Berapa lama pandemi flu spanyol berlangsung

Sosialisasi Pentingnya Pemahaman Literasi Mengenai Flu Spanyol 1918-1920Sumber: Dokumentasi Pribadi

Karanganyar (24/1) – KKN Undip Tim I Tahun 2021/2022 yang sedang berlangsung dengan mengusung tema “Pemberdayaan Masyarakat Menuju Pasca Pandemi Covid-19 Berbasis SDGs”. Penulis, selaku peserta KKN melakukan pengabdian di kampung sendiri yaitu lingkungan Kelurahan Kaling. Kelurahan Kaling merupakan sebuah wilayah tingkatan desa yang berada di cakupan wilayah Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. Kelurahan Kaling memiliki 7 buah dusun yaitu Celengan, Getasan, Kaling, Cabeyan, Jembangan, Dukuh dan Geneng. Kelurahan Kaling terdiri 9 RW dan 45 RT. Kelurahan Kaling berbatasan dengan Desa Macanan di sebelah utara, Desa Pandeyan di sebelah selatan, Desa Brujul di sebelah barat, dan Desa Wonolopo di sebelah timur. Mayoritas penduduk pada Kelurahan Kaling adalah bekerja sebagai petani/pekebun dan buruh tani. Potensi perekonomian yang terdapat pada Kelurahan Kaling adalah lahan pertanian. Lahan pertanian tersebut mayoritas digunakan untuk menanam padi dan tebu.

Wabah atau pandemi Covid-19 hingga kini terus merajalela di seluruh negara di dunia dengan mutasi varian-varian baru Covid-19 seperti Alpha, Beta, Gamma, Delta, Zeta, Epsilon, Eta, Theta, Lota, dan Kappa yang memiliki resiko penularan tinggi, risiko infeksi ulang, serta Varian Omicron membawa 10 mutasi Virus Corona. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), Virus Corona adalah keluarga besar virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Pada manusia virus corona diketahui menyebabkan infeksi pernafasan mulai dari flu biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti MERS dan SARS. Virus corona jenis baru yang ditemukan saat ini adalah Covid-19. Virus ini termasuk penyakit menular yang ditemukan pertama kali di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Desember 2019. Setelah penyebarannya yang begitu masif di berbagai belahan negara di dunia pada tanggal 11 Maret 2020 WHO resmi menetapkan Covid-19 sebagai pandemi.

Salah satu negara terdampak Covid-19 adalah Indonesia dimana Indonesia sendiri mengkonfirmasi kasus positif Covid-19 pertama kali pada 2 Maret 2020. Untuk mencegah peyebaran Covid-19 pemerintah menetapkan Covid-19 sebagai darurat bencana nasional wabah penyakit akibat virus corona melalui SK  No. 9.A Tahun 2020 yang diterbikan oleh BNPB. Untuk menindaklanjuti SK tersebut, pemerintah mengadakan program physical distancing sebagai langkah untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19 di Indonesia. Dengan ditetapkannya Covid-19 sebagai bencana nasional dan anjuran physical distancing oleh pemerintah, menyebabkan berbagai sektor kehidupan masyarakat menjadi terganggu, misalnya dalam bidang ekonomi, sosial, hingga bidang pendidikan.

Artikel ini membahas mengenai sejarah pandemi Flu Spanyol tahun 1918-1920. Flu Spanyol atau biasa dikenal dengan sebutan “Mother of All Pandemic”. Penyakit ini adalah pandemi influenza kategori 5 yang disebabkan oleh virus Influenza tipe A subtipe H1N1. Dapat dikatakan bahwa Flu Spanyol merupakan wabah paling mematikan sepanjang sejarah dunia karena menginfeksi sekitar 500 juta orang di seluruh dunia dengan angka kematiannya mencapai 50 juta orang. Wabah ini muncul pertama kali di benua Eropa dan telah menyebar ke seluruh dunia dari tahun 1918-1919. Kendati namanya Flu Spanyol, akan tetapi wabah flu tersebut bukan berasal dari Spanyol. Media Spanyol pada masa itu, sangat terbuka dengan virus ini sehingga wabah tersebut dikenal sebagai Flu Spanyol.

Apabila dipahami dengan cermat pandemi Covid-19 yang sedang melanda Indonesia, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Flu Spanyol pada tahun 1918. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu juga memberikan himbauan kepada masyarakat supaya mematuhi protokol kesehatan, seperti memakai masker, tetap tinggal di rumah dan menjaga kebersihan layaknya yang dianjurkan oleh organisasi kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO) guna menangani pandemi Covid-19 saat ini. Dalam menyampaikan himbauan mengenai protokol kesehatan pada tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai upaya seperti melalui kampanye mobil kesehatan yang dirasa efektif untuk dilakukan mengingat masih banyak keterbatasan pada waktu itu. Pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan buku literasi yang berjudul “Lelara Influenza” (Penyakit Influenza). Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai bagaimana influenza menurut gejala dan penanganannya serta beberapa kalimatnya juga menekankan tentang himbauan supaya manusia tidak bertindak ceroboh.

Akan tetapi, masih banyak masyarakat yang belum memahami peristiwa Flu Spanyol 1918 silam dan masih banyak yang belum mematuhi protokol kesehatan seperti tidak memakai masker saat berpergian, malas mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, sering berkerumun dan tidak menjaga jarak. Adanya kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang masih kurang terkait bahaya Covid- 19 berdampak pada perilaku masyarakat dalam pencegahan Covid-19. Banyak masyarakat yang menganggap remeh Covid-19, sehingga protokol kesehatan diabaikan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri terkait bagaimana menyatukan pemikirian masyarakat terkait adanya Covid-19 dan bahayanya, sehingga protokol kesehatan dapat dijalankan dengan baik. Sejalan dengan hal tersebut, Fauzan Syahru Ramadhan, mahasiswa Universitas Diponegoro berupaya mengampanyekan Pentingnya Pemahaman Literasi Mengenai Flu Spanyol 1918-1920 guna memberikan pencerdasan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan perubahan perilaku hidup masyarakat pada era new normal Pandemi Covid-19. Dalam hal ini, masyarakat membutuhkan pemahaman serta literasi mengenai bahaya pandemi. Oleh karena itu, melalui program Pemahaman Literasi Mengenai Flu Spanyol 1918-1920 akan menghasilkan produk berupa booklet dan poster untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan pentingnya membaca literasi tentang pandemi.

Sosialisasi dilakukan melalui tatap muka dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Sosialisasi tersebut menargetkan pada anggota Karang Taruna Gemilang Dusun Celengan. Kegiatan sosialisasi ini dilaksanakan pada pukul 16.00 WIB hari Senin, 24 Januari 2022. Kegiatan ini bertempat di Wisma Kamulyan Dusun Celengan. Mereka menyambut dengan baik kedatangan mahasiswa dan mendengarkan dengan antusias. Melalui program Pemahaman Literasi Mengenai Flu Spanyol 1918-1920 diharapkan dapat memetik pelajaran bahwa belajar dari literasi masa lalu mengenai Flu Spanyol 1918-1920 menjadi penting untuk menangani masalah yang tidak jauh berbeda pada masa sekarang seperti era new normal pandemi Covid-19.

Testimoni dengan anggota Karang Taruna GemilangSumber: Dokumentasi Pribadi
Booklet Pentingnya Pemahaman Literasi Mengenai Flu Spanyol 1918-1920Sumber: Dokumentasi Pribadi
Poster Pentingnya Pemahaman Literasi Mengenai Flu Spanyol 1918-1920Sumber: Dokumentasi Pribadi

Penulis: Fauzan Syahru Ramadhan (Ilmu Sejarah 2018)

Dosen Pembimbing Lapangan : Ir. Sulistyo, M.T., Ph.D.

Lokasi KKN: Desa Kaling, Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar

Jakarta, CNBC Indonesia - Fakta menunjukkan ternyata bukan pertama kalinya para pemimpin dunia berjuang dengan keputusan berat: apakah tetap membuka sekolah saat pandemi atau meliburkannya guna mencegah penularan lebih luas.

Hal itu pun terjadi selama pandemi influenza tahun 1918. Meskipun saat ini kondisi pandemi dan situasi global berbeda dengan 102 tahun yang lalu, tapi persoalan ini sama saja, tetap memanas.

CNN menulis satu artikel berkaitan dengan persoalan tersebut. Pandemi yang dikenal dengan flu Spanyol tersebut menewaskan sekitar 5 juta orang di seluruh dunia, termasuk 675.000 orang Amerika, sebelum pandemi tersebut berakhir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT


Namun ada yang menuliskan wabah flu Spanyol menewaskan 40-50 juta orang dalam 2 tahun, antara tahun 1918 dan 1920. Para peneliti dan sejarawan juga meyakini sepertiga penduduk dunia, yang saat itu berjumlah sekitar 1,8 miliar orang, terkena penyakit tersebut.

Bahkan hal ini diperkuat dengan riset jurnalis BBC World Service Fernando Duarte, yang menyebutkan flu Spanyol tercatat menewaskan lebih banyak orang dari pada Perang Dunia I. Perang Dunia I yakni perang global yang terpusat di Eropa, dimulai pada 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918. Saat itu sejarah menyebutkan lebih dari 9 juta prajurit gugur.

Di AS, menurut sejarawan yang dikutip CNN, saat pandemi flu Spanyol, sebagian besar kota memang menutup operasional sekolah mereka, sementara, tiga wilayah lainnya memilih untuk tetap membuka yakni New York, Chicago dan New Haven.

Keputusan pejabat kesehatan di kota-kota tersebut sebagian besar didasarkan pada hipotesis dari para pejabat kesehatan masyarakat yang menyatakan bahwa siswa lebih aman dan lebih baik di sekolah ketimbang di rumah.

Bagaimanapun, saat itu memang bertepatan dengan terjadinya puncak Era Progresif, sehingga ada penekanan soal kebersihan di sekolah dan lebih banyak perawat untuk setiap siswa.

Era Progresif terjadi di AS pada periode 1890-1920-an, periode di mana aktivisme sosial dan reformasi politik meluas di seluruh AS.

New York memiliki hampir 1 juta anak sekolah pada tahun 1918 dan sekitar 75% dari mereka tinggal di rumah petak, dalam kondisi yang padat, dan seringkali tidak sehat. Hal ini terungkap dari sebuah artikel di tahun 2010 di Public Health Reports, jurnal resmi US Surgeon General dan US Public Health Service.

"Untuk siswa yang berasal dari distrik rumah petak, sekolah [lebih baik], karena di sekolah bisa menawarkan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik di mana guru, perawat, dan dokter sudah berlatih - dan mendokumentasikan - pemeriksaan medis rutin yang menyeluruh," sebut artikel tersebut.

"Kota itu [tanpa menyebutkan nama kotanya] adalah salah satu yang paling parah dan paling awal terkena flu," kata Dr. Howard Markel, seorang sejarawan medis dan direktur Pusat Sejarah Kedokteran di Universitas Michigan. Dia adalah rekan dari penulis di artikel Public Health Reports, di tahun 2010 itu.

"[Anak-anak] meninggalkan rumah mereka yang seringkali tidak sehat menuju gedung sekolah yang besar, bersih, dan lapang, di mana selalu ada sistem pemeriksaan dan pemeriksaan yang diberlakukan," kata komisaris kesehatan New York pada saat itu, Dr. Royal S. Copeland, kepada New York Times, saat-saat setelah pandemi memuncak di sana.

"Siswa tidak diizinkan berkumpul di luar sekolah dan harus segera melapor kepada guru mereka", kata Copeland. Guru memeriksa siswa apakah ada tanda-tanda flu, dan siswa yang memiliki gejala pun langsung diisolasi.

Hal ini berbeda jika mereka, para siswa itu tetap berada di rumah tanpa pemeriksaan yang jelas.

Jika pelajar mengalami demam, seseorang dari departemen kesehatan akan membawa mereka pulang ke rumah, dan petugas kesehatan akan menilai apakah kondisinya sesuai untuk "isolasi dan perawatan," menurut laporan tersebut. Jika tidak, mereka akan dikirim langsung ke rumah sakit.

"Departemen kesehatan mewajibkan keluarga dari anak-anak yang pulih di rumah untuk memiliki dokter keluarga atau menggunakan layanan dokter kesehatan masyarakat tanpa biaya," kata artikel tersebut.

Alasan pemerintah di wilayah Chicago, kota terbesar di negara bagian AS, Illinois, untuk tetap membuka sekolah bagi 500.000 siswanya juga sama: sekolah tetap buka akan menjauhkan anak-anak dari jalanan dan jauh dari orang dewasa yang terinfeksi flu Spanyol.

Jika jarak sosial pun nanti membantu, itu akan menjadi lebih mudah. Tapi menurut pejabat kesehatan masyarakat, adanya fakta bahwa ketidakhadiran di sekolah melonjak selama pandemi tahun 1918, mungkin karena ada kekhawatiran adanya "fluphobia" yang membuat para orang tua melarang anaknya ke sekolah saat itu.

"Tingkat ketidakhadiran sangat tinggi, tidak masalah, karena sekolah buka," kata Markel.

Menurut sebuah makalah tahun 1918 yang ditulis Departemen Kesehatan Chicago, salah satu bagian dari strategi Chicago adalah memastikan sirkulasi udara segar. Kamar sekolah menjadi terlalu panas selama musim dingin sehingga jendela dapat tetap terbuka sepanjang waktu.

Makalah tersebut menyimpulkan bahwa analisis data menunjukkan bahwa "keputusan untuk tetap membuka sekolah-sekolah di kota ini selama epidemi influenza baru-baru ini dapat dibenarkan."

Di New York, Komisaris Kesehatan Copeland mengatakan kepada New York Times, bahwa "betapa jauh lebih baik jika anak-anak selalu di bawah pengawasan orang-orang yang memenuhi syarat daripada menutup sekolah."

Markel, yang bersama peneliti lain meneliti data dan catatan sejarah dalam melihat tanggapan 43 kota terhadap pandemi 1918, tidak begitu yakin.

New York "tidak melakukan yang terburuk, tetapi juga tidak melakukan yang terbaik," kata Markel, menambahkan bahwa strategi Chicago saat itu dalam mengatasi pandemi sedikit lebih baik.

Dia mengatakan dalam penelitian menunjukkan bahwa kota-kota yang menerapkan strategi karantina wilayah dan isolasi, penutupan sekolah dan larangan pertemuan umum mendapatkan hasil terbaik dalam mencegah pandemi.

"Kota-kota yang melakukan lebih dari satu" tindakan ini "memiliki hasil yang lebih baik. Penutupan sekolah adalah bagian dari kontribusi itu," kata Markel.

Pakar kesehatan masyarakat, termasuk Markel, dengan cepat menunjukkan bahwa Covid-19 memang bukan influenza, yang merupakan penyakit terkenal pada tahun 1918.

Masih banyak yang harus dipelajari tentang novel coronavirus dan penyakit yang ditimbulkannya, yakni Covid-19 yang berasal dari Wuhan, China ini.

Menurut Markel, keputusan yang tepat hari ini, adalah penutupan sekolah.

"Lebih baik," katanya, "lebih aman daripada menyesal."


[Gambas:Video CNBC]

(tas/tas)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA