Widyar, Senin (27/4/2020). 

Menurut analisis Widyar, pandemi tidak akan bertahan bertahun-tahun di Indonesia. Melalui peran aktif seluruh warga negara, penurunan jumlah kasus Covid-19, seharusnya dapat lebih cepat dari perkiraan model tersebut. Namun, hal ini tetap dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil pemerintah dalam upaya menekan penyebarannya. 

“Kami memperkirakan, peningkatan permintaan barang dan jasa akan terjadi pada Ramadan dan Idulfitri, meski tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, sedikit kenaikan permintaan ini belum cukup untuk mengkompensasi cedera pada industri,” ungkapnya. 

Pasalnya, pemenuhan stok yang seharusnya dilakukan dua sampai tiga bulan jelang Ramadan tidak bisa terpenuhi akibat impor yang mandek. Melihat dampaknya yang masif, kerugian yang ditimbulkan pamdemi Covid-19 tentu tidak main-main. 

“Jika dibandingkan wabah SARS 2002–2003 yang juga berasal dari China, dampak negatif dari merebaknya Covid-19 terhadap perekonomian akan jauh lebih luas,” lanjutnya. 

Dalam kaitan analisa dampak ini, Visi  mengumpulkan berbagai informasi untuk memperkirakan dampak yang terjadi pada perekonomian Indonesia. Adapun studi dilakukan pada Februari hingga awal Maret. Analisa yang dilakukan berawal dengan melihat hubungan ekonomi antara Indonesia dan China, sebagai episentrum awal penyebaran virus. 

Dalam 5 tahun terakhir, China selalu menempati tiga besar mitra dagang utama Indonesia. Malahan, sejak 2014, China merupakan negara asal impor dengan nilai terbesar bagi Indonesia.

Berdasar kategori barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal sepanjang Januari hingga Desember 2019, makin kentara ketergantungan Indonesia terhadap China. Dari ketiga kategori barang yang diimpor oleh negara ini, sebanyak 37% barang konsumsi, 25% bahan baku penolong, dan 44% barang modal jelas diimpor dari China.

Dalam hal investasi langsung, selama rentang 5 tahun terakhir (2016—2019), Indonesia menerima aliran investasi China sebesar US$13,2 miliar atau peringkat ketiga terbesar bagi Indonesia. 

Selain di bidang investasi, China juga memiliki peran besar dalam sektor pariwisata di Indonesia. Dalam kurun 8 tahun, turis China meningkat jumlahnya sebanyak 309%, yaitu dari 511.000 pada pada 2010 menjadi 2,14 juta pada 2017.

Peneliti Senior Visi , Sita Wardhani menuturkan dari sisi produksi rata-rata produsen dalam negeri memiliki stok bahan baku hingga Maret dan April 2020. Jika pada bulan-bulan tersebut belum juga ada pasokan dari China atau hanya terpenuhi sedikit, proses produksi pabrik di Indonesia dapat terhambat. 

“Dampak minimum pada perekonomian adalah dengan asumsi perekonomian China bangkit dan kembali aktif pada April,” kata Sita.

Ada sedikit harapan dari rilis Biro Statistik Nasional (NBS) China soal Indeks Pembelian Manajer (Purchasing Manager Index/PMI) resmi China yang naik menjadi 52 pada Maret 2020. Pada bulan Februari, ketika pandemi meninggi, PMI China hanya 35,7, rekor terendah yang pernah dialami China. Untuk informasi, angka di atas 50 menunjukkan, industri mengalami ekspansi. Sebaliknya, angka di bawah 50 menggambarkan kondisi kontraksi.

Masih menurut NBS, industri China memperoleh pemasukan 370,66 miliar yuan atau US$52,43 miliar pada Maret 2020. Nilai tersebut turun 34,9% dibandingkan tahun sebelumnya, dan melanjutkan tren di Januari-Februari yang tercatat turun 38,3%. Setidaknya, menurut NBS, ada delapan dari 41 sektor industri yang disurvei mencatat kenaikan laba pada Maret. Kondisi ini lebih baik dibandingkan Januari-Februari yang mencatat hanya empat sektor mengalami kenaikan laba.

