Berikut bukan paket UU politik yang dianggap sebagai penyebab terjadinya ketidakadilan adalah

Runtuhnya Pemerintahan Orde Baru
Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto berkuasa di Indonesia selama 32 tahun
mengalami keruntuhan pada 21 Mei 1998. Keruntuhan pemerintahan Orde Baru diawali
dengan terjadinya krisis multidimensional yang melanda Indonesia sebelum jatuhnya
Soeharto.
1. Terjadinya Krisis Multidimensional
a.

Krisis politik

Kemenangan mutlak Golongan Karya dalam pemilu pada tahun 1997 yang dirasakan
penuh dengan kecurangan merupakan salah satu awal dari munculnya krisis politik di
Indonesia. Golongan Karya yang secara nyata dan jelas didukung oleh pemerintah baik
secara finansial maupun secara moril memperoleh suara mayoritas. Kebijaksanaan
pemerintah pun juga lebih banyak menguntungkan Golongan Karya, sehingga menjadi single
majority (mayoritas tunggal).Kemenangan Golongan Karya yang dinilai oleh para tokoh
pengamat politik di Indonesia sebagai pemilu yang tidak jujur dan adil, karena adanya
intimidasi dan ancaman bagi pemilih, terutama di daerah pedesaan. Kemenangan Golongan
Karya dalam pemilu tahun 1997 tersebut diikuti oleh kebijaksanaan mendukung kembali
kepada Jenderal Purnawirawan Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golongan Karya
untuk dicalonkan kembali sebagai presiden pada sidang umum MPR tahun 1998. Hasil


sidang umum MPR 1998 akhlmya mendukung Jenderal Purnawirawan Soeharto untuk
menjadi presiden untuk periode tahun 1998 sampai tahun 2003.
Penerapan demokrasi Pancasila yang berjalan selama Orde Baru ternyata membawa
ketidakpuasan bagi rakyat Indonesia. Karena aspirasi rakyat tidak dapat tersalurkan dan
kurang mendapat perhatian oleh pemerintah. Penerapan politik lebih berpihak kepada
golongan tertentu saja, terutama bagi para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 sudah
disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya di tangan
MPR. Akan tetapi dalam pelaksanaannya anggota MPR yang seharusnya dipilih oleh rakyat
melalui pemilu, ternyata sebagian besar dari anggotanya telah diangkat dengan sistem
nepotisme. Akibatnya kinerja MPR tidak akan memperjuangkan rakyat, akan tetapi lebih
mementingkan kepentingan pribadi atau golongan saja.
Melihat kehidupan politik yang seperti itu maka muncullah gerakan reformasi.
Gerakan reformasi ini dimotori oleh kalangan akademisi dari berbagai universitas yang
didukung oleh mahasiswa dan para dosen. Tuntutan reformasi dalam bidang politik menuntut
adanya pergantian presiden, reshufle kabinet, Sidang : Istimewa MPR dan pemilu secepatnya.
Gerakan reformasi menuntut dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk
keanggotaan DPR dan MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.

Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket
UU Politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, antara lain:


1) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
2) UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/MPR
3) UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
4) UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
5) UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
b.

Berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme
Pada masa pemerintahan Orde Baru, adanya gejala perkembangan korupsi, kolusi,
dan nepotisme. Hal Ini disebabkan kebijakan pemerintah berpeluang untuk KKN. Misalnya
dalam kebijakan BPPT, mobil nasional yang bernuansa politik dan kekeluargaan yang
menuju pada korupsi. Hal ini jelas merugikan keuangan negara, bahkan dalam pengadaan
mobil nasional belum sesuai dengan aturan ITO, akibatnya Indonesia dianggap melanggar
aturan perdagangan dunia di bidang automotif. Dalam penegakan hukum kolusi
menyebabkan pemberlakuan istimewa terhadap kerabat dan kawan baik dalam jabatan atau
fasilitas yang memicu lahirnya reformasi di Indonesia.
c.

Krisis ekonomi
Pada bulan Juli tahun 1997 di kawasan Asia Tenggara terjadi krisis moneter yang


pengaruhnya sampai ke Indonesia. Krisis ekonoml dl Indonesia diawali dari lemahnya nilai
tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997 nilai
tukar rupiah turun dari Rp. 2.575,00 menjadi Rp. 5.000,00 pada bulan Deaember. Dalam
beberapa bulan bahkan rupiah mengalami penurunan nilai tukar terhadap dolar yaitu berkisar
hlngga Rp. 12.000,00 per dolar
Seiring dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, pertumbuhan
ekonomi mengalami kelesuan. Para nasabah bank banyak yang menarik dananya dari bankbank nasional lalu menukarnya dengan dolar. Sedangkan bank nasional tidak dapat berbuat
banyak untuk mencegah merosotnya nilai tukar rupiah sementara bank-bank nasional
mengalami kerugian dan kesulitan dana.
Untuk membantu mengatasi krisis pemerlntah mengambil langkah dengan meminta
bantuan kepada bantuan Dana Moneter Internaslonal (International Monetary Fund/IMF).
Atas usulan IMF, maka pada akhir tahun 1.997 pemerlntah mengadakan likuidasi terhadap 16
bank swasta. Masyarakat mengalaml kepanikan, aklbatnya masyarakat menarik dana-dana
yang maslh terslsa dalam bank-bank swasta nasional lalu menyimpannya dl bank-bank asing.
Hal Ini mengakibatkan bank-bank swasta nasional semakin terpuruk.
Dalam mengatasi masalah krisis perbankan, pemerintah melakukan program rekapitulasi
perbankan dengan mendirikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas
untuk menyembuhkan bank-bank yang sakit agar dapat beroperasl kembali. Pemerlntah
memberikan anggara sebesar 670 triliun rupiah. Tetapi usaha pemerlntah tersebut tidak
berhasil untuk mengatasi masalah perbankan, karena pihak-pihak swasta tidak dapat


mengembalikan utangnya. Beban utang tersebut akhirnya menjadi tanggungan dari

pemerintah, yang dampaknya semakin menurunya kepercayaan dunia internaslonal Krisis
moneter tersebut akhirnya berdampak terhadap krisis ekonomi bagi bangsa Indonesia. Selain
krisis moneter juga adanya hutang luar negerl Indonesia yang sudah cukup tinggi yaitu
mencapai 65 miliar dolar Amerika dan utang swasta mencapai 78 miliar dolar Amerika.
Sedangkan hasil pembangunan selama Orde Baru tidak bisa mengimbangi jumlah hutang luar
negeri yang harus ditanggung.
Pada bulan Maret tahun 1998 terjadi krisis moneter kembali dimana nilai rupiah turun
mencapai Rp. 16. 000,00 per dolar Amerika -Serikat. Akibatnya hutang luar negeri Indonesia
semakin membekak dan kepercayaan dunia internaslonal semakin berkurang. Sedangkan
perdagangan luar negeri semakin lesu karena para pedagang luar negeri tidak percaya lagi
terhadap para importir Indonesia. Hampir semua negara tidak menerima letter of credit (L/C)
dari Indonesia.
d. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Pemerintah Orde Baru berencana menjadikan negara Republik Indonesia
sebagai .negara industri, namun tidak mempertimbangkan kenyataan perekonomian di tengah
masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan agraris dan tingkat pendidikannya masih
belum memadahi, sehingga sangat sulit untuk segera berubah menjadi masyarakat industri
yang hidupnya dinamis dan berpikiran maju. Rendahnya tingkat pendidikan dari sebagian


masyarakat sulit untuk bersaing dengan tenaga. kerja asing yang maju pendidikannya.
Pengaturan perekonomian di zaman Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem
perekonomian Pancasila, seperti yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 33, yang tercantum
dasar demokrasi ekonomi. Produksi dikerjakan oleh semua untuk kesejahteraan bersama
dalam masyarakat, sehingga perekonomian disusun atas asas bersama berdasar kekeluargaan
dan yang paling cocok adalah bentuk koperasi. Oleh karena itu cabang produksi yang
menguasai hajat orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Tetapi kenyataan yang be.rkembang pada masa Orde Baru adalah
ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh segelintlr orang-orang kaya atau para konglomerat
dengan berbagai bentuk adanya monopoli, oligopoli, sehingga yang sejahtera hanya segelintir
orang dari jutaan rakyat Indonesia,
e. Krisis hukum
Praktik hukum pada masa Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Hal Ini terlihat
pada kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada Pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman
memiliki kekuasaan yang merdeka terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif). Namun
pada kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena
itu, pengadllan sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, karena hakim-hakim harus tunduk
pada kehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas
tindakan dan kebijakan pemerintah, jika terjadi peradilan yang menyangkut diri penguasa
atau para pejabat hukum sering direkayasa dalam pelaksanaan peradilannya untuk


pembenarannya.

Kondisi yang demikian sangat memprihatinkan maka reformasi hukum perlu segera
dilaksanakan dalam mendudukkan masalah-masalah hukum pada posisi atau kedudukan yang
sebenamya. Reformasi hukum hendaknya dipercepat untuk menyongsong era globalisasi
yang memerlukan kesiapan dalam bentuk praktik hukum di tengah-tengah masyarakat
Indonesia yang menuju masyarakat yang adil dan merata. Untuk menyongsong hal tersebut
maka perlu dipersiapkan aparatur pembentuk perangkat hukum yang bersih dan berwibawa
agar praktik hukum di tengah masyarakat memperoleh keadilan yang sesungguhnya.
f. Krisis kepercayaan
Pada masa pemerintahan Orde Bam terjadi praktik KKN di segala bidang. Akibatnya
timbul ketidakadilan, kesenjangan sosial orang-orang kaya, para konglomerat hidup
berkelimpahan, rakyat hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan, rusaknya sistem politik
dan sistem ekonomi.
Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah menambah keterpurukan
bangsa serta mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden
Soeharto. Aksi mahasiswa dilakukan agar pemerintah memperbaiki situasi yang semakin
tidak menentu. Untuk memperbaiki situasi maka awal Maret 1998 presiden melantik Kabinet
Pembangunan VII, namun tidak juga mengalami perubahan yang berarti. Mahasiswa
melakukan aksi keprihatinan menuntut turunnya harga sembako, dihapuskan korupsi, kolusi


dan nepotisme dan menuntut turunnya Soeharto dari presiden. Demonstrasi yang dilakukan
mahasiswa semakin gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada
tanggal 4 Mei 1998.
Pada tanggal 12 Mei 1998 terjadi tragedi Trisakti. yakni di kala mahasiswa dari
Universitas Trisakti berdemonstrasi, semula dengan cara damai namun berubah menjadi aksi
kekerasan, akibatnya empat orang mahasiswa tertembak, yakni Elang Mulia Lesmana, Heri
Hertanto, Hendriawan dan Hafidhin Royan. Tidak sedikit para demonstran yang mengalami
luka ringan dan luka parah akibat bentrokan itu.
Di Jakarta, Solo, dan kota-kota lain pada tanggal 13 dan 14 Mei terjadi kerusuhan
yaitu tindakan anarkis dan penjarahan serta pembakaran terhadap toko-toko dan kendaraan
terutama milik keturunan Cina, bahkan banyak mayat yang telah terbakar ditemukan di pusatpusat pertokoan. Keadaan tersebut berakibat adanya rasa cemas dari orang-orang yang hidup
di perkotaan.Ketika peristiwa Mei terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo (Mesir)
dalam rangka menghadiri KTT Non-Blok ke-15. Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden
Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan masyarakat agar ia mengundurkan diri
semakin marak.Keadaan yang terjadi pada saat itu sangat memprihatinkan juga bagi rakyat di
Yogyakarta, maka mereka mengadakan pasowanan ageng di alun-alun dan mendengarkan
maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono X yang menganjurkan untuk tetap menggalang
persatuan dan kesatuan bangsa.Untuk mengantisipasi keadaan pada waktu itu Presiden
Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998 berupaya memperbaiki program Kabinet Pembangunan
VII dengan melahirkan kabinet Reformasi dan mengumumkan pembentukan Dewan


Reformasi. Langkah yang dilakukan bertujuan memperbaiki kondisi pemerintahan, namun
kondisi negara tidak segera membaik.

Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 10.00 WIB Presiden Soeharto menyatakan
mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan jabatan Presiden
kepada Wakil Presiden RI, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah
Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru.