Sebagaimana yang telah dibahas dalam hasil kinerja aplikator cairan berbasis sensor rata-rata waktu kerja sistem untuk menyemprot sepanjang 102 cm diluar waktu aktivasi aktuator penyemprot adalah 0.76791 detik. Berdasarkan nilai tersebut berarti kecepatan kerja sistem adalah 1.3283 m/s atau sama dengan 4.7818 km/jam dengan lebar kerja 136 cm berarti sistem penyemprot memiliki kapasitas kerja 0.6503 ha/jam. Sedangkan hasil 146 perhitungan dengan boom sprayer dengan lebar kerja 12 meter dan kecepatan maju 5 km/jam memiliki kapasitas kerja 6 ha/jam. Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa penyemprot berbasis sensor yang dibangun hanya memiliki kapasitas kerja maksimum 0.108 kali kapasitas kerja boom sprayer. Dengan kondisi tersebut maka perlu dilakukan metode pengoperasian sistem secara paralel untuk mencapai hasil yang lebih cepat untuk mendapatkan kinerja mendekati kapasitas kerja boom sprayer. Untuk dapat mengadaptasi suatu algoritma sekuensial ke dalam algoritma paralel, terlebih dahulu harus dipelajari mengenai konsep pemrosesan paralel dan bagaimana proses-proses dapat berlangsung secara paralel (Purbasari, 2002). Teknik pembangunan algoritma paralel dapat dibedakan menjadi paralelisme data dan partisi data. Paralelisme data lahir dari penelitian bahwa aplikasi utama komputasi paralel adalah dalam bidang sain dan teknik yang umumnya melibatkan array multi-dimensi yang sangat besar. Dalam program sekuensial biasa, array ini dimanipulasi dengan mempergunakan perulangan bersarang untuk mendapatkan hasil. Kebanyakan program paralel dibentuk dengan mengatur ulang algoritma sekuensial agar perulangan bersarang tersebut dapat dilaksanakan secara paralel. Paralelisme data menunjukkan bahwa basis data dipergunakan sebagai dasar untuk membentuk aktifitas paralel, dimana bagian yang berbeda dari basis data akan diproses secara paralel. Dengan kata lain paralelisme dalam program ini dibentuk dari penerapan operasi-operasi yang sama ke bagian array data yang berbeda (Purbasari, 2002). Partisi Data adalah teknik khusus dari Paralelisme Data, dimana data disebar ke dalam memori-memori lokal multikomputer. Sebuah proses paralel kemudian ditugaskan untuk mengoperasikan masing-masing bagian data. Proses tersebut harus terdapat dalam lokal memori yang sama dengan bagian data, karena itu proses dapat mengakses data tersebut secara lokal. Untuk memperoleh kinerja yang baik, setiap proses harus memperhatikan variabel- variabel dan data-data lokalnya masing-masing. 147 Gambar 76. Diagram sistem multi agen pengendalian gulma berbasis sensor. Agen Segmentasi P. Pencacah Jarak P. Citra P. Kualitas Citra P. matrik P. Segmentasi P. Identifikasi P. Aktivasi Akt. Tangkap Citra Filterisasi Segmentasi Identifikasi tnmn Penentuan dosis Penyemprotan Citra tnm Cacah jrk Matrik citra jenis tanaman Kepadatan DB Citra DB Peta Perlakuan Agen penangkap citra Agen Filterisasi Agen Identifikasi Agen Penentu dosis Matrik citra Tanaman Keterangan Percept Action Protokol Agen 148 Metode yang sesuai bagi permasalahan peningkatan kecepatan kerja sistem pengendalian gulma berbasis sensor adalah komputasi paralel dengan teknik pipeline. Hal ini didasarkan pada cara kerja mulai dari penangkapan citra sampai penyemprotan adalah deretan kerja yang harus dikerjakan secara berurutan. Dalam teknik pipeline, problem dibagi menjadi beberapa proses yang harus dilaksanakan satu setelah lainnya. Setiap tugas nantinya akan dieksekusi oleh proses atau prosesor yang berbeda dalam satu pipa komputasi. Gambar 77. Proses pipeline Pipeline dapat meningkatkan kecepatan untuk problem yang sekuensial, pada tiga kondisi : 1) Jika tugas komputasi yang dilakukan melibatkan beberapa tahapan proses berurutan dimana output suatu proses menjadi input bagi proses berikutnya. 2) Jika data yang dilibatkan dalam komputasi berjumlah banyak jauh melebihi jumlah prosesor yang ada. 3) Jika waktu eksekusi dari masing-masing proses relatif seragam. Gambar 78 menampilkan diagram yang berisi deretan proses antar agen pada kasus pengendalian gulma di lahan terbuka. Diagram tersebut menunjukkan bagaimana keluaran suatu proses menjadi masukan bagi proses berikutnya. Langkah pertama dari analisa perhitungan paralel dengan metode pipeline adalah menentukan granularitas proses. Granularitas adalah waktu berlangsungnya atau waktu eksekusi setiap proses. Berdasarkan hasil pengukuran waktu kerja tiap instance diperoleh data granularitas tiap-tiap proses sebagaimana ditampilkan pada Tabel 24. 149 Proses dan Unit yang terlibat Keluaran Gambar 78. Blok Diagram Hubungan Operasional Antar Agen pada Kasus Pengendalian Gulma di Lahan Terbuka. Diagram pipeline ruang-waktu disusun berdasarkan urutan proses dengan memperhatikan lama proses dan sifat pengerjaan tiap proses. Gambar 80. menunjukkan bentuk diagram pipeline untuk 5 proses pekerjaan pada kegiatan pengendalian gulma periode praolah dengan menggunakan 4 buah prosesor. Masing-masing prosesor memiliki tugas khusus yang berbeda satu dengan lainnya. Tugas masing-masing prosesor tersebut adalah penangkap citra, loading file citra, filterisasi, analisis kelas serangan dan penentuan dosis. Filterisasi - Loading gambar - Filterisasi - Simpan file (*.txt) hasil filterisasi - Tampilkan waktu operasi hasil filterisasi (buffer 1) Segmentasi - Loading file filterisasi - Segmentasi kedalam 4 kelas - Simpan file (*.txt) hasil segmentasi - Tampilkan waktu operasi hasil segmentasi (buffer 2) Penentuan Dosis - Loading file segmentasi - Terjemahkan hasil segmentasi ke kode aktivasi - Simpan file (*.txt) hasil penentuan dosis - Tampilkan waktu operasi hasil penentuan dosis (file teks) Mikrokontroler Aktuator Penangkap Citra - Ambil citra lahan - simpan - Tampilkan waktu operasi Image 150 Tabel 24. Waktu kerja rata-rata tiap proses pada pengendalian gulma di lahan terbuka. Nomor Nama Proses Rata-rata waktu kerja (detik) 1. Penangkapan citra 0.20449 2. Loading file 0.17119 3. Filterisasi citra 0.19612 4. Analisa kelas serangan 0.10619 5. Penentuan dosis 0.08992 Jumlah 0.76791 Pada diagram pipeline dapat dilihat bahwa setiap proses dikerjakan secara paralel pada prosesor yang terpisah, dan pemrosesan terhadap citra ke- dua dilakukan tanpa harus menunggu selesainya proses terhadap citra pertama. Pembatas antar kegiatan dalam proses tersebut adalah penangkapan citra, karena penangkapan citra memerlukan waktu terlama dan proses selanjutnya hanya bisa dilakukan setelah citra ditangkap dan disimpan. Proses komunikasi pada metode komputasi paralel pipeline adalah bahwa satu proses melakukan komputasi terhadap beberapa nilai yang akan dipergunakan oleh proses paralel lainnya. Penanganan masalah tersebut memerlukan suatu kanal (channel) yang mempunyai properti ‘kosong’. Ketika suatu proses membaca kanal yang “kosong”, maka eksekusi proses secara otomatis akan tertunda sampai terdapat proses lain yang menulis suatu nilai ke dalam kanal tersebut. Misal proses P2 akan menunggu pembacaan variabel kanal sebelum proses P1 selesai menuliskan suatu nilai ke dalam variabel