Bagaimana hasil Perjanjian New York yang dilakukan Indonesia dengan Belanda?

VIVA – Perjanjian New York yang dilaksanakan di Villa Huntland Middleburg, Virginia, Amerika Serikat pada 23 Maret 1962 berlangsung cukup alot dan memakan waktu. Bahasan utama dari perundingan ini adalah soal Papua bagian barat atau Irian Barat yang sampai pada saat itu masih menjadi sengketa antara Indonesia dengan Belanda. Dalam perjanjian tersebut, Amerika Serikat menempatkan diri menjadi mediator walaupun sebetulnya Negeri Paman Sam ini juga memiliki agenda sendiri yang tidak kalah besar. 

Perjanjian ini dilaksanakan lantaran sebelum perjanjian ini ditandatangani, Indonesia mendesak supaya Papua yang yang masih dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah Belanda untuk diserahkan. Pada akhirnya, tanggal 15 Agustus 1962, atau 59 tahun yang lalu, Perjanjian New York resmi ditandatangani. Inilah yang menjadi pintu masuk Amerika ke tanah Papua dan dasi sanalah Paman Sam akan bertahan sampai berpuluh-puluh tahun lamanya. Nah, berikut adalah ulasan mengenai Perjanjian New York secara lengkap dari berbagai sumber. 

Mempersoalkan Irian Barat

Menyadur dari ejournal.unida.gontor.ac.id, Perjanjian New York yang dilaksanakan tahun 1962 menjadi salah satu perjanjian internasional yang melibatkan pemerintah Indonesia dengan Belanda. Perjanjian tersebut membahas mengenai status dari West New Guinea (West Papua). Perjanjian ini secara umum berisi tentang keharusan Belanda dalam menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). 

UNTEA sendiri adalah sebuah badan pelaksana sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berada di bawah kekuasaan sekretaris Jenderal PBB saat itu yaitu U Thant. Selain itu, Perjanjian New York juga mengatur tentang penentuan pendapat masyarakat Papua Barat apakah tetap menjadi bagian dari Indonesia atau lebih memilih untuk memisahkan diri (Chauvel & Bhakti, 2004: 13).  

Kehadiran Perjanjian New York ini memang tak bisa dilepaskan dari konfrontasi antara Indonesia dengan Belanda. Saat Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan bahwa semua wilayah yang awalnya jadi wilayah kekuasaan Belanda menjadi wilayah Indonesia, termasuk Papua Barat (Wijaya, 2018). 

tirto.id - Perundingan yang dilakukan di Villa Huntland Middlleburg, Virginia, Amerika Serikat, sejak 23 Maret 1962 itu berlangsung alot dan memakan waktu. Bahasan utamanya adalah soal Papua bagian barat (Irian Barat) yang hingga saat itu masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda.

Dalam perundingan tersebut, Amerika Serikat (AS) menempatkan diri sebagai mediator meski sebenarnya Paman Sam juga punya agendanya sendiri yang tidak kalah besar. Akhirnya, pada 15 Agustus 1962, tepat hari ini 58 tahun lalu, Perjanjian New York resmi ditandatangani. Inilah pintu masuk AS ke tanah Papua yang dari sanalah (modal) Paman Sam akan bertahan hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.

Mempersoalkan Irian Barat

Pengakuan kedaulatan Indonesia merupakan tindak-lanjut Konferensi Meja Bundar (KMB) yang digelar di Den Haag pada 2 November 1949. Ada satu persoalan penting yang belum disepakati dalam forum itu yakni mengenai status Papua bagian barat. Baik Indonesia maupun Belanda sama-sama ngotot merasa lebih berhak.

Bagi Belanda, Papua bagian barat, atau yang mereka sebut dengan nama Netherlands New Guinea, bukanlah bagian dari kesatuan wilayah yang harus dikembalikan kepada Indonesia. Salah satu argumentasi yang dipakai adalah karena orang-orang asli Papua memiliki perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka dari itu, mereka ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara tersendiri di bawah naungan Kerajaan Belanda.

Indonesia tidak sepakat dan menghendaki agar seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda diserahkan. Lantaran tidak dicapai titik temu, KMB memutuskan bahwa masalah Papua bagian barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun ke depan (Amarulla Octavian, Militer dan Globalisasi, 2012:139).

Namun hingga 12 tahun berselang, persoalan itu belum juga dibahas lagi. Sampai akhirnya, Amerika Serikat yang justru terkesan paling bernafsu membicarakan status kepemilikan Papua bagian barat mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk duduk di meja perundingan. Amerika bahkan menawarkan diri sebagai penengah dan menyediakan tempat “netral" untuk membicarakan masalah tersebut.

Indonesia dan Belanda, atas desakan Amerika, akhirnya bertemu kembali di satu meja. Delegasi Indonesia dipimpin Adam Malik, sedangkan Belanda mengutus Dr. Jan Herman van Roijen. Diplomat AS, Ellsworth Bunke, bertindak sebagai penengah.

Inti perundingan yang dikenal dengan nama Perjanjian New York ini adalah bahwa Belanda harus menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963 (Richard Chauvel, Constructing Papuan Nationalism, 2005:30).

Selama proses pengalihan, wilayah tersebut akan dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selain itu, Belanda juga harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi UNTEA.

Amerika Mengincar Papua

Amerika punya alasan kuat untuk mencampuri status Irian Barat. Konteks Perang Dingin, misalnya, menjadi salah satu pertimbangan Amerika. Terlebih lagi, Soviet telah bermanuver untuk mendekatkan diri kepada Indonesia demi memperkuat hegemoninya.

Awal Januari 1960, misalnya, Presiden Nikita Khrushchev berkunjung ke Jakarta untuk memberikan kredit sebesar 250 juta dolar AS kepada Indonesia. Setahun berselang, giliran utusan Indonesia yang berkunjung ke Moskow dan mendapatkan pinjaman sebesar 450 juta dolar AS untuk membeli persenjataan dari Soviet (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2008:558).

Naiknya John F. Kennedy sebagai Presiden AS pada 1961 membuat persaingan dengan Soviet, khususnya untuk kawasan timur jauh, semakin memanas. Kennedy langsung bergerak dengan mengirim surat pribadi kepada Presiden Sukarno (R. Z. Leirissa, Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya, 1992:30). Kennedy menegaskan, AS bersedia membantu Indonesia untuk mengatasi masalah Irian Barat.

Kennedy bahkan sudah menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 18 juta dolar AS untuk mengalihkan kedekatan Sukarno dengan Uni Soviet (Mochtar Lubis, Catatan Subversif, 1980: 239). Di sisi lain, AS menekan Belanda agar bersedia berembug dengan Indonesia untuk membicarakan status wilayah Papua bagian barat. Jika tidak, Kennedy mengancam akan menghentikan bantuan AS kepada Belanda.

Selain kepentingan politik yang diusung Kennedy, Amerika ternyata juga punya ambisi yang lebih menggiurkan dalam urusan ini, yakni terkait dugaan kandungan emas dan mineral berharga yang sangat besar di bumi Papua.

Bagaimana hasil Perjanjian New York yang dilakukan Indonesia dengan Belanda?

Infografik Mozaik Perjanjian New York. tirto.id/Nauval

Antara Papua dan NKRI

Setelah Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963, kebijakan pemerintah AS di bawah pimpinan Lyndon B. Johnson berubah, termasuk mengurangi bantuan kepada Indonesia yang disetujui Kennedy. Dari pergantian rezim inilah, nantinya, Freeport perlahan-lahan masuk untuk menggerus kekayaan Papua seiring tumbangnya Sukarno yang kemudian digantikan Soeharto.

Dengan demikian, Amerika punya dua agenda besar untuk memuluskan kepentingannya di Irian Barat meskipun dari dua presiden yang berbeda, seperti yang ditulis Beni Pakage dalam artikelnya “Kedudukan Orang Papua dalam Perjanjian New York" di Suara Papua, 14 Agustus 2016:

“Amerika telah turut bermain sebagai pihak pertama dalam kasus New York Agreement 15 Agustus 1962 untuk kepentingannya. Baik demi kepentingan melawan masuknya Indonesia dalam jaringan Soviet, maupun untuk penguasaan kekayaan alam Papua melalui Indonesia."

Tanggal 1 Mei 1963, wilayah Papua bagian barat akhirnya resmi diserahkan kepada Indonesia dari Belanda melalui mediasi UNTEA, meskipun terdengar suara-suara yang mengecam lantaran tidak dilibatkannya orang-orang Papua dalam Perjanjian New York tersebut.

Tindak-lanjut penyerahan itu adalah dilaksanakannya Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua selama 6 pekan dari Juli hingga Agustus 1969 yang menghasilkan integrasi wilayah Irian Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Proses dan hasil PEPERA 1969 memang tidak sepenuhnya disepakati oleh seluruh pihak yang merasa berkepentingan karena ditengarai telah terjadi kecurangan (Human Rights Watch, Protes dan Hukuman Tahanan Politik di Papua, 2007:11). Namun, inilah tahap awal peresmian Irian Barat menjadi bagian dari wilayah NKRI dengan nama Provinsi Irian Jaya saat itu.

Dan Amerika? Sampai detik ini, jejaring kapital dari negeri Paman Sam masih bercokol di bumi Papua yang memang kaya-raya.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 15 Agustus 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/zen)


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RSIvan Aulia Ahsan

Subscribe for updates Unsubscribe from updates