Namun, hal ini diyakini belum menandakan stabilisasi dalam kegiatan ekonomi. Pasalnya, di tengah biaya produksi yang makin tinggi karena terganggunya jalur distribusi, permintaan pasar juga belum sembuh sepenuhnya. Apalagi, ada penurunan permintaan impor dari negara lain, termasuk Indonesia.

“Namun jika masa pemulihan yang dialami China lebih lama lagi, asumsi China baru berproduksi kembali di bulan Juni, artinya proses impor baru bisa dilakukan di bulan Juli. Dengan begitu, dampak resesi yang dihadapi Indonesia akan lebih dalam lagi,” ujarnya. 

Selain dialami industri mamin, lanjutnya, gangguan lebih dalam juga bakal dialami industri manufaktur lain. Dampak dari kelangkaan bahan baku ini akan membawa inflasi yang lebih tinggi karena industri manufaktur tidak mampu memenuhi permintaan dan memicu terjadinya shortage.

Di sisi lain, dengan inflasi yang tinggi, tentu rumah tangga akan menurunkan konsumsinya. Padahal kontribusi terbesar dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sejauh ini adalah konsumsi rumah tangga. 

“Dengan tingkat inflasi tinggi, konsumsi rumah tangga juga turun sejalan dengan daya beli yang juga menurun. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi pun dapat terpuruk lebih jauh,” ungkap Sita. 

Visi Teliti Saksama  merupakan  pusat kajian dan publikasi multiplatform dari berbagai isu ekonomi, politik, sosial, hukum, dan lingkungan hidup yang berdiri 3 tahun lalu. Tim periset Visi berasal dari berbagai perguruan tinggi terkemuka, dengan pengalaman terlibat dalam pembuatan beragam kebijakan di bidang komoditas, perdagangan, dan program komunikasi. Hasil kajian-kajian yang bermanfaat bagi masyarakat luas dituangkan dalam portal berbasis data validnews.id.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :


Konten Premium Nikmati Konten Premium Untuk Informasi Yang Lebih Dalam

Jelaskan 3 saja mengapa ekonomi Indonesia memburuk sejak kembali ke NKRI

Jelaskan 3 saja mengapa ekonomi Indonesia memburuk sejak kembali ke NKRI

Jelaskan 3 saja mengapa ekonomi Indonesia memburuk sejak kembali ke NKRI

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS RI) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 mencatatkan kontraksi atau minus 3,49 persen secara tahunan (year on year / yoy).

Artinya, dalam dua kuartal berturut-turut pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) mencatatkan pertumbuhan negatif. Sebelumnya, pada kuartal II/2020 pertumbuhan ekonomi tercatat minus 5,32 persen.

Sebelum BPS mengumumkan data PDB, Presiden Joko Widodo telah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 bakal minus 3 persen (yoy). Jokowi mengatakan Indonesia akan mengalami resesi ekonomi. Ramalan Presiden pun jadi kenyataan.

Dilansir dari The Economic Times pada Kamis (5/11/2020), resesi adalah perlambatan atau kontraksi besar-besaran dalam kegiatan ekonomi. Penurunan pengeluaran yang signifikan umumnya mengarah pada resesi.

Ada beberapa indikator yang menunjukkan tanda-tanda resesi, misalnya banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan, perusahaan menghasilkan lebih sedikit penjualan, terakhir pengeluaran (output) ekonomi negara secara keseluruhan mengalami penurunan. 

Titik dimana perekonomian secara resmi jatuh ke dalam resesi bergantung pada berbagai faktor, dikutip dari Forbes pada Kamis (5/11/2020).

Baca Juga : Resesi, Pengangguran dan Prospek Kelam bagi Angkatan Kerja Baru

Pada 1974, ekonom Julius Shiskin membuat beberapa aturan praktis untuk mendefinisikan resesi. Poin paling populer adalah penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut. Ekonomi yang sehat berkembang dari waktu ke waktu, sehingga jika dua kuartal berturut-turut produksi yang menyusut menunjukkan ada masalah mendasar yang serius. Definisi ini menjadi standar umum resesi selama bertahun-tahun.

Biro Riset Ekonomi Amerika Serikat (NBER) diakui sebagai otoritas yang menentukan tanggal mulai dan berakhirnya resesi AS. NBER memiliki definisi sendiri tentang apa yang merupakan resesi, yaitu penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.

Definisi NBER lebih fleksibel daripada aturan Shiskin untuk menentukan apa itu resesi.

"Misalnya virus Covid-19 berpotensi menciptakan resesi berbentuk W, dimana ekonomi jatuh pada kuartal pertama, mulai tumbuh lalu turun lagi di masa depan. Ini tidak akan menjadi resesi menurut aturan Shiskin tetapi bisa menjadi resesi jika menggunakan definisi NBER," tulis Forbes.

Jelaskan 3 saja mengapa ekonomi Indonesia memburuk sejak kembali ke NKRI

Sumber: Badan Pusat Statistik RI

Faktor Penyebab Resesi

Resesi disebabkan oleh banyak hal mulai dari guncangan ekonomi secara tiba-tiba hingga inflasi yang tidak terkendali. Berikut fenomena umum yang menyebabkan terjadinya resesi:

1. Guncangan Ekonomi Secara Tiba-Tiba
Maksudnya, masalah kejutan yang menimbulkan kerusakan finansial yang serius. Salah satu contohnya wabah virus Covid-19 yang mematikan ekonomi di seluruh dunia.

2. Hutang yang Berlebihan
Ketika individu atau bisnis memiliki terlalu banyak hutang, biaya untuk membayar hutang dapat meningkat ke titik dimana mereka tidak dapat membayar tagihan mereka. Meningkatnya hutang dan kebangkrutan kemudian dapat membalikkan perekonomian.

3. Gelembung Aset
Perekonomian yang buruk akan segera terjadi ketika keputusan investasi di dorong oleh emosi. Pasalnya, investor bisa menjadi terlalu optimis jika perekonomian kuat.

Mantan ketua The Fed Alan Greenspan terkenal menyebut kecenderungan ini sebagai "kegembiraan irasional" untuk menggambarkan keuntungan besar di pasar saham pada akhir 1990-an. Kegembiraan irasional menggembungkan pasar saham atau gelembung real estat. Ketika gelembung itu meletus, panic selling dapat menghancurkan pasar sehingga menyebabkan resesi.

4. Inflasi Terlalu Tinggi
Inflasi adalah tren harga yang stabil dan naik dari waktu ke waktu. Inflasi bukanlah hal yang buruk, tetapi inflasi yang berlebihan bakal jadi fenomena yang berbahaya.

5. Deflasi Berlebihan
Meskipun inflasi yang tak terkendali dapat menyebabkan resesi, deflasi bisa menjadi lebih buruk. Deflasi adalah saat harga turun dari waktu ke waktu, yang menyebabkan upah menyusut, yang selanjutnya menekan harga. Ketika lingkaran umpan balik deflasi lepas kendali, orang dan bisnis berhenti mengeluarkan uang sehingga merusak ekonomi.

6. Perubahan Teknologi
Pada abad ke-19, ada gelombang peningkatan teknologi hemat tenanga kerja. Revolusi Industri membuat seluruh profesi menjadi usang, memicu resesi dan masa-masa sulit. Saat ini beberapa ekonom khawatir bahwa Artificial Intellegence (AI) dan robot dapat menyebabkan resesi lantaran pekerja kehilangan mata pencarian.

Dampak Resesi ke Kehidupan Sehari-hari

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Dr. Willem A. Makaliwe menjelaskan bagaimana dampak resesi bagi masyarakat.

Menurut Willem, keadaan resesi membuat masyarakat mengalami kemunduran yang disebut dengan penurunan aktivias. Hal itu dijelaskan melalui kanal Youtube OVIS UI yang berjudul "Dampak dari Resesi Ekonomi?".

Dosen FEB UI ini menganalogikan resesi dengan sebuah perusahaan yang misalnya biasa memproduksi kursi dalam satu tahun sebanyak 10 kursi. Masing-masing kursi tersebut, lanjutnya, dikerjakan oleh satu orang yang berarti terdapat 10 orang atau karyawan yang dipekerjakan.

"Namun, karena terjadi penurunan aktivitas akibat resesi, perusahaan ini dalam satu tahun hanya bisa menjual delapan kursi yang menyebabkan penurunan penjualan dari tahun lalu," ujar Willem seperti dikutip Bisnis, Kamis (5/11/2020).

Akibatnya, perusahaan hanya mempekerjakan delapan orang dan dua orang lainnya akan kehilangan pekerjaannya. Oleh karena itu, katanya, dua orang pekerja tentu akan mengurangi porsi belanja sehari-hari.

"Yang bekerja 2 orang yang kehilangan pekerjaan pastinya akan mengurangi belanjanya katakanlah ya biasanya mungkin sore-sore iseng-iseng ya makanya kue, siomay dan sebagainya. Wah, terpaksa ditahan belanjanya. Belanja beli sepatu baru ditahan," terang Willem.

Tidak berhenti sampai disana, pedagang kue atau siomay ini nantinya juga akan mengalami penurunan penjualan yang kemudian juga mempengaruhi pendapatannya.

Penurunan pendapatan itu, lanjutnya, bakal mempengaruhi daya beli penjual siomay. Kondisi tersebut berlaku seperti efek domino atau akan mempengaruhi perekonomian lain. Hal ini kemudian juga dikenal dengan istilah multiplayer effect dalam bentuk negatif

"Membuat permintaan masyarakat mengalami penurunan dan itu yang kita sedih karena bisa berlanjut pada berbagai macam sektor atau berbagai macam kegiatan," ungkap Willem melalui akun Youtube OVIS UI.

Waspada Pengangguran

Sementara itu, Ekonom Senior INDEF Enny Sri Hartati mengatakan Indonesia memasuki periode resesi apabila hampir semua indikator sektor ekonomi mengalami perlambatan. Sektor-sektor tersebut antara lain industri manufaktur, perdagangan, transportasi, dan lainnya.

Dia menambahkan perlambatan kinerja sektor ekonomi berimplikasi pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang besar. Pasalnya, perusahaan atau penyedia kerja sudah tidak bisa menanggung gaji karyawan karena dampak dari pandemi Covid-19.

"Orang yang kesulitan mencari pekerjaan lebih banyak masyarakat bukan cuma mereka yang berpendidikan rendah, tetapi yang berpendidikan tinggi. Kita harus siap menghadapi kesulitan ekonomi," katanya beberapa waktu lalu.

Meski demikian, Enny mengingatkan bahwa resesi bukan akhir dari kehidupan. Pasalnya, Indonesia pernah menghadapi situasi resesi pada periode krisis 1965-1996 dan krisis 1997-1998.

Dia menilai perekonomian Indonesia dapat bangkit apabila pemerintah dan semua pemangku kepentingan dapat mencari jalan keluar bersama-sama. Namun, Enny tak menampik peran pemerintah saat ini sangat besar karena sebagian pelaku usaha justru kekurangan likuiditas.

Karena itu, dia meminta pemerintah segera mengeksekusi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) secara efektif dan efisien untuk meminimalisasi dampak resesi. Salah satu kebijakan yang perlu diperbaiki, yaitu efektivitas jaring pengaman sosial (bansos) untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga.

"Jika program bansos ini sudah tepat, seharusnya aktivitas ekonomi di sektor riil gak minus. Kunci ekonomi Indonesia ini kan ada di sektor rumah tangga, jadi daya beli masyarakat harus ditopang. Kalau konsumsi rumah tangga sampai minus, artinya program bansos tidak ada efeknya," ucap Enny.

Seperti diketahui, Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Agustus 2020 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 7,07 persen. Dari data yang diperoleh Bisnis, realisasi terburuk selama pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Pasalnya, TPT kali ini merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2012. Saat itu, tingkat pengangguran mencapai sebesar 6,13 persen. Terakhir kali TPT di atas 7 persen terjadi pada periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu Agustus 2011 sebesar 7,48 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :


Konten Premium Nikmati Konten Premium Untuk Informasi Yang Lebih Dalam

Jelaskan 3 saja mengapa ekonomi Indonesia memburuk sejak kembali ke NKRI

Jelaskan 3 saja mengapa ekonomi Indonesia memburuk sejak kembali ke NKRI

Jelaskan 3 saja mengapa ekonomi Indonesia memburuk sejak kembali ke NKRI