kanal. Dengan demikian komunikasi proses dijamin berlangsung dengan benar. Nilai overhead aktivasi Proses 2 dari posisi wait adalah pada kisaran waktu 400 – 1000 ns. 151 Gambar 79. Komunikasi antar proses secara paralel Penggal program dari bentuk komunikasi antar agen dalam bentuk task adalah sebagai berikut : var buffer1 = new BlockingCollection<int>(limit); var buffer2 = new BlockingCollection<int>(limit); var f = new TaskFactory(TaskCreationOptions.LongRunning,TaskContinuationOptions.None); var task1 = f.StartNew(() => / proses internal filterisasi / menghasilkan buffer1 Pipeline<int>.Producer(buffer1, , , inc)); var task2 = f.StartNew(() => / membaca buffer1 hasil filterisasi / proses internal segmentasi / menghasilkan buffer2 Pipeline<int>.Consumer(buffer1, new Pipeline<int>., buffer2)); Pipeline<int>.Producer(buffer2, , , inc)); var task3 = f.StartNew(() => / membaca buffer2 hasil segmentasi / proses internal penentuan dosis /menghasilkan file text akhir (dosis) { result_str = Pipeline<int>.LastConsumer(buffer2, str); }); Task.WaitAll(task1, task2, task3); Hans-.uk> Parallel Programming Proses 1 Proses 2 Kanal 152 Gambar 80. Diagram pipeline dengan 4 prosesor pada kegiatan pengendalian gulma periode praolah Hasil analisa peningkatan kecepatan pada komputasi paralel metode pipeline menunjukkan bahwa peningkatan nilai speed up berbanding lurus dengan semakin bertambahnya jumlah pekerjaan. Pekerjaan adalah rangkaian proses yang dilakukan pada satu buah citra. Nilai speed up akan bergerak dari 1 pada satu pekerjaan sampai 3.745 pada 1000 pekerjaan, nilai speed up selanjutnya akan mencapai 3.775 pada jumlah pekerjaan 100 000 sampai tak hingga dengan efisiensi sebesar 93.88%. Gambar 81 menunjukkan grafik peningkatan nilai speed up akibat bertambahnya jumlah pekerjaan. Gambar 81. Grafik hubungan speed up dan jumlah pekerjaan pada kegiatan pengendalian gulma periode praolah. 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 0 200 400 600 800 1000 S p e e d u p Jumlah pekerjaan 153 Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan pendeteksian serangan gulma, pendeteksian gulma pada periode pascatumbuh membutuhkan agen cerdas untuk menganalisa jenis tanaman. Berdasarkan hasil perhitungan waktu kerja satu frame yang diperlukan untuk menganalisa tanaman dengan ukuran 100 x 140 piksel diperoleh nilai waktu 0.0012 detik. Karena dalam satu citra hasil tangkapan kamera rata-rata memiliki 10 citra tanaman utama, maka kebutuhan waktu untuk analisa dimensi fraktal adalah 0.012 detik. Gambar 82. menunjukkan bentuk diagram pipeline untuk 6 proses pekerjaan pada kegiatan pengendalian gulma periode pascatumbuh dengan menggunakan 4 buah prosesor. Hasil perhitungan kinerja sistem menunjukkan nilai speed up akan bergerak dari 1 pada satu pekerjaan sampai 3.813 pada 1000 pekerjaan, nilai speed up selanjutnya akan mencapai 3.814 pada jumlah pekerjaan 100 000 sampai tak hingga dengan efisiensi sebesar 95.35%. Gambar 83 menunjukkan grafik peningkatan nilai speed up akibat bertambahnya jumlah pekerjaan. Gambar 82. Diagram pipeline dengan 4 prosesor pada kegiatan pengendalian gulma periode pascatumbuh 154 Gambar 83. Grafik hubungan speed up dan jumlah pekerjaan pada kegiatan pengendalian gulma periode pascatumbuh. Pengoperasian sistem tanpa melalui penyimpanan dan pengambilan file citra akan mempersingkat waktu operasi tiap proses. Hal ini secara otomatis akan meningkatkan kecepatan proses tiap pekerjaan. Hasil analisa secara teoritis pada dimensi citra yang memiliki panjang 102 cm dan lebar 136 cm dengan pengoperasian prosesor tunggal menunjukkan kecepatan maju maksimum adalah 8.63 km/jam. Apabila pekerjaan dilakukan dengan 2 prosesor yang bekerja dengan metode pipeline akan diperoleh nilai speed up 1.855 dan kecepatan maju 16.00 km/jam dengan efisiensi sebesar 92.28%. Gambar 84. Diagram pipeline dengan 2 prosesor pada kegiatan pengendalian gulma periode praolah tanpa prosedur penyimpanan citra. 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 0 200 400 600 800 1000 S p eed u p Jumlah Pekerjaan 155 Gambar 85. Grafik hubungan speed up dan jumlah pekerjaan pada kegiatan pengendalian gulma praolah tanpa prosedur penyimpanan citra. Simpulan 1. Pemrograman sistem multi agen telah dibangun dengan pendekatan pemrograman multithreading. Agen-agen yang terlibat dalam kegiatan pengendalian gulma adalah ; agen penangkap citra, agen filterisasi, agen identifikasi tanaman, agen penentu kepadatan serangan gulma, agen penentu dosis. 2. Analisa kecepatan proses komputasi paralel dilakukan dengan melakukan granularisasi masing-masing proses pada tiap agen. Hasil perhitungan kinerja sistem pada sistem pengendalian gulma praolah menunjukkan nilai speedup akan bergerak dari 1 pada satu pekerjaan sampai 3.745 pada 1000 pekerjaan, nilai speedup selanjutnya akan mencapai 3.775 pada jumlah pekerjaan 100 000 sampai tak hingga dengan efisiensi sebesar 93.88%. Penggunaan sistem multi agen akan mempersingkat waktu proses, sehingga nilai kecepatan maju maksimum dari VRT menjadi 3.775 kali lebih cepat, yaitu dari 4.78 km/jam menjadi 17.95 km/jam. 3. Hasil perhitungan dari kinerja sistem pada sistem pengendalian gulma pascatumbuh menunjukkan bahwa nilai speed up akan bergerak dari 1 pada satu pekerjaan sampai 3.813 pada 1000 pekerjaan, nilai speed up selanjutnya 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 0 200 400 600 800 1000 A x is T it le Axis Title 156 akan mencapai 3.814 pada jumlah pekerjaan 100 000 sampai tak hingga dengan efisiensi sebesar 95.35%. Penggunaan sistem multi agen akan mempersingkat waktu proses, sehingga nilai kecepatan maju maksimum dari VRT menjadi 3.814 kali lebih cepat, yaitu dari 4.71 km/jam menjadi 17.96 km/jam. 4. Hasil analisa secara teoritis pada dimensi citra yang memiliki panjang 102 cm dan lebar 136 cm dengan pengoperasian prosesor tunggal menunjukkan kecepatan maju maksimum dari sistem yang bekerja tanpa proses penyimpanan file citra adalah 8.63 km/jam. Apabila pekerjaan dilakukan dengan 2 prosesor yang bekerja dengan metode pipeline akan diperoleh nilai speed up 1.855 dan kecepatan maju maksimum 16.00 km/jam dengan efisiensi sebesar 92.28%. 157 9. PEMBAHASAN UMUM Beberapa metode analisa komputasi cerdas digunakan dalam penelitian pendeteksian serangan gulma. Masing-masing metode diarahkan untuk mencapai tujuan analisa utama yaitu pendeteksian kepadatan serangan gulma. Metode tersebut antara lain adalah : 1) analisa dimensi fraktal untuk pengenalan jenis tanaman, 2) analisa nonparametrik Bayes untuk menganalisa kepadatan serangan gulma. Penggunaan sistem cerdas dimesi fraktal untuk pemberantasan gulma pada minggu ke-4 dapat dilakukan dengan menerapkan penggunaan kamera visi, karena dengan penggunaan kamera visi sistem pendeteksi keberadaan gulma di lahan dapat dengan jelas membedakan antara tanaman pokok dan gulma berdasarkan nilai dimensi fraktal masing-masing tanaman. Hasil validasi sistem pada pengenalan tanaman jagung menunjukkan akurasi 88.64% sedangkan pada tanaman kacang tanah menghasilkan validasi 92.59%. Kemampuan sistem dalam mengidentifikasi gulma memiliki akurasi 71.43%, hal ini disebabkan pada kasus gulma yang tidak dikontrol beberapa gulma akan memiliki penampakan bentuk menyerupai tanaman pokok. Penentuan tingkat kepadatan gulma dilakukan dengan menggunakan nilai rata-rata warna hijau dari setiap citra. Citra dibagi dalam 4 kelas kepadatan yaitu tidak ada, jarang, sedang, dan padat masing-masing dengan interval nilai rata-rata warna hijau 0.00-38.22, 38.22-76.45, 76.45-114.67, dan 114.67-255 secara berurut. Nilai kelas kepadatan dari seluruh citra yang diolah nantinya akan menjadi dasar dalam pembuatan peta kepadatan gulma pada lahan terbuka. Hasil training penentuan tingkat kepadatan serangan gulma dengan metode non- parametrik Bayes menghasilkan akurasi 100%, dan ketelitian yang diperoleh dari validasi dengan data citra yang berbeda menunjukkan akurasi sebesar 94%. Penerapan metode pemecahan citra akan meningkatkan ketelitian aplikasi dari segi dosis dan ketepatan lokasi. Akan tetapi fenomena ini tidak berarti penerapan secara parsial metode ini akan selalu menghasilkan penghematan, walaupun secara keseluruhan pada kasus lahan di Laboratorium Lapangan IPB 158 hasil perhitungan matematis menunjukkan penghematan konsumsi herbisida sebanyak 14%. Pada tahap aplikasi penyemprotan meskipun rata-rata penggunaan herbisida akan sama besar metode pembagian citra akan memberikan peta aplikasi yang akan memandu peralatan mendistribusikan herbisida lebih tepat-dosis dan tepat-lokasi Metode pengendalian gulma pada tahapan pascatumbuh dengan menghilangkan baris tanaman utama memiliki sedikit kelemahan dalam mendeteksi keberadaan gulma di antara tanaman dalam satu baris, karena baris tersebut tidak dimasukkan dalam perhitungan kepadatan serangan gulma. Pada kegiatan pengendalian gulma bagian tersebut tetap mendapat perlakuan penyemprotan, karena pada tahap pascatumbuh kegiatan penyemprotan dilakukan secara menyeluruh. Penyemprotan secara menyeluruh dengan menggunakan herbisida dimungkinkan dengan adanya herbisida selektif. Beberapa herbisida selektif misalnya Atrazin, Siamazin, dan Pendimetalin adalah termasuk golongan herbisida selektif yang efektif mematikan gulma berdaun lebar setahun tetapi aman bagi tanaman jagung . Rata-rata waktu kerja sistem untuk menyemprot sepanjang 102 cm diluar waktu aktivasi aktuator penyemprot adalah 0.76791 detik. Berdasarkan nilai tersebut berarti kecepatan kerja sistem adalah 1.3283 m/det atau sama dengan 4.7818 km/jam dengan lebar kerja 136 cm berarti sistem penyemprot memiliki kapasitas lapangan teoritis 0.6503 ha/jam. Kecepatan 1.3283 m/s adalah kecepatan maksimum yang dapat dilakukan oleh sistem penyemprot yang dibangun. Apabila sistem bekerja pada kecepatan dibawah kecepatan maksimum maka sistem dapat bekerja dengan baik, karena sistem selesai bekerja sebelum pekerjaan berikutnya datang sehingga tersedia waktu tunggu untuk pengambilan citra lahan selanjutnya. Apabila sistem bekerja pada kecepatan diatas kecepatan tersebut maka akan terjadi kesalahan aplikasi yang diakibatkan oleh keterlambatan pengambilan citra berikutnya karena sistem belum selesai melakukan rangkaian proses dalam satu pekerjaan. Keterlambatan pengambilan citra pada tahapan selanjutnya akan mengakibatkan adanya ruang kosong antar citra (blank spot). 159 Penerapan pada lahan dengan luasan yang kecil dapat dilakukan dengan menggunakan traktor roda dua sebagai tenaga penggerak. Karena kecepatan gerak maju yang relatif lebih lambat dibanding traktor roda empat, maka pada aplikasi pada lahan dengan luasan yang kecil tidak memerlukan sistem multi agen. Pada aplikasi dengan lahan yang luas, sebagai perbandingan dari kinerja aplikator cairan berbasis sensor digunakan aplikator berbasis peta berupa boom sprayer dengan lebar kerja 12 meter. Dengan kecepatan 5 km/jam berarti boom sprayer memiliki kapasitas kerja teoritis 6 ha/jam. Uji kinerja Boom sprayer dilakukan di Kabupaten Sorong dengan menggunakan peralatan milik PT. Nanco Farming Contractor (Gambar 86). Boom sprayer memiliki kemampuan yang baik dari segi kecepatan aplikasi pada dosis tunggal (2-12 km/jam). Tingkat akurasi aplikasinya adalah per satuan lebar 12 meter, karena implemen jenis ini hanya dilengkapi dengan satu pengatur laju penyemprotan. Pada boom sprayer tipe yang lebih maju biasanya memiliki lebar kerja 24 meter dan memiliki 4 buah pengatur tekanan pompa penyemprot yang memungkinkan untuk meningkatkan ketelitian aplikasi pada lebar kerja lebar 6 meter. Prosedur kerja boom sprayer di lapangan biasanya didahului dengan pembuatan jalur tetap untuk traktor di lahan (Gambar 87). Selama proses budidaya jalur tersebut akan terus menerus digunakan. Tabel 25. Spesifikasi teknis Boom sprayer Spesifikasi Teknis Nilai Tipe Condor M-12/BX Panjang 1.35 meter Lebar 1.55 meter Tinggi 3.35 meter Berat 255 kg Kapasitas Tangki 600 liter Tekanan maksimum (rekomendasi) 200 psi Lebar kerja 12 meter Jumlah Nozzle 24 buah (JA-2) 160 Gambar 86. Uji coba boom sprayer tipe gendong. 161 Tabel 26. Perbandingan debit penyemprotan Boom sprayer dan kontrol PWM Perlakuan Boom Sprayer (l/menit) Aplikator Cairan dengan kontrol PWM (l/menit) Rendah 0.76 0.85 Sedang 1.05 1.15 Tinggi 1.19 1.21 Hasil perhitungan teoritis penyemprotan dengan overlap 38% dan 54% memiliki lebar penyemprotan 142.5 cm dan 127.5 cm. Nilai lebar penyemprotan tersebut telah mendekati lebar penyemprotan yang direncanakan sebesar 136 cm. Analisa penyemprotan secara overlap untuk menghasilkan lebar penyemprotan 136 dengan interpolasi diperoleh nilai overlap yang harus dilakukan sebesar 45% dengan jarak antar nozzle 53.5 cm. Berdasarkan hasil pengamatan dari berbagai nilai overlaping, maka bentuk persamaan linier penentuan lebar penyemprotan terhadap persentase overlaping pada tinggi penyemprotan 25 cm adalah : y = -0.937x + 178.1 ( 35 ) keterangan : x = persentase overlaping y = lebar penyemprotan (cm) Persamaan linier penentuan lebar penyemprotan terhadap jarak antar nozzle pada tinggi penyemprotan 25 cm adalah : y = x + 82.5 ( 36 ) keterangan : x = jarak antar nozzle y = lebar penyemprotan (cm) Berdasarkan persamaan (35) dan persamaan (36) dapat disimpulkan bahwa lebar penyemprotan pada penyemprotan bertumpuk berbanding lurus dengan jarak antar nozzle dan berbanding terbalik dengan persentase overlaping. 162 Uji coba terhadap sistem konsultasi dengan kasus lahan dengan luas 200 ha dan lama pengerjaan tersedia 2 hari dan volume semprot 150 l/ha menunjukkan keluaran berupa saran penggunaan 5 unit sistem dengan kecepatan maju 6 km/jam dan jenis nozzle yang harus digunakan adalah nozzle berwarna biru dengan kode 110-UF-03 yang mampu melewatkan herbisida dengan debit semprotan 0.78 l/menit. Tahapan perhitungan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Penentuan kecepatan maju penyemprot Hasil analisa komputasi paralel menunjukkan bahwa hasil speedup menyebabkan kecepatan pengerjaan satu buah pekerjaan menjadi 0.204 detik atau setara dengan kecepatan maju maksimum 18 km/jam pada kondisi dimana jumlah pekerjaan sangat banyak. Apabila kecepatan maju hanya 6 km/jam, berarti sistem mampu mengolah 3 citra sekaligus dalam waktu 0.612 detik. Pengolahan jumlah citra yang lebih banyak sekaligus akan meningkatkan lapangan dari peralatan. 2. Penentuan lebar kerja Berdasarkan kemampuan pengolahan 3 citra sekaligus dan lebar tiap-tiap citra adalah 1.36 m, maka diperoleh lebar kerja sebesar 4.08 m. 3. Penentuan kapasitas lapang yang dibutuhkan Kapasitas lapang yang dibutuhkan adalah sebebsar 200 ha / (2x8) jam yaitu 12.5 ha/jam. 4. Penentuan jumlah unit yang harus dipekerjakan. Berdasarkan kapasitas lapangan yang diinginkan, maka jumlah unit yang harus dipekerjakan pada kasus ini dapat dihitung dengan formula sebagai berikut : J = 10 x ( K / (V x L) ) ( 37 ) keterangan : J = Jumlah unit penyemprot K = Kapasitas lapangan (12.5 ha/jam) V = Kecepatan maju (6 km/jam) L = Lebar kerja tiap unit (1.36 m) Berdasarkan formulasi tersebut di atas maka jumlah unit yang harus dipekerjakan adalah 5 unit. 163 5. Penentuan debit semprotan Nilai debit penyemprotan dilakukan dengan cara memasukkan nilai volume semprot, kecepatan maju dan jarak antar nozzle (0.535 m) ke dalam rumus 5 akan diperoleh debit semprot sebesar 0.803 l/menit. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menerapkan hasil penelitian ke dalam bentuk peralatan yang siap digunakan di lapangan adalah : - Menggunakan komputer yang memiliki multi prosesor (multi core) - Memasangkan 6 nozzle pada sistem penyemprot, dimana tiap-tiap 2 nozzle bekerja berdasarkan nilai tertentu yang mewakili keragaman serangan gulma yang diterima oleh aktuator. - Mempergunakan kamera digital yang memiliki kemampuan penangkapan citra yang baik pada kondisi pencahayaan lapangan dan kemampuan penangkapan citra yang lebih lebar. - Memperbaiki mekanisme dudukan kamera sedemikian rupa sehingga pengaruh getaran pada gerakan maju peralatan tidak berpengaruh besar pada hasil tangkapan citra. - Apabila penyemprot akan menggunakan sistem gendong (bukan sistem tarik), maka diperlukan modifikasi pada sistem pencacah jarak tempuh. Penempatan sensor pencacah jarak tempuh dapat dipindah pada roda depan traktor. 164 10.SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Penelitian yang dilakukan secara garis besar menghasilkan 3 output, yaitu : - Perangkat lunak utama sistem supervisori yang dilengkapi dengan beberapa perangkat lunak tambahan yang merepresentasikan agen komputasi cerdas. - Perangkat penyemprot untuk aplikasi secara presisi yang mengatur dosis penyemprotan dengan basis modulus lebar pulsa sebagai pengatur putaran motor listrik penggerak pompa air. - Metode komputasi cerdas pendeteksi kepadatan serangan gulma dan penentuan jenis tanaman. 2. Sistem kontrol supervisori telah berhasil dibuat dengan fungsi memberikan rekomendasi untuk kegiatan penyemprotan dengan mempertimbangkan faktor kondisi cuaca dan tingkat serangan gulma. Sistem kontrol supervisori untuk pengendalian gulma dengan metode perlakuan presisi melibatkan beberapa agen dalam bentuk komputasi cerdas. Sistem multi tersebut terdiri dari : agen penangkap citra, agen filterisasi, agen pendeteksi tanaman, agen penentu kepadatan serangan, dan agen penentu dosis aplikasi. 3. Penggunaan kamera digital dan kamera CCD diikuti dengan metode filterisasi yang sesuai untuk masing-masing perangkat mampu membedakan obyek tanaman dengan latar belakangnya. Pada citra hasil tangkapan kamera digital nilai Hue 46.5o sebagai parameter filterisasi mampu membedakan komponen |