Contoh PERCAKAPAN ibu dan anak tentang corona

Reporter : Ahmad Baiquni

Mereka tak bisa memeluk sang ibu.

Dream - Kejadian menyedihkan seputar pasien positif corona dan keluarganya terjadi lagi. Kali ini menimpa keenam kakak-beradik Rutter. Sang ibu, Sundee Rutter, 42 tahun, yang baru saja selamat dari kanker payudara dinyatakan meninggal akibat Covid-19 pada 16 Maret 2020.

Elijah Ross-Rutter, anak tertua dari Sundee Rutter mengatakan saat terakhir ia melihat sang ibu di ruang perawatan hanya bisa dilakukan melalui jendela kaca kecil.

Naik Jadi 8 Kasus, Ini Fakta Subvarian Baru Omicron BA.4 dan BA.5 yang Sudah Masuk ke Indonesia

Elijah dan adik-adiknya harus mengucapkan salam perpisahan kepada ibunya melalui walkie-talkie tanpa bisa memeluk sang ibu.

" Saya bilang saya mencintai dia... Dia tidak perlu khawatir terhadap kami," ungkap Elijah, dikutip dari Buzzfeednews.

Sundee Rutter baru saja dinyatakaan selamat dari kanker payudara. Tetapi, pada 16 Maret 2020 dinyatakan meninggal dunia akibat Covid-19.

Keenam anaknya dan adik perempuan serta ibunya harus mengucapkan selamat tinggal melalui walkie-talkie karena mengetahui risiko tinggi virus Covid-19.

Keluarga Rutter (Buzzfeednews)

OLEH ASMA NADIA 

"Saya tidak izinkan anak ke sekolah." Begitu ujar Ronal, sopir kami menanggapi rencana sekolah tatap muka yang secara serentak segera diselenggarakan seluruh institusi pendidikan.

Benarkah ini berarti berakhirnya momen pendidikan secara daring yang diberlakukan seluruh jenjang pendidikan, sejak pandemi menyentuh Tanah Air?

“Kenapa?” Satu kata itu tetap saya lontarkan, walaupun sudah menduga jawabannya, sekadar memastikan. Menurutnya, pelonjakan angka positif Covid-19 saat ini terjadi di mana-mana.

Lelaki paruh baya itu lalu menyebutkan nama kelurahan, kecamatan, dan jumlah pertumbuhan angka penderita covid di berbagai wilayah.

“Tahu dari mana, Pak? Internet, kah?"

Terus terang saya belum mendengar informasi resmi tiap daerah secara mendetail dari pihak berwenang, hanya kabar beberapa  saja, selain keramaian di media sosial.

Kalimat terakhir membuat ibu pengajar tersebut terdiam. Tentu saja tidak ada yang bisa menjamin, tidak di situasi saat ini. 

Sambil mengemudi lelaki itu menjawab, "Dari teman di dinas kesehatan, di berita belum ada. Silakan cek dinas kesehatan dan rumah sakit di sekitar. Jumlah pasien meningkat pesat."

Benar, banyak berita mengungkap peningkatan kasus di daerah tujuan mudik, selain  kabar daerah yang diisolasi. Namun info  detail di tiap kecamatan di daerah saya, belum ramai diberitakan, wajar jika banyak yang tak tahu. Atau saya yang terlewat tentang ini?

“Guru anak saya juga sempat meminta penjelasan, alasan saya melarang.” Barangkali, dari pihak sekolah, termasuk para  guru  sangat yakin, situasi di daerahnya baik-baik saja.

Sang ayah lalu memaparkan informasi dan data yang diterimanya, sebelum mengakhiri penjelasan dengan sebuah tantangan,  "Lagi pula, ibu berani jamin, anak saya tidak bakal tertular  di sekolah?”

Kalimat terakhir membuat ibu pengajar tersebut terdiam. Tentu saja tidak ada yang bisa menjamin, tidak di situasi saat ini. Walau melalui dialog panjang, akhirnya keinginan sang ayah diterima.

Sebenarnya  keberatan ini bukan hanya milik ibu guru,  juga muncul dari ananda. Remaja putri itu  sudah tidak sabar hendak ke sekolah,  sebab  ini tahun pertamanya di bangku  SMA. Ia khawatir jika tidak  mengikuti pelajaran secara tatap muka, ia tidak akan naik kelas.

Bagaimana jika seisi kelas semua hadir dan hanya dia sendiri yang absen? Namun ayahnya terus meyakinkan. Bahkan siap menerima konsekuensinya. “Lebih baik kamu tidak naik kelas, Nak daripada terkena Covid.”

Pendidikan dan proses belajar dalam situasi darurat ini, harusnya bisa dilakukan di mana saja. 

Pendidikan dan proses belajar dalam situasi darurat ini, harusnya bisa dilakukan di mana saja. Sementara keluar rumah, berada dalam kelas walaupun menurut penjelasan sekolah hanya selama empat jam sehari, dan jumlah siswa dikurangi, tetap berisiko.

“Selain nyawa taruhannya, kita tidak bakal sanggup membayar biaya pengobatan." Ia pernah mendengar obrolan antara satu ulama terkemuka yang mewawancarai seorang dokter. Konon biaya perawatan karena Covid-19 bisa sampai Rp 250 juta!

Uang dari mana? Mencari nafkah sehari-hari membawa taksi daring pun sudah sulit, sebab banyak kantor menerapkan WFH, bagaimana jika ada anggota keluarga terpapar Covid dan isoman saja tidak cukup? Walau berat, lambat laun anak bungsunya itu mengerti.

Biaya barangkali jika dipaksakan, setiap ayah pasti akan berjuang habis-habisan tetapi membayangkan nyawa yang hilang, orang tua mana yang sanggup menempuh risiko ini?

Setelah mengecek ke sekolah, ternyata bukan cuma putrinya yang absen.  Dari  15 siswa per kelas, ternyata hanya empat orang  yang menyetujui memenuhi belajar kembali ke sekolah.

Sebagian orang tua barangkali berpendapat, satu kelas memang terlihat sedikit, hanya  10 atau 15 orang, tapi jika menghitung  ada 20 kelas lebih dalam satu angkatan, berarti  ratusan siswa memenuhi sekolah.

Setelah semua pengorbanan besar itu, lantas bagaimana jika dia ke sekolah lalu terpapar korona?

Percakapan antara ayah dan anaknya, di atas menurut saya menarik. Mungkin mewakili sebagian  ayah atau orang tua yang berpendapat sama. Setidaknya beliau tidak sendiri, sejumlah kawan juga menceritakan obrolan dengan ananda.

Salah satunya, seorang produser yang sedang bekerja sama dengan saya untuk pembuatan  sekuel sebuah film.

Jika jadi, insya Allah menjadi film kedua belas atau ketiga belas, Asma Nadia, sebab pada saat yang sama buku saya yang diterbitkan  Republika, berjudul OTW Nikah, juga dalam proses akhir penulisan skenario.

Berbeda dengan dialog ayah anak sebelumnya, kali ini keberatan justru muncul dari ananda, saat ditanyakan apakah akan mengikuti belajar tatap muka yang rencana dimulai Juli ini. Sang anak menolak keras.

Menurutnya dia berkorban sejak pandemi terjadi, hanya diam di rumah. Tidak ada kumpul-kumpul, pesta ulang tahun, dan lain-lain. Setelah semua pengorbanan besar itu, lantas bagaimana jika dia ke sekolah lalu terpapar korona? “Sia-sia dong aku jaga diri setahun lebih, Pa?”

Akhirnya sang ayah mengalah, malah terbersit kagum akan sikap kritis anaknya. Beragam memang reaksi banyak pihak sejak pertama rencana belajar tatap muka awal Juli ini ditetapkan. Cukup banyak yang berkeberatan.

Barangkali mengingat pandemi masih berlangsung, belum mereda meski jumlah pasien sembuh bertumbuh, namun bila dibandingkan kenaikan kasus setiap harinya, jujur angkanya masih mengerikan.

Anda sendiri termasuk yang mana kah? Saya pribadi percaya, sekolah  tatap muka seharusnya tak ditentukan berdasarkan jadwal, melainkan tetap mencermati situasi dan kondisi yang ada. 

Didik Suhardi, Ph.D./Kemdkbud

Didik Suhardi, Ph.D.
Direktur PSMP Kemdiknas (2008–2015) dan Sekretaris Jenderal Kemdikbud (2015–2019)

Suyanto.id–Dalam situasi serba tidak pasti seperti sekarang, tidak ada satu pun yang bisa memastikan kapan Covid-19 di Indonesia akan berakhir. Ada yang mengatakan September, bahkan ada yang memperkirakan bulan Desember 2020. Poinnya agak sulit dianalisis karena sangat tergantung dari perilaku masyarakat dan kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah ini.

Para pejabat, pengelola pendidikan, pemerhati pendidikan, dan orang tua pun bingung. Anak-anak (para siswa) ini kapan akan masuk sekolah? Kita berdoa masyarakat Indonesia semakin disiplin mengikuti protokol kesehatan sehingga lebih mudah memperkirakan kapan Covid-19 akan selesai.

Dalam kesempatan ini saya sampaikan dialog imajiner anak-anak para siswa (AS) dan Covid-19 (Vid-19).

AS: “Vid! Kok kamu jahat sekali, sih, sama aku? Sekarang aku nggak boleh ke mana-mana sama orang tuaku. Main ke tempat temanku, nggak boleh, ke luar rumah saja, nggak boleh, apalagi ke sekolah, sama sekali nggak boleh. Aku jadi bosan, gara-gara kamu, nich, Vid.

