Bagaimana sistem penyelenggaraan pemilihan umum tersebut?

Marulak Pardede



Dasar hukum pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia yang diatur dalam undang-undang, sejak bergulirnya era reformasi sampai saat ini selalu mengalami perubahan. Setiap perubahan undang-undang pemilu selalu dilakukan sebelum penyelenggaraan pemilu dengan alasan sebagai hasil evaluasi penyelenggaraan pemilu pada periode sebelumnya. Perubahan undang-undang pemilu juga selalu dilakukan satu paket perubahan dengan undang-undang penyelenggara pemilu dan undang-undang partai politik, paket perubahan undang-undang ini juga biasa disebut paket perubahan undang- undang politik. Kelemahan pada legislasi dan regulasi menyebabkan sejumlah ketentuan yang memunculkan penafsiran berbeda dalam pelaksanaannya. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas menjadi terbuka penuh, menunjukan regulasi penyelenggaraan pemilu yang belum sempurna. Melalui pelaksanaan pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden/Wakil Presiden tahun 2014 ini, diharapkan dapat menjadi tumpuan perubahan untuk menjadi lebih baik. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimanakah pelaksanaan sistem pemilihan umum di Indonesia; serta bagaimana dampak pelaksanaan sistem pemilihan langsung di Indonesia. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan analisis data kualitatif disimpulkan bahwa dampak dari sistem pemilihan langsung di Indonesia telah melahirkan tindak pidana korupsi dan politisi korup. Oleh karenanya dimasa mendatang sistem pemilihan umum ini perlu ditinjau ulang.

The legal basis for the implementation of election in Indonesia, as outlined in the Law, since the reform era until now, always changing. Any changes to the election law, always made before the election for next period run. And changes in election law justified as evaluation for the election results in the previous period. Changes in election law also always carried as a package of changes to electoral administration law and the law of political parties, commonly this package of changes also called the package of changes in political law. Weaknesses in legislation and regulation led to a number of provisions which is rise different interpretations in its implementation. The Constitutional Court (MK) verdict that cancelled limited open proportional election system to be fully open, shows that election regulations are rudimentary. Through this parliament, the House of Representatives and the President / Vice President election in 2014, we’re expect to become the foundation of change for the better election system. The problems need to research are: How does setting of legal basis for the implementation of election s in Indonesia? How does evaluation of election systems in Indonesia? How the implication of implementation election system directly in Indonesia? Using normative juridical method with descriptive type and method of qualitative data analysis can be described the negative impact of election system directly in Indonesia has causing corruption action and corrupt politicians. Therefore, in the future, this election system need to be reviewed.



Reflection, Evaluation, System, Election


DOI: http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v3i1.58

  • There are currently no refbacks.


Page 2

Marulak Pardede



Dasar hukum pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia yang diatur dalam undang-undang, sejak bergulirnya era reformasi sampai saat ini selalu mengalami perubahan. Setiap perubahan undang-undang pemilu selalu dilakukan sebelum penyelenggaraan pemilu dengan alasan sebagai hasil evaluasi penyelenggaraan pemilu pada periode sebelumnya. Perubahan undang-undang pemilu juga selalu dilakukan satu paket perubahan dengan undang-undang penyelenggara pemilu dan undang-undang partai politik, paket perubahan undang-undang ini juga biasa disebut paket perubahan undang- undang politik. Kelemahan pada legislasi dan regulasi menyebabkan sejumlah ketentuan yang memunculkan penafsiran berbeda dalam pelaksanaannya. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas menjadi terbuka penuh, menunjukan regulasi penyelenggaraan pemilu yang belum sempurna. Melalui pelaksanaan pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden/Wakil Presiden tahun 2014 ini, diharapkan dapat menjadi tumpuan perubahan untuk menjadi lebih baik. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimanakah pelaksanaan sistem pemilihan umum di Indonesia; serta bagaimana dampak pelaksanaan sistem pemilihan langsung di Indonesia. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan analisis data kualitatif disimpulkan bahwa dampak dari sistem pemilihan langsung di Indonesia telah melahirkan tindak pidana korupsi dan politisi korup. Oleh karenanya dimasa mendatang sistem pemilihan umum ini perlu ditinjau ulang.

The legal basis for the implementation of election in Indonesia, as outlined in the Law, since the reform era until now, always changing. Any changes to the election law, always made before the election for next period run. And changes in election law justified as evaluation for the election results in the previous period. Changes in election law also always carried as a package of changes to electoral administration law and the law of political parties, commonly this package of changes also called the package of changes in political law. Weaknesses in legislation and regulation led to a number of provisions which is rise different interpretations in its implementation. The Constitutional Court (MK) verdict that cancelled limited open proportional election system to be fully open, shows that election regulations are rudimentary. Through this parliament, the House of Representatives and the President / Vice President election in 2014, we’re expect to become the foundation of change for the better election system. The problems need to research are: How does setting of legal basis for the implementation of election s in Indonesia? How does evaluation of election systems in Indonesia? How the implication of implementation election system directly in Indonesia? Using normative juridical method with descriptive type and method of qualitative data analysis can be described the negative impact of election system directly in Indonesia has causing corruption action and corrupt politicians. Therefore, in the future, this election system need to be reviewed.



Reflection, Evaluation, System, Election


DOI: http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v3i1.58

  • There are currently no refbacks.


Page 3

DOI: http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v3i1

Bagaimana sistem penyelenggaraan pemilihan umum tersebut?

Jurnal Rechtsvinding (JRV) Volume 3 Nomor 1 Tahun 2014 ini dapat diterbitkan dengan menyajikan artikel-artikel bertema ”Refleksi dan Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia”. Tema ini dipilih mengingat tahun 2014 adalah tahun dilaksanakannya Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik untuk anggota legislatif di DPR, DPD, DPRD maupun Presiden dan Wakil Presiden.

Bagaimana sistem penyelenggaraan pemilihan umum tersebut?
Penulis: Rayibim Maulana, SH

SetdaDompuKab – Tulisan ini dilatar belakangi oleh kondisi ketata negaraan Indonesia yang masih harus ditata kembali. Salah satunya adalah aspek ketatanegaraan yang berkaitan dengan proses Pemilihan Umum (Pemilu) baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pemilu serentak 2019 ata udisebut juga dengan Pemilu “rombongan lima kotak” untuk pertama kalinya menggabungkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Hal in imerupakan konsekuensi dari bunyi Pasal 22E UUD 1945 yang memandang bahwa yang dimaksud dengan Pemilu adalah Pemilu untuk DPR, Pemilu untuk DPD, Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu untuk DPRD yang diletakan dalam satu rezim. Sedangkan untuk Pemilihan Kepala Daerah tidak di masukan dalam rezim Pemilu karena Pilkada diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 Bab Pemerintahan Daerah. Maka agar gagasan ini dapat dijalankan terlebih dahulu pengaturan mengenai Pemilu di dalam Pasal 18 ayat 4 dan Pasal 22E UUD 1945 harus di aman demen untuk memasukan frasa pemilihan Kepala Daerah menjadi bagian dalam rezim Pemilu.

Pemilu serentak 2019 “rombongan lima kotak” perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh termasuk dasar konstitusionalnya. Keserentakan “lima kotak” Pemilu kemarin menyisahkan cerita duka dan terasa mahal perjuangannya sampai harus menelan korban jiwa. Dari sisi beban penyelenggara sangat tidak kompatibel bagi kapasitas penyelenggara pemilu untuk bisa bekerja secara baik dan proporsional. Sekurangnya data Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 11.239 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang jatuh sakit dan 527 orang yang sudah meninggal dikarenakan fakto rkelelahan fisik dan kekurangan istrahat dalam penyelenggaraan Pemilu rombongan lima kotak tersebut. Proses kerja Komisi Pemilihan     Umum (KPU) mulai dari tahap awal harus merancang tahapan-tahapan penyelenggaraan untuk Pemilu, menetapkan peserta, menetapkan pemilih, melakukan pemungutan suara, menghimpun rekapitulasi perolehan suara, hingga menetapkan siapa pemenangnya. Dengan keserentakan tersebut maka KPU harus menyediakan lima macam surat suara, lima macam kotak suara, lima macam format penghitungan suara beserta beritaacaranya, melakukan lima kali penghitungan suara di beberapa tingkat dan lima kali pengiriman jumlah suara. Selain KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) sebagai salah satu penyelenggara tentu juga harus bekerja ekstra dalam mengawal prosesi Pemilu serentak dari kecurangan-kecurangan yang dilaporkan. Tentu bukan hanya fungsi pencegahan yang menjadi kewenagan Bawaslu tetapi juga memiliki fungsi penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu dengan keterbatasan waktu yang telah ditentukan.

Kompleksitas yang tidak kalah penting adalah kegaduhan politik yang terjadi di segala sektor. Kegaduhan politik tersebut menjadi kanter polarisasinya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sangat  kuatsehingga menyebabkan tergerusnya isu-isu lokal oleh isu-isu nasional. Isu lokal yang menjadi aspirasi masyarakat daerah terhadap calon wakil rakyatnya yang ada di DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota harus dikorbankan oleh karena dominasinnya isu nasional. Masyarakat lebih fokus pada Pemilu Presiden dan membelakangi isu Pemilu Legislatif baik Legislatif Pusat maupun Legislatif Daerah. Padahal calon Legislatif juga perlu dilihat rekam jejaknya dan dinilai tawaran programnya secara proporsional. Hal ini juga sekaligus menjadi tantangan bagi Mahkamah Konstitusi  sebagai peradilan yang menyelesaikan sengketa hasil Pemilu untuk menghadirkan putusan yang adil dan berkualitas  dengan sistem peradilan cepat (speedy Trial). Betapa banyaknya Jumlah Permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2019 (PHPU) sebanyak 470 perkara dengan rincian 215 DPRD Kabupaten/Kota, 110 DPRD Provinsi, 71 DPR RI, 11 DPD RI, dan 1 Presiden dan Wakil Presiden. Dengan kompeksitas dan tantangan tersebut pada akhirnya perlu dipertanyakan kualitas Penyelenggaraan dan kualitas hasil Penyelenggaraan Pemilu. 

Indonesia sebagai Negara kesatuan yang Berotonomi

Padatulisan ini akan dikemukakan Sebagian alasan (reason) kenapa gagasan pemisahan pemilu tersebut penting untuk dilakukan berdasarkan perspektif konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berotonomi. Jika dilihat kembali  rapat-rapatpenting pada masa reformasi terdapat kesepakatan dasar yang ada dalam Panitia Ad Hoc III (PAH III) Badan Pekerja MPR (BP MPR) sebelum perubahan UUD 1945 pasca reformasi, yaitu: (i) Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (ii) Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (iii) Mempertegas sistem pemerintahan presidensial; (iv) Hal-hal normatif dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dimasukan kedalam pasal-pasal (batang tubuh); (v) Melakukan perubahan dengan cara adendum; (vi) Pembagian kekuasaan dirumuskan dengan tegas prinsip checks and balances.

Pemilu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan pintu gerbang pelaksanaan kedualatan rakyat untuk memilih wakil-wakil rakyat di semua cabang kekuasaan baik yang terdapat pada lembaga legislatif maupun lembaga      eksekutif. Pemilu dikatakan sebagai pintu gerbang karena Pemilu sebagai pintu masuk untuk menghasilkan wakil rakyat dan juga pintu masuk untuk membentuk pemerintahan yang baru. Nilai filosofis pelaksanaan Pemilu sebagai pintu kedaulatan rakyat Indonesia dapat dilihat dalam nilai dasar dan instrumen (pasal-pasal) UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Nilai dasar tersebut dapat dilihat dalam Alinea ke II Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “perjuangan pergerakan kemerdekaan telah mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Kemudian diteruska ndalam Alinea ke IV berbunyi “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa…”.Maka untuk memahami dan mengejewantahkan bunyi nilai dasar yang bersifat abstrak tersebut, perlu dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 sebagai instrumen normatifnya.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal tersebut dari sisi ketatanegaraan merupakan dasar suatu bentuk pengorganisasian kedaulatan rakyat melalui pemisahan kekuasaan (separation of power) yang bersifat horizontal kedalam fungsi-fungsi lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Presiden yang dibantu oleh Wakil Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif) serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga mempunyai fungsi legislasi yang berkaitan dengan otonomi daerah. Ketiga lembaga tinggi negara tersebut cara pengisiannya dilakukan melalui proses Pemilu.

Di sisi lain, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah Provinsi dan Provinsi itu sendiri dibagi atas Kabupaten/Kota yang masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah. Lembaga daerah tersebut diatur dalam UUD NRI 1945 dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan yang ada di daerah. Konsep tersebut ingin menjelaskan bahwa terdapat bentuk Negara Kesatuan (Unitary State) yang memiliki pemerintahan tingkat lokal yang menjalankan otonomi (asas desen tralisasi). Dengan demikian, dapat digambarkan bahwa model tata pemerintahan Indonesia memiliki tingkatan-tingkatanya itu terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Tingkatan Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota diberikan kewenangan untuk menjalankan pemerintahannya masing-masing berdasarkan asas otonomi.

Menurut Bagir Manan kehadiran konsep penyelenggaraan otonomi daerah itu sendiri bukan tanpa alasan melainkan terdapat beberapahal yang menjadi pertimbangannya: Pertama, Indonesia adalah Negara Kebhinekaan sehingga dengan adanya pemerintahan bertingkat yang berotonomi, dapat menjadi wadah untuk menampung perbedaan-perbedaan yang ada. Kedua, Negara Indonesia adalah Negara kesejahteraan (walfa restate). Adanya otonomi daerah dapat membantu percepatan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ketiga, Indonesia adalah Negara yang menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi. Dalam konsep negara hukum terdapat pemencaran kewenangan, sehingga adanya pemerintahan daerah dengan otonominya menjadi wadah untuk pemencaran kewenangan tersebut. Keempat, Indonesia adalah Negara yang menganut prinsip demokrasi. Dalam konsep Negara demokrasi, poin pentingnya adalah partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Maka dengan adanya otonomi daerah dapat menjadi wadah partisipasi tersebut.

Dengan melihat esensi otonomi penyelenggaraan pemerintahan daerah di atas, maka pemilu serentak yang dilakukan lima kotak hari ini justru mereduksi esensi dari konsep otonomi daerah. Rakyat yang seharusnya memilih wakilnya dengan melihat visi dan misi calon legislatif daerah berdasarkan kondisi lokal justru tergerus oleh isu pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pada akhirnya penentuan pilihan wakil rakyat tidak didasarkan atas pilihan rasionalnya. Sesungguhnya pemilu dalam rangka mengisi pejabat Pemerintahan yang ada di Daerah dengan pengisian pejabat Pemerintahan Pusat berada pada posisi dan isu yang berbeda sesuai pada tingkatan Pemerintahan itu sendiri. Isu lokal masyarakat daerahlah yang menentukan pejabat pemerintahan daerah. Sejatinya pemerintahan yang bertingkat tersebut baik yang terdapat di Pusat (Presiden, DPR, dan DPD), Provinsi (Gubernur dan DPRD Provinsi), maupun Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota) harus dipisahkan cara pengisiannya melalui pemisahan pemilu lokal dan pemilu nasional agar masyarakat dapat menentukan wakil-wakilnya berdasarkan pilihan rasional sebagai pintu gerbang bagi rakyat dalam memasuki kehidupan berdemokrasi dan pintu gerbang untuk menghasilkan wakil rakyat yang responsif.

[1]Penulis adalahPutra Daerah Dompu yang MenamatkanStudinya pada Fakultas Hukum UII Yogyakarta pada Bidang Hukum Tata Negara.

[2]Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

[3]Pasal 78 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa permohonan atas perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktu:

  1. Paling lambat 14 hari kerja dalam Pemilu Presiden
  2. Paling lambat 30 hari kerja dalam Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

[4]Valina Singka Subekti, Dinamika Konsolidasi Demokrasi, Dari Ide Pembaharuan Sistem Politik Hingga ke Praktik Pemerintahan Demokratis, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2015, hlm. 3.

[5]Ibid, hlm. 60.

[6]Pasal 4 UUD NRI 1945

[7]Pasal 20 UUD NRI 1945

[8]Pasal 22D UUD NRI 1945

[9]sebagaimana Pasal 18 UUD 1945:

  • Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dalam undang-undang;
  • Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;
  • Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum;
  • Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis;

[10]Bagir Manan, Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Makalah Seminar, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 1989. (Penulis: Rayibim Maulana, SH)