Bagaimana sikap kita terhadap masalah sosial

Dinamika dan fenomena kehidupan sosial ditengah pergaulan hidup masyarakat bagian dari proses timbal balik dan pola respon yang selalu muncul menghadapi setiap perubahan sosial. Situasi tersebut bisa diperankan dengan berbagai sikap dan perilaku sosial. Dalam memahami perilaku sosial yang muncul tersebut harus dilihat dari semua aspek yang mempengaruhinya. Kita sering menyaksikan bagaimana cara masyarakat membentuk, merealisasikan dan mengekspresikan sikap dan perilaku sosial yang ditampilkan ke khalayak terlepas dari penilaian positif atau juga negatif bagi sebagian masyarakat lainnya. Perilaku sosial yang sangat mudah kita amati sehari-hari seperti pembodohan publik, pelecehan, penghinaan, hujatan massal, menyebarkan berita bohong, saling mem-bully dan masih seabrek sikap dan perilaku sosial yang mungkin sebagian kelompok masyarakat langsung atau tidak langsung merasakan tertanggu dengan kondisi yang dialaminya atau juga sebaliknya.

Tentunya yang sedang hangat kita rasakan adalah bagaimana hebatnya perubahan sikap dan perilaku sosial masyarakat Indonesia khususnya menanggapi perubahan sosial atau isu yang begitu masiv terkait kegetiran dan ketakutan mendalam berkembang dengan menyebarnya virus corona. Secara naluriah keadaan ini akan terjadi kepada siapa saja sebagai upaya responsif dan perlindungan diri. Orang akan beranjak dan berpikir cepat serta bertindak segera mungkin manakala stimulus perilaku sosial yang terus diviralkan begitu dahsyat sebagai akibat menakutkan bahkan mematikan dari dampak virus corona, tentunya akan sulit kita mengatakan realitas ini suatu yang berlebihan. Karena semua dihidupkan dengan berita yang menyeramkan dan membuat semua orang ingin mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapinya. Begitulah sikap dan perilaku sosial yang responsif jika fenomena sosial digiring sedemikian rupa. Peranan media sosial atau media mainstream sangat besar pengaruhnya, sehingga percepatan isu dan informasi terlepas hoaks atau tidak bukan lagi pertimbangan logis bagi separo masyarakat. Memang sudah menjadi perbuatan bernilai mulia bagi media menyampaikan kepada khalayak agar semua elemen bisa tanggap dengan informasi yang disajikan. Dilain pihak, efektifitas pelayanan dan penanganan informasi berimbang dari pemerintah belum begitu kentara bisa ditangkap secara utuh oleh masyarakat kebanyakan. Sehingga, media sosial memegang juru kunci pembuka perilaku sosial yang ‘boombastis’ itu, sekaligus pengalih perilaku sosial yang kurang menguntungkan.

Permasalahan sosial kontemporer seringkali muncul akibat terjadinya dinamika kehidupan, hubungan sosial, dan perubahan struktur sosial. Perubahan sosial memaksa setiap individu beradaptasi dengan kondisi atau situasinya serta lingkungan sekitar. Perubahan sosial yang frontal atau progresif tidak dikendalikan dan dihadang dengan tanggap dan cepat menjadi awal terjadinya perilaku sosial liar yang pada gilirannya mengancam stabilitas sosial. Bahkan kadangkala memicu munculnya perilaku sosial baru yang lebih tajam lagi dan butuh pemecahan yang lebih rumit. Eskalasi dampak sosial akan lebih menganga bilamana permasalahan sosial ini tidak segera ditangani secara melembaga. Karena munculnya bersifat kontemporer dan terstruktur, sudah tentu pengelolaan potensi dampaknya juga harus lebih sistematis, kolektif, dan berkelanjutan.

Sejalan dengan pandangan beberapa ahli bahwa masalah sosial diartikan suatu pola perilaku dan kondisi yang terjadi serta tidak dapat diterima karena dirasakan oleh sebagian masyarakat dapat mengganggu ketenangan, kenyamanan, ketenteraman, kesejahteraan, serta ketidaksesuaian nilai-nilai dalam masyarakat yang memerlukan upaya-upaya penyelesaian atau aksi sosial baik secara bersama-sama atau lembaga.

Memperhatikan keadaan bangsa kita yang tengah diselimuti kegalauan panjang ini, banyaknya fenomena kehidupan sosial, ekonomi, dan juga politik yang dirasakan orang banyak kurang memberikan harapan baik saat ini, tentunya  ini harus direspon sebagai masalah sosial yang harus segera diatasi. Mengatasi masalah sosial bukan dari fenomenanya, melainkan dari akar masalah utamanya. Sekelumit permasalahan bangsa yang menjadi viral hingga hari sebagaimana dikemukan di atas, jangan pula dilihat sebatas kulitnya saja, karena pada prinsipnya akan terjadi akumulasi masalah yang lebih luas tidak hanya aspek sosial melainkan merambat ke aspek kehidupan vital lainnya.

Jika kita cermati pergerakan perubahan perilaku sosial yang dikhawatirkan bergerak bebas jikalau pemerintah, pemda, dunia usaha dan segenap lembaga masyarakat atau lembaga kesejahteraan sosial kurang bersinergi dalam hal ini. Pertama, sikap apatis atau ‘masa bodo’. Bentuk penolakan atau keputusasaan masyarakat atas kondisi yang tidak menguntungkan ini bisa jadi membentuk perilaku sosial yang semakin melebar ke arah negatif. Terutama didorong keadaan ekonomi keluarga yang hampir rapuh dan penuh ketidak pastian. Menganggap semua situasi yang dialaminya tidak memberi kontribusi berarti bagi kehidupannya. Jika, ini terjadi pada sebagian masyarakat maka dipastikan modal sosial sebagai kekuatan immaterial pembangunan akan mengalami ‘kebangkrutan’. Sikap seperti ini selain tidak memberikan sisi positip bagi kehidupan sosial atau berbangsa juga menggeroti upaya pemerintah untuk memotong mata rantai pandemi bahkan dampak ikutan lainnya pun akan melebar.

Kedua, sikap antipati kepada pemerintah. Penyebaran informasi yang terlalu di’viral’kan di media sosial dan sengaja dibesarkan membuat kegundahan dan kegaduhan pada level masyarakat menengah bawah tidak terbendung. Terlepas apakah itu berita layak atau tidak layak--benar atau tidak benar, tetapi sudah menjadi menu santapan harian di medsos bagi masyarakat. Kondisi ini memungkinkan sebagian orang menganggap pemerintah tidak serius dan “berpoligami” dengan programnya. Menduanya pemerintah menangani masalah sosial ini berakibat semakin berkurangnya semangat dan dukungan sebagian masyarakat untuk bersama-sama menghadapi paceklik sosial ekonomi bahkan politik. Fokus pemerintah tidak terlalu fokus dalam menyelesaikannya. Sikap rasa tidak puas dan benci atas kinerja pemerintah dibuka begitu vulgar, padahal semangat dan komitmen pemerintah melindungi masyarakatnya sudah begitu besar dan habis-habisan. Kemudian muncul pertanyaan, adakah yang harus disalahkan!?.

Ketiga, sikap tidak percaya. Bilamana realita tidak lagi selaras dengan harapan maka itu bisa jadi masalah. Harapan yang begitu besar masyarakat bisa terlepas dari pandemi ternyata belum bisa membantu meyakinkan bahwa pemerintah telah setengah mati “sekarat” berbuat untuk mengatasinya demi masyarakat. Begitu banyak program atau gerakan masiv yang menyeret hampir seluruh komponen negara tidak ketinggalan dunia usaha swasta. Semua ingin berkontirbusi dan membantu upaya pemerintah. Sayangnya, situasi sosial ekonomi politik berbalik menjadi situasi yang mencekam dan menggetirkan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Bagi sebagian kelompok masyarakat ini adalah momen tepat untuk tidak lagi ‘percaya’ kepada pemerintah. Lalu, kemana lagi mengadu kalo bukan kepada pemerintah....!?

Bagaimana juga, kenyataan hari ini adalah tanggung jawab kita semua sebagai anak bangsa. Kita harus berjibaku menghadapinya. Terlebih situasi politik sudah menjadi topik utama beberapa hari ini. Puncak akumulasi dari persoalan berbangsa dan bernegara ada di tangan politik bangsa.  Sebagai masyarakat sekaligus abdi negara, kami mengajak merenungi dan mengurangi dampak sosial yang lebih besar dalam menghadapi situasi saat ini.

Pertama, mencegah lebih baik daripada mengobati. Ungkapan seperti ini begitu sering terdengar dan mudah sekali diucapkan. Perhatian pemerintah sangat besar dalam upaya mencegah pandemi, berbagai cara ditempuh baik penyediaan sarana prasarana, sumber daya manusia, kerja sama, anggaran bahkan regulasinya. Semua itu dalam rangka memastikan bahwa pemerintah pro kepada masyarakatnya. Pemerintah bukannya tidak berbuat melainkan sudah hampir kehabisan pola dan metoda. Pemerintah juga mengalami kegoncangan sosial dan ekonomi bahkan politik karena berlarutnya situasi seperti ini. Peranan penyuluhan dan pelayanan sosial yang masiv dan melembaga yang dilakukan seluruh komponen negara seyogyanya menyasar hingga akar persoalan yaitu sikap mental pro aktif, keteladanan dan konsisten. Jangan menuntut masyarakat untuk berbuat baik melainkan pemerintah yang lebih awal berbuat untuk semua itu. Oleh karenanya, mencegah untuk berobat lebih elok daripada berobat untuk mengobati.

Kedua, merangkul lebih baik daripada memukul. Pemerintah (pemda) harus memastikan perlindungan sosial yang masiv dengan pendekatan humanis dan persuasif agar sikap antipati berbalik arah kepada saling dukung dan merasakan sebagai anak bangsa yang sedang berjuang menghadapi berbagai persoalan atau gejolak saat ini. Saling merasa benar dan memaksa diri tidak lebih baik dari sikap merangkul dan mengajak memahami situasi. Masyarakat paling bawah yang akan merasakan dahsyatnya sikap arogansi antar anak bangsa. Kehidupan sosial semakin ‘bolot’, ekonomi semakin merosot, bahkan politik pun ikut disorot. Lalu, apakah ini yang kita cari...????

Ketiga, prasangka baik lebih baik daripada buruk sangka. Apapun dilakukan pemerintah (pemda) disikapi dengan baik sangka. Jika yang dilakukan memberikan kebaikan memang itu tujuannya, jika pun belum sesuai harapan tidak salahnya pemerintah dan masyarakat saling membuka diri untuk memperbaikinya. Pada situasi seperti ini yang menang tetap bernilai sama dengan yang kalah. Pemerintah percaya kepada masyarakatnya, begitu juga masyarakat berusaha mempercayai pemerintah. Karena sikap saling mempercayai akan menambah kekuatan untuk melakukan yang hal terbaik. Salah itu ‘manusiawi’, tidak mengakui kesalahan itu ‘hewani’, semua mengakui kesalahan berarti ‘mati suri’. Yang diusung mestinya membiasakan kebenaran bukan membenarkan kebiasaan.

Masyarakat merupakan komponen kesatuan sosial yang selalu dinamis dan responsif harus dipandang sebagai objek dan subjek perubahan. Sebagai objek perubahan tidak selalu harus diartikan penerima manfaat atau target sasaran atau yang bermasalah, tapi justru dipahami selaku ‘potensi sosial’, sehingga memiliki kesadaran tentang keadaan kemampuan dan kemauannya sebagai manusia yang menusiawi. Dalam konteks perubahan, pemerintah berperan mendorong, memotivasi dan menstimulus agar masyarakat mengenal dirinya sebagai orang yang memiliki hak sekaligus tanggung jawab dalam pembangunan bangsa. Sedangkan subjek perubahan dipahami sebagai masyarakat yang selalu proaktif, kreatif, dan selaku penggerak dan pelaku perubahan itu sendiri. Pada saatnya tujuan perubahan itu akan berakhir pada to help people to help them selves, karena prinsip dasar perubahan yaitu mengharapkan semua individu atau masyarakat mau dan mampu menggali potensi dan menjadi penggerak perubahan itu sendiri. Pada titik ini, selaras dengan konsep yang diajarkan Rasulullah bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib atau keadaan suatu kaum itu melainkan atas kemauanya sendiri. Semoga rantai belenggu yang melingkari anak bangsa ini lekas putus menjadi cambuk besi yang akan merubah keadaan lebih baik lagi.  Semoga hegemoni media sosial dapat menjadi perekat dan penebar kebaikan diantara kepingan masalah sosial yang ada di Bumi Serumpun Sebalai.  Wassalam.


Page 2

Dinamika dan fenomena kehidupan sosial ditengah pergaulan hidup masyarakat bagian dari proses timbal balik dan pola respon yang selalu muncul menghadapi setiap perubahan sosial. Situasi tersebut bisa diperankan dengan berbagai sikap dan perilaku sosial. Dalam memahami perilaku sosial yang muncul tersebut harus dilihat dari semua aspek yang mempengaruhinya. Kita sering menyaksikan bagaimana cara masyarakat membentuk, merealisasikan dan mengekspresikan sikap dan perilaku sosial yang ditampilkan ke khalayak terlepas dari penilaian positif atau juga negatif bagi sebagian masyarakat lainnya. Perilaku sosial yang sangat mudah kita amati sehari-hari seperti pembodohan publik, pelecehan, penghinaan, hujatan massal, menyebarkan berita bohong, saling mem-bully dan masih seabrek sikap dan perilaku sosial yang mungkin sebagian kelompok masyarakat langsung atau tidak langsung merasakan tertanggu dengan kondisi yang dialaminya atau juga sebaliknya.

Tentunya yang sedang hangat kita rasakan adalah bagaimana hebatnya perubahan sikap dan perilaku sosial masyarakat Indonesia khususnya menanggapi perubahan sosial atau isu yang begitu masiv terkait kegetiran dan ketakutan mendalam berkembang dengan menyebarnya virus corona. Secara naluriah keadaan ini akan terjadi kepada siapa saja sebagai upaya responsif dan perlindungan diri. Orang akan beranjak dan berpikir cepat serta bertindak segera mungkin manakala stimulus perilaku sosial yang terus diviralkan begitu dahsyat sebagai akibat menakutkan bahkan mematikan dari dampak virus corona, tentunya akan sulit kita mengatakan realitas ini suatu yang berlebihan. Karena semua dihidupkan dengan berita yang menyeramkan dan membuat semua orang ingin mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapinya. Begitulah sikap dan perilaku sosial yang responsif jika fenomena sosial digiring sedemikian rupa. Peranan media sosial atau media mainstream sangat besar pengaruhnya, sehingga percepatan isu dan informasi terlepas hoaks atau tidak bukan lagi pertimbangan logis bagi separo masyarakat. Memang sudah menjadi perbuatan bernilai mulia bagi media menyampaikan kepada khalayak agar semua elemen bisa tanggap dengan informasi yang disajikan. Dilain pihak, efektifitas pelayanan dan penanganan informasi berimbang dari pemerintah belum begitu kentara bisa ditangkap secara utuh oleh masyarakat kebanyakan. Sehingga, media sosial memegang juru kunci pembuka perilaku sosial yang ‘boombastis’ itu, sekaligus pengalih perilaku sosial yang kurang menguntungkan.

Permasalahan sosial kontemporer seringkali muncul akibat terjadinya dinamika kehidupan, hubungan sosial, dan perubahan struktur sosial. Perubahan sosial memaksa setiap individu beradaptasi dengan kondisi atau situasinya serta lingkungan sekitar. Perubahan sosial yang frontal atau progresif tidak dikendalikan dan dihadang dengan tanggap dan cepat menjadi awal terjadinya perilaku sosial liar yang pada gilirannya mengancam stabilitas sosial. Bahkan kadangkala memicu munculnya perilaku sosial baru yang lebih tajam lagi dan butuh pemecahan yang lebih rumit. Eskalasi dampak sosial akan lebih menganga bilamana permasalahan sosial ini tidak segera ditangani secara melembaga. Karena munculnya bersifat kontemporer dan terstruktur, sudah tentu pengelolaan potensi dampaknya juga harus lebih sistematis, kolektif, dan berkelanjutan.

Sejalan dengan pandangan beberapa ahli bahwa masalah sosial diartikan suatu pola perilaku dan kondisi yang terjadi serta tidak dapat diterima karena dirasakan oleh sebagian masyarakat dapat mengganggu ketenangan, kenyamanan, ketenteraman, kesejahteraan, serta ketidaksesuaian nilai-nilai dalam masyarakat yang memerlukan upaya-upaya penyelesaian atau aksi sosial baik secara bersama-sama atau lembaga.

Memperhatikan keadaan bangsa kita yang tengah diselimuti kegalauan panjang ini, banyaknya fenomena kehidupan sosial, ekonomi, dan juga politik yang dirasakan orang banyak kurang memberikan harapan baik saat ini, tentunya  ini harus direspon sebagai masalah sosial yang harus segera diatasi. Mengatasi masalah sosial bukan dari fenomenanya, melainkan dari akar masalah utamanya. Sekelumit permasalahan bangsa yang menjadi viral hingga hari sebagaimana dikemukan di atas, jangan pula dilihat sebatas kulitnya saja, karena pada prinsipnya akan terjadi akumulasi masalah yang lebih luas tidak hanya aspek sosial melainkan merambat ke aspek kehidupan vital lainnya.

Jika kita cermati pergerakan perubahan perilaku sosial yang dikhawatirkan bergerak bebas jikalau pemerintah, pemda, dunia usaha dan segenap lembaga masyarakat atau lembaga kesejahteraan sosial kurang bersinergi dalam hal ini. Pertama, sikap apatis atau ‘masa bodo’. Bentuk penolakan atau keputusasaan masyarakat atas kondisi yang tidak menguntungkan ini bisa jadi membentuk perilaku sosial yang semakin melebar ke arah negatif. Terutama didorong keadaan ekonomi keluarga yang hampir rapuh dan penuh ketidak pastian. Menganggap semua situasi yang dialaminya tidak memberi kontribusi berarti bagi kehidupannya. Jika, ini terjadi pada sebagian masyarakat maka dipastikan modal sosial sebagai kekuatan immaterial pembangunan akan mengalami ‘kebangkrutan’. Sikap seperti ini selain tidak memberikan sisi positip bagi kehidupan sosial atau berbangsa juga menggeroti upaya pemerintah untuk memotong mata rantai pandemi bahkan dampak ikutan lainnya pun akan melebar.

Kedua, sikap antipati kepada pemerintah. Penyebaran informasi yang terlalu di’viral’kan di media sosial dan sengaja dibesarkan membuat kegundahan dan kegaduhan pada level masyarakat menengah bawah tidak terbendung. Terlepas apakah itu berita layak atau tidak layak--benar atau tidak benar, tetapi sudah menjadi menu santapan harian di medsos bagi masyarakat. Kondisi ini memungkinkan sebagian orang menganggap pemerintah tidak serius dan “berpoligami” dengan programnya. Menduanya pemerintah menangani masalah sosial ini berakibat semakin berkurangnya semangat dan dukungan sebagian masyarakat untuk bersama-sama menghadapi paceklik sosial ekonomi bahkan politik. Fokus pemerintah tidak terlalu fokus dalam menyelesaikannya. Sikap rasa tidak puas dan benci atas kinerja pemerintah dibuka begitu vulgar, padahal semangat dan komitmen pemerintah melindungi masyarakatnya sudah begitu besar dan habis-habisan. Kemudian muncul pertanyaan, adakah yang harus disalahkan!?.

Ketiga, sikap tidak percaya. Bilamana realita tidak lagi selaras dengan harapan maka itu bisa jadi masalah. Harapan yang begitu besar masyarakat bisa terlepas dari pandemi ternyata belum bisa membantu meyakinkan bahwa pemerintah telah setengah mati “sekarat” berbuat untuk mengatasinya demi masyarakat. Begitu banyak program atau gerakan masiv yang menyeret hampir seluruh komponen negara tidak ketinggalan dunia usaha swasta. Semua ingin berkontirbusi dan membantu upaya pemerintah. Sayangnya, situasi sosial ekonomi politik berbalik menjadi situasi yang mencekam dan menggetirkan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Bagi sebagian kelompok masyarakat ini adalah momen tepat untuk tidak lagi ‘percaya’ kepada pemerintah. Lalu, kemana lagi mengadu kalo bukan kepada pemerintah....!?

Bagaimana juga, kenyataan hari ini adalah tanggung jawab kita semua sebagai anak bangsa. Kita harus berjibaku menghadapinya. Terlebih situasi politik sudah menjadi topik utama beberapa hari ini. Puncak akumulasi dari persoalan berbangsa dan bernegara ada di tangan politik bangsa.  Sebagai masyarakat sekaligus abdi negara, kami mengajak merenungi dan mengurangi dampak sosial yang lebih besar dalam menghadapi situasi saat ini.

Pertama, mencegah lebih baik daripada mengobati. Ungkapan seperti ini begitu sering terdengar dan mudah sekali diucapkan. Perhatian pemerintah sangat besar dalam upaya mencegah pandemi, berbagai cara ditempuh baik penyediaan sarana prasarana, sumber daya manusia, kerja sama, anggaran bahkan regulasinya. Semua itu dalam rangka memastikan bahwa pemerintah pro kepada masyarakatnya. Pemerintah bukannya tidak berbuat melainkan sudah hampir kehabisan pola dan metoda. Pemerintah juga mengalami kegoncangan sosial dan ekonomi bahkan politik karena berlarutnya situasi seperti ini. Peranan penyuluhan dan pelayanan sosial yang masiv dan melembaga yang dilakukan seluruh komponen negara seyogyanya menyasar hingga akar persoalan yaitu sikap mental pro aktif, keteladanan dan konsisten. Jangan menuntut masyarakat untuk berbuat baik melainkan pemerintah yang lebih awal berbuat untuk semua itu. Oleh karenanya, mencegah untuk berobat lebih elok daripada berobat untuk mengobati.

Kedua, merangkul lebih baik daripada memukul. Pemerintah (pemda) harus memastikan perlindungan sosial yang masiv dengan pendekatan humanis dan persuasif agar sikap antipati berbalik arah kepada saling dukung dan merasakan sebagai anak bangsa yang sedang berjuang menghadapi berbagai persoalan atau gejolak saat ini. Saling merasa benar dan memaksa diri tidak lebih baik dari sikap merangkul dan mengajak memahami situasi. Masyarakat paling bawah yang akan merasakan dahsyatnya sikap arogansi antar anak bangsa. Kehidupan sosial semakin ‘bolot’, ekonomi semakin merosot, bahkan politik pun ikut disorot. Lalu, apakah ini yang kita cari...????

Ketiga, prasangka baik lebih baik daripada buruk sangka. Apapun dilakukan pemerintah (pemda) disikapi dengan baik sangka. Jika yang dilakukan memberikan kebaikan memang itu tujuannya, jika pun belum sesuai harapan tidak salahnya pemerintah dan masyarakat saling membuka diri untuk memperbaikinya. Pada situasi seperti ini yang menang tetap bernilai sama dengan yang kalah. Pemerintah percaya kepada masyarakatnya, begitu juga masyarakat berusaha mempercayai pemerintah. Karena sikap saling mempercayai akan menambah kekuatan untuk melakukan yang hal terbaik. Salah itu ‘manusiawi’, tidak mengakui kesalahan itu ‘hewani’, semua mengakui kesalahan berarti ‘mati suri’. Yang diusung mestinya membiasakan kebenaran bukan membenarkan kebiasaan.

Masyarakat merupakan komponen kesatuan sosial yang selalu dinamis dan responsif harus dipandang sebagai objek dan subjek perubahan. Sebagai objek perubahan tidak selalu harus diartikan penerima manfaat atau target sasaran atau yang bermasalah, tapi justru dipahami selaku ‘potensi sosial’, sehingga memiliki kesadaran tentang keadaan kemampuan dan kemauannya sebagai manusia yang menusiawi. Dalam konteks perubahan, pemerintah berperan mendorong, memotivasi dan menstimulus agar masyarakat mengenal dirinya sebagai orang yang memiliki hak sekaligus tanggung jawab dalam pembangunan bangsa. Sedangkan subjek perubahan dipahami sebagai masyarakat yang selalu proaktif, kreatif, dan selaku penggerak dan pelaku perubahan itu sendiri. Pada saatnya tujuan perubahan itu akan berakhir pada to help people to help them selves, karena prinsip dasar perubahan yaitu mengharapkan semua individu atau masyarakat mau dan mampu menggali potensi dan menjadi penggerak perubahan itu sendiri. Pada titik ini, selaras dengan konsep yang diajarkan Rasulullah bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib atau keadaan suatu kaum itu melainkan atas kemauanya sendiri. Semoga rantai belenggu yang melingkari anak bangsa ini lekas putus menjadi cambuk besi yang akan merubah keadaan lebih baik lagi.  Semoga hegemoni media sosial dapat menjadi perekat dan penebar kebaikan diantara kepingan masalah sosial yang ada di Bumi Serumpun Sebalai.  Wassalam.


Page 3

Dinamika dan fenomena kehidupan sosial ditengah pergaulan hidup masyarakat bagian dari proses timbal balik dan pola respon yang selalu muncul menghadapi setiap perubahan sosial. Situasi tersebut bisa diperankan dengan berbagai sikap dan perilaku sosial. Dalam memahami perilaku sosial yang muncul tersebut harus dilihat dari semua aspek yang mempengaruhinya. Kita sering menyaksikan bagaimana cara masyarakat membentuk, merealisasikan dan mengekspresikan sikap dan perilaku sosial yang ditampilkan ke khalayak terlepas dari penilaian positif atau juga negatif bagi sebagian masyarakat lainnya. Perilaku sosial yang sangat mudah kita amati sehari-hari seperti pembodohan publik, pelecehan, penghinaan, hujatan massal, menyebarkan berita bohong, saling mem-bully dan masih seabrek sikap dan perilaku sosial yang mungkin sebagian kelompok masyarakat langsung atau tidak langsung merasakan tertanggu dengan kondisi yang dialaminya atau juga sebaliknya.

Tentunya yang sedang hangat kita rasakan adalah bagaimana hebatnya perubahan sikap dan perilaku sosial masyarakat Indonesia khususnya menanggapi perubahan sosial atau isu yang begitu masiv terkait kegetiran dan ketakutan mendalam berkembang dengan menyebarnya virus corona. Secara naluriah keadaan ini akan terjadi kepada siapa saja sebagai upaya responsif dan perlindungan diri. Orang akan beranjak dan berpikir cepat serta bertindak segera mungkin manakala stimulus perilaku sosial yang terus diviralkan begitu dahsyat sebagai akibat menakutkan bahkan mematikan dari dampak virus corona, tentunya akan sulit kita mengatakan realitas ini suatu yang berlebihan. Karena semua dihidupkan dengan berita yang menyeramkan dan membuat semua orang ingin mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapinya. Begitulah sikap dan perilaku sosial yang responsif jika fenomena sosial digiring sedemikian rupa. Peranan media sosial atau media mainstream sangat besar pengaruhnya, sehingga percepatan isu dan informasi terlepas hoaks atau tidak bukan lagi pertimbangan logis bagi separo masyarakat. Memang sudah menjadi perbuatan bernilai mulia bagi media menyampaikan kepada khalayak agar semua elemen bisa tanggap dengan informasi yang disajikan. Dilain pihak, efektifitas pelayanan dan penanganan informasi berimbang dari pemerintah belum begitu kentara bisa ditangkap secara utuh oleh masyarakat kebanyakan. Sehingga, media sosial memegang juru kunci pembuka perilaku sosial yang ‘boombastis’ itu, sekaligus pengalih perilaku sosial yang kurang menguntungkan.

Permasalahan sosial kontemporer seringkali muncul akibat terjadinya dinamika kehidupan, hubungan sosial, dan perubahan struktur sosial. Perubahan sosial memaksa setiap individu beradaptasi dengan kondisi atau situasinya serta lingkungan sekitar. Perubahan sosial yang frontal atau progresif tidak dikendalikan dan dihadang dengan tanggap dan cepat menjadi awal terjadinya perilaku sosial liar yang pada gilirannya mengancam stabilitas sosial. Bahkan kadangkala memicu munculnya perilaku sosial baru yang lebih tajam lagi dan butuh pemecahan yang lebih rumit. Eskalasi dampak sosial akan lebih menganga bilamana permasalahan sosial ini tidak segera ditangani secara melembaga. Karena munculnya bersifat kontemporer dan terstruktur, sudah tentu pengelolaan potensi dampaknya juga harus lebih sistematis, kolektif, dan berkelanjutan.

Sejalan dengan pandangan beberapa ahli bahwa masalah sosial diartikan suatu pola perilaku dan kondisi yang terjadi serta tidak dapat diterima karena dirasakan oleh sebagian masyarakat dapat mengganggu ketenangan, kenyamanan, ketenteraman, kesejahteraan, serta ketidaksesuaian nilai-nilai dalam masyarakat yang memerlukan upaya-upaya penyelesaian atau aksi sosial baik secara bersama-sama atau lembaga.

Memperhatikan keadaan bangsa kita yang tengah diselimuti kegalauan panjang ini, banyaknya fenomena kehidupan sosial, ekonomi, dan juga politik yang dirasakan orang banyak kurang memberikan harapan baik saat ini, tentunya  ini harus direspon sebagai masalah sosial yang harus segera diatasi. Mengatasi masalah sosial bukan dari fenomenanya, melainkan dari akar masalah utamanya. Sekelumit permasalahan bangsa yang menjadi viral hingga hari sebagaimana dikemukan di atas, jangan pula dilihat sebatas kulitnya saja, karena pada prinsipnya akan terjadi akumulasi masalah yang lebih luas tidak hanya aspek sosial melainkan merambat ke aspek kehidupan vital lainnya.

Jika kita cermati pergerakan perubahan perilaku sosial yang dikhawatirkan bergerak bebas jikalau pemerintah, pemda, dunia usaha dan segenap lembaga masyarakat atau lembaga kesejahteraan sosial kurang bersinergi dalam hal ini. Pertama, sikap apatis atau ‘masa bodo’. Bentuk penolakan atau keputusasaan masyarakat atas kondisi yang tidak menguntungkan ini bisa jadi membentuk perilaku sosial yang semakin melebar ke arah negatif. Terutama didorong keadaan ekonomi keluarga yang hampir rapuh dan penuh ketidak pastian. Menganggap semua situasi yang dialaminya tidak memberi kontribusi berarti bagi kehidupannya. Jika, ini terjadi pada sebagian masyarakat maka dipastikan modal sosial sebagai kekuatan immaterial pembangunan akan mengalami ‘kebangkrutan’. Sikap seperti ini selain tidak memberikan sisi positip bagi kehidupan sosial atau berbangsa juga menggeroti upaya pemerintah untuk memotong mata rantai pandemi bahkan dampak ikutan lainnya pun akan melebar.

Kedua, sikap antipati kepada pemerintah. Penyebaran informasi yang terlalu di’viral’kan di media sosial dan sengaja dibesarkan membuat kegundahan dan kegaduhan pada level masyarakat menengah bawah tidak terbendung. Terlepas apakah itu berita layak atau tidak layak--benar atau tidak benar, tetapi sudah menjadi menu santapan harian di medsos bagi masyarakat. Kondisi ini memungkinkan sebagian orang menganggap pemerintah tidak serius dan “berpoligami” dengan programnya. Menduanya pemerintah menangani masalah sosial ini berakibat semakin berkurangnya semangat dan dukungan sebagian masyarakat untuk bersama-sama menghadapi paceklik sosial ekonomi bahkan politik. Fokus pemerintah tidak terlalu fokus dalam menyelesaikannya. Sikap rasa tidak puas dan benci atas kinerja pemerintah dibuka begitu vulgar, padahal semangat dan komitmen pemerintah melindungi masyarakatnya sudah begitu besar dan habis-habisan. Kemudian muncul pertanyaan, adakah yang harus disalahkan!?.

Ketiga, sikap tidak percaya. Bilamana realita tidak lagi selaras dengan harapan maka itu bisa jadi masalah. Harapan yang begitu besar masyarakat bisa terlepas dari pandemi ternyata belum bisa membantu meyakinkan bahwa pemerintah telah setengah mati “sekarat” berbuat untuk mengatasinya demi masyarakat. Begitu banyak program atau gerakan masiv yang menyeret hampir seluruh komponen negara tidak ketinggalan dunia usaha swasta. Semua ingin berkontirbusi dan membantu upaya pemerintah. Sayangnya, situasi sosial ekonomi politik berbalik menjadi situasi yang mencekam dan menggetirkan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Bagi sebagian kelompok masyarakat ini adalah momen tepat untuk tidak lagi ‘percaya’ kepada pemerintah. Lalu, kemana lagi mengadu kalo bukan kepada pemerintah....!?

Bagaimana juga, kenyataan hari ini adalah tanggung jawab kita semua sebagai anak bangsa. Kita harus berjibaku menghadapinya. Terlebih situasi politik sudah menjadi topik utama beberapa hari ini. Puncak akumulasi dari persoalan berbangsa dan bernegara ada di tangan politik bangsa.  Sebagai masyarakat sekaligus abdi negara, kami mengajak merenungi dan mengurangi dampak sosial yang lebih besar dalam menghadapi situasi saat ini.

Pertama, mencegah lebih baik daripada mengobati. Ungkapan seperti ini begitu sering terdengar dan mudah sekali diucapkan. Perhatian pemerintah sangat besar dalam upaya mencegah pandemi, berbagai cara ditempuh baik penyediaan sarana prasarana, sumber daya manusia, kerja sama, anggaran bahkan regulasinya. Semua itu dalam rangka memastikan bahwa pemerintah pro kepada masyarakatnya. Pemerintah bukannya tidak berbuat melainkan sudah hampir kehabisan pola dan metoda. Pemerintah juga mengalami kegoncangan sosial dan ekonomi bahkan politik karena berlarutnya situasi seperti ini. Peranan penyuluhan dan pelayanan sosial yang masiv dan melembaga yang dilakukan seluruh komponen negara seyogyanya menyasar hingga akar persoalan yaitu sikap mental pro aktif, keteladanan dan konsisten. Jangan menuntut masyarakat untuk berbuat baik melainkan pemerintah yang lebih awal berbuat untuk semua itu. Oleh karenanya, mencegah untuk berobat lebih elok daripada berobat untuk mengobati.

Kedua, merangkul lebih baik daripada memukul. Pemerintah (pemda) harus memastikan perlindungan sosial yang masiv dengan pendekatan humanis dan persuasif agar sikap antipati berbalik arah kepada saling dukung dan merasakan sebagai anak bangsa yang sedang berjuang menghadapi berbagai persoalan atau gejolak saat ini. Saling merasa benar dan memaksa diri tidak lebih baik dari sikap merangkul dan mengajak memahami situasi. Masyarakat paling bawah yang akan merasakan dahsyatnya sikap arogansi antar anak bangsa. Kehidupan sosial semakin ‘bolot’, ekonomi semakin merosot, bahkan politik pun ikut disorot. Lalu, apakah ini yang kita cari...????

Ketiga, prasangka baik lebih baik daripada buruk sangka. Apapun dilakukan pemerintah (pemda) disikapi dengan baik sangka. Jika yang dilakukan memberikan kebaikan memang itu tujuannya, jika pun belum sesuai harapan tidak salahnya pemerintah dan masyarakat saling membuka diri untuk memperbaikinya. Pada situasi seperti ini yang menang tetap bernilai sama dengan yang kalah. Pemerintah percaya kepada masyarakatnya, begitu juga masyarakat berusaha mempercayai pemerintah. Karena sikap saling mempercayai akan menambah kekuatan untuk melakukan yang hal terbaik. Salah itu ‘manusiawi’, tidak mengakui kesalahan itu ‘hewani’, semua mengakui kesalahan berarti ‘mati suri’. Yang diusung mestinya membiasakan kebenaran bukan membenarkan kebiasaan.

Masyarakat merupakan komponen kesatuan sosial yang selalu dinamis dan responsif harus dipandang sebagai objek dan subjek perubahan. Sebagai objek perubahan tidak selalu harus diartikan penerima manfaat atau target sasaran atau yang bermasalah, tapi justru dipahami selaku ‘potensi sosial’, sehingga memiliki kesadaran tentang keadaan kemampuan dan kemauannya sebagai manusia yang menusiawi. Dalam konteks perubahan, pemerintah berperan mendorong, memotivasi dan menstimulus agar masyarakat mengenal dirinya sebagai orang yang memiliki hak sekaligus tanggung jawab dalam pembangunan bangsa. Sedangkan subjek perubahan dipahami sebagai masyarakat yang selalu proaktif, kreatif, dan selaku penggerak dan pelaku perubahan itu sendiri. Pada saatnya tujuan perubahan itu akan berakhir pada to help people to help them selves, karena prinsip dasar perubahan yaitu mengharapkan semua individu atau masyarakat mau dan mampu menggali potensi dan menjadi penggerak perubahan itu sendiri. Pada titik ini, selaras dengan konsep yang diajarkan Rasulullah bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib atau keadaan suatu kaum itu melainkan atas kemauanya sendiri. Semoga rantai belenggu yang melingkari anak bangsa ini lekas putus menjadi cambuk besi yang akan merubah keadaan lebih baik lagi.  Semoga hegemoni media sosial dapat menjadi perekat dan penebar kebaikan diantara kepingan masalah sosial yang ada di Bumi Serumpun Sebalai.  Wassalam.