Vid-19: “Kamu tahu nggak, bumi ini sudah capek, polusi udara sudah sangat mengkhawatirkan, negara-negara besar memerangi negara-negara kecil karena mencari minyak untuk negaranya, kehancuran alam juga sudah luar biasa karena kerakusan manusia, belum lagi kerusakan moral karena percaturan politik. Itulah salah satu alasan kenapa aku datang ke bumi.”

AS: “Tapi aku jadi nggak bisa sekolah karena takut kamu menyerang aku dan teman-temanku, Vid. Belajar di rumah aku sudah bosan, ibuku lebih galak dari bapak/ibu guru, kan ibuku yang diurus banyak banget. Aku juga nggak bisa ngobrol sama teman-temanku. Aku sudah sangat kangen dengan bapak/ibu guruku. Mereka juga kangen sama aku, Vid!”

Vid-19: “Aku sangat jahat kalau kamu tidak hidup bersih, displin, pakai masker, dan makan-makanan yang sehat. Jadi, kamu nggak usah takut sama aku, kalau kamu biasa hidup sehat. Aku paling takut sama sabun. Jadi, kamu biasakan saja mencuci tangan pakai sabun. Pasti aku tidak akan mendekati kamu dan kamu bisa tetap belajar di sekolahmu.”

AS: “Jadi, kapan kamu kembali ke alammu dan meninggalkan Indonesia, Vid? Aku mau bulan Juli ini bisa sekolah. Aku sudah pengin ketemu teman-temanku di sekolah. Aku sudah pengin berdiskusi kelompok di kelas, ngobrol di kantin, dan berolahraga bersama teman-teman di lapangan. Aku ingin segera bebas dari kamu, Vid.”

Baca juga:   Sekolah Daring dan Gerbang Awal Disrupsi Pendidikan

Vid-19: “Bisa, kamu sekolah bulan Juli, asal kamu disiplin. Mulai sekarang, ajak orang tuamu dan tetanggamu untuk mengikuti protokol kesehatan, bergotong-royong menjaga lingkungan tetap bersih dan sehat. Sekolahmu juga harus siap-siap menerapkan protokol kesehatan agar aku tidak berani datang karena sekolahmu bersih dan sehat.”

“Aku segera kembali ke duniaku dan menghilang dari bumi kalau manusia sudah hidup bersih dan sehat, manusia sudah tidak serakah, bumi sudah bersih, udara sudah bersih, manusia makin sadar menjaga lingkungan, manusia makin banyak bersyukur dan menjaga kedamaian. Semuanya hidup berdampingan dan saling menghormati.”

AS: “Sebetulnya kamu itu siapa sih, Vid? Apakah kamu termasuk makhluk yang diciptakan Allah? Apakah karena banyak manusia yang serakah sehingga kamu diturunkan di bumi, Vid? Apakah kamu akan hilang dengan sendirinya setelah semua manusia hidup bersih dan sehat, mengikuti protokol kesehatan?

Vid-19: “Aku salah satu makhluk ciptaan Tuhan. Mungkin salah satu tujuan diturunkan ke bumi agar bumi ini istirahat sejenak, udara jadi lebih bersih karena aktivitas manusia berkurang, cadangan minyak bumi jadi melimpah karena transportasi dan industri istirahat, dan yang paling penting peringatan kepada manusia agar tidak serakah, lebih bersyukur dengan pemberian Tuhan, dan damai hidup di bumi ciptaan Tuhan yang tidak pernah ada kontrak atau sewanya.”

AS: “Aku berani ke sekolah kalau kamu benar-benar sudah tidak mengganggu kami, Vid. Aku janji akan disiplin mengikuti aturan pemerintah dan aturan sekolahku agar mengikuti protokol kesehatan. Aku janji makan makanan yang sehat dan bergizi untuk menjaga tubuhku agar tidak sakit. Kamu jangan ganggu aku lagi dan kamu segera pulang ke duniamu ya, Vid.”

Dialog imajiner ini sekaligus menjadi harapan bagi anak-anak untuk bisa segera sekolah dengan normal, membangun komunikasi, bersosialisasi, berinteraksi untuk mengoptimalkan kemampuan demi bekal yang cukup di kemudian hari. Sekolah bukan sekadar belajar literasi, numerasi, dan yang lebih penting adalah mempersiapkan mereka untuk menjadi generasi Indonesia yang berkarakter.

Semoga dengan diskusi imajiner tadi kita bisa memahami betapa anak-anak sudah ingin menghirup udara segar dan kembali bersekolah. Oleh karena itu, mari kita bantu dengan menjaga disiplin, hidup bersih dan sehat, menata hidup baru dengan kenormalan baru. Dengan cara ini Corona akan hilang dan anak-anak bisa masuk sekolah dengan senang dan riang. (*)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA